General Background: Land conversion is a crucial legal process in Indonesia's agrarian reform. Specific Background: The enactment of the 1960 Agrarian Law (UUPA) mandated the conversion of colonial land rights, including Eigendom, into the national land tenure system such as Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Knowledge Gap: However, limited studies examine the legal implications when such conversions occur without formal administrative support from local authorities. Aims: This study investigates the legality of Eigendom land conversion into SHGB in the absence of administrative validation from the village head. Results: Using a normative juridical method and statutory interpretation, the study finds that the absence of administrative verification, particularly from the village head as the provider of land status information, undermines the legal validity of the SHGB conversion despite the presence of ownership evidence. Novelty: This research uniquely highlights the critical but often overlooked procedural role of local administrative involvement in legitimizing land rights transformation. Implications: The findings underscore the necessity of integrating formal administrative procedures to ensure legal certainty, minimize disputes, and strengthen public trust in land registration practices within Indonesia’s agrarian legal framework.
Highlights:
Highlights the legal impact of missing village administration in land conversion.
Emphasizes the role of UUPA in transitioning colonial land rights.
Stresses the need for administrative procedures to ensure validity.
Keywords: Administration, Eigendom, Transition, Validity.
Keperluan terhadap tanah sekarang ini mengalami peningkatan selaras pada pertambahan jumlah populasi penduduk serta peningkatan keperluan lain yang berhubungan terhadap tanah. Tanah bukan sekedar menjadi permukiman maupun wilayah bercocok tanam namun juga dipergunakan menjadi jaminan memperoleh kredit di bank, guna kebutuhan jual beli, sewa menyewa. Sangat penting manfaat tanah untuk urusan umum untuk individu maupun hukum melakukan penuntutan terdapatnya jaminan kepastian hukum atas tanah itu.[1] Seluruh kehidupan manusia serta makhluk hidup yang lain tidak bisa dipisahkan dari tanah. Tanah dinilai sebagai salah satu jenis benda tidak bergerak yang mempunyai sifat kekal serta turun temurun maka bisa diteruskan dan didayagunakan pada kehidupan di masa depan. Hal ini dikarenakan eksistensi dari objek berupa tanah tersebut yang jauh lebih permanen dibandingkan usia manusia. Oleh sebab itulah individu memposisikan tanah menjadi sebuah objek hukum yang senantiasa memperoleh concern and special treatment guna mendukung penghidupannya. Hal ini pastinya mudah dalam dipahami sebab sebenarnya hampir semua bagian manusia tidak dapat dilepaskan dari keperluan terhadap komoditas berupa tanah ini.[2]
Menyadarai akan perlunya fungsi tanah ini, sehingga untuk negara tidak terdapat Upaya lain selain mengatur, mengelola, mengurus serta meningkatkan optimalisasi pemanfaatan objek hukum berupa tanah yang menjadi sumber bagi kemakmuran serta kesejahteraan sesuai dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD RI 1945).[3] Sejarah, perkembangan dan kehancuran makhluk hidup juga dapat ditentukan oleh tanah. Masalah tanah bisa memunculkan sengketa serta pengimplementasian yang begitu dahsyat sebab sekelompok manusia atau sebuah bangsa menginginkan untuk mendominasi tanah dari negara lain sebab kekayaan alam yang terkandung didalamnya.[4]
Sebelum tahun 1960, sistem hukum pertanahan di Indonesia menganut dualisme. Di satu pihak, berlaku hukum tanah peninggalan kolonial Belanda yang tunduk pada ketentuan Hukum Perdata Barat. Tanah dalam kategori ini sering disebut sebagai "Tanah Barat" atau "Tanah Eropa", seperti tanah dengan hak eigendom, opstal, erfpacht, dan sebagainya. Sementara itu, di pihak lain, terdapat tanah-tanah yang dikuasai oleh penduduk asli atau bumi putera berdasarkan Hukum Adat, yang umumnya tidak didukung oleh bukti kepemilikan tertulis. Tanah jenis ini biasa dikenal sebagai tanah adat, contohnya adalah tanah ulayat, tanah milik adat, tanah yasan, tanah gogolan, dan lain-lain.[5] Pada tanggal 24 September 1960 merupakan momen bersejarah, karena pada tanggal tersebut disahkan dan mulai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Pemberlakuan UUPA ini menandai perubahan mendasar dalam sistem hukum agraria nasional, khususnya di bidang pertanahan. Dengan demikian, dualisme hukum tanah dihapuskan, dan dimulailah proses unifikasi hukum, yaitu penyatuan sistem hukum pertanahan di Indonesia.
Diberlakukannya UUPA pun mencabut hukum agrarian kolonial yang mempunyai sifat dualism. Dualism hukum diinterpretasikan dalam terdapatnya konsep hukum adat serta hukum barat yang diberlakukan untuk beberapa tanah pada wilayah Indonesia.[6] Penghapusan dualisme hukum direalisasikan pada prinsip unifikasi hukum yang mempunyai arti hanya terdapat satu kebijakan hukum agrarian nasional yang diberilakukan di Indonesia. Dalam pengaturan hukum agrarian nasional yakni UUPA, prinsip unifiasi dijelmakan pada Pasal I hingga IX Bagian Kedua Ketentuan Konversi UUPA. Pengaturan pasal itu dirujukan untuk tanah yang mempunyai hak barat serta hak adat guna dilakukan konversi ke dalam ha katas tanah yang sudah ditetapkan. Jenis hak barat yang ditetapkan pada kebijakan konversi yakni hak eigendom, hak postal, serta hak erfpacht.
“Hak”pada dasarnya yaitu otoritas yang diberikan oleh hukum kepada individu pada sebuah hal. Maka akan memunculan ikatan hukum antara keduanya atau hubungan subjek objek. Sehingga jika individu mendapatkan sebuah hak atass tanah, sehingga pada individu itu sudah tertanam kekuasaan atas tanah yang diikuti kewajiban yang diberikan perintah menurut dengan hukum. Hak atas tanah sumbernya dari hak mempunyai kekuasaan dari negara atas tanah yang bisa diperoleh terhadap individu yaitu WNI ataupun WNA, satu kelompok individu ataupun badan hukum privat ataupun hukum public, hak atas tanah tersebut memberikan wewenang terhadap pihak yang memegang haknya dalam emmpergunakan tanah atau mendayagunakan dari tanah yang mempunyai hak. Sebab Indonesia memiliki dualism hukum pertanahan sebelum tahun 1960.[7]
Eigendom yaitu istilah pada hukum yang asalnya dari bahasa Belanda yaitu "hak milik". Dalam konteks hukum agraria di Indonesia, eigendom mengacu pada hak milik atas tanah yang bersifat mutlak dan memberikan kewenangan penuh terhadap pemiliknya untuk menggunakan, menguasai, serta mengalihkan tanah terkait. Tetapi, sejak diberlakukannya UUPA No. 5 Tahun 1960, hak eigendom secara bertahap dihapus dan dikonversi menjadi hak milik berdasarkan pada kebijakan yang berlaku pada hukum agraria Indonesia. Kaitannya dengan hal ini tanah Eigendom yang masih ada sekarang di Indonesia masih menjadi asset dan milik mutlak punya negara tanpa bisa di ganggu gugat. Kepemilikan Eigendom dalam perpindahan dari masa kolonial ke negara terjadi ketika Indonesia merdeka dan berdirinya UUPA. Dengan demikian Hak eigendom sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah yang sebenarnya telah diberikan waktu selama 20 tahun dalam melakukan konversi sebagai hak-hak atas tanah. Namun realitanya masih banyak tanah bekas hak eigendom belum dikonversi sebagaimana ditentukan UUPA. Padahal konversi bekas hak eigendom yang disertai dengan penerbitan sertifikat hak atas tanah sangat penting dikarenakan akan memberikan perlindungan hukum sekaligus bukti pengakuan yang kuat mengenai status tanah serta siapa yang berhak atas pemilikan/ penguasaan tanah.[8] Adapun hak tersebut dapat dikuasai oleh orang Eropa dan Timur Asing, namun bagi peribumi hanya diperkenankan memilikinya yang mempunyai status agrarische eigendom, dan eigendom verponding mempunyai makna bahwa hak kepemilikan tanah yang bisa dilakukan pembuktian dengan “Verponding” atau bukti tagihan pajak.[9]
Hak eigendom ialah hak atas tanah berdasarkan hukum agraria barat yang menurut UUPA harus dikonversi paling lambat pada 24 September 1980, yakni 20 tahun sejak disahkannya UUPA pada 24 September 1960. Apabila ingin melaksanakan konversi tanah bekas hak eigendom maka mengacu terhadap ketentuan di Peraturan Menteri Pertanian serta Agraria No. 2 Tahun 1962 mengenai Penegasan Konversi serta Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah. Jika pemegang tanah yang akan dikonversi merupakan Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal sehingga kemudian dikonversikan melalui pendaftaran tanah dan akan dikeluarkan sertifikat hak milik. Namun, kondisi berbeda setelah 24 September 1980 tanah bekas hak eigendom yang tidak didaftarkan sehingga tanah itu kemudian dikuasai secara langsung oleh negara.
Dengan demikian Setelah berlakunya UUPA, tanah eigendom tidak lagi diakui dan wajib dikonversi ke dalam hak atas tanah yang sesuai dengan sistem hukum nasional, seperti SHGB, Hak Guna Usaha (HGU), atau Hak Milik (HM). Melalui terdapatnya Hukum Pertanahan Nasional, diharapkan tercipta kepastian hukum di Indonesia. Guna tujuan itu, oleh pemerintah dilakukan penindak lanjutan melalui penyediaan perangkat hukum tertulis berbentuk beberapa peraturan lain pada bidang hukum pertanahan nasional yang memberikan dukungan pada kepastian hukum dan berikutnya melalui kebijakan yang terdapat dilakukan penegakan hukum berbentuk pelaksanaan pendaftaran tanah yang efektif. Pendaftaran ha katas tanah merupakan sarana penting untuk menciptakan serta merealisasikan kepastian hukum serta penataan lagi penggunaan, penguasaan, serta kepemilikan tanah.[10]
Namun, pada praktiknya, proses konversi tanah eigendom sering kali menimbulkan permasalahan hukum, terutama ketika perubahan hak dilakukan tanpa adanya administrasi resmi dari kepala desa ataupun pejabat yang berwenang. Hal ini dapat mengakibbatkan ketidakpastian hukum terkait status tanah tersebut, baik bagi pemilik lama ataupun pihak yang mendapatkan hak atas tanah tersebut dengan transaksi jual beli atau pewarisan. Selain itu, ketiadaan administrasi resmi bisa menciptakan potensi sengketa di hari selanjutnya, terutama jika terdapat pihak lain yang mengklaim tanah itu. Hal ini diperparah oleh lemahnya pemahaman masyarakat mengenai prosedur konversi hak atas tanah serta kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait mekanisme perubahan status tanah eigendom menjadi SHGB.
Berdasarkan latar belang masalah diatas, studi ini mempunyai tujuan dalam melaksanakan analisis keabsahan tanah eigendom yang beralih menjadi SHGB tanpa administrasi dari kepala desa. Berdasarkan penjelasan sebelumnya sehingga perumusan masalah yang dipilih yaitu apa status hukum tanah eigendom yang dikonversi menjadi SHGB tanpa adanya surat perizinan dari desa dan apa akibat hukum atas tanah SHGB tanpa adanya perizinan dari kepala desa.
Dalam studi yang dilaksanakan, penulis mengimplementasikan metode studi yuridis normative yang menguraikan mengenai “Keabsahan Tanah Eigendom yang Beralih Menjadi SHGB Tanpa Administrasi Dari Kepala Desa”. Studi yuridis normatif adalah studi yang dilaksanakan menurut dengan bahan hukum utama mempergunakan metode penelaahan beberapa teori, konsep, asas hukum serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan pada studi yang dilaksanakan. Studi ini bertujuan untuk menganalisis keabsahan peralihan tanah tersebut berdasarkan hukum yang berlaku. Jenis pendekatan ini menerapkan pendekatan perundang-undangan. Studi kepustakaan ini didapatkan dari buku, makalah, jurnal dan seluruh kebijakan hukum yang pastinya berhubungan terhadap kasus yang kemudian dibahas.
Tanah memiliki kedudukan yang sangat strategi pada kehidupan Masyarakat Indonesia yang mempunyai sifat agraris. Bahkan pada UUPA pun dikatakan terdapatnya ikatan abadi antara bangsa Indonesia dengan tanah (Pasal 1 ayat (3) UUPA).[11] Penguasaan tanah mencakup hubungan apda setiap individu, badan hukum maupun Masyarakat yang menjadi sebuah gabungan atau Masyarakat hukum terhadap tanah yang menyebabkan hak-hak serta kewajiban pada tanah. Ikatan itu disertai oleh beberapa nilai atau norma yang telah menjadi lambang pada msyarakat (pranata-pranata social). Bentuk penguasaan tanah bisa berjalan dengan berkelanjutan serta bisa juga mempunyai sifat sementara. Hak penguasaan atas tanah adalah sebuah Lembaga hukum, apabila belum dikaitkan terhadap tanah serta individua tau badan hukum pasti menjadi pihak yang memegang haknya. Contohnya: Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa pada Bangunan yang dinyatakan pada Pasal 20 hingga 45 UUPA hak penguasaan atas tanah adalah sebuah ikatan nyata yang biasanya disebut “Hak”, apabila sudah dikaitkan terhadap suatu tanah yang menjadi objeknya serta individu atau suatu badan hukum atau pemegang haknya, contohnya bisa dipaparkan sejumlah hak terhadap tanah yang dikatakan pada konversi UUPA.[12]
Konversi yaitu penyesuaian hak-hak atas tanah yang pernah tunduk terhadap system hukum yang lama, yaitu beberapa ha katas tanah berdasarkan penuturan Burgerlijk Wetboek (BW) serta tanah-tanah yang tunduk terhadap hukum adat guna masuk pada sistem hak-hak atas tanah berdasarkan UUPA.[13] Berarti konversi yaitu perubahan menurut dengan persamaan isi serta kewenangan yang terdapat dalam ha katas tanah yang lama terhadap yang baru yang dilakukan penyesuaian berdasarkan UU Pokok Agraria, penagturan konversi ditetapkan pada bagian kedua mengenai beberapa kebijakan konversi. Pada kebijakan koversi hal eigendom dilakukan konversi sebagai hak milik mempergunakan syarat pemiliknya mempunyai kewarganegaraan Indonesia di tanggal 24 September 1960 yang dilakukan pembuktian mempergunakan surat kewarganegaraannya maksimal pada jangka waktu enam bulan semenjak diberlakukan UU Pokok Agraria, yakni hingga 24 Maret 1960. Apabila tidak mencukupi kebijakan konversi, sehingga status tanah hak eigendom hanya diberlakukan hingga tanggal 24 September 1980, berarti pemilik hak diberi waktu 20 tahun guna melakukan pengurusan konversi terkait. Tanah hak eigendom akan menjadi tanah yang kekuasaannya Kembali dimiliki oleh negara jika tanah itu tidak dikonversi. Untuk penduduk yang mencukupi ketentuan serta mempunyai posisi tanah negara bekas hak eigendom diberikan keutamaan dalam melakukan pengajuan hak atas tanah terkait.
Ketentuan mengenai Konversi di Indonesia menentukan pendekatan yang humanis atau menjunjung nilai-nilai kemanusiaan terhadap persoalan hak atas tanah yang telah ada sebelum berlakunya UUPA, baik yang sebelumnya tunduk pada Burgerlijk Wetboek (BW) maupun pada Hukum Adat. Perrmen No. 24 Tahun 1997 yang menetapkan mengenai Pendaftaran Tanah sesungguhnya merupakan guna menyediakan jaminan kepastian hukum yang muaranya terhadap pemberian perlindungan hukum untuk pihak yang memegang hak atas tanah di Indonesia.[14] Bagi sejumlah tanah yang mempunyai status eigendom yang belum dikonversi masih bisa dikonversi menjadi hak milik sebelum Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai Pendaftaran Tanah, selama pemohon tersebut masih tetap menjadi pihak yang memegang ha katas tanah pada sejumlah bukti-bukti lama tersebut dan hak tersebut belum dialihkan kepada pihak lain, dan terdapat peta atau surah pengukurannya, sehingga pembukuannya cukup dilaksanakan melalui pemberian cap/stampel terhadap alat bukti itu melalui penulisan jenis hak serta nomor hak hasil konversi.[15] Sesudah diberlakukannya Permen No. 24 Tahun 1997 penyelenggaraan konversi dikatakan sebagai pembuktian hak lama seperti ditetapkan pada Pasal 24 ayat (1) yang bunyinya:
“Untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan/atau, pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh Panitia Ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya”
Kebijakan pada pasal 24 ayat (2) memberikan solusi jika pihak yang memegang hak tidak bisa mempersediakan bukti kepemilikan, baik yang berbentuk bukti tertulis ataupun wujud lainnya yang bisa dipercaya. Kaitannya dengan hal ini pembukuan hak bisa dilaksanakan tidak berlandaskan terhadap bukti kepemilikan namun menurut dengan bukti penguasaan fisik berkaitan dengan waktu 20 tahun atau lebih dengan berturut-turut yang sudah dilaksanakan oleh pemohon serta pendahulunya, yang mempunyai ketentuan:
a) Penguasaan itu dilaksanakan dengan iktikad baik serta dengan terbuka oleh yang berkaitan menjadi yang berhak atas tanah, dan dikuatkan oleh kesaksian individu yang bisa dipercaya;
b) Penguasaan itu baik sebelum ataupun selama pengumuman tidak dijadikan masalah oleh Masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang berkaitan ataupun pihak yang lain.
Lahirnya hak untuk bangunan sebelumnya harus terdapat penyusunan perjanjian dalam menggunakan tanah pada pemegang hak dalam mengelola terhadap calon pihak yang memegang hak untuk bangunan. Pemegang hak pengelolaan memiliki wewenang yakni Menyusun perencanaan peruntukan serta pemanfaatan tanah, menggunakan tanah guna urusan penyelenggaraan tugasnya serta melakukan penyerahan sejumlah bagian tanah hak pengelolaan terhadap pihak ketiga yang menciptakan hak milik dilaksanakan pada wujud pelepasan tanah hak pengelolaan oleh pihak yang memegang haknya. Hak untuk bangunan atau hak pakai atas tanah hak pengelolaan tidak melakukan pemuturan hubungan hukum pada pihak yang memegang hak pengelolaan terhadap tanah tersebut. Hak milik atas tanah hak pengelolaan melakukan pemutusan hubungan hukum pada pihak yang memegang hak pengelolaan terhadap tanah tersebut.[16]
Berdasarkan pada Pasal 1 angka 2, Pasal 22 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 mengenai Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah, menguraikan mengenai hak pengelolaan yaitu hak menguasai dari negara yang berkewenangan terhadap penyelenggaraan beberapa bagian dilakukan pelimpahan terhadap pihak yang memegangnya. Hak untuk bangunan atas tanah negara diberikan memeprgunakan Keputusan dalam memberikan oleh Menteri atau pejabat yang dipilih. Hak untuk bangunan atas tanah hak pengelolaan diberikan mempergunakan Keputusan pemberian hak olleh Menteri maupun pejabat yang dipilih menurut dengan usul pihak yang memegang hak pengelolaan.[17]
Dalam analisis terkait izin HGB, dijelaskan mengenai sifat atau ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB) berdasarkan ketentuan UU Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 terkait “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 35 ayat (1).” yakni:
a. Tergolong hak yang wajib didaftarkan (PP No. 24/1997)
b. Bisa beralih
c. Jangka waktu terbatas
d. Bisa dilakukan pelepasan oleh HGB sehingga menjadi Tanah Negara
e. Bisa menjadi jaminan hutang dengan Hak Tanggungan
Terkait ciri-ciri Hak Guna Bangunan (HGB) dalam pendaftaran tanah dikenal istilah tentang data yuridis yang menjelaskan tentang keterangan tentang status hukum bidang tanah serta satuan rumah susun yang didaftarkan, pihak yang memegang haknya serta hak pihak lain dan beberapa bidang lain yang memberikan beban kepadanya dan data fisik yang menjelaskan tentang letak, batas, serta luas bidang tanah serta satuan rumah susun yang didaftarkan, termasuk uraian tentang terdapatnya bangunan ataupun bagian bangunan yang ada.
Status hukum tanah eigendom yang dikonversi menjadi sertifikat hak guna bangunan tanpa adanya surat perizinan desa, memiliki status hukum yang tidak sah karena melanggar ketentuan perundang-undangan pertanahan yang berlaku. Konversi hak atas tanah, termasuk Eigendom menjadi HGB, memerlukan izin atau persetujuan dari pihak desa atau pemerintah daerah setempat. Sertfikat Hak Guna Bangunan (SHGB) mengindikasikan kewenangan yang didapatkan dari pemerintah dalam mempergunakan suatu lahan yang tidak merupakan milik sendiri. Sehingga, HGB ialah sebuah hak yang memberikan kewenangan terhadap pihak yang memegangnya guna bisa melakukan pendirian bangunan di atas tanah yang tidak merupakan miliknya sendiri.[18]
Guna memberikan dukungan keakuratan data pertanahan, peran kepala desa serta camat begitu dibutuhkan yang mempunyai tujuan dalam pencegahan kesalahan serta tumpeng-tindihnya informasi tentang status serta pemilikan tanah. Peran seorang camat yakni guna memberikan surat keterangan tentang kondisi serta status tanah pada wilayah kelurahan itu.[19]
Bachtiar Effendi memberikan pernyataan jika pendaftaran tanah adalah “recht cadaster” yang mempunyai tujuan dalam memberikan kepastian hak, yaitu guna memberikan kemungkinan untuk beberapa orang yang memiliki tanah secara mudah memberikan bukti jika orang tersebut yang mempunyai ha katas sebidang tanah, apa hak yang dimilikinya, letak serta luas tanah. Dan memberikan kemungkinan terhadap siapa saja untuk mengidentifikasi beberapa hak yang diketahui berkaitan pada sebidang tanah, contohnya calon pembeli, calon kreditur, dan lain-lain.[20]
Menurut penulis, jika berlandaskan terhadap pengaturan Pasal 24 ayat (1) PP No. 24/1997, hingga sekarang ini konversi tanah Eigendom masih bisa dilaksanakan dengan pendaftaran hak lama. Ketentuan tersebut merupakan perwujudan dari tujuan dilaksanakannya pendaftaran tanah, dikarenakan masih banyaknya masyarakat yang masih memiliki tanah bekas Eigendom namun belum melakukan konversi terhadap hak atas tanahnya tersebut. Apabila memperhatikan ketentuan dalam uraian Pasal 24 ayat (1) PP No. 24/1997 jika bukti kepemilikan litu harus berbentuk bukti yang adalah atas nama pihak yang memegang hak dalam waktu diberlakukannya UUPA. Maka Pasal 24 PP No 24/1997 masih bisa dijadikan sebagai landasan untuk pendaftaran gak Eigendom dengan pendaftaran hak lama, jika pemilik hak itu Ketika diundangkannya UUPA mencukupi ketentuan menjadi pihak yang memegang hak. Kaitannya dengan hal ini sebab F.W. Berg atau ahli warisnya sudah tidak lagi mempunyai hak yang mana tanahnya sudah hapus atau menjadi Tanah yang kekuasaannya dimiliki langsung oleh Negara.
HGB yaitu hak guna melakukan pendirian serta memiliki beberapa bangunan atas tanah yang tidak merupakan kepemilikannya sendiri, yang mepunyai jangka waktu maksimal 30 tahun. Berdasarkan permintaan pihak yang memegang hak serta dengan mengingat kebutuhan dan bangunanbangunannya, jangka waktu HGB dapat diperpanjang perpanjangan dalam waktu maksimal 20 tahun.[21] “Ketentuan dalam UUPA di atas, Pasal 25 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Dan Hak Pakai Atas Tanah” mengatakan jika setelah jangka waktu HGB serta perpanjangannya seperti yang ada pada “Pasal 25 ayat (1) PP nomor 40 tahun 1996” berakhir, terhadap bekas pihak yang memegang hak bisa diberikan pembaharuan Hak di atas tanah yang serupa. Berikutnya pada “pasal 27 ayat (1) PP Nomor 40 Tahun 1996” mengatakan, permohonan perpanjangan HGB dapat diajukan paling lama dua tahun sebelum berakhirnya HGB, sementara berdasarkan pada “Pasal 41 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan” dikatakan jika pemegang hak dapat mengajukan perpanjangan jangka waktu HGB dalam waktu dua tahun sebelum berakhirnya jangka waktu hak itu.[22]
Berdasarkan pada Pasal 44 PP 18/2021, terhadap pihak pemegang HGB ada hak dalam: mempergunakan serta melakukan pemanfaatan atanah berdasarkan pada kegunaannya serta persyaratan seperti yang ditentukan pada Keputusan serta perjanjian pemberiannya; melakukan pendirian serta memiliki properti yang diberikan HGB untuk kepentingan pribadi serta memberikan dukungan usaha berdasarkan pada kebijakan perundang-undangan; atau melaksanakan Tindakan hukum yang dimaksudkan dalam melakukan pelepasan, pengalihan, serta perubahan penggunaannya dan memberikan pembebanan mempergunakan hak tanggungan. Dalam hal yuridis, sertifikat hak guna bangunan berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1960 mengenai “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” yaitu turun temurun, yang paling kuat, serta paling utuh yang bisa dimiliki oleh seseorang atas tanah.[23]
Konversi Peralihan Hak Guna Bangunan Menjadi Sertifikat Hak Milik Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 mengenai “Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria” yaitu dilaksanakan mempergunakan kebijakan : harus terdapat persetujuan tertulis dari pihak yang memegang hak guna bangunan pertama, peralihan itu harus dilakukan pendaftaran pada kantor pertanahan kabupaten atau kota sekitar serta dilaksanakan perubahan nama. Sesudah hal tersebut dilaksanakan selanjutnya dilaksanakan pengajuan permohonan dalam peralihan hak guna bangunan terhadap sertifikat hak milik. Pada tanah yang mempunyai ukuran luas berkisar di bawah 600 meter persegi (m2), meningkatnya hak sebagai sertifikat hak milik, yakni melalui pengajuan pemberian hak tambahan ke kantor pertanahan, lalu kantor pertanahan melaksanakan perubahan hak yang dimilikinya mempergunakan metode langsung menulis pada halaman sertifikat jika haknya telah dilakukan peningkatan ke dalam hak milik. Guna tanah yang mempunyai luas di atas 600 m2, meningkatnya hak menjadi SHM diberikan perlakuan contohnya permohonan hak baru yang mempunyai ketentuan yang serupa terhadap peningkatan hak pada luas tanah kurang dari 600 m2.[23]
Penyuluhan yang dilakukan sebuah contohnya yaitu pemberian tekanan terhadap Masyarakat sekitar guna mengidentifikasi kapan harus melakukan perpanjangan HGB. Sebab jika HGB itu telah berakhir, sehingga HGB itu tidak dapat dilakukan perpanjangan Kembali. Sebab syarat untuk memperpanjang HGB, yaitu sebelum jangka waktunya habis. Untuk lebih jelas, ketentuan perpanjangan HGB yaitu di bawah ini:[24]
1. “Isi formulir permohonan di loket pelayanan kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN)”
2. “Surat Kuasa apabila dikuasai”
3. “Fotokopi KTP dan KK pemohon”
4. “Fotokopi Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket”
5. “Sertifikat asli”
6. “Fotokopi SPPT PBB tahun berjalan yang telah dicocokkan dengan aslinya oleh petugas loket dan bukti Pembayaran Uang Pemasukan”
Terdapat proses yang dilaksanakan dimulai dengan pemohon datang langsung ke Badan Pertanahan Setempat, yakni di lokasi tanah atau HGB itu berada. Di tempat tersebut individu langsung ke loket pelayanan serta melakukan pengisian formular pengajuan, Ketika melakukan pengisian harus mengisi identitas diri, letak, luas, serta penggunaan tanah yang diajukan permohonan, pernyataan tanah tidak sengketa serta tanah dikuasai dengan fisik.
UU Pokok Agraria menguraikan pada Pasal 35 tentang HGB, menguraikan jika hak guna bangunan tidak mengenai tanah pertanian. Sehingga, di samping atas tanah yang kekuasaannya dimiliki langsung oleh Negara bisa juga diberikan atas tanah milik individu. Dampak dari hukum dengan tidak adanya izin kepala desa, permohonan atau peralihan HGB bisa dilakukan penolakan serta tahapan permohonan ha katas tanahnya tidak dapat dilanjutkan, meskipun tidak ada sanksi pidana atau administratif.[25] Tanpa izin lokasi (yang diwakili oleh persetujuan kepala desa dalam konteks ini), tanah yang bersangkutan tidak dapat diproses untuk permohonan hak atas tanahnya. Meskipun tidak ada izin, pelanggaran ini tidak mengakibatkan sanksi pidana atau administratif.
Hambatan yang ada pada penerbitan sertifikat justu terdapat dalam si pemohon berkaitan pada kelengkapan administrative serta pemberian bukti tersebut sebab kaitannya dengan hal melakukan penerbitan sertifikat BPN hanya menerima dokumen, melaksanakan pemeriksaan lalu jika sudah tercukupi dokumen persyaratannya sehingga BPN melaksanakan penerbitan berdasarkan prosedur yang ditetapkan pada UU [26] Merujuk terhadap Pasal 38 ayat (1) dan (2) yang memberikan pernyataan jika pendaftaran nya dilakukan penyesuaian berdasarkan sejumlah kebijakan yang ada dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UU No. 5 Tahun 1960 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menjabarkan jika pendaftaran tanah yang berakhir dengan pemberian sejumlah surat bukti hak milik. Sejumlah surat itu adalah alat bukti yang begitu kuat untuk melakukan penetapan kepemilikan tanah.[27]
Untuk mendorong peningkatan dan menjunjung kesejahteraan serta ketentraman Masyarakat supaya terbentuknya sebuah keadilan terlebih untuk pihak yang memegang HGB pemerintah menciptakan KEPMEN Agraria/Kepala BPN No. 6 Tahun 1998 mengenai “Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal”. Peraturan itu dipergunakan menjadi landasan serta pedoman di samping peraturan perundangundangan lainnya yang berhubungan pada HGB sebagai Hak Milik atas tanah pada rumah tinggal. Kebijakan itu harus mencukupi ketentuan peningkatan ha katas tanah dengan mempunyai SIMB atau “Surat Izin Mendirikan Bangunan” serta sertifikat HGB yang asli kemudian dilakukan penyerahan ke kantor BPN setempat.[28]
SKT (Surat Keterangan Tanah) dapat digunakan sebagai salah satu bukti alas hak guna mengajukan permohonan untuk mendapatkan HGB, terutama untuk tanah yang belum bersertifikat atau belum didaftarkan di BPN. Kekuatan hukum SKT yang diciptakan oleh Kepala Desa pada transaksi jual beli tanah menurut dengan PP Pendaftaran Tanah, mempunyai kekuatan hukum yang sah jika diketahui oleh Camat selaku PPAT, yang mempunyai landasan hukum menurut dengan uraian “Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 39 ayat (1) huruf b angka (1) dan angka (2) PP Pendaftaran Tanah” bisa digolongkan menjadi alas hak yang dilakukan pengajuan menjadi pelengkap persyaratan permohonan hak atas tanah. Kebijakan Pasal 7 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah menyebutkan bahwa, “untuk desa-desa dalam wilayah yang terpencil Menteri dapat menunjuk PPAT Sementara”. Pada uraian Pasal 7 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah itu dikatakn jika, kebijakan Pasal 7 ayat (2) PP Pendaftaran Tanah, ditujukan dalam memudahkan rakyat di daerah terpencil yang tidak terdapat PPAT dalam melakukan tindakan hukum tentang tanah. Yang dilakukan penunjukkan menjadi PPAT Sementara yaitu Pejabat Pemerintah yang mempunyai penguasaan terhadap kondisi daerah yang berkaitan, yakni Kepala Desa.[29]
Surat Keterangan Tanah sebagai bukti dalam melakukan penegasan Riwayat tanah yang sudah dilakukan pembelian, untuk keperluan tahapan pendaftaran tanah. Surat keterangan Tanah adalah bukti dasar hak milik atas sebidang tanah yang kekuasaannya dipunyai oleh individu maupun badan hukum. Alas hak biasanya dipergunakan menjadi ketentuan pad atahapan permohonan penerbitan sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Nasional. Sesudah dilakukan penerbitan Surat Edaran Mentri ATR/BPN No. 1756/15.I/IV/2016 mengenai “Petunjuk Pelaksanaan Pendaftran Tanah Masyarakyat”, Surat Keterangan Tanah tidak dibutuhkan Kembali pada tahapan pendaftaran tanah. Dampaknya menurut dengan kebijakan perundang-undangan yang diberlakukan, Surat Keterangan Tanah tidak mempunyai kedudukan hukum lahi pada UU. Menurut dengan system publikasi yang dipergunakan oleh Negara Indonesia yakni system publikasi negate yang mempunyai tendensi positif (system publikasi campuran), yang mana berdasarkan system publikasi itu sertifikat tanah tidaklah merupakan alat bukti yang mutlak, namun hanya merupakan alat buktiyang kuat serta kapanpun bisa dilaksanakan gugatan pada sertifikat itu. Berarti dengan tidak langsung Surat Keterangan Tanah memberikan pernyataan jika surat itu adalah alat bukti hak milik tanah kaitannya dengan pemberikan bukti hak milik tanah.[30]
Jangka waktunya berakhir serta tidak diperpanjang atau diperbarui oleh atas nama sertifikat HGB kemudian pemyebabnya juga dari dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir oleh pejabat yang mempunyai kewenangan, pihak yang memegang hak milik sebab tidak tercukupinya sebuah ketentuan seperti tidak tercapainya kewajibankewajiban melakukan pemegangan hak, tidak tercukupinya beberapa ketentuan atau kewajban yang disetujui oleh pihak yang memegang HGB dan pihak yang memegang hak pengelolaan atau pihak yang memegang hak milik serta penyebabnya bila terjajdi sengketa atau dalam proses persidangan sampai ada putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukut tetap dan dilakukan pelepasan oleh pihak yang emmegang hak sebelum jangka waktunya berakhir. Dilakukan pencabutan guna kepentingan umum. Menurut dengan UU Nomor 20 Tahun 1961 mengenai “pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya” dilakukan penetantaran, tanahnya musnah serta orang atau badan hukum yang memiliki HGB tidak lagi mencukupi ketentuan menjadi pihak yang memegang hak (wajib melakukan peepasan atau melakukan pengalihan haknya maksimal satu tahun).[31]
Status hukum tanah eigendom yang dikonversi menjadi sertifikat hak guna bangunan tanpa adanya surat perizinan dari desa adalah tidak sah karena melanggar ketentuan perundang-undangan pertanahan yang berlaku. Proses konversi dan pendaftaran tanah wajib memenuhi prosedur administratif termasuk mendapatkan surat keterangan atau perizinan dari pemerintah desa atau kelurahan setempat. Hal ini sesuai dengan asas kepastian hukum dalam sistem pertanahan Indonesia. SHGB mengindikasikan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah dalam mempergunakan suatu lahan yang tidak merupakan milikya sendiri. SHGB yaitu sebuah hak yang memberikan wewenang terhadap pemegangnya supaya bisa melakukan pendirian bangunan di atas tanah yang tidak merupakan miliknya sendiri. Konversi hak eigendom sebagai hak atas tanah seperti hak milik atau HGB sudah ditetapkan pada UUPA serta peraturan turunannya, seperti PP No. 24 Tahun 1997 dan PP No. 40 Tahun 1996. Dalam prosesnya, bukti administratif dan keterlibatan aparat desa menjadi bagian penting dalam verifikasi data yuridis maupun fisik tanah.
Sertifikat HGB yang diterbitkan tanpa izin kepala desa berakibat pada tidak terpenuhinya syarat administratif dalam permohonan hak, sehingga proses permohonan atau peralihan hak atas tanah dapat ditolak atau dianggap tidak sah secara administratif, meskipun tidak ada sanksi pidana langsung. Selain itu, sertifikat tersebut dapat digugat atau dibatalkan jika terbukti proses penerbitannya mengabaikan prosedur formal seperti keterangan status tanah dari kepala desa.