Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v13i1.1056

Criminal Responsibility for Police Officers as Narcotics Dealers


Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Sebagai Pengedar Narkotika

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Medan Area
Indonesia
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Medan Area
Indonesia
Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Medan Area
Indonesia

(*) Corresponding Author

Criminal Liability Police Officer Drug Trafficking Narcotics Law Institutional Integrity

Abstract

General Background: The involvement of law enforcement officers in drug trafficking poses a serious threat to the credibility and integrity of the police institution. Specific Background: While the general public is subject to strict legal consequences for narcotics distribution, the role of police officers as offenders introduces a complex dynamic in the enforcement of narcotics law. Knowledge Gap: Existing studies often overlook the mechanisms and accountability processes specific to police officers involved in such crimes. Aim: This study aims to examine the legal regulations, legal procedures, and criminal liability applied to police officers who act as drug dealers.
Results: Using a normative juridical method, the findings reveal that police officers are held criminally accountable under the Narcotics Law, without exception or special treatment. Legal proceedings are conducted in general courts, and offending officers are typically suspended and risk dishonorable discharge (PTDH) for institutional damage. Novelty: The research highlights the internal disciplinary implications in addition to formal legal sanctions, emphasizing institutional accountability. Implications: The study suggests the imposition of severe sanctions against offending officers to preserve public trust and institutional integrity, and to serve as a deterrent against abuse of authority in narcotics crimes.

Highlights:

  • Police officers face the same legal process as civilians for narcotics crimes.

  • Offending officers are subject to suspension and possible dishonorable discharge.

  • Harsh sanctions are essential to uphold public trust in law enforcement.

Keywords: Criminal Liability, Police Officer, Drug Trafficking, Narcotics Law, Institutional Integrity

 

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Akibat semakin maraknya pemakaian secara tidak sah berbagai jenis obat-obatan terlarang, masyarakat dunia, termasuk masyarakat di Indonesia, pada akhir-akhir ini telah dihadapkan pada kondisi yang sangat menghawatirkan. Perkembangan teknologi bukan hanya berdampak positif, tetapi juga bisa berdampak buruk. Perkembangan teknologi menimbulkan peningkatan masalah kejahatan dengan modus operasi yang canggih. Untuk mencegahnya, penegak hukum menghadapi tantangan, terutama dalam kasus narkoba dan obat terlarang [1].

Peredaran dan penyalahgunaan narkoba telah meningkat di Indonesia, yang sangat mengkhawatirkan dan berpotensi membahayakan kehidupan masyarakat Indonesia dan individu lainnya [2] [3]. Penyebarannya tidak hanya memungkinkan distribusi dan penyalahgunaan narkoba, tetapi juga telah menjadi tempat penyalur dan tempat pembuatan narkoba ilegal. Narkotika hanya digunakan sebagai obat. Namun, seiring berjalannya waktu, narkoba digunakan untuk tujuan yang lebih buruk. Dalam kedokteran, bagaimanapun, narkoba digunakan untuk pembiusan pasien sebelum operasi. Di Indonesia, obat-obatan telah diakui secara hukum. Ini ditunjukkan oleh penerapan "Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika)", yang menggantikan "Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika", yang melarang penggunaan obat-obatan tanpa izin [4].

Dalam Undang-Undang Narkotika No. 35 Tahun 2009, Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan narkotika sebagai zat yang asalnya dari tanaman, baik yang sintesis maupun semisintesis, yang memiliki efek untuk mengubah atau menurunkan kesadaran, mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri, hilangnya rasa, dan dapat menyebabkan ketergantungan [5] [6]. Narkotika diklasifikasikan ke dalam golongan-golongan yang sudah dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1). Selanjutnya, Pasal 1 angka 15 mendefinisikan penyalahguna sebagai orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan hukum.

"Penyalahgunaan narkotika termasuk dalam tindak pidana narkotika di Indonesia. Perbedaan bukan tindak pidana atau perbuatan tindak pidana ialah apakah perbuatan itu dijatuhi sanksi atau tidak." Selama beberapa tahun, penyalahgunaan narkoba telah menjadi masalah besar di sejumlah negara, baik negara yang sedang berkembang seperti Indonesia maupun negara yang sudah maju sekalipun. Seperti yang kita ketahui, narkotika adalah masalah yang menarik banyak perhatian dari masyarakat umum hingga pemerintahan. Narkotika berbahaya jika digunakan tidak dengan benar. Narkotika memberikan keuntungan yang besar bagi para pengedarnya, yang menyebabkan kejahatan ini sering terjadi [7].

“Peredaran narkotika yang sedang marak di Idonesia sungguh bertolak belakang dari tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia seluruhnya yang tertib, adil, makmur, sejahtera, dan damai berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [8] [9]. Dampak penyalahgunaan narkotika langsung berdampak kepada para penggunanya dan kepada masyarakat umum. Untuk individu akan berdampak bagi kesehatan baik jasmani maupun rohani. Sedangkan dampak untuk masyarakat ialah meningkatnya kriminalitas dan kemerosotan moral. Guna menertibkan permasalahan diatas, kehadiran dari hukum pidana sangat dibutuhkan. Hukum pidana sebagai salah satu dari bagian hukum pada dasarnya tidak menunjukkan perbedaan dengan hukum-hukum lain, bahwa semua hukum tersebut memuat peraturan yang menjamin norma-norma dalam suatu peraturan hokum dapat ditaati oleh seluruh warga masyarakat [10] [11].

Polisi bertanggung jawab untuk menjaga keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, "Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia" memberikan kepada penegak para hukum wewenang untuk memberantas dan mencegah tindak pidana. Selain itu, "Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Polri" mengatur kode etik profesi. Selain merupakan bagian penting dari sistem peradilan, polisi juga diharuskan untuk melaksanakan wewenang dan tugasnya sebagai penegak hukum. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa individu penegak hukum menyalahgunakan otoritas mereka dengan mengkonsumsi dan memperjualkan barang yang dilarang tersebut [12] [13].

Menurut pendapat Hofnegels, upaya dalam penanggulangan yang ada bagian dari kebijakan sosial umumnya adalah bagian integral yang bisa dilakukan melalui dua jalur yakni: [14]

a. Jalur penal yakni jalur yang dalam prosesnya menggunakan sistem hukum pidana; [15]

b. Jalur non penal yakni melalui: [16]

1. Mencegah dengan tanpa melakukan hukuman pidana, termasuk di dalamnya penerapan sanksi administratif dan sanksi perdata.

2. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pembinaan lewat media massa [17].

Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menyatakan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Pasal 6 ayat (1) Undang – Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika [18]. Pada pasal 6 ayat (1) jenis – jenis golongan narkotika yakni:

a. Narkotika golongan I yaitu narkotika yang dapat digunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dilarang disalahgunakan. Narkotika golongan I terdiri atas opium (getah beku yang berasal dari buah tumbuhan papaver somniferum ), kokain dan ganja; [19]

b. Narkotika Golongan II, adalah narkotika yang mempunyai daya menimbulkan ketergantungan menengah dan dapat digunakan sebagai pilihan terakhir untuk tujuan pengobatan dan ilmu pengetahuan. Termasuk ke dalam golongan ini adalah morfin ( serbuk putih yang berguna untuk menahan rasa sakit saat operasi karena penyakit kanker ); [20]

c. Narkotika Golongan III, adalah narkotika yang mempunyai daya ketergantungan rendah. Narkotika golongan III biasanya digunakan untuk pengobatan dan tujuan ilmu pengetahuan. Termasuk dalam golongan ini adalah kodein( berbentuk serbuk putih atau tablet ) yang biasanya digunakan untuk penahan rasa nyeri dan peredam batuk [21].

Seperti kasus yang ditemukan di Polres Deli Serdang, dimana ditemukan kasus tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang dilakukan oleh aparat penegak hukum Polres Deli Serdang. Adapun anggota kepolisian yang terlibat penyalahgunaan narkotika sebanyak 4 (empat) orang dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2022 dan diberikan sanksi tegas oleh Kapolda Sumatera Utara yakni berupa sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH) [22].

Dari data diatas jelas bahwa aparat penegak hukum dalam hal ini pihak kepolisian, masih tetap melakukan pemakaian narkoba sehingga membuat masyarakat semakin tidak percaya kepada aparat kepolisian [23]. Oleh karena itu bila ada ada pihak kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika baik itu memakai ataupun mengedarkan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya dan harus diberikan sanksi yang tegas dari penegak hukum yang lain guna mengantisipasi agar tidak terjadinya perbuatan tindak pidana narkotika oleh penegak hukum yang lain [24] [25].

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dimana penelitian tesis ini merupakan syarat yang harus dilaksanakan demi menyelesaikan studi pada program pascasarjana Magister Ilmu Hukum di Universitas Medan Area. Oleh karena itu penulis mengangkat judul tesis yakni “Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Sebagai Pengedar Narkotika”

B. Rumusan Masalah

1 Bagaimana aturan hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana pengedar narkotika?

2 Bagaimana mekanisme proses hukum bagi aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar?

3 Bagaiamanakah pertanggungjawaban pidana bagi aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan di atas maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini :

1 Untuk mengkaji dan menganalisis aturan hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana pengedar narkotika.

2 Untuk mengkaji dan menganalisis aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar.

3 Untuk mengkaji dan menganalisis pertanggungjawaban pidana bagi aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar.

Metode

A. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif artinya penelitian ini cenderung menggunakan data sekunder baik merupakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Jenis penelitian yuridis normatif merupakan jenis penelitian yang berpedoman terhadap norma hukum didalamnya ada aturan perundang-undangan [26] [27]. Jenis penelitian yuridis normatif dibahas mengenai suatu doktrin atau asas yang mencakup ilmu pengetahuan hukum.

Dalam penelitian yuridis normatif mempunyai sifat penelitian deskriptif analis [28], dimana maksud dari deskriptif analis yakni suatu penelitian dapat memperoleh gambaran secara rinci dan sistematis terkait masalah-masalah yang akan diteliti. Analisis dilakukan berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh dan akan dilakukan secara cermat bagaimana menjawab permasalahan dalam menyimpulkan suatu solusi sebagai jawaban dari permasalahan tersebut [29] [30].

Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian selain untuk menggambarkan fakta-fakta hukum mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Aparat Kepolisian Sebagai Pengedar Narkotika”.

B. Sumber Data

Adapun data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi- informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiyah lainnya Data sekunder dalam penelitian ini terdapat 3 (tiga) bahan hukum, yaitu:

a. Bahan hukum primer yang merupakan norma/peraturan dasar dan peraturan perundang – undangan yang berhubungan dengan Undang – Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika maupun peraturan terkait lainnya [31].

b. Bahan hukum sekunder merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat penjelasan di dalamnya. Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku yang berkaitan dengan hukum pidana maupun peraturan terakit lainnya [32]

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, ensiklopedia, dan lain sebagainya [33].

C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpul data yang digunakan adalah dengan studi kepustakaan atau studi dokumen (Documentary Study) dengan mempergunakan sumber hukum data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan diperpustakaan atau milik pribadi.

Hasil dan Pembahasan

A. Mekanisme Proses Hukum Bagi Aparat Kepolisian yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika Sebagai Pengedar

Pada kasus anggota Polri yang terjadi di wilayah hukum Polres Deli Serdang sebanyak 4 orang. Berdasarkan kasus tersebut, bagi aparat penegak hukum yang terlibat dalam peredaran jaringan narkotika telah diatur dalam Undang – Undang Kepolisian pada pasal 29 ayat 1 yang menyatakan bahwa setiap anggota Polri yang melakukan atau terjerat tindak pidana wajib menjalankan proses hukum sesuai dengan hukum acara yang pengaturannya ada dalam peradilan umum. Sanksi bagi aparat kepolisian yang terbukti melakukan perbuatan pidana khususnya pidana narkotika maka mekanisme proses hukumnya tidak ada beda dengan masyarakat biasa yakni peradilan umum [34].

Pada anggota kepolisian yang melakukan penyalahgunaan narkotika yang telah dijatuhi vonis oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan dan Pengadilan Negeri Lubuk Pakam yakni adapun para anggota kepolisian yang telah divonis tersebut yakni sebagai berikut:

1. Bripika Frickes Sianturi, dengan Nomor Perkara 3319/Pid.Sus/2019/PN.Mdn tertanggal 25 Juni 2019 yang mana adanya transaksi jenis narkotika jenis sabu yang dilakukan oleh saudara Bripika Frickes Sianturi dengan menjatuhkan vonis yakni 4 (empat) tahun penjara sesuai dengan putusan Majelis Hakim Nomor Perkara 3319/Pid.Sus/2019/PN.Mdn tertanggal 25 Juni 2019. [35]

2. Bripka Salmon Hitler, dengan Nomor Perkara 1446/Pid.Sus/2019/PN.Lbp tertanggal 1 Oktober 2019 yang mana saudara Bripka Salmon Hitler melakukan tindak pidana penyalahgunaan narkotika serta dijatuhi hukuman oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah). [36]

3. Bripka Indra Utama, dengan Nomor Perkara 3070/Pid.Sus/2020/PN.Lbp tertanggal 19 Maret 2021 yang mana saudara Bripka Indra Utama terbukti melakukan tindak pidana narkotika di Rumah Tahanan Polisi (RTP Sat Tahti Polresta Deli Serdang) atas perbuatannya Majelis Hakim telah menjatuhkan vonis kepada Saudara Bripka Indra Utama dengan penjara selama 4 (empat tahun) dan denda sebesar Rp. 800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah). [37]

4. Bripka Yetno, dengan laporan polisi LP/100/VII/2020/SU/Resta DS tanggal 25 Juli 2020, sehubungan dengan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkoba jenis sabu serta dipersangkakan Pasal 114 ayat (1) subs Pasal 112 ayat (1) Jo. Pasal 132 ayat (1) Undang – Undang No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika dan dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun dan denda Rp.800.000.000,- (Delapan Ratus Juta Rupiah). [38]

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kompol Sebastian Saragih, S,sos., S.I.K selaku Kasat Narkoba Polres Deli Serdang adapun mekanisme proses hukum bagi aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar yakni sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Selain itu Bapak Kompol Sebastian Saragih, S,sos., S.I.K mengatakan bahwa bagi anggota kepolisian yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dapat diproses melalui peradilan umum. Adapun mekanismenya selama diproses pada peradilan umum yakni: [39]

1. Tahap penyelidikan dan penyidikan

2. Tahap penuntutan

3. Pemeriksaan persidangan

4. Putusan pengadilan

Selain itu anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana juga akan ada tambahan lain yaitu dari internal kepolisian sendiri yang berupa penegakan hukum melalui sidang kode etik yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia [40]. Adapun hasil putusan sidang KKEP bagi anggota kepoliasian yang terlibat tindak pidana narkotika yakni sebagai berikut:

1. Bripika Frickes Sianturi, adapun jenis pelanggaran yang dilanggar yakni Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KKEP dan Pasal 12 ayat 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang PTDH. Adapun hasil putusan sidang KKEP yakni sebagai berikut: [41]

a. Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KEPP.

b. Menjatuhkan sanksi yakni:

1) Sanksi yang bersifat etika perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

2) Sanksi bersifat administrative direkomendasikan berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.

2. Bripika Salmon Hitler, adapun jenis pelanggaran yang dilanggar yakni Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KKEP dan Pasal 12 ayat 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang PTDH. Adapun hasil putusan sidang KKEP yakni sebagai berikut: [42]

a. Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KEPP.

b. Menjatuhkan sanksi yakni:

1) Sanksi yang bersifat etika perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

2) Sanksi bersifat administrative direkomendasikan berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.

3. Bripika Indra Utama, adapun jenis pelanggaran yang dilanggar yakni Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KKEP dan Pasal 12 ayat 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang PTDH. Adapun hasil putusan sidang KKEP yakni sebagai berikut: [43]

a. Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KEPP.

b. Menjatuhkan sanksi yakni:

1) Sanksi yang bersifat etika perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

2) Sanksi bersifat administrative direkomendasikan berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.

4. Bripika Yetno, adapun jenis pelanggaran yang dilanggar yakni Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KKEP dan Pasal 12 ayat 1 huruf (a) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang PTDH. Adapun hasil putusan sidang KKEP yakni sebagai berikut: [44]

a. Terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 11 Huruf (c) Perkap No. 14 Tahun 2011 tentang KEPP.

b. Menjatuhkan sanksi yakni:

1) Sanksi yang bersifat etika perilaku pelanggaran dinyatakan sebagai perbuatan tercela;

2) Sanksi bersifat administrative direkomendasikan berupa pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) sebagai anggota Polri.

B. Pertanggungjawaban Pidana Bagi Aparat Kepolisian yang Melakukan Tindak Pidana Narkotika Sebagai Pengedar

Berkaitan dengan masalah untuk bertanggung jawab dalam pidana narkotika pasti ada konsekuensi yang harus diambil dan sanksi lebih berat. Dalam hal pemberian hukuman pidana bagi anggota kepolisian yang menyalahgunakan narkotika dapat dipertanggungjawabkan dalam ketemtuan aturan hukum narkotika. Muljatno berpendapat bahwa seseorang yang bisa dipertanggungjawabkan perbuatannya apabila ada jenis kesalahan perbuatan pidana yang dilakukannya [45].

Terkait kasus anggota kepolisian yang terkena pidana narkotika sebagaimana data diatas, teridentfikasi adanya kesalahan yang diperbuat oleh keempat terdakwa anggota kepolisian yakni Bripka Frickes Sianturi sebagai pengedar ataupun transaksi narkotika, Bripka Salmon Hitler sebagai pemakai atau penyalahguna narkotika, Bripka Indra Utama sebagai pemakai atau penyalahguna narkotika, dan Bripka Yetno sebagai pemakai atau penyalahguna narkotika. Keempat terdakwa penyalahguna dan pengedar narkotika tersebut dijerat dengan Undang – Undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika.

Selain adanya unsur kesalahan pada tindakan yang dilakukannya, seseorang bisa dikatakan bertanggungjawab jika didalamnya ada unsur Pasal 44 KUHP. Yang mana kekuatan bertanggungjawab didasarkan pada keuletan jiwanya dan bukan kepada keadaan dan kemampuan berfikirnya. Begitu dalamnya kasus - kasus diatas yang terdakwanya adalah pelaku tindak pidana narkotika sudah sepatutnya diproses secara pidana, karena para narapidana tersebut diatas adalah anggota kepolisian yang posisi jiwanya dalam keadaan normal tanpa ada kecacatan fisik yang dialaminya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Kompol Sebastian Saragih, S,sos., S.I.K selaku Kasat Narkoba Polres Deli Serdang bahwa pertanggung jawaban pidana bagi anggota kepolisian yang terlibat tindak pidana narkotika yakni diberikan sanksi sesuai dengan Undang – Undang Narkotika serta tidak ada bedanya dengan proses peradilan pada umumnya. Bagi anggota kepolisian yang terlibat tindak pidana narkotika yang sedang disidang pada peradilan umum biasanya status pekerjaannya sebagai anggota kepolisian statusnya sementara dinonaktifkan serta apabila dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) maka anggota kepolisian tersebut tidak bisa dipertahankan lagi dikarenakan telah merusak institusi polri dalam hal ini melakukan tindak pidana narkotika. Anggota kepolisian yang status pekerjaannya diberhentikan dengan tidak hormat dinyatakan bersalah melalui hasil vonis Pengadilan yang sudah inkrach dan melalui pertimbangan pejabat Polri dalam hal ini Kasie Propam maupun Kapolda yang diatur dalam pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 [46].

Simpulan

Mekanisme proses hukum bagi aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar yakni sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan. Selain itu bagi anggota kepolisian yang terlibat dalam tindak pidana narkotika dapat diproses melalui peradilan umum. Adapun mekanismenya selama diproses pada peradilan umum yakni tahap penyelidikan dan penyidikan, tahap penuntutan, pemeriksaan persidangan, putusan pengadilan. Selain itu anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika juga akan ada tambahan lain yaitu dari internal kepolisian sendiri yang berupa penegakan hukum melalui sidang kode etik yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pertanggungjawaban pidana bagi aparat kepolisian yang melakukan tindak pidana narkotika sebagai pengedar yakni diberikan sanksi sesuai dengan Undang – Undang Narkotika serta tidak ada bedanya dengan proses peradilan pada umumnya. Bagi anggota kepolisian yang terlibat tindak pidana narkotika yang sedang disidang pada peradilan umum biasanya status pekerjaannya sebagai anggota kepolisian statusnya sementara dinonaktifkan serta apabila dilakukan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) maka anggota kepolisian tersebut tidak bisa dipertahankan lagi dikarenakan telah merusak institusi polri dalam hal ini melakukan tindak pidana narkotika. Anggota kepolisian yang status pekerjaannya diberhentikan dengan tidak hormat dinyatakan bersalah melalui hasil vonis Pengadilan yang sudah inkrach dan melalui pertimbangan pejabat Polri dalam hal ini Kasie Propam maupun Kapolda yang diatur dalam pasal 12 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003.

Saran

1. Perlu dibuatnya pemeriksaan tes narkoba secara rutin bagi anggota kepolisian demi mengetahui apakah personil tersebut sudah pernah memakai narkotika

2. Instansi kepolisian beserta jajarannya diharapkan agar melakukan pengawasan secara intensif melalui jalur masuk dan keluarnya peredaran narkotika.

3. Memberikan sanksi yang berat kepada aparat kepolisian yang terlibat tindak pidana narkotika karena telah merusak nama institusi kepolisian.

References

  1. Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017.
  2. Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008.
  3. Awaloedin Djamin, Administrasi Kepolisian Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2017.
  4. Asri Wijayanti, Strategi Penulisan Hukum, Bandung: Lubuk Agung, 2011.
  5. Amiruddin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010.
  6. A. Uwiyono, Refleksi Masalah Hukum Perburuhan, Jakarta: Sinar Jaya, 2011.
  7. Bambang Purnomo, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Galia Indonesia, 2020.
  8. B. Siswanto Sastrohadiwiryo, Manajemen Tenaga Kerja Indonesia: Pendekatan Administratif dan Operasional, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2005.
  9. Bachsan Mustafa, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Alumni, 1998.
  10. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2011.
  11. Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
  12. Dominikus Rato, Filsafat Hukum: Suatu Pengantar Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum, Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2010.
  13. Donald Albert Rumokoy, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017.
  14. Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum: Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi, Medan: PT Soft Media, 2016.
  15. Edi Warsidi, Mengenal Bahaya Narkoba, Jakarta: Grafindo Media Pratama, 2006.
  16. Hari Sangka, Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana, Bandung: Mandar Maju, 2017.
  17. Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung: Mandar Maju, 2006.
  18. H. Zainal Asikin dan H. Agusfian Wahab, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008.
  19. Juhaya S. Praja et al., Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: CV Pustaka Setia, 2014.
  20. Kansil, Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika, 2001.
  21. Masruhchin Rubai, Asas-Asas Hukum Pidana, Malang: UMPRES, 2020.
  22. Melani Putri, Tinjauan Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Narkotika, Jakarta: Grafindo, 2016.
  23. M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 2014.
  24. Moch Faisal Salam, Hukum Acara Pidana dalam Teori & Praktek, Bandung: Mandar Maju, 2014.
  25. Muliadi, Teori Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, 2018.
  26. Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera, 2010.
  27. Nurmalawati, Penegakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Jakarta: Erlangga, 2004.
  28. Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Bandung: Refika Ditama, 2005.
  29. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
  30. Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982.
  31. Satjipto Rahardjo, Metode Penelitian Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005.
  32. Soedjono Dirjosisworo, Patologi Sosial, Bandung: Alumni, 2014.
  33. Subagio, Kenali Narkoba serta Jauhi Penggunaannya, Jakarta: Yayasan Karya Bakti, 2018.
  34. Sutan Remy Sjahdeini et al., Penegakan Hukum di Indonesia, Surabaya: Prestasi Pustaka Publisher, 2006.
  35. Soedjono Dirjosisworo, Sejarah dan Asas-Asas Penologi, Bandung: Amrico, 2014.
  36. Soerjono Soekanto, Teori Peranan, Jakarta: Bumi Aksara, 2002.
  37. Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
  38. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, 2006.
  39. Sudarto, Sosiologi Hukum pada Masyarakat, Jakarta: Galia Indonesia, 2019.
  40. Tri Andrisman, Tindak Pidana Khusus di Luar KUHP (Tindak Pidana Ekonomi, Korupsi, Pencucian Uang dan Terorisme), Lampung: Universitas Lampung, 2019.
  41. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
  42. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.
  43. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
  44. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945.
  45. Peraturan Kapolri No. 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  46. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.