General Background: Illegal gold mining has long served as a vital economic lifeline for communities in Lingga Bayu District, Mandailing Natal Regency. Specific Background: Despite its deep-rooted presence and socio-economic significance, such mining activities persist without formal governmental authorization, creating tension between legal norms and community livelihoods. Knowledge Gap: Existing legal enforcement often emphasizes punitive action, yet overlooks the structural socio-economic challenges faced by traditional miners. Aims: This study examines the implementation of criminal law enforcement against illegal gold mining and evaluates the fairness and justice outcomes of Decision Number 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl by the Mandailing Natal District Court. Results: Findings indicate that while law enforcement adheres to normative legal standards and ensures legal certainty, it falls short in delivering substantive justice and long-term legal benefits for local miners. Novelty: The study highlights the misalignment between repressive legal mechanisms and the socio-cultural realities of community-based mining practices, advocating for a shift from a purely legalistic approach to one that is humanistic and transformative. Implications: The research suggests a need for integrative legal reform, including affirmative policies for people's mining legalization, to achieve holistic and sustainable justice for marginalized mining communities.
Highlights:
Highlights the gap between legal enforcement and local socio-economic realities.
Critiques the repressive nature of criminal law against traditional miners.
Proposes a transformative and inclusive legal reform model.
Keywords: Illegal Mining, Law Enforcement, Community Justice, Court Decision, Humanistic Approach
Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan sumber daya tambang yang melimpah. Jenis-jenis tambang yang terdapat di Indonesia antara lain emas, perak, tembaga, batubara, minyak bumi, dan lainnya. Seluruh kekayaan alam tersebut berada di bawah penguasaan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.” Berdasarkan ketentuan ini, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam secara bijaksana agar hasilnya dapat digunakan demi kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan sumber daya alam tersebut adalah melalui kegiatan pertambangan [1].
Dalam UU No. 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, ketentuan tentang pertambangan tanpa izin (illegal mining) tetap diatur, dan pasal yang relevan adalah Pasal 158 yaitu “setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, SIPB atau IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).”
Pertambangan merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup sebagian atau seluruh proses dalam upaya pencarian, pengolahan, dan pemanfaatan sumber daya mineral atau batu bara. Kegiatan ini meliputi penyelidikan awal, eksplorasi, studi kelayakan, pembangunan sarana, penambangan, pengolahan serta pemurnian, pengangkutan, pemasaran, hingga aktivitas setelah tambang ditutup. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menambang diartikan sebagai kegiatan menggali atau mengambil bahan tambang dari dalam tanah. Sementara itu, menurut Abrar Saleng, pertambangan pada dasarnya adalah kegiatan untuk mengekstraksi bahan galian dari dalam bumi [2]. Pertambangan merupakan sektor industri yang berfokus pada pengolahan dan pemisahan mineral berharga dari material lain yang tidak dibutuhkan. Secara prinsip, pengembangan sektor pertambangan dan energi bertujuan untuk mengelola potensi sumber daya mineral dan energi secara efisien dan optimal demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh [3].
Di sektor pertambangan, perolehan mineral yang bernilai ekonomis umumnya dilakukan melalui metode ekstraksi, yakni suatu proses pemisahan antara mineral utama dari batuan serta mineral lain yang tidak dibutuhkan [4]. Mineral-mineral yang tidak diperlukan akan menjadi limbah industri pertambangan dan mempunyai konstribusi yang cukup singnifikan pada pencemaran dan degradasi lingkungan [5]. Industri pertambangan sebagai industri hulu yang menghasilkan sumberdaya mineral dan merupakan sumber bahan baku bagi industri hilir yang diperlukan oleh umat manusia seluruh dunia [6].
Aktivitas pertambangan di Indonesia kerap menjadi sorotan berbagai pihak, termasuk di wilayah Mandailing Natal yang dikenal memiliki potensi sumber daya alam berupa mineral logam emas berkualitas tinggi. Namun, sebagian besar kegiatan pertambangan di daerah ini dilakukan tanpa izin resmi dari pemerintah. Oleh karena itu, persoalan ini seharusnya menjadi perhatian serius dan tanggung jawab Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Mandailing Natal. Hal ini sejalan dengan visi dinas tersebut, yakni mewujudkan kemakmuran masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya galian dan energi yang tetap memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup [6].
Kegiatan penambangan emas tanpa izin dilakukan oleh para penambang dengan memanfaatkan mesin penyedot dan mesin diesel untuk mengangkat pasir serta batuan dari aliran sungai yang diduga mengandung emas. Dalam proses pemisahan emas dari material lainnya, mereka menggunakan air raksa untuk memperoleh butiran emas. Penggunaan bahan kimia ini berdampak negatif terhadap lingkungan, menyebabkan air sungai menjadi keruh, tercemar, dan berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar area penambangan [7].
Pada dasarnya usaha penambangan menimbulkan dapak positif dalam pembangunan Nasional yaitu: meningkatkan devisa Negara, meningkatkan pendapatan daerah, menampung tenaga kerja, dan meningkatkan kondisi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun kegiatan penambangan di Mandailing Natal lebih banyak menimbulkan dampak negatif daripada dampak positif bagi masyarakat seperti para pelaku penambangan emas lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok dan tidak memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Dasar hukum ini menegaskan bahwa setiap aktivitas pertambangan harus memiliki izin yang sah dari pemerintah serta memenuhi aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi.[8] Namun, dalam implementasinya, masih terdapat kendala dalam penegakan hukum terhadap aktivitas pertambangan emas ilegal, termasuk di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara. Pada Kabupaten Mandailing Natal (Madina) merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi tambang emas yang cukup besar. Namun, eksploitasi yang dilakukan oleh oknum tidak bertanggung jawab tanpa izin resmi mengakibatkan berbagai permasalahan, antara lain Aktivitas pertambangan emas ilegal sering menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida yang mencemari sungai dan tanah. Selain itu penebangan hutan secara ilegal untuk membuka lahan tambang meningkatkan risiko bencana alam seperti longsor dan banjir hingga kecelakaan kerja. Hal ini juga menyebabkan masyarakat sekitar banyak yang terlibat dalam pertambangan ilegal karena faktor ekonomi, meskipun tanpa perlindungan hukum yang memadai. Selain itu dampak konflik sosial sering terjadi antara kelompok masyarakat, pemilik modal, dan aparat penegak hukum akibat perebutan lahan tambang. Hal tersebut disebabkan regulasi sudah ada, namun pelaksanaan dan pengawasan hukum masih lemah. Aparat penegak hukum sering kali menghadapi kendala dalam menindak pelaku pertambangan ilegal k arena faktor politik dan ekonomi. Peraturan yang ada belum sepenuhnya efektif dalam mengatasi pertambangan emas ilegal karena kurangnya koordinasi antarinstansi terkait.
Berbagai penelitian sebelumnya telah mengkaji aspek hukum terhadap pertambangan tanpa izin di beberapa daerah. Penelitian oleh Tutuarima et al[6] menyoroti kasus di Ambon dengan temuan bahwa meskipun telah terjadi penangkapan dan proses hukum terhadap pelaku, praktik pertambangan ilegal masih terus berlangsung. Penelitian Putri et al [1] menemukan bahwa upaya penegakan hukum terhadap pertambangan tanpa izin di Kecamatan Singingi masih terkendala kurangnya sarana prasarana serta koordinasi antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Sementara itu, penelitian Ariyanti et al [7] mengungkap bahwa meskipun regulasi mengenai pertambangan pasir ilegal di Parangtritis telah tersedia, penegakan hukum belum berjalan optimal karena kurangnya peran serta masyarakat. Di tingkat regulasi nasional, penelitian Benedikta Bianca Darongke menegaskan bahwa penegakan hukum terhadap pertambangan tanpa izin dapat dilakukan melalui tiga aspek, yaitu hukum administrasi, hukum perdata, dan hukum pidana, namun implementasinya masih menghadapi berbagai tantangan.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian terdahulu dalam mengkaji aspek hukum dalam penanganan pertambangan ilegal, termasuk hambatan implementasi hukum serta dampak sosial dan lingkungan yang ditimbulkan. Namun masih minim kajian yang secara spesifik menelaah kasus di Mandailing Natal melalui pendekatan normatif terhadap putusan pengadilan. Oleh karena itu, penelitian ini memiliki urgensi akademik untuk menganalisis implementasi penegakan hukum pidana terhadap pertambangan emas ilegal di Kecamatan Lingga Bayu serta menilai sejauh mana Putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl telah memberikan rasa keadilan bagi pelaku tambang dan masyarakat secara umum.
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis implementasi penegakan hukum pidana terhadap aktivitas pertambangan emas secara ilegal dan sejauh mana Putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl telah memberikan rasa keadilan bagi pelaku tambang. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi terhadap kebijakan yang lebih efektif dalam menangani persoalan ini serta memperkuat penegakan hukum di sektor pertambangan. Dengan menjawab rumusan masalahnya yaitu Bagaimana implementasi penegakan hukum pidana terhadap aktivitas pertambangan emas secara ilegal di Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal? Dan Apakah putusan pengadilan Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl telah memberikan rasa keadilan bagi pelaku tambang di Kecamatan Lingga Bayu?.
Adapun pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis kualitatif. Penelitian ini menggunakan pendekatan Normatif, Metode ini dipilih karena pendekatan normatif adalah pendekatan yang melihat hukum sebagai norma tertulis atau kaidah (law in the book). Fokus utamanya adalah menganalisis peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas hukum, teori hukum, dan pendapat para ahli hukum.[9]
Dalam penelitian ini sumber data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder [10] terdiri atas:
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat secara langsung, meliputi:
a. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
b. Putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl,
c. Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan.
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan, komentar, dan pendapat para ahli mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari:
a. Jurnal ilmiah nasional terakreditasi,
b. Buku teks hukum pidana dan pertambangan,
c. Laporan hasil penelitian terdahulu.
Kata kunci yang digunakan dalam pencarian bahan hukum sekunder antara lain: “penegakan hukum pidana”, “pertambangan emas ilegal”, “UU Minerba”, “putusan pengadilan pertambangan”, “restorative justice tambang”, dan “konflik hukum sumber daya alam”.
Data dianalisis dengan mengorganisir, menginterpretasi, dan menyimpulkan data yang telah dikumpulkan. Analisis ini dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1. Reduksi Data: Menyaring data yang diperoleh dari literatur.
2. Penyajian Data: Menyusun data dalam bentuk narasi agar lebih mudah dipahami.
3. Penarikan Kesimpulan: Menganalisis pola dan hubungan antara data yang ditemukan untuk menjawab rumusan masalah penelitian [11].
Pendekatan normatif dalam konteks ini mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Pasal 158 dan Pasal 161 UU No. 3 Tahun 2020. Pasal 158 secara tegas menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa IUP, IPR, SIPB atau IUPK dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.”
Dalam kasus Terdakwa Salman, aktivitas penambangan yang dilakukan di wilayah Dusun Pulo Padang, Desa Simpang Durian, Kecamatan Lingga Bayu dilakukan tanpa memiliki izin resmi (IUP). Aktivitas ini terbukti secara nyata melanggar norma hukum pidana dalam UU Minerba dan ditindak melalui jalur hukum pidana sebagaimana putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal.
Dari putusan perkara Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl, Salman dipidana 10 bulan penjara dan denda Rp100 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tidak di baya, maka di ganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan. Putusan ini menandakan bahwa pengadilan telah menerapkan ketentuan pidana secara konkret terhadap pelaku pertambangan tanpa izin yang mengakibatkan korban jiwa.
Namun, dalam implementasinya, ditemukan beberapa kendala normatif dan faktual:
1. Penegakan hukum bersifat kasuistik: aparat baru bertindak setelah terjadi peristiwa serius, seperti longsor yang menewaskan dua orang buruh.
2. Banyak masyarakat lokal terlibat dalam praktik pertambangan ilegal karena kebutuhan ekonomi dan ketiadaan alternatif mata pencaharian.
3. Penambangan ilegal dianggap “tradisi lokal” di Desa Lancat dan sekitarnya, dan telah berlangsung secara turun-temurun tanpa kontrol yang efektif dari pemerintah setempat.
4. Pemerintah desa bahkan tidak mengetahui kegiatan pertambangan yang berlangsung karena dianggap sebagai hal lazim dalam masyarakat.
Meskipun secara normatif putusan ini telah memenuhi unsur formal tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, namun efektivitas dan keadilan substantif dari penegakan hukum ini masih perlu dikritisi. Berdasarkan pendekatan teori hukum Gustav Radbruch, hukum yang adil harus seimbang antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam konteks ini, penjatuhan sanksi terhadap pelaku kecil seperti Salman perlu dilihat dalam konteks sosial yang lebih luas. Dari aspek hukum, ini mencerminkan adanya kesenjangan antara hukum tertulis (law in the book) dan praktik hukum (law in action). Penegakan hukum baru terjadi setelah muncul dampak negatif seperti korban jiwa atau kerusakan lingkungan.
Penerapan Pasal 158 terhadap Terdakwa Salman secara formil memang memenuhi unsur pidana: adanya kegiatan pertambangan tanpa izin yang dilaksanakan oleh perseorangan. Dalam perkara Salman, diketahui bahwa:
1. Ia hanya memperoleh hasil 4 gram emas yang dibagi dua dengan pekerja, dan
2. Usaha ini dilakukan dalam waktu singkat (sekitar 8 hari)
Jika ditinjau dari asas proporsionalitas dalam hukum pidana, maka hukuman yang dijatuhkan memang berat, namun dianggap perlu sebagai deterrent effect agar tidak terjadi pembiaran terhadap kegiatan ilegal yang dampaknya sangat besar bagi lingkungan dan masyarakat.
Meskipun demikian, perlu dipertimbangkan model pendekatan lain, seperti:
1. Pendekatan restoratif bagi pelaku lokal yang termotivasi karena ekonomi;
2. Penguatan pengawasan administratif dan lingkungan sebelum menempuh jalur pidana;
3. Penegakan hukum yang menyeluruh hingga aktor-aktor besar (investor, pengumpul emas ilegal), bukan hanya pelaku kecil di lapangan.
Hal ini mencerminkan adanya ketimpangan antara norma hukum tertulis (law in the book) dan kenyataan sosial (law in action), sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound. Penegakan hukum yang bersifat represif dan kasuistik, yang hanya dilakukan setelah terjadi korban jiwa akibat longsor, menunjukkan bahwa aparat penegak hukum belum memiliki pendekatan yang proaktif dan preventif dalam menangani pertambangan ilegal.
Putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl menjatuhkan pidana kepada terdakwa Salman berupa:
1. Pidana penjara 10 (sepuluh) bulan, serta.
2. Denda Rp 100.000.000, dengan ketentuan apabila pidana denda tidak di baya, maka di ganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.
3. Disertai perampasan dan pemusnahan alat-alat tambang, seperti mesin diesel, spiral, dan karpet.
Tindak pidana yang dikenakan adalah melanggar Pasal 161 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, yang menyasar pihak yang menampung, mengolah, atau menjual mineral tanpa izin resmi dari negara.
Terdakwa terbukti tidak memiliki izin usaha pertambangan (IUP, IPR, atau SIPB) dan melakukan aktivitas penambangan di lokasi Dusun Pulo Padang, Kecamatan Lingga Bayu secara ilegal. Bahkan, peristiwa ini menimbulkan dua korban jiwa akibat longsor, memperkuat unsur membahayakan keselamatan umum.
Dalam pendekatan normatif, keadilan dinilai berdasarkan kepatuhan terhadap norma hukum positif serta tujuan hukum: keadilan, kepastian, dan kemanfaatan (Gustav Radbruch). Mari kita uraikan:
1. Aspek Kepastian Hukum
Putusan ini secara formil telah sesuai dengan pasal-pasal dalam UU Minerba, khususnya:
1) Pasal 35: Setiap kegiatan penambangan harus berdasarkan izin,
2) Pasal 158 dan 161: Penambangan tanpa izin dikenai pidana.
Dengan demikian, putusan ini memberikan kepastian hukum, bahwa aktivitas penambangan tanpa izin tetap dikategorikan sebagai tindak pidana.
2. Aspek Keadilan
Dari sisi hukum positif, terdakwa telah melanggar norma dan layak dihukum. Namun, secara sosiologis, banyak masyarakat Kecamatan Lingga Bayu menggantungkan hidupnya dari aktivitas penambangan tradisional/ilegal karena keterbatasan ekonomi dan tidak adanya pembinaan atau akses legalisasi.
Bukti di persidangan menunjukkan:
1) Terdakwa tidak bertindak sendirian; aktivitas menambang dilakukan bersama masyarakat.
2) Penambangan dilakukan di lokasi bekas tambang resmi (eks M3), tanpa pengetahuan Kepala Desa.
3) Praktik ini turun-temurun dan dianggap wajar oleh warga, meski tidak memiliki izin.
Namun, adanya korban jiwa dan kerusakan lingkungan menunjukkan bahwa walau pertambangan rakyat berakar dari kebutuhan hidup, risiko sosial dan ekologisnya sangat besar jika tidak dikelola sesuai peraturan.
Oleh karena itu, dari perspektif keadilan substantif, putusan ini bisa dirasakan kurang adil bagi terdakwa dan masyarakat secara umum, karena:
1) Negara belum menyediakan mekanisme perizinan yang mudah dan terjangkau bagi penambang tradisional.
2) Penegakan hukum dilakukan secara represif tanpa pendekatan edukatif atau alternatif legalisasi tambang rakyat.
3. Aspek Kemanfaat
Putusan ini diharapkan memberikan efek jera dan mencegah praktik tambang ilegal. Namun, tanpa upaya sistematis dari negara untuk:
1) Mendorong tambang rakyat berizin,
2) Melibatkan masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan tambang legal,
3) Melindungi pekerja tambang dari kecelakaan kerja.
Penegakan hukum pidana terhadap pertambangan emas ilegal di Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal, menunjukkan dinamika kompleks antara penerapan hukum positif dan realitas sosial masyarakat setempat. Pendekatan normatif yang digunakan dalam penelitian ini menitikberatkan pada keberlakuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), khususnya Pasal 158 dan Pasal 161, yang secara tegas mengatur bahwa setiap orang yang melakukan kegiatan penambangan tanpa izin usaha resmi (IUP, IPR, SIPB, atau IUPK) dapat dikenai pidana penjara maksimal lima tahun dan denda maksimal seratus miliar rupiah. Ketentuan ini diciptakan untuk memberikan kepastian hukum dan melindungi sumber daya alam yang dikuasai negara demi kemakmuran rakyat.
Dalam kasus Terdakwa Salman, sebagaimana termuat dalam Putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl, terlihat bahwa ketentuan hukum tersebut telah diterapkan secara konkret. Salman terbukti melakukan penambangan emas tanpa izin di lokasi Dusun Pulo Padang, Kecamatan Lingga Bayu, dengan menggunakan peralatan mekanik dan mempekerjakan buruh. Aktivitas ini berlangsung selama kurang lebih delapan hari dan menghasilkan sekitar empat gram emas yang dibagi dua antara pemilik alat (terdakwa) dan para pekerja. Majelis Hakim kemudian menjatuhkan pidana penjara selama sepuluh bulan, denda sebesar seratus juta rupiah dengan ketentuan apabila pidana denda tidak di baya, maka di ganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan, serta memerintahkan perampasan dan pemusnahan barang bukti berupa peralatan tambang.
Secara normatif, putusan ini telah memberikan kepastian hukum karena dilandasi oleh norma yang berlaku dan memenuhi unsur pidana formil maupun materiil.[12] Namun demikian, jika dianalisis lebih jauh melalui teori hukum Gustav Radbruch yang menekankan keseimbangan antara keadilan, kepastian, dan kemanfaatan, maka akan tampak adanya ketimpangan dalam dimensi keadilan substantif dan kemanfaatan hukum [13]. Meskipun secara legalistik terdakwa pantas dihukum, tetapi latar belakang sosial dan ekonomi pelaku perlu menjadi pertimbangan dalam penjatuhan sanksi.
Masyarakat Lingga Bayu dikenal menggantungkan hidup dari aktivitas tambang emas rakyat secara turun-temurun. Pertambangan dilakukan secara tradisional dan seringkali tanpa pengetahuan atau pengawasan dari pemerintah desa. Bahkan dalam persidangan terungkap bahwa aktivitas tersebut dianggap lazim dan telah menjadi bagian dari kultur lokal. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara “law in the book” dan “law in action” sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound, di mana norma hukum tertulis tidak selalu sejalan dengan hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat.[14] Selain itu, berdasarkan teori efektivitas hukum Soerjono Soekanto, faktor masyarakat dan budaya hukum menjadi kunci penting dalam keberhasilan penegakan hukum [15]. Tanpa pemahaman hukum dan akses terhadap legalitas, masyarakat akan terus melakukan praktik yang secara hukum dilarang, namun secara sosial diterima.
Dalam konteks ini, penerapan hukum pidana terhadap Salman cenderung bersifat represif dan tidak disertai dengan pendekatan edukatif atau preventif. Penegakan hukum baru dilakukan setelah terjadi peristiwa tragis berupa longsor yang menewaskan dua orang pekerja. Ini menunjukkan bahwa aparat penegak hukum bersifat reaktif dan kasuistik, bukan proaktif dalam mencegah pelanggaran melalui pembinaan atau pengawasan. Padahal, hukum pidana seharusnya bersifat ultimum remedium, yakni menjadi pilihan terakhir ketika pendekatan administratif dan perdata tidak lagi efektif.
Di sisi lain, aspek keadilan distributif sebagaimana diajarkan Aristoteles menuntut agar sanksi hukum mempertimbangkan peran dan kontribusi pelaku. Dalam hal ini, Salman adalah pelaku kecil yang melakukan penambangan dalam skala terbatas, bukan investor besar yang mengeksploitasi tambang secara masif. Oleh karena itu, pendekatan hukum yang lebih bijak adalah dengan mengedepankan alternatif penegakan seperti restorative justice dan pemberian akses terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) untuk legalisasi tambang rakyat. Langkah ini akan memberi jalan keluar hukum bagi masyarakat tanpa harus menjadikan penjara sebagai satu-satunya solusi.
Lebih jauh, dari perspektif kemanfaatan hukum (utility), putusan ini belum menyentuh akar permasalahan. Hukuman penjara terhadap Salman tidak serta-merta menghapus praktik tambang ilegal di Lingga Bayu. Tanpa pembinaan dan pemberdayaan masyarakat, potensi terulangnya pelanggaran tetap tinggi. Bahkan, tindakan hukum yang menyasar pelaku kecil bisa menimbulkan resistensi sosial dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Oleh karena itu, negara perlu menerapkan strategi yang menyeluruh: dari legalisasi tambang rakyat, penguatan pengawasan lingkungan, hingga penindakan terhadap jaringan pemodal dan pembeli emas ilegal.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap pertambangan ilegal tidak cukup hanya melalui pendekatan represif. Diperlukan pendekatan hukum yang lebih holistik dan humanistik, antara lain:
1. Legalitas Tambang Rakyat
Pemerintah perlu membuka ruang legalisasi melalui pemberian Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang mudah diakses, murah, dan sesuai dengan kemampuan masyarakat lokal.
2. Restorative Justice dan Pembinaan
Pendekatan restorative justice dapat diterapkan terhadap pelaku kecil agar mereka tidak serta-merta dikriminalisasi. Pembinaan dan edukasi hukum harus menjadi bagian dari strategi preventif negara.
3. Penindakan Aktor Besar dan Pemodal
Penegakan hukum harus menyasar pemodal besar, penadah emas ilegal, serta jaringan distribusi agar efek jera tidak hanya dirasakan oleh pelaku lapangan.
4. Pengawasan Terpadu dan Sinergis
Koordinasi antara dinas pertambangan, aparat penegak hukum, dan pemerintah desa harus diperkuat agar aktivitas tambang ilegal dapat diawasi sejak dini.
Dengan demikian, meskipun Putusan Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl secara normatif sah dan berlandaskan hukum positif, namun dari perspektif keadilan sosial dan keefektifan penegakan hukum, putusan ini belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat tambang tradisional. Diperlukan pergeseran paradigma penegakan hukum yang tidak hanya represif, tetapi juga transformatif dan solutif, dengan mengedepankan keadilan yang humanistik dan berpihak pada rakyat kecil tanpa mengabaikan perlindungan terhadap lingkungan dan supremasi hukum.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa penegakan hukum pidana terhadap aktivitas pertambangan emas ilegal di Kecamatan Lingga Bayu, Kabupaten Mandailing Natal telah dilakukan sesuai dengan ketentuan normatif dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Putusan Pengadilan Negeri Mandailing Natal Nomor 153/Pid.Sus/2023/PN Mdl terhadap Terdakwa Salman mencerminkan penerapan hukum secara formil melalui pidana penjara dan denda sesuai pelanggaran yang dilakukan.
Namun demikian, secara substantif, penegakan hukum ini belum sepenuhnya mewujudkan keadilan sosial. Hukuman terhadap pelaku kecil yang melakukan tambang karena kebutuhan ekonomi tanpa adanya pembinaan atau akses legalisasi mencerminkan lemahnya pendekatan humanistik dalam sistem peradilan. Penegakan hukum masih bersifat represif dan kasuistik, tidak disertai dengan upaya preventif dan edukatif yang menyentuh akar masalah sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat.
Oleh karena itu, dibutuhkan reformulasi strategi penegakan hukum yang tidak hanya fokus pada aspek pidana, tetapi juga memperhatikan pendekatan restoratif, legalisasi tambang rakyat, pengawasan terpadu, serta tindakan tegas terhadap aktor besar yang terlibat dalam jaringan tambang ilegal. Dengan pendekatan yang lebih transformatif dan solutif, keadilan hukum dapat diwujudkan secara lebih menyeluruh dan berpihak pada masyarakat kecil tanpa mengabaikan perlindungan lingkungan dan supremasi hukum.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Universitas Islam Negeri Sumatera Utara yang telah memberikan peneliti kesempatan menempuh pendidikan hingga selesai, terima kasih pula kepada kedua orang tua peneliti yang telah banyak berkontribusi membatu peneliti menyelesaikan penelitian ini. Kepada bapak Dr. Budi Sastra Panjaitan, S.H., M.Hum terima kasih telah membimbing peneliti hingga tahap akhir. Dan kepada pihak pemerintah Kabupaten Mandeling Natal peneliti ucapkan terima kasih telah memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di daerah tersebut.