Notarial Law
DOI: 10.21070/jihr.v13i2.1067

Appointment of Notaries under Indonesian and Singaporean Law


Pengangkatan Notaris dalam Hukum Indonesia dan Singapura

Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara
Indonesia
Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara
Indonesia

(*) Corresponding Author

Notary Appointment Comparative Law Civil Law Common Law Legal System

Abstract

General Background: Notaries play a vital role in society by providing legal certainty through authentic deeds. Specific Background: However, their status and appointment processes vary significantly depending on the legal system of a country. Knowledge Gap: There is limited comparative analysis regarding the appointment of notaries in civil law countries like Indonesia and common law countries like Singapore. Aims: This study aims to analyze and compare the legal frameworks governing the appointment of notaries in Indonesia and Singapore, highlighting their differences, similarities, strengths, and weaknesses. Results: The findings reveal significant differences in the appointment process, requirements, and supervisory authority. In Indonesia, notaries are appointed by the Minister of Law and Human Rights based on Law No. 2 of 2014, while in Singapore, the appointment is conducted by the Senate of the Singapore Academy of Law under the Notaries Public Act Chapter 208. Novelty: This study offers a focused comparative analysis of notarial appointment processes within two distinct legal traditions—civil law and common law—which is rarely addressed in previous literature. Implications: The results provide practical insights for legal practitioners and policymakers in Indonesia and offer considerations for improving the notarial appointment system in line with global best practices.

Highlights:

  • Highlights the structural differences in notary appointments between Indonesia and Singapore.

  • Reveals the impact of legal traditions (civil vs. common law) on notarial authority.

  • Provides insights to improve Indonesia’s notarial appointment process.

 

Keywords: Notary Appointment, Comparative Law, Civil Law, Common Law, Legal System

Pendahuluan

Profesi notaris memiliki peran strategis dalam menciptakan kepastian hukum di tengah masyarakat yang semakin kompleks [1]. Di era globalisasi dan integrasi ekonomi saat ini, kebutuhan akan pelayanan hukum yang berkualitas semakin meningkat, termasuk peran notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik [2]. Namun demikian, sistem pengangkatan notaris di berbagai negara tidak seragam, yaitu bergantung pada sistem hukum yang dianut. Indonesia sebagai negara dengan tradisi civil law memiliki mekanisme pengangkatan notaris yang diatur secara rinci dalam undang-undang [3]. Di sisi lain, Singapura sebagai negara common law menerapkan sistem pengangkatan notaris yang lebih fleksibel dan berbasis pada profesionalisme pengacara [4]. Perbedaan tersebut memberikan peluang untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing sistem. Pemahaman ini penting sebagai dasar untuk pengembangan reformasi hukum di Indonesia agar lebih adaptif terhadap tantangan zaman.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) merupakan dasar hukum utama pengangkatan notaris di Indonesia [5]. Dalam Pasal 2 ayat (1) UUJN ditegaskan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan [6]. Pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM (dalam nomenklatur terakhir disebut sebagai Menteri Hukum), setelah calon notaris memenuhi syarat administratif dan substantif, serta lulus seleksi [7]. Proses ini dirancang untuk memastikan integritas dan kompetensi para notaris sebagai penjaga legalitas transaksi hukum masyarakat. Namun di sisi lain, proses yang panjang dan birokratis sering menjadi hambatan tersendiri dalam regenerasi profesi ini. Dalam praktiknya, sering ditemui ketimpangan antara kebutuhan notaris di daerah tertentu dengan jumlah formasi yang tersedia. Hal ini menimbulkan ketidakmerataan akses pelayanan hukum di berbagai wilayah Indonesia.

Berbeda dengan Indonesia, pengangkatan notaris di Singapura diatur dalam Notaries Public Act (Chapter 208). Berdasarkan Section 3(1) dari aturan tersebut, pengangkatan notaris dilakukan oleh Senate of the Singapore Academy of Law, yang memberikan kewenangan kepada pengacara berpraktik untuk diangkat sebagai notaris publik [8]. Tidak ada kewajiban untuk menjalani magang atau ujian tambahan, karena notaris di Singapura biasanya adalah pengacara senior yang telah memiliki reputasi dan pengalaman [9]. Sistem ini memberikan efisiensi dan fleksibilitas dalam pengangkatan pejabat notaris. Pengawasan dilakukan oleh komunitas profesi yang terintegrasi dalam Singapore Academy of Law, yang secara aktif mengatur etika dan standar profesi [10]. Dalam konteks ini, notaris di Singapura lebih berfungsi sebagai notary public, yakni petugas yang berwenang untuk mengesahkan tanda tangan, menerbitkan affidavit, dan melegalisasi dokumen [8]. Hal ini menunjukkan bahwa peran notaris di Singapura relatif lebih terbatas dibandingkan notaris di Indonesia.

Perbedaan pendekatan tersebut mencerminkan karakteristik filosofis yang berbeda antara sistem hukum civil law dan common law. Sistem civil law seperti di Indonesia, menekankan pada aturan tertulis, proseduralisme, dan peran notaris yang luas sebagai pencipta akta autentik dengan kekuatan hukum yang tinggi, sedangkan dalam tradisi common law, notaris merupakan bagian dari profesi hukum yang lebih fleksibel dan berfokus pada validasi formal terhadap dokumen yang akan digunakan lintas yurisdiksi. Pendekatan ini memberikan kelebihan dan kelemahan tersendiri bagi masing-masing sistem. Di Indonesia, perlindungan hukum masyarakat lebih kuat melalui peraturan yang jelas, namun proses pengangkatan yang birokratis seringkali tidak sejalan dengan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Sebaliknya, Singapura dengan sistem yang adaptif mampu merespon kebutuhan komersial dan internasional dengan lebih gesit, meskipun ada risiko ketidakseragaman standar profesi [4].

Dalam konteks globalisasi, peran notaris menjadi semakin penting, terutama dalam transaksi lintas negara yang memerlukan keabsahan dokumen di berbagai yurisdiksi. Sistem pengangkatan yang responsif dan efisien menjadi tuntutan agar notaris dapat beradaptasi dengan dinamika pasar global. Singapura telah menunjukkan kemajuan dalam hal ini, melalui reformasi hukum yang mempermudah proses pengangkatan notaris tanpa mengorbankan integritas profesi. Di Indonesia, berbagai upaya reformasi tengah dilakukan, termasuk pengembangan sistem pengawasan berbasis Majelis Pengawas yang lebih terintegrasi. Namun, tantangan masih tetap ada, terutama dalam hal peningkatan efisiensi dan transparansi proses pengangkatan. Ketidakseimbangan jumlah notaris antar wilayah dan keterbatasan akses pendidikan kenotariatan juga menjadi isu penting yang perlu mendapat perhatian [11].

Pengangkatan notaris yang baik harus memenuhi tiga prinsip utama: efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Ketiga prinsip ini saling terkait dan menentukan kualitas profesi notaris di mata publik. Indonesia masih perlu memperbaiki aspek efisiensi dan transparansi dalam mekanisme pengangkatan notaris. Proses yang panjang dan berbelit-belit membuka celah terjadinya praktik koruptif atau nepotisme. Sebaliknya, Singapura dengan sistem yang efisien dan berbasis profesionalisme pengacara berhasil menjaga kepercayaan publik terhadap profesi notaris. Hal ini menunjukkan bahwa reformasi pengangkatan notaris di Indonesia tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus mencakup seluruh aspek dari proses administrasi, pengawasan, hingga pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM).

Selain itu, terdapat perbedaan yang mencolok dalam pengaturan formasi jabatan notaris di kedua negara. Di Indonesia, penetapan formasi notaris dilakukan oleh Kementerian Hukum dan HAM berdasarkan kebutuhan wilayah. Hal ini bertujuan untuk menghindari penumpukan notaris di satu daerah dan kekurangan di daerah lain. Namun, proses penetapan formasi yang lambat seringkali menghambat regenerasi profesi, sementara kebutuhan masyarakat terhadap layanan hukum terus meningkat. Di Singapura, tidak ada pembatasan formasi secara ketat, pengangkatan dilakukan berdasarkan kebutuhan pasar. Fleksibilitas ini memungkinkan sistem di Singapura lebih responsif terhadap dinamika ekonomi dan kebutuhan hukum masyarakat [12].

Faktor lain yang turut membedakan sistem pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura adalah pengawasan profesi. Di Indonesia, pengawasan dilakukan secara berjenjang melalui Majelis Pengawas Daerah, Wilayah, dan Pusat. Setiap tingkatan memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan preventif, represif, dan korektif terhadap notaris [13]. Namun, kelemahan sistem ini adalah kurangnya sinergi antara lembaga pengawas dengan organisasi profesi notaris. Di Singapura, pengawasan dilakukan secara terintegrasi oleh Singapore Academy of Law. Sistem ini lebih efisien karena pengawasan dilakukan oleh komunitas profesi yang memiliki pemahaman mendalam terhadap kebutuhan dan tantangan profesi notaris. Perbedaan sistem hukum ini memberikan efek yang berbeda pada proses pengangkatan notaris di kedua negara tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) permasalahan hukum yang timbul akibat adanya perbedaan tersebut, yaitu bagaimana persamaan dan perbedaan proses pengangkatan notaris di kedua negara tersebut dan apa saja kelebihan serta kelemahan masing-masing sistem hukum pada kedua negara tersebut terhadap mekanisme pengangkatan notaris.

Penelitian terkait pengangkatan notaris telah banyak dilakukan. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh R.A. Kurniawan dan R.E. Latumahina (2025) dalam artikel berjudul “Tanggung Jawab Notaris Terhadap Penyimpanan Akta Notariil Secara Elektronik Ditinjau Dalam Perspektif Perundang-Undangan di Indonesia” menjadi salah satu studi yang relevan. Objek penelitian ini adalah praktik penyimpanan akta notariil elektronik oleh notaris di Indonesia dalam konteks perkembangan hukum digital. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesesuaian praktik tersebut dengan ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris serta mengidentifikasi kelemahan regulasi yang ada. Metode penelitian yang digunakan adalah metode hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan literatur hukum terkait. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat ketidakharmonisan antara praktik di lapangan dengan peraturan yang ada, sehingga dibutuhkan pembaruan regulasi. Rekomendasi yang diajukan adalah perlunya penguatan instrumen hukum terkait keamanan dan keabsahan penyimpanan elektronik agar sejalan dengan prinsip perlindungan hukum masyarakat [14].

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh S. Abdillah, N. Ghapa, dan M. Makhtar (2025) berjudul “Cyber Notary: Sebuah Analisis Tematik dari Studi Kasus di Inggris dan Singapura”. Objek penelitian ini adalah pengembangan konsep cyber notary di Inggris dan Singapura serta implikasinya bagi sistem hukum digital. Tujuan penelitian adalah untuk mengidentifikasi keunggulan regulasi cyber notary di kedua negara sebagai model penguatan sistem hukum digital. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan tematik dan studi kasus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Singapura memiliki regulasi yang lebih matang dan aman dalam penerapan cyber notary, berbeda dengan Indonesia yang belum sepenuhnya mengadopsi model serupa. Rekomendasi penelitian ini mendorong negara-negara civil law seperti Indonesia untuk mempercepat pengembangan regulasi cyber notary yang modern dan aman [15].

Kebaruan penelitian ini terletak pada analisis komparatif terhadap sistem pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura, yang secara spesifik mengaitkan pengaruh sistem hukum civil law dan common law terhadap mekanisme pengangkatan tersebut. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang berfokus pada aspek digitalisasi layanan notaris atau tanggung jawab penyimpanan akta, penelitian ini memetakan kekuatan dan kelemahan sistem pengangkatan notaris dari aspek prosedural, substansial, dan filosofis. Melalui pendekatan ini, diharapkan diperoleh gambaran yang lebih komprehensif mengenai bagaimana sistem hukum yang berbeda membentuk karakter pengangkatan notaris. Selain itu, penelitian ini mengedepankan rekomendasi yang kontekstual agar pengangkatan notaris di Indonesia lebih adaptif terhadap tantangan global. Hal ini menjadikan penelitian ini memiliki kontribusi teoritis dan praktis yang signifikan bagi pengembangan hukum nasional.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan membandingkan mekanisme pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura dalam perspektif sistem hukum yang dianut kedua negara tersebut. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan dari masing-masing sistem, baik dari aspek normatif, prosedural, maupun efektivitas implementasi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan memberikan masukan konstruktif bagi perbaikan sistem pengangkatan notaris di Indonesia agar lebih efisien, transparan, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi pembuat kebijakan, akademisi, serta praktisi hukum dalam upaya reformasi pengangkatan notaris di Indonesia. Secara lebih luas, penelitian ini juga bertujuan memperkaya khazanah keilmuan dalam studi perbandingan hukum.

Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yang bertujuan untuk mengkaji norma-norma hukum yang mengatur pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura. Penelitian normatif dipilih karena fokus kajian terletak pada peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, dan praktik pengangkatan notaris dalam kerangka sistem hukum masing-masing negara. Dengan demikian, penelitian ini akan menggali dan menganalisis berbagai ketentuan hukum tertulis yang berlaku baik di Indonesia maupun di Singapura. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan bahan hukum sekunder berupa literatur, artikel ilmiah, dan hasil studi terdahulu yang relevan. Semua bahan hukum yang diperoleh akan dikaji secara sistematis guna memberikan gambaran yang komprehensif terkait topik penelitian.

Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) guna menjawab permasalahan hukum yang diteliti dan pendekatan komparatif (comparative approach) yang bertujuan untuk mengidentifikasi persamaan dan perbedaan antara sistem pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura. Dengan pendekatan ini, penelitian dapat mengevaluasi bagaimana karakteristik masing-masing sistem hukum, yakni civil law di Indonesia dan common law di Singapura, mempengaruhi mekanisme pengangkatan notaris. Melalui pendekatan ini pula, dapat dilakukan penilaian kritis terhadap kelebihan dan kelemahan dari masing-masing sistem hukum. Pendekatan perbandingan juga memungkinkan peneliti untuk memberikan rekomendasi yang berbasis pada praktik terbaik dari kedua negara. Hasil dari analisis perbandingan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan sistem hukum di Indonesia.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi pustaka dengan menelusuri peraturan perundang-undangan, buku teks hukum, jurnal ilmiah, artikel, dan dokumen resmi lainnya yang berkaitan dengan pengangkatan notaris di kedua negara. Peneliti mengakses berbagai sumber hukum primer seperti Undang-Undang Jabatan Notaris di Indonesia dan Notaries Public Act di Singapura. Selain itu, bahan hukum sekunder dari literatur akademik dan hasil penelitian sebelumnya digunakan untuk memperkaya pemahaman dan analisis. Proses pengumpulan data dilakukan secara cermat untuk memastikan keakuratan dan relevansi sumber yang digunakan. Semua data yang diperoleh kemudian diorganisasi secara sistematis agar memudahkan proses analisis.

Teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan metode analisis deskriptif dan komparatif. Data yang telah dikumpulkan dianalisis untuk menggambarkan secara jelas dan rinci ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura. Selanjutnya, dilakukan perbandingan antara kedua sistem hukum untuk menilai aspek kelebihan, kelemahan, dan relevansi praktik pengangkatan notaris. Analisis ini dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku serta teori-teori hukum yang relevan. Hasil analisis diharapkan memberikan pemahaman yang mendalam dan kritis tentang topik yang diteliti.

Hasil dan Pembahasan

A. Pengangkatan Notaris di Indonesia dan Singapura

Profesi notaris memiliki peran penting dalam menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat [16]. Melalui akta autentik yang dibuat, notaris memberikan nilai pembuktian yang kuat di hadapan hukum [17]. Namun, proses pengangkatan notaris sangat dipengaruhi oleh sistem hukum yang berlaku di suatu negara. Indonesia menganut sistem civil law, sementara Singapura mengikuti tradisi common law. Perbedaan sistem ini memunculkan mekanisme pengangkatan yang berbeda di kedua negara tersebut.

Dasar hukum pengangkatan notaris di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) [18]. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini [19].” Proses pengangkatan dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (berdasarkan nomenklatur terakhir disebut Menteri Hukum). Pelaksanaannya diawali dengan seleksi administrasi, uji kompetensi, hingga pengangkatan resmi [20]. Mekanisme ini bertujuan memastikan integritas dan kompetensi notaris.

Pasal 3 UUJN menyatakan bahwa syarat seseorang untuk dapat diangkat menjadi notaris adalah : a. Warga Negara Indonesia; b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d. Sehat jasmani dan rohani yang dinyatakan dengan surat keterangan sehat dari dokter dan psikiater; e. Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f. Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris paling singkat 24 (dua puluh empat) bulan secara berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; g. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris; dan h. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih [21]. Proses ini menunjukkan pentingnya kualifikasi akademik dan pengalaman praktis. Tujuannya adalah menghasilkan notaris yang profesional dan beretika.

UUJN juga mengatur formasi jabatan notaris yang mempertimbangkan kebutuhan wilayah. Berdasarkan Pasal 4 UUJN, Menteri Hukum dan HAM (berdasarkan nomenklatur terakhir disebut Menteri Hukum) menentukan jumlah formasi notaris untuk setiap daerah [22]. Mengacu pada Pasal 1 angka 2 Permenkumham Nomor 19 Tahun 2021, yang dimaksud dengan formasi jabatan notaris adalah jumlah notaris yang diperlukan di suatu kabupaten atau kota. Sementara itu, Pasal 1 angka 3 dalam peraturan yang sama menyebutkan bahwa kategori daerah merupakan klasifikasi wilayah kedudukan notaris yang didasarkan pada formasi jabatan tersebut . Kebijakan ini bertujuan menghindari kelebihan atau kekurangan jumlah notaris. Proses administrasi dilakukan secara transparan melalui pengumuman formasi. Dengan demikian, pengangkatan notaris memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan kompetensi calon.

Di Singapura, pengangkatan notaris diatur dalam Notaries Public Act (Chapter 208). Berdasarkan Section 3(1), “The Senate of the Singapore Academy of Law may appoint practising advocates and solicitors as notaries public for Singapore.” Artinya, hanya pengacara berpraktik yang dapat diangkat sebagai notaris. Proses pengangkatan bersifat administratif dan tidak melibatkan ujian tambahan. Dengan demikian, pengacara yang telah memiliki reputasi baik dapat diangkat sebagai notaris. Masa jabatan notaris di Singapura bersifat terbatas. Section 4 menyatakan: “A notary public shall hold office for such period as may be specified in the appointment, subject to renewal.” Artinya, masa jabatan ditetapkan dan dapat diperpanjang. Berbeda dengan Indonesia, jabatan notaris di Singapura tidak berlaku seumur hidup. Sistem ini memberikan fleksibilitas bagi lembaga pengangkatan untuk mengevaluasi kinerja secara berkala.

Pengawasan notaris di Indonesia dilakukan oleh Majelis Pengawas Notaris [23]. Hal ini diatur dalam Pasal 67–70 UUJN. Majelis bertugas mengawasi pelaksanaan jabatan dan perilaku notaris [24]. Mekanisme pengawasan bersifat formal dan melibatkan berbagai tingkatan pengawas. Tujuannya adalah menjaga kualitas dan akuntabilitas profesi notaris. Sebaliknya, di Singapura, pengawasan dilakukan oleh Singapore Academy of Law. Lembaga ini bertindak sebagai otoritas profesional bagi pengacara sekaligus notaris. Pengawasan lebih bersifat etik dan berbasis komunitas professional [8]. Singapura tidak memiliki badan pengawas khusus seperti di Indonesia. Hal ini mencerminkan filosofi common law yang lebih menekankan pengawasan oleh profesi itu sendiri.

Persamaan antara kedua negara tersebut terletak pada peran sentral lembaga negara atau asosiasi profesi dalam pengangkatan notaris. Baik Indonesia maupun Singapura mensyaratkan integritas moral dan kualifikasi akademik. Pengangkatan notaris juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, kedua negara menekankan pentingnya pengawasan. Hal ini bertujuan menjaga profesionalisme dan kepercayaan publik.

Meskipun demikian, terdapat perbedaan yang signifikan antara keduanya. Di Indonesia, proses pengangkatan lebih birokratis dan prosedural, dengan mewajibkan calon notaris untuk mengikuti magang dan serangkaian ujian yang ketat. Sebaliknya, di Singapura, mekanisme pengangkatan lebih sederhana dan berbasis pengalaman praktik. Ini sesuai dengan karakter common law yang lebih pragmatis.

Sistem hukum mempengaruhi lingkup kewenangan notaris. Di Indonesia, notaris memiliki kewenangan luas untuk membuat berbagai jenis akta autentik. Sedangkan di Singapura, peran notaris lebih terbatas pada legalisasi dokumen dan penerbitan affidavit [25]. Hal ini mencerminkan pendekatan common law yang mengandalkan preseden dan peran pengadilan, berbeda dengan civil law yang lebih menekankan peran notaris dalam menciptakan dokumen yang sah secara hukum [26].

Pengawasan juga mencerminkan perbedaan sistem hukum. Indonesia menggunakan mekanisme formal melalui Majelis Pengawas, sementara di Singapura pengawasan dilakukan dalam kerangka etika profesi. Filosofi common law lebih mengutamakan pengawasan berbasis reputasi. Hal ini memberikan fleksibilitas tetapi juga menuntut tanggung jawab profesional yang tinggi.

Formasi jabatan di Indonesia diatur secara ketat. Pemerintah menentukan jumlah notaris di setiap wilayah. Sementara di Singapura, tidak ada pembatasan formasi berdasarkan wilayah. Pengangkatan dilakukan sesuai kebutuhan praktis pasar hukum. Ini menunjukkan fleksibilitas sistem common law dalam merespons dinamika ekonomi.

Persamaan penting lainnya adalah kedudukan moral dan etika notaris. Di kedua negara, notaris dipandang sebagai profesi yang harus menjunjung tinggi integritas. Peran notaris sebagai penjaga kepastian hukum sangat dihargai. Oleh karena itu, standar etika yang tinggi tetap menjadi perhatian utama. Ini mencerminkan nilai universal profesi notaris.

Proses pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura dipengaruhi karakteristik sistem hukum masing-masing. Indonesia dengan civil law menekankan aturan tertulis, proseduralisme, dan pengawasan formal. Singapura dengan common law lebih mengutamakan fleksibilitas dan pengawasan berbasis profesi. Kedua sistem memiliki kelebihan dan tantangan tersendiri, sehingga pemahaman terhadap perbedaan ini menjadi penting bagi pengembangan profesi notaris di masing-masing negara tersebut. Di Indonesia, urgensi untuk meningkatkan efisiensi dalam proses pengangkatan notaris dapat dijawab melalui integrasi sistem pengawasan yang melibatkan asosiasi profesi secara lebih aktif. Sementara itu, Singapura berpotensi untuk memperluas kewenangan notaris seiring dengan meningkatnya kebutuhan bisnis global. Di tengah dinamika hukum internasional, kolaborasi antar negara dalam bidang kenotariatan juga perlu diperkuat guna memastikan peran notaris tetap relevan dan berdaya saing di era globalisasi.

B. Kelebihan dan Kelemahan Pengangkatan Notaris di Indonesia dan Singapura

Pengangkatan notaris sebagai pejabat publik diatur secara ketat oleh sistem hukum masing-masing negara. Mekanisme tersebut tidak hanya mencerminkan prosedur administratif, tetapi juga mencerminkan filosofi hukum yang mendasarinya. Indonesia sebagai negara civil law menempatkan notaris sebagai bagian dari sistem hukum negara. Sementara itu, Singapura dengan sistem common law menjadikan notaris sebagai bagian dari profesi hukum yang lebih fleksibel. Perbedaan ini menghasilkan kelebihan dan kelemahan yang unik dalam pengangkatan notaris.

Di Indonesia, dasar hukum pengangkatan notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 yang mengubah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Proses pengangkatan dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM (berdasarkan nomenklatur terakhir disebut Menteri Hukum) setelah calon memenuhi persyaratan administratif dan substantif. Calon notaris wajib mengikuti pendidikan magister kenotariatan, magang, dan lulus ujian. Prosedur ini dirancang untuk menjamin kualitas dan integritas notaris. Namun, sistem ini dikenal cukup birokratis dan panjang. Sebaliknya, Singapura mengatur pengangkatan notaris melalui Notaries Public Act (Chapter 208). Proses pengangkatan dilakukan oleh Senate of the Singapore Academy of Law. Calon notaris adalah pengacara berpengalaman yang sudah terdaftar sebagai solicitor. Proses pengangkatan lebih singkat dan bersifat administratif. Sistem ini menawarkan efisiensi, namun lebih mengandalkan reputasi dan pengalaman praktis.

Salah satu kelebihan sistem di Indonesia adalah adanya pengawasan formal yang ketat melalui Majelis Pengawas Notaris. Pengawasan berlapis ini menjaga akuntabilitas profesi notaris. Selain itu, proses seleksi yang ketat memastikan hanya individu berkualitas yang dapat diangkat. Sistem ini sesuai dengan filosofi civil law yang menekankan aturan tertulis dan prosedural. Namun, kelemahannya adalah potensi tumpang tindih birokrasi.

Sementara itu, kelebihan sistem Singapura adalah efisiensi dan fleksibilitas pengangkatan. Pengawasan dilakukan dalam kerangka etik profesi di bawah Singapore Academy of Law. Hal ini menciptakan lingkungan profesional yang adaptif. Namun, kelemahannya terletak pada kurangnya pengawasan struktural yang dapat menimbulkan risiko standar etika yang tidak seragam. Sistem ini cocok dengan karakter common law yang berbasis praktik.

Dari sisi kualifikasi, Indonesia menetapkan standar akademik yang tinggi. Calon notaris wajib menempuh pendidikan magister kenotariatan [27]. Hal ini memastikan pemahaman mendalam tentang teori dan praktik hukum. Namun, beban akademik ini bisa memperlambat regenerasi profesi. Sistem Singapura memberikan ruang yang lebih besar bagi pengacara berpengalaman untuk menjadi notaris [28], di mana pengangkatan didasarkan pada rekam jejak profesional yang memungkinkan terjadinya adaptasi yang lebih cepat terhadap kebutuhan pasar hukum. Namun, pendekatan ini dapat mengabaikan aspek akademik yang mendalam sehingga efektivitas pengangkatan sangat bergantung pada reputasi individu.

Kelebihan lain dari sistem di Indonesia adalah pengaturan formasi notaris berdasarkan kebutuhan daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 4 UUJN, yang mencegah ketimpangan distribusi notaris. Namun, pengaturan ini terkadang kurang responsif terhadap dinamika pasar karena proses penyesuaian formasi memerlukan waktu yang lama. Sebaliknya, sistem di Singapura tidak membatasi formasi secara ketat.

Kelemahan sistem Indonesia lainnya adalah kompleksitas prosedur di mana calon notaris harus melalui tahapan yang panjang sebelum diangkat sehingga seringkali menimbulkan hambatan administratif. Selain itu, adanya disparitas antar wilayah juga memperlambat proses pengangkatan yang membuat sistem ini menjadi kurang fleksibel dalam menghadapi kebutuhan mendesak.

Singapura dengan prosedur yang lebih ringkas mampu merespon kebutuhan hukum dengan cepat di mana proses pengangkatan yang efisien mencerminkan budaya hukum yang pragmatis. Namun, risiko yang muncul adalah kurangnya standarisasi nasional [29]. Pengawasan yang berbasis komunitas dapat menimbulkan ketidakkonsistenan standar. Oleh karena itu, mekanisme pengawasan tetap perlu diperkuat.

Kelebihan sistem civil law Indonesia adalah perlindungan hukum yang lebih kuat melalui peraturan tertulis. Notaris bertindak sebagai penjaga legalitas transaksi masyarakat dan setiap proses diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan. Namun hal ini memiliki tantangan tersendiri yaitu ketidaksesuaian antara hukum yang kaku dengan kebutuhan pasar yang dinamis sehingga diperlukan adanya reformasi regulasi untuk mengatasi hal ini. Di sisi lain, sistem common law di Singapura menawarkan adaptabilitas tinggi yang lebih memprioritaskan fleksibilitas dalam pengangkatan dan pengawasan sehingga praktik hukum dapat menyesuaikan dengan perkembangan global. Namun, hal ini juga memiliki risiko yaitu adanya pengabaian detail legal formal yang penting. Oleh karena itu, keseimbangan antara fleksibilitas dan kepastian hukum perlu dijaga.

Aspek pengawasan menjadi pembeda utama. Indonesia memiliki sistem pengawasan yang hierarkis dan formal. Sementara di Singapura, pengawasan lebih berbasis komunitas profesional. Kelebihan pengawasan formal adalah adanya mekanisme sanksi yang jelas, namun fleksibilitas pengawasan berbasis profesi lebih adaptif terhadap dinamika etika.

Dari perspektif perkembangan profesi, Indonesia cenderung lambat dalam regenerasi notaris. Hal ini disebabkan oleh panjangnya prosedur dan pembatasan formasi. Di Singapura, profesi notaris lebih mudah diakses oleh pengacara yang berkualifikasi [30]. Ini mendorong pembaruan profesi yang lebih cepat namun standarisasi kualitas menjadi tantangan tersendiri. Kelemahan lain di Indonesia adalah kurangnya integrasi pengawasan dengan asosiasi profesi hukum di mana pengawasan masih dilakukan secara terpisah oleh Majelis Pengawas. Sementara di Singapura, integrasi ini lebih kuat yaitu di bawah pengawasan Singapore Academy of Law. Hal ini memungkinkan pengawasan yang lebih efisien dan relevan. Integrasi serupa perlu dipertimbangkan di Indonesia.

Sistem pengangkatan notaris di Indonesia dan Singapura memiliki kelebihan dan kelemahan masing-masing di mana sistem di Indonesia unggul dalam perlindungan hukum dan pengawasan formal namun kelemahannya adalah birokrasi yang kompleks dan kurang responsif. Sistem di Singapura lebih unggul dalam efisiensi dan fleksibilitas namun pengawasan yang berbasis komunitas memerlukan standarisasi yang lebih kuat.

Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendorong optimalisasi mekanisme pengangkatan notaris, khususnya di Indonesia. Penyederhanaan prosedur melalui perampingan birokrasi dan integrasi pengawasan dengan asosiasi profesi hukum dinilai dapat meningkatkan efisiensi serta adaptabilitas terhadap kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas dalam penetapan formasi juga penting untuk menjamin distribusi notaris yang lebih merata dan relevan secara demografis maupun sektoral. Di sisi lain, Singapura dapat mengevaluasi kemungkinan penguatan aspek pengawasan formal guna menjada standar profesi yang tinggi secara berkelanjutan. Sinergi antara fleksibilitas dan pengawasan yang efektif pada kedua sistem hukum ini berpotensi menghasilkan model ideal bagi pengembangan profesi notaris yang lebih responsif, profesional, dan berdaya saing di era globalisasi.

Simpulan

Terdapat perbedaan yang cukup signifikan yang dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut masing-masing negara. Di Indonesia, proses pengangkatan notaris dilakukan oleh Menteri Hukum dan HAM, melalui tahapan formal yang ketat meliputi persyaratan akademik, magang, serta seleksi administratif. Sistem ini sesuai dengan tradisi civil law yang mengedepankan proseduralisme dan aturan tertulis. Sementara itu, di Singapura, pengangkatan notaris dilakukan oleh Senate of the Singapore Academy of Law, dengan lebih mengutamakan efisiensi melalui pengangkatan pengacara berpengalaman sebagai notaris. Pendekatan ini mencerminkan karakteristik sistem common law yang lebih fleksibel dan berbasis profesionalisme.

Masing-masing sistem memiliki kelebihan dan kelemahannya sendiri. Sistem hukum di Indonesia unggul dalam perlindungan hukum dan pengawasan formal yang kuat, namun menghadapi kelemahan dalam hal birokrasi yang panjang dan kurang adaptif terhadap dinamika kebutuhan hukum masyarakat. Sebaliknya, sistem hukum di Singapura memberikan efisiensi dan fleksibilitas tinggi dalam pengangkatan notaris, namun masih memiliki tantangan dalam menjaga standardisasi dan pengawasan yang lebih formal. Perbedaan ini berakar pada perbedaan filosofi antara civil law yang menekankan aturan tertulis dan common law yang mengedepankan praktik dan fleksibilitas. Oleh karena itu, penting untuk mengkaji potensi adopsi keunggulan dari masing-masing sistem hukum tersebut guna memperbaiki mekanisme pengangkatan notaris di Indonesia.

Perlu dilakukan upaya reformasi pada mekanisme pengangkatan notaris di Indonesia agar lebih efisien, transparan, dan responsif. Penyederhanaan proses administratif serta penguatan integrasi pengawasan dengan asosiasi profesi diharapkan dapat memperbaiki sistem yang ada. Selain itu, praktik baik dari Singapura terkait efisiensi pengangkatan dan fleksibilitas peran notaris dapat menjadi model yang relevan untuk diterapkan secara kontekstual di Indonesia. Sebaliknya, Singapura juga dapat mempertimbangkan penerapan pengawasan formal yang lebih terstruktur guna menjaga kualitas dan akuntabilitas profesi. Dengan sinergi dan adopsi praktik terbaik ini, diharapkan kedua negara dapat memiliki sistem pengangkatan notaris yang lebih adaptif, berdaya saing, dan sesuai dengan tantangan global.

Ucapan Terima Kasih

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas Tarumanagara atas dukungan akademik yang telah diberikan selama proses penulisan jurnal ini. Bantuan dari seluruh pihak di lingkungan fakultas yang telah memberikan kontribusi penting terhadap kelancaran penyusunan penelitian ini. Penulis juga menghargai dukungan moral dan ilmiah dari rekan-rekan yang turut berdiskusi dan memberikan masukan yang konstruktif. Semoga jurnal ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti dalam pengembangan kajian hukum perbandingan dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya. Segala kekurangan dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

References

  1. R. M. Napitupulu, P. Studi, and M. Kenotariatan, "Peran Notaris Sebagai Profesi Penunjang Pasar Modal dalam Menjamin Kepastian Hukum dan Keterbukaan Informasi," Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, vol. 12, no. 12, pp. 1–10, May 2025, doi: 10.6679/3WXTSC59.
  2. A. Diurnal, J. Ilmu, H. Kenotariatan, and B. A. Wiguna, "Harmonisasi Peraturan Penyimpanan Protokol Notaris Digital," Acta Diurnal: Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, vol. 7, no. 2, pp. 193–206, Jun. 2024, doi: 10.23920/ACTA.V7I2.1840.
  3. R. M. Riansyah, Disriani, and L. Soroinda, "Perbandingan Profesi Notaris dan Implementasi Jurnal Notaris di Negara Bagian New York dan Protokol Notaris di Indonesia dalam Era Reformasi Teknologi," Palar (Pakuan Law Review), vol. 10, no. 2, pp. 43–66, Jun. 2024, doi: 10.33751/PALAR.V10I2.10087.
  4. P. C. D. Tamaka, "Prinsip Kepastian Hukum Profesi Notaris terhadap Amanah dalam Sumpah atau Janji Jabatan Notaris," Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, vol. 22, no. 1, pp. 71–92, Sep. 2024, doi: 10.53515/qodiri.2024.22.1.71-92.
  5. B. P. Chrismanti and Y. N. Simanjuntak, "Perlindungan Hukum Bagi Notaris Pengganti atas Intervensi dari Notaris yang Diberhentikan Sementara terhadap Pengangkatannya," Unizar Law Review, vol. 8, no. 1, pp. 12–20, Jun. 2025, doi: 10.36679/ULR.V8I1.85.
  6. H. Hartono, "Sinkronisasi Peraturan Perundang-Undangan PPAT dan Notaris Berdasarkan Pancasila," El-Dusturie, vol. 4, no. 1, pp. 1–15, Jun. 2025, doi: 10.31933/unesrev.
  7. D. S. P. Putra, "Pertanggungjawaban Notaris atas Pelaporan Salinan Daftar Akta kepada Majelis Pengawas Daerah (MPD)," Universitas Islam Sultan Agung Semarang, Skripsi, 2025.
  8. S. Cristine, "The Notary Public in Singapore," Jurnal Akta, vol. 8, no. 1, pp. 44–51, Mar. 2021, doi: 10.30659/AKTA.V8I1.15288.
  9. M. M. Hussy and B. Djaja, "Comparison of Notary Law in Indonesia and Singapore," Interdisciplinary Social Studies, vol. 2, no. 7, Apr. 2023. [Online]. Available: https://iss.internationaljournallabs.com/index.php/iss/article/view/443
  10. C. L. A. Cheng, "Legal Systems in ASEAN – Singapore," 2009. [Online]. Available: https://www.aseanlawassociation.org/wp-content/uploads/2019/10/sing_chp6.pdf
  11. L. J. Tanjaya and G. Djajaputra, "Kedudukan Warga Negara Asing dalam Membuat Akta Wasiat di Indonesia," Syntax Literate: Jurnal Ilmiah Indonesia, vol. 8, no. 12, Dec. 2023.
  12. J. H. Kenotariatan, D. Ke-PPAT-an, and I. Prayitno, "Telaah terhadap Pergeseran Kewenangan Notaris setelah Terbitnya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pengguna Jasa bagi Notaris," Acta Diurnal: Jurnal Ilmu Hukum Kenotariatan, vol. 1, no. 1, pp. 115–133, Dec. 2017. [Online]. Available: https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/acta/article/view/162
  13. G. I. Putra, S. Hasanah, and F. A. Jiwantara, "Penguatan Kewenangan Majelis Pengawas Wilayah Notaris dalam Pembinaan dan Pengawasan Notaris," Indonesia Berdaya, vol. 4, no. 2, pp. 679–688, Jan. 2023, doi: 10.47679/ib.2023475.
  14. R. A. Kurniawan and R. E. Latumahina, "Tanggung Jawab Notaris terhadap Penyimpanan Akta Notariil secara Elektronik Ditinjau dalam Perspektif Perundang-Undangan di Indonesia," Transparansi Hukum, vol. 8, no. 1, pp. 214–237, Jan. 2025. [Online]. Available: https://ojs.unik-kediri.ac.id/index.php/transparansihukum/article/view/6518
  15. S. Abdillah, N. Ghapa, and M. Makhtar, "Cyber Notary: Sebuah Analisis Tematik dari Studi Kasus di Inggris dan Singapura," Jurnal Hukum Ius Publicum, vol. 6, no. 1, pp. 158–175, Apr. 2025, doi: 10.55551/JIP.V6I1.182.
  16. D. Z. Illiyyin and N. F. Octarina, "Peran Notaris dalam Menciptakan Kepastian Hukum bagi Investor," Jurnal Civic Hukum, vol. 8, no. 1, pp. 2023–2037, May 2023, doi: 10.22219/JCH.V8I1.22565.
  17. A. Agung et al., "Legitimasi Hukum yang Tak Terbantahkan: Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan yang Telah Disahkan oleh Notaris," Jurnal Kewarganegaraan, vol. 7, no. 1, pp. 466–471, May 2023, doi: 10.31316/JK.V7I1.4817.
  18. N. R. Ananda et al., "Etika Profesi Notaris terhadap UU Jabatan Notaris," Causa: Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, vol. 13, no. 12, pp. 91–100, Jun. 2025, doi: 10.6679/2DB5V948.
  19. N. A. Putri, "Kepastian Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit," Ranah Research: Journal of Multidisciplinary Research and Development, vol. 7, no. 2, pp. 1052–1060, Dec. 2025, doi: 10.38035/RRJ.V7I2.1290.
  20. R. S. A., M. S. Is, and L. Desrika, "Implikasi Yuridis Putusan Nomor 50 P/Hum/2018 Pembatalan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 25 Tahun 2017 tentang Ujian Pengangkatan Notaris," Elqonun: Jurnal Hukum Ketatanegaraan, vol. 1, no. 2, pp. 156–170, Dec. 2023, doi: 10.19109/C9MWH352.
  21. R. O. Iskandar, H. Adjie, P. Kenotariatan, and F. Hukum, "Keabsahan Syarat Keharusan Memiliki Sertifikat Pelatihan Notaris sebagai Syarat Pengangkatan Notaris," Jurnal Pendidikan Sejarah dan Riset Sosial Humaniora, vol. 3, no. 2, pp. 135–144, Feb. 2023. [Online]. Available: https://ejournal.penerbitjurnal.com/index.php/humaniora/article/view/146
  22. P. Hukum, P. Formasi, J. Notaris, D. Undang-Undang, and G. L. Lay, "Politik Hukum Penataan Formasi Jabatan Notaris Ditinjau dari Undang-Undang Jabatan Notaris," Journal of Mandalika Literature, vol. 5, no. 4, pp. 1012–1019, Oct. 2024, doi: 10.36312/JML.V5I4.3567.
  23. S. Ardini, "Otoritas Majelis Pengawas Notaris dalam Mengusulkan Pemberhentian Tidak Hormat Notaris kepada Majelis Pengawas Pusat," Gorontalo Law Review, vol. 7, no. 2, pp. 454–465, Oct. 2024, doi: 10.32662/GOLREV.V7I2.3815.
  24. N. Chisbiyah, U. H. Asy’ari Tebuireng, J. Dai, and P. Fatkhulloh, "Kepatuhan terhadap Kode Etik Notaris sebagai Fondasi Profesionalisme dan Kunci Kepercayaan Publik," Jurnal Ilmiah Nusantara, vol. 2, no. 3, pp. 259–269, May 2025, doi: 10.61722/JINU.V2I3.4457.
  25. A. N. Nugraha, Salim Hs, and A. Munandar, "Legality of Electronic Signatures: A Comparative Study Between Indonesia and Singapore," International Journal of Educational and Life Sciences, vol. 3, no. 2, pp. 1799–1810, Feb. 2025, doi: 10.59890/ijels.v3i2.326.
  26. F. P. Suhartanto and Y. Febrianty, "Perbandingan Sistem Hukum Civil Law dan Common Law," Konsensus: Jurnal Ilmu Pertahanan, Hukum dan Ilmu Komunikasi, vol. 1, no. 3, pp. 72–83, Jun. 2024, doi: 10.62383/KONSENSUS.V1I3.218.
  27. E. Rahmi, Y. Yetniwati, and I. Zulkarnain, "Mekanisme Pengangkatan Notaris dan Evaluasi Mutu Lulusan Berdasarkan Tracer Study Magister Kenotariatan UNJA," JISOS: Jurnal Ilmu Sosial, vol. 1, no. 9, pp. 889–902, Oct. 2022, doi: 10.23887/JKH.V4I2.15440.
  28. M. A. Misty, "The Notary Position in the System of Corporation and Legal Contract Industry in Bangladesh," Jurnal Daulat Hukum, vol. 7, no. 1, pp. 68–92, Apr. 2024, doi: 10.30659/JDH.V7I1.37055.
  29. G. S. Rahajaan and A. Nefi, "The Obligations for Consularization and Legalization of Credit Guarantee Documents Signed in Singapore Based on the Regulation of the Minister of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia Number 13 of 2019," Legal Brief, vol. 11, no. 3, Jul. 2022. [Online]. Available: https://legal.isha.or.id/index.php/legal/article/view/285
  30. T. Wahyudi and O. A. Victoria, "The Comparison of Notary in Indonesia and Malaysia with Two Differences Law System (Civil Law and Common Law)," 2025. [Online]. Available: http://jurnal.unissula.ac.id/index.php/SANLaR/article/view/4435