General Background: The authority of the Lurah (urban village head) plays a pivotal role in Indonesia’s regional governance, yet it is often hindered by overlapping regulations and the complexities of regional autonomy. Specific Background: Regulatory evolution and decentralization have created inconsistencies in defining the Lurah’s scope of power. Knowledge Gap: Limited scholarly work has addressed the disharmony between attributive, delegative, and mandate-based authorities in the context of democratic governance and Administrative Law. Aim: This study seeks to reconstruct the Lurah’s authority to ensure greater alignment with democratic principles and the General Principles of Good Governance (AUPB). Results: Through a normative juridical method, combining statutory and conceptual approaches with case studies in major Indonesian cities, the findings reveal significant regulatory disharmony and insufficient AUPB integration. Novelty: The research proposes a participatory, responsive, and legally coherent framework for defining the Lurah’s authority, emphasizing clarity, accountability, and democratic legitimacy. Implications: Strengthening the Lurah’s authority within a transparent and participatory legal structure is essential for enhancing the effectiveness and legitimacy of local governance in Indonesia.
Highlights:
Aligns governance with AUPB and democracy.
Proposes participatory and accountable framework.
Keywords: Lurah Authority, Regional Governance, Administrative Law, Good Governance, Democratic Principles
Pembagian kewenangan dalam sistem pemerintahan daerah Indonesia diatur untuk menciptakan keseimbangan antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah[1]. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan prinsip desentralisasi, yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan[2]. Sistem ini mengenal tiga kategori kewenangan: urusan pemerintahan absolut oleh pusat, urusan konkuren yang dibagi antara pusat dan daerah, serta urusan umum yang menjadi kewenangan Presiden. Pembagian ini menjadi landasan bagi pengaturan peran masing-masing tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Dalam praktiknya, implementasi pembagian kewenangan ini masih menghadapi berbagai tantangan administratif dan yuridis[3].
Di dalam kerangka sistem pemerintahan tersebut, kelurahan sebagai perangkat administratif kota/kabupaten ditempatkan sebagai ujung tombak pelayanan publik[4]. Kelurahan diharapkan menjadi garda terdepan dalam penyelenggaraan pelayanan administratif kepada masyarakat. Meski demikian, posisi Lurah dalam hierarki pemerintahan seringkali menimbulkan perdebatan, karena kewenangannya yang bersifat delegatif dari Wali Kota atau Bupati. Struktur yang demikian menyebabkan batasan kewenangan yang dimiliki Lurah kerap kabur, terutama dalam pelaksanaan fungsi pelayanan publik secara langsung. Ketidakjelasan ini semakin kompleks ketika terjadi perubahan regulasi yang tidak diikuti harmonisasi di tingkat daerah[5].
Kewenangan Lurah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang umumnya memberikan mandat administratif, pelayanan publik, serta pelaksanaan tugas pemerintahan yang didelegasikan[6]. Dalam menjalankan tugasnya, Lurah bertanggung jawab atas pelayanan administrasi kependudukan, ketertiban umum, serta pengelolaan wilayah kelurahan[7]. Lurah juga memiliki peran koordinatif antar-lembaga di tingkat kelurahan, dan sebagai fasilitator partisipasi masyarakat. Namun, kedudukan Lurah yang bukan sebagai kepala daerah menyebabkan keterbatasan dalam pelaksanaan kewenangannya, terutama bila dihadapkan dengan dinamika politik pemerintahan daerah. Situasi ini membuat implementasi kewenangan Lurah tidak seragam antar daerah[8].
Pada praktiknya, banyak Lurah yang kesulitan melaksanakan kewenangan secara optimal akibat perubahan peraturan yang terjadi secara tiba-tiba[9]. Tidak jarang masyarakat sebagai penerima layanan publik merasa bingung dalam memahami peran dan tanggung jawab Lurah. Pergeseran kewenangan yang terjadi tanpa ada kejelasan yuridis sering menimbulkan potensi konflik antar pejabat pemerintahan di tingkat kecamatan dan kelurahan. Hal ini berdampak pada efektivitas pelayanan publik yang seharusnya dapat diberikan secara cepat dan efisien. Dengan demikian, diperlukan kejelasan dan harmonisasi regulasi untuk mengatasi permasalahan ini[10].
Salah satu contoh yang mengilustrasikan permasalahan tersebut yakni, pemerintah kota melarang lurah untuk menerbitkan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU), kewenangan yang sebelumnya telah dijalankan selama bertahun-tahun. Pelimpahan kewenangan ini ke Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) menimbulkan kebingungan di masyarakat dan memperlambat pelayanan. Banyak pelaku usaha yang harus mengurus perizinan ke tingkat kota, yang mengakibatkan waktu dan biaya yang lebih besar[11].
Selain kasus di atas, perubahan regulasi yang kerap tidak disertai dengan penguatan kapasitas aparat kelurahan menambah persoalan. Lurah sering kali berada dalam posisi dilematis, antara melayani kebutuhan masyarakat atau mengikuti instruksi yang tidak jelas dari pemerintah kota. Akibatnya, pelayanan publik yang seharusnya dekat dengan masyarakat justru terhambat oleh birokrasi yang berbelit. Situasi ini menciptakan ketidakpastian hukum yang mengganggu akuntabilitas pelayanan publik di tingkat kelurahan[12].
Di sisi lain, dinamika otonomi daerah yang berkembang sejak era reformasi juga turut mempengaruhi kewenangan Lurah[13]. Implementasi desentralisasi memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengatur sendiri pembagian tugas dan kewenangan antar perangkat daerah. Namun dalam praktiknya, pengaturan ini tidak selalu mengacu pada standar nasional yang seragam. Akibatnya, terjadi disparitas kewenangan antar daerah yang berdampak pada kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh Lurah[14].
Otonomi daerah yang kuat juga melahirkan variasi dalam pelaksanaan kewenangan Lurah di berbagai daerah[15]. Di beberapa kota, Lurah masih memiliki peran aktif dalam perizinan dan pengurusan administrasi warga. Namun di daerah lain, kewenangan Lurah telah dipersempit hanya sebatas fungsi seremonial. Ketidakseragaman ini mengakibatkan ketidakpastian hukum dan perlakuan yang tidak adil bagi masyarakat yang berpindah antar wilayah[16].
Selain perbedaan praktik antar daerah, perbedaan persepsi kepala daerah tentang peran dan fungsi Lurah juga memperumit persoalan. Tidak jarang kewenangan Lurah dipolitisasi sehingga menjadi bagian dari tarik-menarik kekuasaan di tingkat daerah. Akibatnya, pelaksanaan kewenangan yang seharusnya bersifat administratif malah tersandera oleh kepentingan politik praktis. Hal ini jelas menghambat kinerja Lurah dalam memberikan pelayanan publik yang netral dan profesional[17].
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks otonomi daerah yang dinamis, dibutuhkan penegasan ulang peran dan kewenangan Lurah. Penguatan struktur kewenangan Lurah diperlukan agar pelayanan publik dapat diberikan secara seragam dan berkualitas di seluruh Indonesia. Hal ini penting untuk menjaga prinsip negara kesatuan, di mana masyarakat di seluruh wilayah harus mendapatkan hak yang sama dalam pelayanan publik. Oleh karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi kewenangan Lurah dalam sistem pemerintahan daerah. Rekonstruksi ini bertujuan memperjelas peran, fungsi, dan batasan kewenangan yang dimiliki oleh Lurah. Selain itu, rekonstruksi ini juga harus mempertimbangkan kebutuhan masyarakat serta perkembangan dinamika pemerintahan daerah. Dengan begitu, pelayanan publik yang diberikan oleh Lurah dapat berjalan lebih efektif dan efisien[18].
Rekonstruksi kewenangan tersebut hendaknya berlandaskan pada asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti kepastian hukum, akuntabilitas, efisiensi, dan transparansi. Penerapan prinsip-prinsip tersebut penting untuk menciptakan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Selain itu, penguatan kewenangan Lurah juga perlu diiringi dengan peningkatan kapasitas sumber daya manusia agar pelayanan publik dapat lebih profesional.
Penguatan peran Lurah melalui rekonstruksi kewenangan yang jelas dan demokratis akan menjadi landasan penting bagi terciptanya tata kelola pemerintahan daerah yang baik. Dengan demikian, upaya ini bukan hanya bersifat administratif, tetapi juga strategis dalam rangka memperkuat demokrasi lokal. Pada akhirnya, keberhasilan rekonstruksi kewenangan Lurah akan berdampak positif terhadap kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab 2 (dua) permasalahan hukum yang timbul akibat adanya perbedaan tersebut, yaitu bagaimana disharmoni kewenangan Lurah dalam sistem pemerintahan daerah terjadi dan bagaimana rekonstruksi kewenangan Lurah yang sesuai dengan prinsip pemerintahan demokratis dan AUPB.
Penelitian tentang kewenangan lurah dalam sistem pemerintahan daerah telah banyak dilakukan. Pertama, penlitian yang dilakukan oleh Muhammad Yoviansyah dkk., dalam Causa: Jurnal Hukum dan Keadilan menyoroti objek penelitian berupa hubungan kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya dalam konteks penetapan kebijakan administratif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana disharmoni kewenangan dapat menyebabkan konflik dalam pengambilan keputusan administratif di tingkat daerah. Metode yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif dengan analisis terhadap berbagai peraturan perundang-undangan dan studi kasus di beberapa daerah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya harmonisasi peraturan antar level pemerintahan kerap menciptakan konflik kewenangan yang berdampak negatif terhadap efektivitas pemerintahan daerah. Penelitian ini merekomendasikan adanya penguatan regulasi nasional yang lebih sinkron dan mekanisme koordinasi antar level pemerintahan yang lebih jelas untuk mencegah konflik serupa di masa mendatang[16].
Kedua, penelitian oleh M. Yudhistira Bintang P. dkk., dalam Causa: Jurnal Hukum dan Keadilan mengkaji objek penelitian berupa implementasi asas otonomi daerah dalam hubungan kewenangan antara pusat dan daerah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi tantangan yang muncul dalam mewujudkan harmonisasi kewenangan di era desentralisasi. Dengan menggunakan metode yuridis normatif dan pendekatan sosiologis, penelitian ini mengungkapkan bahwa perbedaan persepsi antar pemerintah pusat dan daerah mengenai konsep otonomi menjadi akar masalah disharmoni kewenangan. Hasilnya, banyak kebijakan pusat yang tidak terimplementasi secara optimal di daerah, sementara kebijakan daerah seringkali bertentangan dengan norma nasional. Rekomendasi penelitian ini mencakup perlunya penguatan prinsip good governance dan penyusunan regulasi yang adaptif terhadap dinamika otonomi daerah[19].
Penelitian ini menghadirkan kebaruan (novelty) karena secara khusus mengangkat persoalan rekonstruksi kewenangan Lurah sebagai perangkat pemerintahan paling bawah dalam sistem pemerintahan daerah yang demokratis. Berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu yang lebih banyak membahas harmonisasi kewenangan antara pusat dan daerah di tingkat makro atau antar lembaga formal, penelitian ini memfokuskan diri pada tataran mikro pemerintahan — yaitu pada Lurah yang perannya sebagai pelaksana pelayanan publik sering diabaikan dalam diskursus harmonisasi kewenangan. Dengan demikian, penelitian ini berupaya mengisi kekosongan kajian ilmiah mengenai bagaimana desain kewenangan Lurah yang berbasis prinsip good governance dapat mendukung efektivitas pemerintahan daerah dalam bingkai negara kesatuan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis, mengevaluasi, dan merekonstruksi kewenangan Lurah dalam sistem pemerintahan daerah yang demokratis. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi ketidakharmonisan kewenangan Lurah akibat perubahan regulasi dan dinamika otonomi daerah, menganalisis pengaruh disharmoni kewenangan tersebut terhadap pelayanan publik, serta merumuskan model kewenangan Lurah yang ideal dan sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Dengan tujuan tersebut, diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis dan praktis bagi pengembangan hukum administrasi negara, serta bagi perumusan kebijakan pemerintahan daerah yang lebih akuntabel dan responsif.
Jenis penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, dan doktrin yang berkaitan dengan kewenangan Lurah dalam sistem pemerintahan daerah. Dengan pendekatan normatif, penelitian ini berfokus pada bagaimana hukum seharusnya mengatur kewenangan Lurah agar selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan studi literatur untuk mendalami berbagai teori hukum administrasi negara yang relevan. Metode ini dipilih agar diperoleh pemahaman yang komprehensif terkait permasalahan hukum yang diangkat.
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Pendekatan perundang-undangan dilakukan melalui telaah kritis terhadap peraturan-peraturan yang mengatur pemerintahan daerah dan kewenangan Lurah. Sedangkan pendekatan konseptual digunakan untuk mengeksplorasi konsep-konsep hukum yang berkaitan dengan rekonstruksi kewenangan Lurah, seperti asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB) dan prinsip pemerintahan demokratis. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi kesenjangan antara norma hukum dan praktik penyelenggaraan pemerintahan di tingkat kelurahan. Dengan demikian, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan teoretis dan praktis.
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi dokumen atau studi kepustakaan. Data yang dikumpulkan meliputi bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan Lurah dan pemerintahan daerah. Selain itu, digunakan pula bahan hukum sekunder seperti buku, jurnal, hasil penelitian sebelumnya, serta dokumen-dokumen resmi dari pemerintah. Teknik pengumpulan data ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh mengenai perkembangan pengaturan kewenangan Lurah. Seluruh bahan yang terkumpul dianalisis secara sistematis untuk memperoleh jawaban atas rumusan masalah penelitian.
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis kualitatif normatif. Data yang telah dikumpulkan dianalisis secara deskriptif-analitis untuk mengungkapkan permasalahan hukum yang terjadi dan memberikan alternatif solusinya. Proses analisis dilakukan dengan menafsirkan norma-norma hukum yang berlaku serta mengaitkannya dengan prinsip-prinsip hukum administrasi negara dan konsep pemerintahan demokratis. Analisis ini diharapkan dapat menghasilkan pemikiran yang konstruktif mengenai rekonstruksi kewenangan Lurah. Dengan pendekatan ini, hasil penelitian akan mampu memberikan rekomendasi yang aplikatif bagi perbaikan sistem pemerintahan daerah.
Kewenangan Lurah dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia pada dasarnya merupakan kewenangan yang bersifat delegatif. Menurut Permendagri No. 84 Tahun 2015 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kelurahan[20], Lurah merupakan pejabat struktural yang diangkat oleh Wali Kota atau Bupati, dengan tugas utama membantu kepala daerah dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan[21]. Tugas tersebut di antaranya meliputi pelayanan administrasi kependudukan, pemberdayaan masyarakat, ketertiban umum, dan fasilitasi kegiatan pembangunan di wilayah kelurahan. Kewenangan ini harus dijalankan sesuai dengan prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014. Dengan demikian, posisi hukum Lurah adalah sebagai pelaksana teknis pemerintahan di tingkat kelurahan.
Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), kewenangan pemerintahan daerah dibagi menjadi kewenangan absolut pusat, urusan pemerintahan konkuren (bersama pusat dan daerah), serta urusan umum oleh Presiden[22]. Kelurahan sebagai wilayah administratif tidak memiliki otonomi sendiri, melainkan menjalankan kewenangan atas nama Bupati/Wali Kota melalui Camat. Hal ini sudah menunjukkan posisi “tidak otonom” yang rawan tumpang tindih karena pelimpahan kewenangan bersifat delegatif .
Kewenangan absolut adalah kewenangan yang sepenuhnya berada pada Pemerintah Pusat[23]. Dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, disebutkan bahwa urusan pemerintahan yang bersifat absolut meliputi urusan-urusan yang berkaitan dengan kedaulatan negara, seperti politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama. Pemerintah Daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengatur atau melaksanakan urusan ini, kecuali ditugaskan oleh Pemerintah Pusat[24]. Artinya, urusan ini bersifat sentralistik karena berkaitan langsung dengan keutuhan dan eksistensi negara sebagai entitas berdaulat. Dengan kata lain, tidak ada ruang bagi daerah, termasuk kelurahan, untuk menjalankan kewenangan absolut karena fungsinya sepenuhnya diatur oleh Pemerintah Pusat.
Urusan pemerintahan konkuren adalah urusan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pasal 11 UU No. 23 Tahun 2014 mengatur bahwa urusan konkuren mencakup urusan wajib dan pilihan. Urusan wajib meliputi pelayanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan umum, perumahan rakyat, ketenteraman dan ketertiban umum, serta perlindungan masyarakat. Sedangkan urusan pilihan didasarkan pada potensi unggulan daerah seperti pariwisata, pertanian, atau kelautan. Dalam urusan konkuren inilah terdapat peluang pembagian kewenangan hingga ke tingkat kelurahan, meskipun umumnya kewenangan Lurah bersifat pelaksana administratif atas kebijakan yang ditetapkan oleh kepala daerah atau dinas terkait[25].
Sementara itu, urusan umum oleh Presiden adalah kewenangan yang bersifat residual, yakni segala urusan yang tidak termasuk dalam urusan absolut atau urusan pemerintahan konkuren. Dalam konteks ini, Presiden memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dan mengendalikan berbagai urusan yang berkaitan dengan pengendalian umum pemerintahan, terutama dalam menjaga stabilitas dan integrasi nasional. Di tingkat daerah, pelaksanaan urusan umum oleh Presiden umumnya didelegasikan melalui gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, dan tidak langsung bersinggungan dengan kelurahan[26]. Dengan demikian, kewenangan Lurah lebih cenderung ditempatkan dalam lingkup pelaksanaan urusan konkuren yang bersifat pelayanan administratif kepada masyarakat.
PP No. 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan mempertegas bahwa kelurahan merupakan bagian perangkat kecamatan. Kewenangan Lurah sebagian besar bersifat administratif dan fungsional yang berada di bawah kewenangan Camat sebagai koordinator wilayah[27]. Namun, dalam praktiknya, terdapat berbagai layanan yang langsung diakses masyarakat melalui kelurahan, seperti pengurusan surat keterangan, pengantar administrasi kependudukan, maupun koordinasi penanggulangan masalah sosial. Hal ini membuat peran Lurah menjadi sangat dekat dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Oleh karena itu, kejelasan kewenangan menjadi sangat penting agar pelayanan publik berjalan efektif.
Pada tingkat peraturan daerah (Perda), banyak daerah yang menerbitkan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah (OPD), termasuk yang mengatur fungsi kelurahan[28]. Sayangnya, tidak semua Perda sinkron dengan ketentuan pusat, terutama dalam aspek distribusi kewenangan pelayanan publik. Di beberapa daerah, kewenangan Lurah dikebiri hanya sebagai perpanjangan tangan Camat, tanpa kejelasan fungsi pengambilan keputusan administratif. Hal ini menimbulkan kebingungan baik bagi aparatur kelurahan maupun masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Ketidaksesuaian antara Perda dengan Permendagri dan UU Pemerintahan Daerah ini menjadi sumber utama disharmoni kewenangan Lurah.
Disharmoni kewenangan Lurah juga terjadi antara peraturan pusat dengan peraturan daerah dan turunannya. UU No. 23 Tahun 2014 memberikan mandat otonomi daerah kepada kabupaten/kota, namun dalam pelaksanaannya, banyak daerah yang tidak memperjelas kewenangan Lurah secara mandiri dalam Perda. Padahal, pada tataran praktik, masyarakat lebih banyak berhubungan dengan kelurahan untuk berbagai kebutuhan administrasi. Ketiadaan kejelasan hukum ini menyebabkan birokrasi pelayanan publik di kelurahan menjadi berbelit-belit. Wewenang yang ambigu ini berdampak langsung pada efektivitas pelayanan masyarakat.
Selain itu, ketidakjelasan antara peraturan pusat dan daerah kerap diperparah oleh perubahan kebijakan yang tidak terkoordinasi. Sebagai contoh, dalam kasus pelimpahan kewenangan penerbitan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU), banyak daerah yang tiba-tiba menarik kewenangan tersebut dari kelurahan ke Dinas PMPTSP, tanpa sosialisasi dan aturan teknis yang memadai. Akibatnya, pelayanan publik menjadi tersendat dan masyarakat yang sebelumnya cukup mengurus di kelurahan kini harus melalui prosedur yang lebih panjang di tingkat kota. Ketidakharmonisan ini menciptakan ketidakpastian hukum bagi warga.
Disharmoni kewenangan juga tampak dari tumpang tindih pengaturan fungsi pengawasan dan pembinaan. Dalam beberapa daerah, Camat diberikan kewenangan untuk mengawasi langsung Lurah, namun tanpa diimbangi dengan pengaturan hubungan hierarkis yang jelas antara Camat dan Lurah. Akibatnya, Lurah menjadi bingung dalam menentukan batasan kewenangan yang harus dijalankan, dan ini berimplikasi pada lemahnya akuntabilitas kinerja. Kondisi ini menciptakan birokrasi yang kaku dan memperlambat pengambilan keputusan administratif di tingkat kelurahan.
Implikasi hukum utama dari disharmoni kewenangan ini adalah terjadinya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) bagi masyarakat dan aparat kelurahan. Masyarakat sering tidak mengetahui prosedur dan lembaga mana yang berwenang menangani kebutuhannya. Ketidakjelasan ini juga berpotensi menimbulkan sengketa administratif, terutama apabila pelayanan publik dianggap tidak sesuai atau melanggar hak warga. Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah daerah menurun.
Selain itu, disharmoni kewenangan menyebabkan risiko penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Ketidakjelasan batas kewenangan membuat Lurah, dalam beberapa kasus, mengeluarkan keputusan administratif di luar kewenangannya. Hal ini membuka peluang terjadinya praktik maladminstrasi atau bahkan korupsi. Secara hukum, kondisi ini melemahkan prinsip pemerintahan yang baik (good governance) di tingkat pemerintahan paling bawah[12]. Dampak lain yang cukup serius adalah terhambatnya proses pelayanan publik yang seharusnya bisa diselesaikan di tingkat kelurahan. Karena kewenangan Lurah tidak dipertegas, proses perizinan atau administrasi menjadi berlarut-larut karena harus melibatkan banyak tingkatan birokrasi. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip pelayanan prima (excellent service) yang diamanatkan oleh UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik[29].
Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik merupakan landasan hukum utama bagi penyelenggaraan pelayanan publik di Indonesia[30]. Salah satu amanat penting dalam UU Pelayanan Publik adalah penerapan prinsip pelayanan prima yang harus dijadikan pedoman oleh setiap penyelenggara pelayanan, termasuk pemerintah daerah hingga tingkat kelurahan[31]. Pasal 4 UU Pelayanan Publik menegaskan bahwa penyelenggaraan pelayanan publik harus memenuhi prinsip akuntabilitas, partisipatif, transparansi, keadilan, kesetaraan, dan kepastian hukum[32]. Lebih jauh lagi, Pasal 21 menyebutkan bahwa pelayanan publik harus dilaksanakan secara cepat, mudah, terjangkau, dan transparan, yang secara konseptual merujuk pada gagasan pelayanan prima[33]. Ini berarti bahwa setiap bentuk pelayanan, baik yang bersifat administratif maupun substantif, harus berorientasi pada kepuasan masyarakat.
Pelayanan prima dalam konteks UU No. 25 Tahun 2009 mengandung makna bahwa pelayanan publik tidak sekadar memenuhi standar minimal yang ditetapkan, melainkan harus proaktif, efisien, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam penjelasan umum UU Pelayanan Publik, disebutkan bahwa pelayanan prima mengutamakan kecepatan, ketepatan, dan kenyamanan dalam proses pelayanan, sehingga masyarakat dapat merasakan manfaat pelayanan secara nyata. Hal ini mencakup aspek prosedur yang sederhana, waktu pelayanan yang jelas, biaya yang transparan, serta adanya mekanisme pengaduan yang efektif[34]. Oleh karena itu, prinsip pelayanan prima menuntut perubahan paradigma aparatur negara, dari sekadar pelaksana regulasi menjadi pelayan masyarakat yang berorientasi pada kepuasan publik.
Dalam praktik di tingkat kelurahan, penerapan prinsip pelayanan prima menjadi sangat penting karena kelurahan merupakan ujung tombak pelayanan publik yang paling dekat dengan masyarakat. Namun, disharmoni kewenangan dan ketidakjelasan regulasi seringkali menghambat Lurah dalam mewujudkan pelayanan yang prima. Banyak proses administratif yang seharusnya dapat diselesaikan di tingkat kelurahan justru harus melewati birokrasi berlapis di tingkat kecamatan atau kabupaten/kota. Akibatnya, masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang cepat dan mudah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2009. Oleh karena itu, memperjelas kewenangan Lurah merupakan prasyarat penting agar prinsip pelayanan prima dapat benar-benar terwujud di tingkat kelurahan.
Solusi untuk mengatasi disharmoni kewenangan Lurah adalah dengan melakukan rekonstruksi kewenangan secara normatif dan administratif. Rekonstruksi ini penting untuk memastikan bahwa kewenangan Lurah diatur secara tegas, jelas, dan selaras dengan prinsip pemerintahan yang demokratis. Dengan landasan hukum yang kuat, maka implementasi kewenangan di tingkat kelurahan akan lebih akuntabel dan responsif. Urgensi rekonstruksi ini juga didorong oleh tuntutan masyarakat terhadap pelayanan publik yang lebih cepat dan efisien.
Rekonstruksi kewenangan juga bertujuan agar Lurah sebagai pejabat pemerintahan terdepan memiliki kejelasan dalam fungsi pelayanan dan pengambilan keputusan administratif. Hal ini penting untuk mendukung efektivitas pelaksanaan otonomi daerah yang berbasis pada pelayanan kepada masyarakat. Dengan penguatan kewenangan Lurah, diharapkan tata kelola pemerintahan daerah menjadi lebih terintegrasi, akuntabel, dan partisipatif. Di samping itu, rekonstruksi ini juga sejalan dengan penguatan prinsip good governance dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Pada akhirnya, rekonstruksi kewenangan Lurah harus difokuskan pada penguatan peran Lurah sebagai penggerak pelayanan publik di wilayah kelurahan. Selain itu, pengaturan ulang ini juga harus memperjelas hubungan hierarkis dan koordinatif antara Lurah dengan Camat dan OPD terkait. Dengan demikian, pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat dapat berjalan lebih efisien dan tidak lagi terhambat oleh ketidakpastian kewenangan. Upaya ini diharapkan akan memperkuat demokrasi lokal dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Kewenangan merupakan konsep fundamental dalam hukum administrasi negara yang menjadi dasar legal bagi pejabat publik untuk bertindak. Menurut teori kewenangan yang dikemukakan oleh P. Nicolai dalam konteks hukum administrasi negara, kewenangan (authority) adalah hak yang diberikan oleh hukum kepada pejabat atau organ pemerintah untuk melakukan tindakan hukum tertentu dalam rangka melayani kepentingan publik[35]. Kewenangan ini dapat berbentuk kewenangan atributif yang langsung berasal dari undang-undang, kewenangan delegatif yang diserahkan oleh organ yang lebih tinggi, atau kewenangan mandat yang diberikan untuk melaksanakan tugas atas nama pejabat lain. Dengan demikian, kewenangan bukan hanya aspek teknis, melainkan juga berlandaskan pada prinsip legalitas.
Dalam teori kewenangan, terdapat prinsip bahwa setiap kewenangan harus digunakan sesuai dengan tujuannya yang telah ditentukan oleh hukum. Jika kewenangan digunakan di luar tujuan yang ditetapkan, maka akan terjadi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power). Oleh sebab itu, hukum administrasi negara menekankan bahwa setiap pejabat pemerintahan, termasuk Lurah, wajib bertindak sesuai dengan asas-asas hukum administrasi, seperti asas legalitas, asas kepastian hukum, dan asas perlindungan terhadap hak-hak warga negara[36]. Dengan demikian, pengaturan kewenangan bukan hanya menyangkut batasan formal, tetapi juga berkaitan erat dengan legitimasi tindakan pemerintahan.
Konsep kewenangan juga berkaitan erat dengan prinsip efektivitas hukum. Ni Ketut Sari Adnyani dalam Jurnal Media Informatika, menjelaskan bahwa kewenangan yang tidak diatur dengan jelas, atau yang mengalami disharmoni antara norma-norma hukum, akan melemahkan efektivitas pemerintahan dan menghambat pelayanan publik[37]. Oleh karena itu, kejelasan, konsistensi, dan harmonisasi pengaturan kewenangan di semua tingkatan pemerintahan menjadi prasyarat penting bagi terciptanya pemerintahan yang efektif dan efisien. Ini sangat relevan bagi perumusan kewenangan Lurah yang saat ini masih sering mengalami tumpang tindih.
Kewenangan publik harus pula dikaitkan dengan konsep good governance yang di dalamnya terkandung prinsip demokrasi, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat. Sebagaimana diuraikan oleh Julista Mustamu dalam Buku Diskresi Dalam Pemerintahan: Hak, Batas Dan Konsekuensi Hukumnya, menjelaskan bahwa pemegang kewenangan publik tidak boleh bertindak sewenang-wenang, melainkan harus mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang diambil kepada masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi[38]. Dengan demikian, rekonstruksi kewenangan Lurah harus mempertimbangkan prinsip democratic governance, di mana kewenangan yang dimiliki harus mendukung pelibatan warga dan perlindungan hak-hak mereka.
Selain itu, Nurlaili Rahmawati dkk., dalam AL WASATH JurnalIlmu Hukum menekankan bahwa rekonstruksi kewenangan harus memperhatikan keseimbangan antara pemberian wewenang dan pengawasan hukum atas pelaksanaannya[39]. Artinya, dalam setiap pemberian kewenangan kepada pejabat pemerintahan termasuk Lurah, harus ada mekanisme kontrol yang memastikan bahwa penggunaan kewenangan dilakukan secara benar, tidak disalahgunakan, dan selalu mengacu pada peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, setiap tindakan Lurah akan memiliki legitimasi hukum yang kuat.
Penerapan teori kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, jika dikaitkan dengan kewenangan Lurah, menunjukkan bahwa banyak kewenangan Lurah saat ini masih bersifat delegatif tanpa batasan yang jelas. Sebagian besar peraturan daerah atau peraturan wali kota tidak secara tegas menetapkan batasan kewenangan apa saja yang dapat atau tidak dapat dilakukan oleh Lurah. Hal ini bertentangan dengan prinsip legalitas dan kepastian hukum yang menjadi landasan utama teori kewenangan dalam hukum administrasi negara. Karena itulah, terjadi banyak perdebatan terkait peran Lurah dalam pengeluaran dokumen administratif seperti SKDU atau pengantar izin lingkungan.
Selain itu, penerapan teori kewenangan yang baik juga mensyaratkan adanya kesesuaian antara kewenangan yang diberikan dengan kapasitas pejabat publik. Dalam konteks Lurah, sering kali terjadi bahwa kewenangan pelayanan publik tetap melekat padanya, tetapi tanpa dukungan sumber daya manusia atau anggaran yang memadai. Ini mengakibatkan prinsip efektivitas hukum tidak tercapai. Oleh karena itu, penerapan teori kewenangan dalam konteks kelurahan harus pula disertai dengan penguatan kapasitas kelembagaan di tingkat kelurahan.
Teori pembagian kewenangan dalam hukum administrasi negara berakar pada konsep separation of powers yang disesuaikan dengan kebutuhan administratif modern[40]. Pembagian kewenangan bertujuan untuk menghindari pemusatan kekuasaan yang berlebihan dan untuk menciptakan pemerintahan yang efisien dan akuntabel[41]. Dalam konteks pemerintahan daerah, pembagian kewenangan dilakukan antara pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan kelurahan. Hal ini diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 dan berbagai peraturan turunannya.
Selain itu, pembagian kewenangan di tingkat daerah juga mengikuti prinsip desentralisasi asimetris. Artinya, daerah diberikan keleluasaan mengatur kewenangan sesuai karakteristik lokal masing-masing[42]. Namun, dalam praktiknya, desentralisasi ini belum sepenuhnya diimbangi dengan pengaturan kewenangan yang jelas pada level kelurahan. Akibatnya, terdapat ketimpangan dan tumpang tindih dalam pelaksanaan kewenangan di lapangan. Ini menambah urgensi perlunya rekonstruksi kewenangan Lurah.
Dalam konteks kelurahan, teori pembagian kewenangan menuntut adanya distribusi yang proporsional antara kecamatan dan kelurahan. Sayangnya, di banyak daerah, kewenangan Lurah justru dilemahkan oleh Perda yang terlalu sentralistik. Padahal, prinsip pembagian kewenangan harus memperhatikan efektivitas layanan publik yang dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, konsep pembagian kewenangan harus diterapkan lebih optimal di tingkat kelurahan agar pemerintahan menjadi lebih responsif.
Pembagian kewenangan yang baik juga harus diikuti oleh mekanisme koordinasi yang jelas antar tingkat pemerintahan. Tanpa koordinasi yang efektif, pembagian kewenangan hanya akan melahirkan konflik dan kebingungan birokrasi. Pada konteks kewenangan Lurah, perlu ada sinergi antara kecamatan, dinas teknis, dan kelurahan itu sendiri. Inilah tantangan yang harus dijawab melalui rekonstruksi kewenangan yang berbasis pada prinsip pemerintahan demokratis dan AUPB.
Jika teori kewenangan dan teori pembagian kewenangan diterapkan pada konteks kewenangan Lurah, maka terlihat bahwa saat ini terdapat banyak disharmoni. Lurah sebagai pejabat yang paling dekat dengan masyarakat sering diberikan kewenangan yang terbatas dan tidak jelas. Hal ini bertentangan dengan prinsip efektivitas hukum dan pelayanan publik yang prima. Selain itu, lemahnya kejelasan kewenangan juga menghambat akuntabilitas Lurah. Oleh sebab itu, penerapan konsep teori ini harus diperkuat dalam desain ulang kewenangan Lurah.
Ketidaksesuaian penerapan teori kewenangan pada Lurah terlihat dari belum terintegrasinya prinsip-prinsip good governance dalam pelaksanaan tugas-tugas kelurahan. Misalnya, asas transparansi dan partisipasi sering kali tidak berjalan optimal dalam proses pelayanan administrasi di kelurahan. Ini menunjukkan bahwa pengaturan kewenangan Lurah saat ini masih memerlukan rekonstruksi agar lebih sesuai dengan parameter pemerintahan demokratis dan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Dengan demikian, perlu ada pembaruan kerangka hukum yang mengatur tentang kewenangan Lurah secara eksplisit melalui rekonstruksi.
Rekonstruksi kewenangan Lurah yang sesuai dengan prinsip pemerintahan demokratis harus dimulai dari penegasan kembali bahwa Lurah adalah bagian dari pemerintahan daerah yang paling dekat dengan rakyat. Oleh sebab itu, kewenangan yang diberikan kepada Lurah harus mencerminkan prinsip partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Dalam hal ini, kewenangan pelayanan publik yang bersifat administratif sebaiknya tetap dipertahankan di tingkat kelurahan agar masyarakat tidak terhambat oleh birokrasi yang berjenjang. Rekonstruksi semacam ini sejalan dengan prinsip demokrasi yang mengutamakan kedekatan antara rakyat dan penyelenggara pemerintahan.
Selain itu, kewenangan Lurah perlu direkonstruksi agar memperkuat akuntabilitas publik. Setiap kewenangan yang diberikan kepada Lurah harus disertai dengan kewajiban pertanggungjawaban kepada masyarakat. Hal ini mendorong terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan sesuai dengan semangat demokrasi lokal. Dengan demikian, warga tidak hanya sebagai objek kebijakan, tetapi juga sebagai subjek yang berhak mengawasi kinerja Lurah.
Rekonstruksi kewenangan Lurah juga harus memasukkan unsur transparansi sebagai prinsip utama. Pelayanan administrasi di tingkat kelurahan harus dilakukan secara terbuka, dengan informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. Hal ini penting agar tidak terjadi praktik penyimpangan dalam pemberian pelayanan publik. Transparansi juga akan memperkuat legitimasi kewenangan yang dimiliki oleh Lurah di mata masyarakat.
Selain prinsip pemerintahan demokratis, rekonstruksi kewenangan Lurah juga harus sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Asas legalitas menjadi landasan utama bahwa semua tindakan Lurah harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku. Dengan demikian, diperlukan pengaturan hukum yang eksplisit, baik dalam bentuk peraturan daerah maupun peraturan kepala daerah, yang secara jelas menetapkan jenis dan batas kewenangan Lurah.
Selanjutnya, asas kepastian hukum juga harus menjadi bagian dari rekonstruksi kewenangan Lurah. Masyarakat harus memperoleh kepastian mengenai prosedur, waktu pelayanan, dan jenis layanan yang menjadi kewenangan Lurah. Hal ini penting untuk mengurangi praktik birokrasi yang tidak efisien dan memastikan bahwa pelayanan publik dapat berjalan dengan standar yang jelas.
Rekonstruksi kewenangan Lurah juga harus memperhatikan asas akuntabilitas dan profesionalitas. Lurah sebagai pejabat publik harus diberikan pelatihan yang cukup agar dapat menjalankan kewenangan secara profesional. Selain itu, setiap tindakan administratif yang diambil oleh Lurah harus terdokumentasi dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, pelaksanaan kewenangan akan lebih sesuai dengan prinsip-prinsip AUPB.
Dengan memperhatikan teori kewenangan, prinsip pemerintahan demokratis, dan asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka rekonstruksi kewenangan Lurah menjadi sangat penting untuk dilakukan. Hal ini tidak hanya untuk memperkuat legalitas kewenangan yang dimiliki oleh Lurah, tetapi juga untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di tingkat kelurahan. Dengan rekonstruksi yang tepat, akan tercipta pemerintahan daerah yang lebih efektif, efisien, dan responsif.
Berdasarkan hasil analisis terhadap disharmoni kewenangan Lurah dalam sistem pemerintahan daerah serta rekonstruksi kewenangan Lurah yang sesuai dengan prinsip pemerintahan demokratis dan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), dapat disimpulkan bahwa kelemahan utama terletak pada ketidaksinkronan antara berbagai tingkat peraturan perundang-undangan, baik pusat maupun daerah. Ketidakjelasan konsep kewenangan, pembagian kewenangan yang tidak proporsional, serta lemahnya pengaturan kewenangan substantif Lurah telah menghambat efektivitas pelayanan publik di tingkat kelurahan. Rekonstruksi kewenangan Lurah yang mengacu pada teori kewenangan, teori pembagian kewenangan, serta prinsip good governance terbukti mampu memberikan kerangka solusi yang memadai untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan di tingkat kelurahan. Temuan ini menguatkan hipotesis bahwa penguatan kewenangan Lurah dengan prinsip legalitas, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, serta partisipasi publik akan meningkatkan efektivitas dan kualitas pelayanan publik. Ke depan, perlu dilakukan penguatan regulasi melalui revisi peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, serta pengembangan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia di kelurahan agar konsep pemerintahan demokratis dan AUPB benar-benar terwujud dalam praktik pelayanan publik.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas atas dukungan akademik yang telah diberikan selama proses penulisan jurnal ini. Bantuan dari seluruh pihak di lingkungan fakultas yang telah memberikan kontribusi penting terhadap kelancaran penyusunan penelitian ini. Penulis juga menghargai dukungan moral dan ilmiah dari rekan-rekan yang turut berdiskusi dan memberikan masukan yang konstruktif. Semoga jurnal ini dapat memberikan sumbangsih yang berarti dalam pengembangan kajian hukum perbandingan dan menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya. Segala kekurangan dalam tulisan ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.