Peningkatan jumlah kasus perceraian di Sidoarjo, baik di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri, menimbulkan keprihatinan tersendiri. Tidak kurang dari 4000 kasus yang muncul setiap tahun, khususnya di Pengadilan Agama Sidoajo. Jumlah ini memicu keingintahuan peneliti untuk melakukan penelitian, yang mengkaitkan sebaran jumlah kasus perceraian tersebut dengan konsep bekwaamheid (khususnya kedewasaan umur). Dimana dalam logika sederhana, semakin dewasa umur seseorang, semakin matang tingkat pengelolaan emosi, seharusnya tidak mudah menghancurkan perkawinannya sendiri. Apalagi dengan alasan selingkuh atau ekonomi. Dengan metode penelitian hukum sosiologis, ditemukan jawaban bahwa ternyata bekwaamheid dalam hal ini tidak banyak berpengaruh. Dari tahun ke tahun (2016-2019), jumlah kasus perceraian di Sidoarjo tidak mengalami penurunan.
Tingginya angka perceraian di Kabupaten Sidoarjo pada tahun 2016-2017 melatarbelakangi penelitian ini. Tahun 2016, jumlah kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Sidoarjo mencapai 3.962. Jumlah ini terbagi atas 2.711 kasus cerai gugat dan 1.251 kasus cerai talak. Sedangkan di tahun 2017, periode Januari sampai dengan September, jumlah kasus perceraian mencapai 3.110. Jumlah tersebut terbagi atas 2.155 kasus cerai gugat dan 955 kasus cerai talak. Dari 5 (lima) daerah di Jawa Timur, Sidoarjo menempati urutan ke-5 untuk tingginya jumlah kasus perceraian. Selain Sidoarjo, 4 (empat) daerah yang memiliki jumlah tertinggi hingga terendah untuk kasus yang serupa berturut-turut adalah Surabaya, Banyuwangi, Malang dan Jember.[1]
Faktor penyebab perceraian beragam, antara lain terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, faktor ekonomi, munculnya pihak ketiga, dan sebagainya. Namun penyebab yang paling mendasar adalah kurangnya komitmen dalam pernikahan.[2] Kehidupan yang tidak bahagia mendorong pasangan memilih jalan hidup masing-masing. Berdasarkan catatan peneliti, dalam rentang tahun 2016 sampai 2017 penyebab yang paling banyak melandasi pengajuan gugat cerai di Pengadilan Agama Sidoarjo adalah keberadaan pihak ketiga. Pihak ketiga ini dapat berupa pria idaman lain maupun campur tangan pihak keluarga yang dinilai terlampau jauh. Pasangan juga kerap berselisih paham yang akhirnya berujung pada kehidupan yang tidak menyenangkan. Bagi sebagian orang, perselisihan dalam rumah tangga merupakan hal yang wajar. Namun hal ini tidak berlaku bagi yang lainnya. Masing-masing individu dalam pernikahan mendefinisikan sendiri makna kebahagiaan.Individu yang bahagia memiliki karakteristik mampu menghargai diri sendiri, optimis, terbuka, serta dapat mengendalikan diri.[3]
Secara umum, keputusan untuk bercerai atau berpisah memang merupakan pilihan yang diambil oleh pasangan yang biasanya tidak memperoleh kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan. Kebahagiaan disini dimaknai sebagai penilaian yang menyeluruh tentang kehidupan, baik dari sisi kognitif maupun afektif. Kebahagiaan dapat juga diartikan ketika rasa nyaman lebih dominan dari rasa ketidaknyamanan, atau rasa senang yang lebih mendominasi daripada rasa sakit.[4]
Dari 3.110 jumlah kasus perceraian tahun 2017 di Pengadilan Agama Sidoarjo, belum terpetakan berapa jumlah pasangan muda dan pasangan dewasa yang terlibat di dalamnya. Bagi pasangan muda, apalagi pasangan yang belum dewasa atau di bawah umur, perceraian dapat dilihat sebagai ujung dari ketidaksiapan lahir batin dalam mengarungi rumah tangga. Jika benar banyak pasangan muda yang bercerai, maka mereka layak menjadi sorotan dan harus memperoleh perhatian yang lebih dalam, mengingat remaja adalah aset masa depan.
Akibat perceraian tidak sekedar memutus ikatan pernikahan antara dua individu. Ada dampak yang tidak kalah penting untuk diperhatikan, yakni perihal anak-anak yang orang tuanya bercerai. Sehingga perlu ada tindakan pencegahan, sebelum perceraian terjadi. Lebih tepatnya harus ada proses edukasi baik bagi orang tua maupun pasangan yang akan menikah, agar memperoleh lebih banyak gambaran tentang apa itu pernikahan dan bagaimana menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral. Oleh sebab itu, setelah diketahui faktor-faktor penyebab perceraian, perlu juga diketahui berapa banyak pasangan muda yang belum dewasa di Sidoarjo yang menjadi bagian dari maraknya kasus perceraian tersebut. Berdasarkan jumlah yang diperoleh, dilanjutkan dengan pemetaan background pendidikan terakhir mereka, untuk mengetahui tingkat kesiapan mental dan kematangan nalar atau logika. Jika jumlah pasangan muda yang belum dewasa ini banyak, maka yang tidak kalah penting adalah mengetahui faktor penyebab pernikahannya. Hal ini penting agar para orang tua tidak gegabah alias buru-buru dalam menikahkan anak-anaknya.
Sebagai kabupaten penyangga Ibu Kota Provinsi Jawa Timur, Sidoarjo diharapkan melakukanpenguatan mental lebih baik terutama bagi para remaja atau yang belum mencapai usia dewasa. Terlebih dengan keluarnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya cukup disebut UU Perkawinan Baru), batas umur minimal dalam melakukan perkawinan tidak lagi dibedakan antara laki-laki dan perempuan (19 tahun). Sebelumnya, usia 16 tahun bagi perempuan untuk melangsungkan perkawinan memiliki kerentanan.
Setelah jumlah pasangan muda atau belum dewasa dan dewasa dapat dipetakan, berikutnya hasil penelitian akan dikorelasikan dengan konsep hukum bekwaamheid. Namun perlu digarisbawahi disini bahwa bekwaamheid yang dimaksud dalam artikel ini adalah kecakapan yang dilihat dari sudut pandang kecakapan usia/ umur.
Dalam konteks kajian keilmuan hukum, baik menikah maupun bercerai sama-sama merupakan perbuatan hukum. Subyek hukum dalam hal ini natuurlijkepersoon (orang) yang terlibat harus terkategori bekwaamatau “cakap”, agar perbuatan hukum yang dilakukan sah. Hukum memandang mereka yang cakap melakukan perbuatan hukum adalah mereka yang juga mampu memikul akibat hukumnya, dengan segenap kompleksitas persoalan yang menyertai. Asumsi dasarnya yaitu orang yang cakap (sudah dewasa) akan berhati-hati membuat keputusan untuk bercerai. Hal ini disebabkan karena akibat perceraian sangat berpengaruh negatif terutama bagi anak. Terkecuali pasangan dihadapkan dalam posisi yang benar-benar overmacht.
Maka, isu hukum yang kemudian diangkat adalah bagaimana pengaruh bekwaamheid dalam sebaran jumlah kasus di Sidoarjo?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum sosiologis, yaitu penelitian yang memandang hukum sebagai fenomena sosial, dengan pendekatan struktural dan pada umumnya terkuantifikasi (kuantitatif)[5].Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan hukum dan non hukum. Khusus untuk pendekatan non hukum, pendekatan yang dipilih nantinya adalah pendekatan secara psikologis. Sumber data meliputi data primer, data sekunder, dan data tersier. Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh dari narasumber atau pengisi instrument wawancara. Sumber data sekunder meliputi (a). Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan ) jo UU Perkawian Baru (b). Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (PP No.9 Tahun 1975); (c). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama; dan (e). Undang-undang Nomor2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Sumber data tersier diperoleh melalui buku-buku, jurnal, artikel, kamus, dan sebagainya. Teknik pengumpulan data menggunakan studi dokumen, wawancara, dan atau kuesioner. Analisis data dilakukan secara kuantitatif [5].
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti memanfaatkan instrument wawancara yang diberikan kepada narasumber di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Kabupaten Sidoarjo. Beberapa pertanyaan yang diajukan dalam rangka menjawab isu hukum yang telah disampaikan di awal adalah :
Maka berdasarkan hasil pengumpulan data di Pengadilan Agama Sidoarjo[6] diperoleh hasil sebagai berikut :
Berdasarkan Figure 1 di atas terlihat bahwa dalam 4 (empat) tahun terakhir, trend jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo menunjukkan peningkatan. Hal ini terbukti dari bertambahnya jumlah kasus. Di Tahun 2016, jumlah kasus “hanya” tercatat 3962, lalu meningkat di tahun berikutnya yakni 4202. Di tahun 2018, jumlah kasus perceraian bukannya menurun, namun lebih meningkat lagi yakni di angka 4454, danjumlah ini sama di tahun 2019.
Sedangkan untuk faktor penyebab perceraian, pada Figure 2 diatas diketahui bahwa meninggalkan salah satu pihak (lantaran pria/wanita idaman lain), perselisihan yang terus menerus, dan persoalan ekonomi menjadi faktor penyebab yang selalu muncul dalam rentang tahun 2016-2019. Faktor kekerasan dalam rumah tangga muncul di tahun 2016 dan 2017. Faktor salah satu pasangan yang murtad atau keluar dari agama Islam ditemui di tahun 2016, 2017 dan 2019. Sedangkan alasan poligami, muncul di tahun 2018.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pihak Pengadilan Agama Sidoarjo, diketahui bahwa jumlah pasangan yang bercerai di usia/umur belum dewasa kurang lebih sebesar 1%.
Lalu bagaimana cara mengetahui persebaran usia dewasa atau belum dewasa dari ribuan jumlah kasus perceraian tersebut ?Peneliti menggunakan teknik simple random samplinguntuk mengambil sampel dari populasi yang ada. Teknik ini dikatakan simple atau sederhana karena pengambilan sampel nya dilakukan secara acak tanpa melihat strata dari populasinya.[7] Lebih lanjut peneliti mengacak 14 kecamatan yang ada di Kabupaten Sidoarjo, dari total 18 kecamatan. Pengambilan sampel kecamatan ini dilakukan dengan penelusuran online melalui putusan.mahkamahagung.go.id. Berikut tambahan perolehan data yang dimaksud :
Berdasarkan Figure 3 di atas terlihat bahwa keseluruhan pasangan yang bercerai adalah dalam kondisi bekwaam atau cakap atau berusia diatas 19 tahun (jika merunut pada UU Perkawinan yang baru).
Adapun di Pengadilan Negeri Sidoarjo, sebaran jumlah kasus perceraian tidak sebanyak di Pengadilan Agama. Dari narasumber yang membantu peneliti di Pengadilan Negeri Sidoarjo[8], jumlah kasus perceraian masyarakat non muslim tergambar pada diagram berikut ini:
Berdasarkan Figure 4 di atas, terlihat bahwa sebaran jumlah perceraian di Pengadilan Negeri Sidoarjo juga menunjukkan peningkatan, sebagaimana sebaran jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo. Di tahun 2016 jumlah kasus perceraian tercatat 92 kasus. Tahun 2017 terjadi peningkatan 16 kasus, yakni 108 kasus. Di tahun 2018, jumlah tersebut naik menjadi 119 kasus, begitupun di tahun 2019, naik menjadi 131 kasus.
Khusus mengenai faktor penyebab perceraian di Pengadilan Negeri Sidoarjo, faktornya adalah sama dari tahun 2016-2019, yakni adanya perselingkuhan dan faktor ekonomi. Tidak ada faktor lain sebagaimana ditemukan dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo, selain dua faktor tersebut.
Sedangkan untuk usia pasangan yang bercerai di Pengadilan Negeri Sidoarjo, peneliti mengacak sampel di 2 kecamatan. Kesulitan yang dihadapi tim untuk mengambil sampel lebih banyak seperti di Pengadilan Agama Sidoarjo karena tidak di setiap putusan pengadilan mencantumkan usia. Berikut hasil penelusuran sampel di 2 kecamatan tersebut :
Berdasarkan Figure 6 di atas menunjukkan bahwa usia menikah salah satu pasangan di Kecamatan Sukodono adalah 27 tahun, dan bercerai di usia 39 tahun. Di Kecamatan Sidoarjo, pasangan yang menikah salah satunya berusia 30 tahun dan bercerai di usia 45 tahun.
Dari informasi yang disajikan narasumber, sebenarnya Pengadilan Negeri Sidoarjo sudah melakukan upaya pencegahan yakni melalui proses mediasi. Para pihak diberikan waktu untuk mempertimbangankan kembali keputusannya untuk bercerai. Namun rupanya upaya ini kurang diperhatikan oleh pasangan yang pengajukan perceraian. Terbukti dengan ketidakhadiran mereka dalam proses mediasi tersebut. Namun meski demikian, tidak semua upaya mediasi tersebut gagal. Terdapat 2 sampai 3 pasangan yang berhasil didamaikan. Demikian halnya dengan Pengadilan Agama Sidoarjo. Pihak Pengadilan Agama sudah berupaya untuk melibatkan masyarakat (khususnya perangkat desa) untuk berdiskusi bersama membahas akibat hukum dan dampak dari perceraian. Namun memang upaya ini dirasa masih belum optimal. Perlu koordinasi yang berkesinambungan. Sebagai lembaga yang berkompeten untuk memutus kasus perceraian, baik Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri di Kabupaten Sidoarjo tentunya tidak ingin sebaran jumlah kasus perceraian mengalami peningkatan terus menerus.
Analisis yang bisa disampaikan disini adalah bahwa secara prinsip, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Beranjak dari prinsip ini, diharapkan bahwa setiap pasangan yang bekwaam atau cakap dapat berupaya mempertahankan perkawinan sesuai tujuan dari perkawinan itu sendiri. Sehingga, apa yang disebut bekwaamheidatau kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum dapat benar-benar memberikan pengaruh dalam kehidupan berumah tangga. Bukan dalam hal independensi dalam memutuskan bercerai, namun lebih kepada pertimbangan matang tentang nasib anak-anak mereka nantinya.Apalagi jika yang bercerai adalah pasangan yang hampir semuanya sudah matang secara umur (dalam UU Perkawinan baru bahkan umur minimal untuk melangsungkan perkawinan sudah dinaikkan, 19 tahun bagi perempuan).
Dalam konteks psikologi, usia 20-40 tahun disebut sebagai masa dewasa awal. Salah satu ciri masa ini adalah sebagai masa memegang komitmen. Sewaktu menjadi dewasa, orang-orang muda mengalami perubahan tanggung jawab dari seorang pelajar yang sepenuhnya bergantung pada orangtua kemudian menjadi orang dewasa mandiri, maka mereka menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab baru dan membuat komitmen-komitmen baru. Pola hidup, tanggungjawab dan komitmen-komitmen baru ini akan menjadi landasan kehidupan dikemudian hari. Dalam kasus penelitian ini, pasangan yang masuk dalam kategori dewasa awal memang diuji komitmennya dalam mempertahankan perkawinan, namun kenyataannya mereka gagal. Memang tidak semua pasangan mengalami kegagalan, tapi trend peningkatan jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama Sidoarjo dan Pengadilan Negeri setempat, menandakan bahwa bekwaamheidtidak mampu memberikan pengaruh yang besar bagi pasangan yang bercerai.
Faktor kematangan emosi pasangan menjadi faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian[9] yang menunjukkan bahwa kematangan emosi mempengaruhi kepuasan pernikahan. Kematangan emosi adalah perasaan-perasaan emosi yang diatur menurut tutntutan dari luar dan dalam, melatih emosi melalui pengubahan ekspresi dan penyaluran emosi melalui saluran yang berguna dan dianggap baik. Kematangan emosi ditandai dengan kemandirian, kemampuan menerima kenyataan, kemampuan beradaptasi, kemampuan merespon secara tepat, merasa aman, kemampuan berempati, kemampuan mengendalikan perasaan marah. Usia bukan menjadi jaminan tercapainya kematangan emosi seseorang, masih ada faktor-faktor lain seperti faktor lingkungan yang aman (dukungan dan kasih sayang keluarga), pengalaman hidup individu, dan kepribadian individu. Kematangan emosi individu akan mempengaruhi individu dalam melakukan penyesuaian diri dengan baik terhadap pasangannya. Tahun-tahun pertama pernikahan merupakan masa rawan karena belum banyak pengalaman hidup bersama pasangan. Periode awal pernikahan merupakan masa penyesuaian diri karena masing-masing pihak menghadapi perubahan-perubahan sikap atau perilaku dari masing-masing pasangan.
Bekwaamheid(baca= kedewasaan umur/ usia) yang dilihat sebagai kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum, tidak berpengaruh banyak pada sebaran jumlah kasus perceraian di Sidoarjo, karena hampir seluruh pasangan yang bercerai dalam status bekwaamatau cakap, berusia dewasa atau tidak dibawah umur. Secara prinsip perkawinan merupakan ikatan lahir batin suami istri yang bertujuan untuk kebahagiaan dan diharapkan kekal, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Idealnya, semakin dewasa seseorang maka semakin matang pula pemikirannya untuk senantiasa berkomitmen dalam mempertahankan perkawinan, karena perceraian menimbulkan akibat hukum tersendiri terutama bagi anak. Trend peningkatan jumlah kasus perceraian di Sidoarjo menunjukkan kecilnya atau ketiadaan pengaruh bekwaamheid tersebut. Berdasarkan perspektif psikologi, komitmen merupakan salah satu ciri tahapan dewasa awal (20-40 tahun) yang diikuti oleh tugas pengembangan untuk membina keluarga agar tercipta kebahagiaan hidup. Dilihat dari faktor-faktor penyebab perceraian di Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Sidoarjo, faktor ekonomi menempati posisi paling dominan. Untuk Pengadilan Agama, faktor berikutnya adalah perselisihan, salah satu pihak meninggalkan pihak lain, keluar dari agama Islam, kekerasan dalam rumah tangga, zina, dan poligami. Sementara di Pengadilan Negeri, faktor selingkuh dan ekonomi menempati posisi yang sama. Padahal dalam PP No.9 Tahun 1975, faktor ekonomi tidak secara tersurat termasuk sebagai faktor yang menjadi alasan penyebab perceraian. Adapun alasan perceraian yang termaktub dalam Pasal 19 PP tersebut yaitu:
Terkait saran, kami sebagai sebagai tim peneliti mensupport upaya PA dan PN Sidoarjo untuk memaksimalkan mediasi diantara para pihak. Selain itu, dapat juga dilakukan pendekatan kepada masyarakat terkait dampak dan akibat dari perceraian itu sendiri, sehingga keputusan untuk bercerai merupakan keputusan terakhir ketika semua usaha tidak menemukan jalan keluar yang lebih baik.