Labor Law
DOI: 10.21070/jihr.v9i0.718

The Problems of Compensation Employement Termination Due to Covid-19


Problematika Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja Akibat Covid -19

Universitas Surabaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Termination of Employment Compensation Agreement

Abstract

This study aims to answer employers dilemma during the Covid-19 pandemic to carry out labor efficiency by termination of work. The Cipta Kerja regulation number 11 of 2020 which is complemented by Government Regulation number 35 of 2021, as a normative basis for providing compensation for layoffs is considered a sufficiently mitigating solution when compared to previous labor legislation. However, what about the company's financial condition is not sufficient to provide compensation in accordance with the normative provisions of the legislation. To overcome this problem, an agreement is made between the employer and the workforce so that they can get a solution together. The agreement must also be registered with the Industrial Relations Court to protect the parties having an interest in it. Therefore, in writing this article, the Juridical Normative writing method is used, which analyzes cases based on applicable laws and regulations, analyzes legal concepts and qualitative descriptive methods.

Pendahuluan

Sejak pertama kalinya kasus Covid-19 yang diumumkan pada 2 Maret 2020, hingga pada tanggal 30 April 2021 di Indonesia terdapat 1.668. 368 jiwa terkonfirmasi terinfeksi Covid 19. Dengan total sembuh 1.522.634 jiwa dan meninggal dunia 45.521 jiwa sesuai dengan data sebaran covid . Bukan angka yang sedikit untuk dikatakan sebagai pandemic yang dapat mengancam perekonomian Indonesia. Rata-rata dalam 7 hari terdapat peningkatan 5.500 kasus baru. Meningkatnya secara pesat kasus terinfeksi Covid 19 di Indonesia membawa dampak cukup serius dalam bidang sosial dan ekonomi. Pemerintah pun mengeluarkan Keppres nomor 12 tahun 2020 dengan menetapkan bahwa bencana non alam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional.

Pandemic Covid 19 sangat berpengaruh terhadap aspek ekonomi, Di Indonesia, pandemi Covid-19 juga berdampak pada beberapa industri. Mulai dari industri pasriwisata, perusahaan start up, retail hingga manufacture. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia (Kemnaker RI) tahun 2020, per 20 April 2020 terdapat 2.084.593 pekerja formal dan informal dirumahkan dan di PHK. Kemudian pada tanggal 31 Juli 2020, Kemnaker mengumumkan bahwa pekerja formal dan informal yang terdampak COVID-19 telah mencapai lebih dari 3,5 juta pekerja . Sedangkan lebih khusus di Jawa Timur sendiri Pemerintah Provinsi mencatat ada 7.246 yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja () akibat pandemi virus (Covid-19. Selain itu, karyawan yang dirumahkan mencapai 34.138 dari 608 perusahaan . Terdapat beberapa perusahaan yang tidak mendaftarkan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sehingga nilai tersebut dimungkinkan bisa lebih besar. Dalam tahun 2021 diprediksikan akan semakin meningkat jumlah Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari berbagai macam sector industri di tanah air.

Pandemic Covid 19 yang tiba- tiba ada dan belum dapat diprediksikan sampai kapan akan berakhir memberikan pengaruh luar biasa pada sector usaha. Pengusaha dihadapkan pada hal yang cukup sulit untuk tetap mempertahankan usahanya ataukah harus menutup usaha mereka. Pilihan tetap meneruskan usaha dihadapkan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Meskipun PHK merupakan pilihan terakhir dalam konflik ketenagakerjaan, namun dalam kondisi Pandemic Covid 19 seperti saat ini sangat tidak menguntungkan bagi berbagai pihak. Pengusaha harus menyediakan dana ekstra untuk dapat memberikan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berupa pesangon sedangkan cashflow yang dimiliki dalam kondisi perekonomian saat ini tentu saja belum tentu untuk mencukupi Pemberian Kompensasi PHK.

Kondisi tersebut dibarengi dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 atau yang disebut dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Undang-Undang yang diharapkan oleh pemerintah dapat meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia ini menimbulkan banyak gejolak dari sektor ketenagakerjaan. Dari fakta yang ada mengenai ketenagakerjaan adalah berubahnya perhitungan pesangon dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Undang-Undang yang mendapatkan protes dari kalangan pekerja ini dianggap mengabaikan mengenai perlindungan terhadap tenaga kerja. Apabila dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan, pasal-pasal yang mengatur mengenai kompensasi pemutusan hubungan kerja dianggap lebih menguntungkan tenaga kerja dibandingkan dengan Undang-Undang Cipta Kerja yang saat ini berlaku.

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara factual dilakukan dengan cara kesepakatan antara pengusaha dan pekerja. Begitu juga pengusaha berpendapat bahwa kondisi pandemic Covid 19 ini dianggap kondisi yang tidak terduga dan belum diketahui sampai kapan hal ini akan berakhir. Berdasarkan dengan latar belakang tersebut diatas maka timbul pokok permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut mengenai pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK ), apakah dapat dilakukan kesepakatan antara pengusaha dan tenaga kerja terkait pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)dan apakahkesepakatan pembayaran kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja dapat menghindari ancaman pidana dalam Undang- Undang Cipta Kerja sector ketenagakerjaan. Hal ini bertujuan untuk dapat menganalisa problematika yang terjadi akibat adanya pendemic Covid 19 yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan pengaruh dalam dunia ketenagakerjaan serta menganalisa menggunakan undang- undang Cipta Kerja dalam sector ketenagakerjaan. Pembahasan mengenai pokok permasalahan diatas dilakukan dengan metode Yuridis Normative dan pembahasan diskriptif kualitatif dengan mengkaji permasalahan yang ada dengan berdasarkan berbagai sumber peraturan perundang-undangan yang berlaku, jurnal dan artikel lain yang relevan..

Hasil dan Pembahasan

Pemberian Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan kesepakatan antara para pihak

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah salah satu bentuk efisiensi yang banyak dilakukan saat kondisi pandemic Covid 19. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena efisiensi merupakan solusi terakhir dalam konflik ketenagakerjaan. Pada dasarnya terjadinya PHK ini sangat tidak diinginkan oleh para pihak, namun dikarenakan pilihan kondisi saat ini yang cukup sulit maka hal tersebut terpaksa dilakukan. Terhadap tenaga kerja dengan adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK ) ini menimbulkan hak dan kewajiban bagi pengusaha dan tenaga kerja. Pengusaha mempunyai kewajiban untuk membayar kompensasi kepada tenaga kerja dan tenaga kerja mempunyai hak terhadap kompensasi tersebut.

Dalam peraturan ketenagakerjaan yang berlaku saat ini yaitu Undang- undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja sektor Ketenagakerjaan dengan aturan pelaksana Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pada pasal 40 ayat (1) menyebutkan bahwa dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), pengusaha mempunyai kewajiban untuk membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima sesuai dengan perjanjian kerja dan peraturan perusahaan. Lebih lanjut pada Peraturan Pemerintah tersebut mengatur secara rinci mengenai kompensasi. Seperti yang disebutkan dalam pasal 40 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 mengenai Hak Akibat Pemutusan Hubungan kerja. Pasal tersebut menyebutkan sebagai berikut:

Pemberian pesangon diberikan berdasarkan perhitungan

  1. Apabila masa kerja kurang dari satu tahun, pekerja mendapatkan satu bulan upah
  2. Apabila masa kerja antara satu tahun atau lebih tetapi masih kurang dari dua tahun maka pekerja mendapatkan dua bulan upah
  3. Apabila masa kerja dua tahun atau lebih tetapi kurang dari tiga tahun, maka mendapatkan 3 bulan upah
  4. Apabila masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang dari empat tahun, maka pekerja mendapatka 4 bulan upah
  5. Apabila masa kerja empat tahun atau lebih tetapi kurang dari lima tahun, maka mendapat 5 bulan upah
  6. Apabila masa kerja lima tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, maka mendapatkan 6 bulan upah
  7. Apabila masa kerja enam atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, maka mendapatkan 7 bulan upah
  8. Apabila masa kerja tujuh tahun atau lebih tetapi kurang dari 8tahun, maka mendapatkan 8 bulan upah
  9. Apabila masa kerja delapan tahun atau lebih, maka mendapatkan 9 bulan upah.

Sedangkan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan pasal 40 ayat (3) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Masa kerja tiga tahun atau lebih tetapi kurang enam bulan mendapatkan 2 bulam upah.
  2. Masa kerja enam tahun atau lebih tetapi kurang dari Sembilan tahun, mendapatkan 3 bulan upah.
  3. Masa kerja Sembilan tahun trtapi kurang dari 12 tahun mendapatkan empat bulan upah.
  4. Masa kerja duabelas tahun atau lebih tetapi kurang dari lima belas tahun, mendapatkan lima bulan upah
  5. Masa kerja lima belas tahun atau lebih tetapi kurang dari delapan belas tahun mendapatkan 6 bulan upah.
  6. Masa kerja delapan belas tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh satu tahun mendapatkan tujuh bulan upah
  7. Masa kerja duapuluh satu tahun atau lebih tetapi kurang dari dua puluh empat tahun menapatkan 8 bulan upah
  8. Masa kerja dua puluh empat tahun atau lebih maka mendapatkan sepuluh bulan upah.

Perhitungan Kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) perusahaan dalam kondisi melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mencegah mengalami kerugian berdasarkan pada pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2021 terdiri dari:

  1. Uang pesangon sebesar 1 kali sesuai ketentuan pasal 40 ayat (2).
  2. Uang penghargaan masa kerja sebesar satu kali sesuai ketentuan pasal 40 ayat (3).
  3. Dan uang penggantian hak yang meliputi cuti tahunan yang belum diambil atau belum gugur, biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat daerah asal, serta hal lain yang ditertuang dalam perjanjian atau peraturan perusahaan.

Perhitungan kompensasi yang diatur dalam PP 35 tahun 2021 ini berbeda dengan perhitungan kompensasi yang diatur undang –undang terdahulu yaitu dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam PP 35 tahun 2021 tersebut tidak lagi disertakan hak pekerja berupa penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15% dari uang pesangon / uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat. Dasar perhitungan tersebut yang menjadi salah satu polemic di kalangan pekerja.

Pengusaha yang melakukan PHK atas dasar perhitungan Undang- Undang Cipta Kerja sebenarnya lebih diuntungkan dari pada perhitungan dari undang-undang terdahulu. Walaupun pada kenyataanya Undang-Undang Cipta Kerja diciptakan untuk keadaan normal, tidak dalam kondisi pandemic. Artinya perhitungan terhadap besaran pesangon tidak memperhitungkan saat ini dalam kondisi Pandemic Covid-19 namun lebih kepada percepatan iklim investasi di Indonesia. Akan tetapi apabila kondisi keuangan belum cukup untuk menutup jumlah biaya kompensasi tersebut maka akan terdapat pihak yang dirugikan atas proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Karena pada dasarnya hubungan kerja didasarkan kesepakatan, maka sangat dimungkinkan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pembayaran kompensasi berdasarkan kesepakatan.

Kesepakatan terhadap Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bisa saja disebut dalam bahasa yang beragam, seperti misalnya kesepakatan pengkahiran hubungan kerja, namun intinya tetap sama. Salah satu bentuk kesepakatan yang dimaksudkan dalam artikel ini adalah kesepakatan mengenai sistem pembayaran kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja. Berdasarkan pada Undang-Undang No 11 tahun 2020 Sektor Ketenagakerjaan mengenai perhitungan nilai kompensasi disebutkan secara jelas, namun tidak disebutkan secara khusus mengenai sistem pembayarannya. Secara Formal pembayaran dilakukan secara lumpsum (secara langsung) dan tidak merupakan pembayaran dengan sistem angsuran. Namun pada praktek dilapangan bahwa pembayaran tersebut dapat dilakukan secara angsuran atau dapat dilakukan dengan sistem angsuran. Yang dimaksud Angusuran disini adalah pembayaran kewajiban yang dilakukan oleh pengusaha berupa Pesangon atau kompensasi lain yang dibayarkan tidak secara sekaligus, namun dibayarkan dalam beberapa tahap. Dalam hal ini dapat dilakukan oleh pengusaha atas dasar kesepakatan dengan pekerja. Tentu saja kesepakatan tersebut dilakukan melalui kesepakatan bipartit. Kesepakatan bipartit antara pengusaha dengan pekerja sesuai dengan ketentuan Permenaker nomor 30 tahun 2008.

Kesepakatan yang dibuat secara bipartit kemudian dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Peradilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak yang mengadakan Perjanjian Bersama seperti yang disebutkan dalam pasal 4 point C Permenaker nomor 30 Tahun 2008. Kesepakatan yang dibuat para pihak yang bersepakat tersebut terjadi pada dasarnya untuk menjaga kepentingan para pihak, baik pihak pekerja mendapatkan haknya dan pihak pengusaha melaksanakan kewajibannya sesuai dan tepat waktu. Pengusaha dapat lebih ringan melakukan pembayaran kompensasi dan pekerja dapat mendapatkan hak nya secara penuh.

Kesepakatan yang dibuat ini menganut asas kebebasan berkontrak yang disebutkan dalam pasal 1338 KUH Perdata, para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian apapun isi dan bentuknya: semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berkaitan dengan pasal tersebut maka kesepakatan mengenai pemberian kompensasi dapat dilakukan, namun asas kebebasan berkontrak tersebut tetap tidak boleh melanggar syarat-syarat sahnya perjanjian dalam KUH Perdata. Sesuai yang disebutkan dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dan perjanjian atau kesepakatan yang dilakukan tidak atas dasar kekhilafan, atau diperoleh secara paksaan atau penipuan seperti yang disebutkan dalam pasal 1321 KUHPerdata, kesepakatan tersebut berdasarkan pada itikad baik.

Kesepakatan Pemutusan Hubungan Kerja yang dapat menghindari ancaman pidana dalam Undang – Undang Cipta Kerja

Hukum ketenagakerjaan pada dasarnya merupakan bidang hukum privat yang memiliki aspek publik, karena meskipun hubungan kerja dibuat berdasarkan kebebasan berkontrak para pihak, namun terdapat sejumlah ketentuan yang wajib menundukkan diri pada ketentuan pemerintah dalam yang merupakan hukum publik.

Terkait dengan pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam Undang-Undang Cipta Kerja sektor ketenagakerjaan cukup berbeda dengan undang-undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan. Sesuai yang telah disebutkan dalam pasal 156 ayat ( 1) Undang-Undang Cipta Kerja bahwasanya pengusaha wajib membayar uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Dalam pasal 185 ayat 1 Undang – Undang Cipta Kerja juga menyebutkan bahwa bila pengusaha tidak menjalankan kewajiban yang telah disebutkan dalam pasal 156, maka mereka akan diancam sanksi pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000 dan paling banyak Rp. 400.000.000. . Undang-Undang Cipta kerja cukup memberikan hal yang berbeda dalam ketentuan ketenagakerjaan. Dimana dalam pemberian sanksi terkait dengan pemberian kompensai Pemutusan Hubungan Kerja berupa ancaman pidana bagi pengusaha yang tidak membayarkan kompensasi sesuai dengan ketentuan pasal 156 Undang- Undang Cipta Kerja. Ancaman Pidana dalam hal ini merupakan termasuk dalam jenis tindak pidana kejahatan sesuai yang disebutkan dalam pasal 185 ayat (2) Undang-Undang Cipta Kerja. Beleid mengenai pemenuhan pembayaran kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) cukup menguntungkan bagi pihak pekerja. Karena selama ini pengusaha hanya mendapatkan sanksi administratif dan penyelesaian sengketa ketenagakerjaan dalam hal pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masuk dalam ranah hukum perdata sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Pemerintah memberikan jaminan atas kepastian dalam pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam bentuk ancaman pidana dilakukan guna melindungi pekerja, walaupun pada kenyatannya nominal atau nilai perhitungan pemberian kompensasi tersebut cenderung lebih kecil. Tetapi tidak diatur secara normative bagaimanakah metode pembayarannya. Perjuangan panjang yang dilakukan pekerja dalam mendapatkan haknya dalam hal Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sering terjadi secara berlarut larut dan dalam waktu yang panjang. Penuntutan hak pekerja selain melalui jalur hukum perdata, sering juga dilakukan dengan demo dan berbagai aksi unjuk rasa. Hal tersebut pun dilakukan belum tentu mendapatkan haknya secara utuh.

Kesepakatan yang dibuat antara pengusaha dan pekerja dalam hal pembayaran kompensasi dianggap jalan yang dapat ditempuh dalam posisi dimana perusahaan belum mampu untuk membayarkan secara lumpsum seluruh biaya kompensasi pemutusan hubungan kerja. Dan pekerja pun mendapatkan haknya secara utuh tanpa perlu bersengketa berkepanjangan dalam Peradilan Hubungan Industrial namun hanya dengan membuat laporan pidana terhadap tindakan pengusaha yang tidak membayarkan kewajibannya kepada pekerja.

Kesimpulan

Pembahasan mengenai problematika pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dimasa pandemic covid 19 dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) berdasarkan kesepakatan dapat dilakukan sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Kesepakatan yang dibuat oleh pengusaha dan pekerja yang dilakukan secara bipartit dapat dilakukan dan mampu memberikan solusi dalam pemberian kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ditengah pandemic Covid 19. Kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama didaftarkan dalam Pengadilan Hubungan Industrial untuk melindungi para pihak.
  2. Kesepakatan yang dibuat dapat menghindarkan pengusaha atas ancaman pidana terhadap pengusaha yang tidak memberikan kompensasi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan pekerja pun dapat mendapatkan haknya secara utuh. Sehingga hak dan kewajiban dari kedua belah pihak dapat sama-sama berjalan sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

References

  1. Pusdatin Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, "Peta Sebaran Covid 19," Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, jakarta, 2021.
  2. A. A. Herlambang, "Dampak Covid-19 Terhadap PHK Tenaga Kerja," Ayosemarang.com, 14 Desember 2020. [Online]. Available: http://semarang.ayoindonesia.com. [Accessed 14 Desember 2020].
  3. Amaludin, "Pekerja Kena PHK di Jatim capai 41 ribu selama pandemi," Medcom.id, 17 Maret 2021. [Online]. Available: http://www.medcom.id. [Accessed 17 Maret 2021].
  4. L. Julita, "UU Cipta Kerja Pengusaha tak bayar pesangon? penjara tau denda Rp 400 Juta," 03 November 2020. [Online]. Available: http://cnbcindonesia.com. [Accessed 03 April 2020].
  5. P. Widarti, "7.246 Pekerja di Jatim Terkena PHK Dampak Pandemi," Bisnis.com, 17 Maret 2021. [Online]. Available: http://www.surabaya.bisnis.com. [Accessed 17 Maret 2021].
  6. M. f. Resya Firmansyah, "Daftar Perusahaan yang PHK Karyawan karena Corona: KFC hingga Traveloka," kumparanBisnis.com, 22 Mei 2020 . [Online]. Available: http://www.kumparan.com. [Accessed 22 Mei 2020].
  7. V. F. Mukaromah, "Airy tutup, ini daftar 6 perusahaan yang PHK Karyawan karena Corona," Kompas.com, 08 05 2020. [Online]. Available: http://www.kompas.com. [Accessed 08 05 2021].
  8. S. M. Michael Agustinus, "Tantangan ekonomi RI di 2021: Gelombang PHK lanjutan hingga Lonjakan Kemiskinan," KumparanBisnis, 01 01 2021. [Online]. Available: http://kumparan.com. [Accessed 01 02 2021].
  9. S. R. Ischaya, "Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial," in Industrial Relation Certification Program, Jakarta, 2019.
  10. JDIH BPK RI, "Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial," Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, jakarta, 2004.
  11. JDIH BPK RI, "Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan," Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, jakarta, 2003.
  12. JDIH BPK RI, "Undang Undang Nomor 11Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja," Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, 2020.
  13. JDIH BPK RI, "Permenaker Nomor 31 Tahun 2008 Tentang Pedoman penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit," Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, Jakarta, 2008.
  14. JDIH BPK RI, "Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja," Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia, jakarta, 2021.
  15. Dinas Ketenagakerjaan Kota Balikpapan, "Mekanisme penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial," disnaker@balikpapan.go.id, Balikpapan , 2021.
  16. Y. Winarto, "UU Cipta Kerja Jamin kepastian Pesangon bagi pekerja yang terdampak PHK," Kontan, 26 Desember 2021. [Online]. Available: http://www.nasional.kontan.co.id. [Accessed 26 Desember 2021].
  17. Subekti and Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata cetakan ke 43, Jakarta: Balai Pustaka, 2017.