Login
Section Business Law

Issuer Compliance with Disclosure Principles in Insider Trading in the Indonesian Capital Market: A Comparative Study with Singapore and the United States from an Investor Protection Perspective

Kepatuhan Emiten Terhadap Prinsip Disclosure dalam Insider Trading di Pasar Modal Indonesia Perbandingan dengan Singapura dan Amerika Serikat: Perspektif Perlindungan Investor
Vol. 13 No. 2 (2025): December:

Hanz Bryan Joeliant (1), Ariawan Gunadi (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: Insider trading and weak information disclosure undermine market integrity and investor protection. Specific Background: In Indonesia, disclosure obligations under the Capital Market Law, OJK regulations, and IDX rules remain limited in timeliness, insider categorization, and enforcement compared to Singapore and the United States. Knowledge Gap: Existing studies have not systematically compared issuer compliance with disclosure principles across these jurisdictions to assess their effectiveness in preventing insider trading. Aims: This study analyzes Indonesia’s disclosure framework, compares it with Singapore and the U.S., and evaluates necessary reforms to enhance investor protection. Results: Findings show Indonesia’s two-day disclosure window, narrow insider definition, and predominantly administrative sanctions weaken deterrence, while Singapore’s immediate disclosure model and the U.S.’s broad misappropriation theory, real-time surveillance, and strong enforcement provide higher compliance and detection levels. Novelty: This research integrates doctrinal, conceptual, and comparative analyses to demonstrate how adopting broader insider definitions, accelerated disclosure, and technology-driven monitoring can strengthen Indonesia’s regulatory structure. Implications: Strengthening OJK–IDX integration, enhancing surveillance capacity, reforming insider trading provisions, and adopting international best practices are essential to improving market transparency and long-term investor confidence.


Highlights:




  • Indonesia’s disclosure rules remain slower and less comprehensive than Singapore and the U.S.




  • Broader insider definitions and real-time surveillance improve detection and deterrence.




  • Strengthened OJK–IDX integration is essential for effective enforcement and investor protection.




Keywords: Insider Trading, Disclosure, Investor Protection, Capital Market Regulation, Comparative Study

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Perdagangan orang dalam (insider trading) dan pelanggaran prinsip keterbukaan informasi memainkan peran sentral dalam menurunkan kepercayaan investor dan efektivitas pasar modal: ketika emiten atau pihak berkaitan (insider) memperoleh, menyembunyikan, atau menggunakan informasi material yang belum tersedia secara merata ke publik, muncul asimetri informasi yang merusak mekanisme penetapan harga, mengurangi likuiditas, dan menimbulkan kerugian distribusi yang sistemik bagi investor ritel khususnya mereka yang tidak memiliki akses yang sama terhadap informasi material perusahaan [1]. Prinsip disclosure (keterbukaan) bukan sekadar kewajiban administratif, namun pilar perlindungan investor yang menuntut emiten menyajikan informasi material secara cepat, benar, dan tidak menyesatkan agar semua pelaku pasar dapat membuat keputusan investasi yang rasional [2].

Kerangka hukum pasar modal di Indonesia berdasar pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UU Pasar Modal”) dan aturan pelaksana yang diadministrasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”) menempatkan pengungkapan dan larangan transaksi menggunakan informasi orang dalam sebagai instrumen utama, namun studi empiris dan kajian normatif menunjukkan adanya celah pelaksanaan mulai dari definisi insider yang relatif sempit, kapasitas penyidikan dan penegakan yang belum konsisten, hingga hambatan administratif dalam mendeteksi dan menuntut pelanggaran yang mengakibatkan perlindungan investor yang belum sepenuhnya optimal.

Bandingkan itu dengan Singapura, yang menerapkan kerangka Securities and Futures Act (“SFA”) dan praktik penegakan terpadu oleh Monetary Authority of Singapore (“MAS”), di mana pendekatan hukum terhadap insider trading menggabungkan teori misappropriation dan teori classical sehingga cakupan pelanggaran dapat lebih luas (mis. tipper-tippee, outsider yang menerima informasi), dan penegakan kontinu disclosure relatif aktif meskipun tetap menghadapi tantangan terkait bukti transaksi dan bukti niat [3]. Pendekatan Singapura kerap menekankan penegakan publik yang proaktif serta kombinasi antara sanksi administratif dan pidana untuk menciptakan efek jera, dan literatur komparatif menunjukkan bahwa pola ini cenderung lebih efektif dalam mengurangi praktik perdagangan orang dalam jika dibandingkan penegakan yang bersifat reaktif [4].

Rezim Amerika Serikat berkembang dari doktrin pengungkapan sukarela menuju struktur regulasi yang kaya preseden dan aturan termasuk pengembangan teori larangan insider melalui putusan pengadilan, peran SEC yang kuat dalam penyidikan, serta aturan khusus seperti Regulation Fair Disclosure (“Reg FD”) (pencegahan selective disclosure) yang menargetkan praktik pengungkapan selektif oleh perusahaan publik. Dua teori utama yang menggarisbawahi tindakan perdata/pidana di AS teori klasik dan misappropriation memberi fleksibilitas yuridis yang besar sehingga otoritas dapat menuntut berbagai bentuk penyalahgunaan informasi material, yang pada praktiknya memperkuat perlindungan investor melalui deterrence berbasis litigasi publik dan private enforcement.[5] Namun, literatur juga mencatat bahwa sistem AS bergantung kuat pada kapasitas litigasi dan pemantauan pasar yang intensif, sehingga compliance kos tinggi bagi emiten tetapi efektivitasnya dalam mereduksi asimetri informasi relatif tinggi bila penegakan dijalankan konsisten.

Tiga jurisdiksi tersebut memperlihatkan trade-off antara lingkup aturan (seberapa luas definisi insider dan tippee), mekanisme pengungkapan (kewajiban continuous disclosure vs. ad hoc disclosure), dan kapasitas penegakan (sumber daya regulatori, data pasar, dan sistem litigasi). Indonesia menghadapi masalah struktural termasuk keterbatasan sumber daya penegakan, inkonsistensi sanksi, serta kebutuhan harmonisasi norma pengungkapan yang mengurangi efektivitas pencegahan dan pemulihan bagi investor korban. Singapura menunjukkan bahwa penegakan proaktif plus perluasan teori pidana dapat meningkatkan kepatuhan emiten, sementara AS menawarkan preseden hukum dan instrumen privat (class actions, SEC enforcement) yang kuat untuk mendorong disclosure dan memberi kompensasi kepada investor tetapi dengan biaya kepatuhan yang tinggi bagi pasar.

Oleh karena itu, penelitian komparatif ini penting sebagai norma hukum dan praktik penegakan, tetapi juga mengevaluasi bagaimana kepatuhan emiten terhadap prinsip disclosure secara nyata berdampak pada tingkat perlindungan investor baik dari sudut pencegahan (reduksi kejadian insider trading), deteksi (kemampuan mengidentifikasi transaksi mencurigakan), maupun remediasi (akses korban mendapatkan kompensasi dan pemulihan kepercayaan pasar). Studi semacam ini juga membuka jalan rekomendasi kebijakan yang berbasis bukti, misalnya perluasan definisi insider dan tippee di Indonesia, penguatan kapasitas investigasi OJK/BAPEPAM, pemanfaatan teknologi pengawasan transaksi, insentif untuk penerapan best practice corporate disclosure, serta mekanisme kolaborasi lintas-yurisdiksi untuk menangani perdagangan orang dalam berbasis informasi lintas batas semua bertujuan meningkatkan keterbukaan, mengurangi asimetri informasi, dan memulihkan/meningkatkan perlindungan investor dalam jangka menengah dan panjang.[6]

Isu hukum utama dalam penelitian komparatif ini muncul dari adanya perbedaan tingkat kepatuhan emiten terhadap prinsip disclosure dalam mencegah praktik insider trading di berbagai yurisdiksi. Di Indonesia, kewajiban keterbukaan informasi diatur dalam UU Pasar Modal, khususnya Pasal 86–95 yang menegaskan larangan pemanfaatan informasi material yang belum tersedia untuk publik, serta Pasal 102–103 yang mengatur kewajiban emiten untuk mengungkapkan informasi secara lengkap dan tepat waktu. Namun, praktiknya masih ditemukan ketidakpatuhan, keterlambatan publikasi, serta lemahnya penegakan, sehingga potensi kerugian investor meningkat. Sementara itu, Singapura melalui SFA menerapkan rezim disclosure yang jauh lebih ketat dengan mekanisme continuous disclosure dan denda administratif tinggi yang membuat kepatuhan emiten relatif lebih baik. Di Amerika Serikat, Securities Exchange Act 1934 (“SEA”), terutama Rule 10b-5, memberikan standar transparansi yang tinggi dengan penegakan yang agresif oleh SEC, sehingga insider trading lebih mudah dideteksi dan ditindak. Perbedaan tingkat kepatuhan, kualitas regulasi, dan kekuatan penegakan ini menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana Indonesia dapat memperkuat kerangka hukumnya agar perlindungan investor setara dengan standar internasional.

Berdasarkan isu tersebut, rumusan masalah penelitian ini berfokus pada dua pertanyaan inti. Pertama, bagaimana perbedaan kepatuhan emiten terhadap prinsip disclosure dalam mencegah insider trading di Indonesia dibandingkan dengan Singapura dan Amerika Serikat. Kedua, bagaimana arah pengaturan ke depan yang perlu dikembangkan di Indonesia untuk meningkatkan transparansi, mendorong kepatuhan emiten, dan memberikan perlindungan investor yang lebih efektif berdasarkan pembelajaran dari kedua negara pembanding tersebut.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam studi ini adalah yuridis normatif, yaitu penelitian yang bertumpu pada analisis terhadap norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan, doktrin, dan putusan otoritas pasar modal [7]. Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan menelaah ketentuan , yang mengatur kewajiban disclosure dan larangan insider trading sebagaimana tercantum dalam UU Pasar Modal, peraturan OJK, serta aturan pelaksana Bursa Efek Indonesia. Pendekatan ini juga diterapkan pada perangkat hukum di yurisdiksi pembanding, yaitu SFA (Singapura) dan SEA beserta Rule 10b-5 (Amerika Serikat). Selain itu, penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual (conceptual approach) dengan mengkaji teori-teori mengenai keterbukaan informasi, prinsip perlindungan investor, serta konsep market integrity yang menjadi dasar pengaturan insider trading di berbagai sistem hukum. Pendekatan ini memperkuat pemahaman mengenai asas-asas hukum yang melandasi kebijakan regulatif di setiap negara. Lebih lanjut, penelitian ini menerapkan pendekatan komparatif (comparative approach) untuk membandingkan efektivitas rezim disclosure, mekanisme kepatuhan emiten, serta pola penegakan hukum di Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat. Melalui perbandingan tersebut, penelitian ini berupaya mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan masing-masing sistem hukum serta menarik pelajaran normatif yang dapat menjadi dasar rekomendasi bagi pengembangan regulasi dan penguatan perlindungan investor di Indonesia.

Hasil dan Pembahasan

A. Kepatuhan Emiten Terhadap Prinsip Disclosure dalam Mencegah Insider Trading di Indonesia Dibandingkan Singapura dan Amerika Serikat

Kepatuhan emiten terhadap prinsip keterbukaan informasi (disclosure) memiliki posisi strategis dalam menjaga integritas pasar modal, melindungi investor, dan mencegah praktik insider trading yang dapat merusak kepercayaan publik terhadap mekanisme pasar. Di Indonesia, prinsip disclosure tidak hanya menjadi kewajiban normatif, tetapi juga menjadi mekanisme utama untuk mengurangi kesenjangan informasi antara emiten, orang dalam, dan investor publik. Kerangka hukum nasional menempatkan UU Pasar Modal sebagai fondasi yang mengatur bahwa setiap pihak yang memperoleh informasi material yang belum tersedia untuk publik memiliki larangan dan batasan tertentu dalam melakukan perdagangan efek. Ketentuan ini tercermin dalam Pasal 86 UU Pasar Modal, yang mewajibkan emiten atau perusahaan publik untuk mengungkapkan setiap informasi atau fakta material yang dapat memengaruhi keputusan investasi publik; serta Pasal 95, Pasal 96, dan Pasal 97 UU Pasar Modal, yang melarang orang dalam mempergunakan atau menyebarkan informasi material yang belum tersedia bagi publik.

Selain itu, pengaturan teknis diperjelas melalui regulasi OJK seperti POJK Nomor 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi, yang menegaskan batas waktu penyampaian informasi material dan kewajiban emiten untuk memastikan keterbukaan dilakukan secara lengkap, akurat, dan tepat waktu. Meskipun kerangka hukum Indonesia relatif lengkap, sejumlah penelitian menunjukkan adanya tantangan signifikan dalam penegakan, termasuk keterlambatan pengumuman informasi material, ketidakseragaman standar materialitas antar emiten, serta kesulitan OJK dalam membuktikan unsur subjektif yang melekat pada kasus insider trading [8]. Kurangnya kecepatan dan presisi dalam disclosure sering menciptakan ruang celah informasi yang dapat dimanfaatkan oleh orang dalam atau pihak terafiliasi sehingga pencegahan insider trading melalui keterbukaan menjadi kurang optimal.

Singapura menempati posisi sebagai salah satu yurisdiksi dengan rezim keterbukaan informasi paling ketat dan efektif di Asia, di mana keterbukaan bukan hanya sebatas kewajiban formal, tetapi menjadi mekanisme yang diintegrasikan dengan sistem pengawasan pasar yang real-time dan penegakan hukum yang konsisten [9]. Pengaturan yang mengikat emiten terletak pada SFA, terutama Bagian XII (Part XII) yang menegaskan larangan keras terhadap segala tindakan insider trading dan segala bentuk penyalahgunaan informasi rahasia. Selain itu, kewajiban keterbukaan yang ketat berada dalam aturan bursa SGX Listing Rule 703(1) yang mewajibkan emiten untuk mengungkapkan secara segera (immediate disclosure) setiap informasi yang bersifat price-sensitive.

Model keterbukaan ini diperkuat dengan mekanisme Disclosure of Interests yang diatur dalam Sections 137–137F SFA, yang meminta direktur, CEO, manajer, serta pemegang saham dengan kepemilikan signifikan untuk melaporkan setiap perubahan kepemilikan mereka dalam waktu yang sangat singkat [10]. Efektivitas Singapura terletak pada kepatuhaan disiplin pasar terhadap kewajiban pengungkapan, prosedur internal perusahaan yang ketat, serta penggunaan teknologi pengawasan pasar yang memungkinkan otoritas seperti MAS dan SGX memantau pola perdagangan secara real-time.[11] Selain itu, Singapura memiliki tradisi penegakan hukum yang tidak kompromistis, termasuk penjatuhan denda tinggi, diskualifikasi direktur, dan bahkan hukuman pidana bagi pelaku insider trading. Berdasarkan hal tersebut, rezim disclosure di Singapura berperan bukan sekadar formalitas, tetapi menjadi jantung pengendali integritas pasar.

Berbeda dengan Indonesia dan Singapura, Amerika Serikat membangun rezim insider trading berdasarkan historis panjang dan perkembangan hukum melalui putusan-putusan pengadilan yang membentuk doktrin, sehingga kerangka hukumnya tidak hanya bersandar pada peraturan tertulis, tetapi juga pada interpretasi yurisprudensial.[12] Dasar utama pencegahan insider trading berada pada Section 10(b) SEA serta aturan turunan SEC Rule 10b-5, yang melarang segala bentuk manipulasi atau penipuan dalam perdagangan efek. Penting pula peran Reg FD yang diperkenalkan pada tahun 2000 untuk mencegah selective disclosure oleh perusahaan kepada analis atau investor tertentu.[13] Rezim AS juga mengatur kewajiban emiten untuk melakukan pelaporan teratur melalui formulir seperti Form 10-K, 10-Q, dan Form 8-K yang memuat pengungkapan informasi material yang terjadi tiba-tiba.

Dalam pelaporan kepemilikan orang dalam, AS menerapkan mekanisme pelaporan ketat melalui Forms 3, 4, dan 5, yang wajib disampaikan dalam hitungan dua hari kerja berdasarkan Section 16(a) of the Exchange Act. Selain itu, Rule 10b5-1 Trading Plans memberikan kesempatan bagi direktur atau eksekutif untuk menjual saham berdasarkan rencana otomatis yang tidak dipengaruhi informasi internal, tetapi SEC memperketat mekanisme ini melalui revisi aturan pada tahun 2022 karena banyaknya penyalahgunaan. Penegakan hukum di AS sangat agresif, dengan SEC bekerja sama dengan DOJ menggunakan data analitik dan algoritma untuk mendeteksi pola insider trading secara cepat. Banyak kasus besar seperti United States v. O’Hagan, Dirks v. SEC, dan Chiarella v. United States menjadi tonggak penting dalam memperluas ruang lingkup definisi “orang dalam” dan mempertegas teori misappropriation.[13] Berdasarkan hal tersebut, rezim disclosure AS menjadi model internasional dalam pencegahan insider trading karena kombinasi regulasi yang ketat, pengawasan canggih, dan penegakan hukum tanpa kompromi.

Ketiga negara tersebut menunjukkan perbedaan yang mencolok dalam hal efektivitas sistem disclosure sebagai instrumen pencegahan insider trading. Meskipun Indonesia memiliki kerangka hukum yang cukup jelas, efektivitasnya bergantung pada kepatuhan emiten dan kemampuan OJK melakukan deteksi dini terhadap transaksi mencurigakan. Studi literatur di Indonesia menegaskan bahwa asymmetry of information masih sering terjadi akibat lemahnya disiplin pengungkapan, keterlambatan publikasi informasi material, serta minimnya transparansi terkait perubahan kepemilikan orang dalam.

Singapura menawarkan model yang lebih efisien dengan standar keterbukaan yang seragam, waktu pelaporan yang ketat, serta hukuman finansial dan administratif yang mampu menciptakan efek jera. Dengan pengawasan pasar yang terintegrasi, otoritas dapat mendeteksi pergerakan harga dan volume yang tidak biasa dalam hitungan menit. Sementara Amerika Serikat menampilkan pendekatan yang lebih kompleks dengan kombinasi regulasi, self-regulation, teknologi pengawasan tingkat lanjut, dan perkembangan yurisprudensi yang memperluas situasi yang dikategorikan sebagai insider trading [10]. Ketiganya memperlihatkan bahwa keterbukaan informasi bukan hanya sekadar proses administratif, tetapi merupakan elemen substansial dalam menjaga keadilan pasar. Peningkatan standar materialitas, penguatan mekanisme pengungkapan real-time, peningkatan sanksi, serta penegakan secara konsisten menjadi rekomendasi penting jika ingin mencapai tingkat integritas pasar sebanding dengan Singapura dan Amerika Serikat.

Aspek Indonesia Singapura Amerika Serikat
Dasar Hukum UU No. 8/1995 Pasar Modal (Pasal 85–95), POJK 31/2015, POJK 11/2017 SFA (Part XII), SGX Listing Rules SEA 1934 (Sec. 10(b)), SEC Rule 10b-5, Reg FD
Kewajiban Disclosure Informasi material wajib diumumkan max. 2 hari kerja Immediate disclosure tanpa batas waktu Real-time & fair disclosure
Larangan Insider Trading Pasal 95 UU Pasar Modal: larangan pakai info non-publik SFA: larangan pakai price-sensitive info Rule 10b-5: larangan manipulasi dan penyalahgunaan info
Kategori Insider Direksi, komisaris, pegawai, dan pihak yg terhubung Director, officer, employee, adviser, tippee Officer, director, employee, adviser, temporary insider, tippee
Mekanisme Pencegahan Laporan kepemilikan orang dalam, keterbukaan transaksi Blackout period, pelaporan SGXNet, pengawasan MAS Blackout period, pre-clearance, pengawasan SEC & FINRA
Sanksi Penjara 10 tahun, denda 15 miliar Denda besar + penjara Penjara 20 tahun + denda besar
Table 1. Perbandingan Negara Indonesia, Singapura, dan Amerika Serikat

Perbandingan ketiga yurisdiksi menunjukkan bahwa efektivitas pencegahan insider trading sangat ditentukan oleh kekuatan kewajiban disclosure dan ketegasan penegakan hukumnya. Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang cukup lengkap melalui UU Pasar Modal dan POJK, namun kewajiban keterbukaan yang masih memberi ruang waktu dua hari serta pengawasan yang lebih terbatas membuat perlindungan investornya belum seketat negara maju [14]. Singapura tampil lebih progresif dengan model immediate disclosure, sistem pelaporan terpusat, serta penegakan yang cepat dan tegas dari MAS, sehingga mampu menciptakan disiplin pasar yang tinggi. Amerika Serikat menempati posisi paling kuat, ditopang oleh prinsip real-time disclosure, perangkat regulasi komprehensif, dan penegakan agresif oleh SEC dan FINRA yang menciptakan efek jera signifikan. Indonesia masih perlu memperkuat mekanisme pelaporan, mempercepat kewajiban keterbukaan, serta memperbaiki kapasitas pengawasan agar mampu mendekati standar Singapura dan Amerika Serikat dalam mencegah praktik insider trading.

B. Arah Pengaturan ke Depan Yang Perlu Dikembangkan di Indonesia Untuk Meningkatkan Transparansi, Mendorong Kepatuhan Emiten

Kerangka hukum pasar modal Indonesia masih menghadapi sejumlah kekurangan mendasar yang menyebabkan pengawasan keterbukaan informasi dan pencegahan insider trading belum efektif. Pertama, definisi orang dalam dan insider trading dalam UU Pasar Modal masih terbatas karena hanya mengadopsi pendekatan fiduciary duty, tanpa mengakui teori misappropriation sebagaimana diterapkan di yurisdiksi maju [15]. Keterbatasan ini menimbulkan celah hukum karena individu yang memperoleh informasi material non-publik melalui saluran informal atau non-fidusia dapat terhindar dari pertanggungjawaban.

Kedua, kewajiban keterbukaan informasi oleh emiten meskipun telah diatur dalam UU Pasar Modal dan ketentuan turunan OJK, masih menghadapi kelemahan pada aspek ketepatan waktu, struktur pelaporan, dan disiplin implementasi. Penelitian empiris menunjukkan bahwa mekanisme pengumuman informasi material belum sepenuhnya memenuhi prinsip kecepatan (timeliness), sehingga memungkinkan terjadinya ketidakseimbangan informasi antara investor dan pelaku internal.[1] Kelemahan ini memperbesar peluang terjadinya perdagangan orang dalam, terlebih karena pelaporan transaksi dan perubahan kepemilikan sering terlambat atau kurang rinci.

Ketiga, penegakan hukum terkait insider trading di Indonesia masih cenderung administratif dan kurang memberikan efek jera. Walaupun UU Pasar Modal memuat ancaman pidana, dalam praktiknya sebagian besar kasus ditangani melalui sanksi administratif karena kesulitan pembuktian dan keterbatasan investigasi. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan sanksi pidana jarang dilakukan, sehingga regulasi kehilangan kekuatan preventifnya dan tidak memberikan sinyal kuat kepada emiten maupun pelaku pasar [16]. Minimnya penggunaan ketentuan pidana dalam Pasal 103–110 UU Pasar Modal menunjukkan adanya disparitas antara norma dan praktik penegakan.

Keempat, kapasitas pengawasan pasar modal dan kemampuan deteksi dini transaksi mencurigakan masih terbatas. Sistem pelaporan elektronik, surveillance real-time, dan analisis pola transaksi belum setara dengan mekanisme negara dengan pasar modal maju, sehingga banyak potensi insider trading tidak teridentifikasi. Kendala pada pembuktian berbasis data elektronik juga membuat penuntutan kasus semakin sulit, terutama untuk membangun hubungan antara informasi non-publik dan tindakan transaksi. Kekurangan ini sering menjadi hambatan utama dalam melakukan pembuktian kausalitas, sebuah unsur krusial dalam perkara insider trading [17].

Kelima, budaya kepatuhan (compliance culture) di kalangan emiten masih belum kuat. Banyak perusahaan belum menerapkan blackout period, kebijakan internal perdagangan saham oleh direksi dan komisaris, maupun pelaporan perubahan kepemilikan secara proaktif. Penelitian menyebut bahwa rendahnya kesadaran hukum orang dalam serta lemahnya kebijakan tata kelola internal memperbesar risiko pelanggaran, karena regulasi eksternal tidak diimbangi dengan disiplin internal perusahaan.[18]

Arah pengaturan ke depan dalam upaya meningkatkan transparansi, mendorong kepatuhan emiten, dan memperkuat perlindungan investor di Indonesia perlu dikembangkan melalui pembaruan regulasi yang lebih progresif, modern, dan responsif terhadap dinamika pasar modal global. Penguatan harus dimulai dari reformulasi kewajiban keterbukaan informasi dalam POJK No. 31/POJK.04/2015 agar tidak lagi mengandalkan skema two-day requirement, tetapi bertransformasi menuju model immediate disclosure sebagaimana diterapkan Singapura melalui SGX Listing Rules Rule 703 yang mewajibkan emiten mengumumkan setiap price-sensitive information tanpa penundaan.

Ketentuan Indonesia saat ini masih memberi ruang waktu hingga dua hari kerja, yang pada praktiknya menimbulkan kesenjangan informasi dan membuka peluang terjadinya insider trading sebelum publik memperoleh data yang sama. Pembelajaran dari Singapura menunjukkan bahwa percepatan alur keterbukaan informasi terbukti mampu meningkatkan kepercayaan pasar, meminimalkan rumor, serta menciptakan struktur pasar yang lebih efisien. Selain itu, Indonesia perlu memperkuat pengaturan mengenai penyalahgunaan informasi orang dalam dengan melakukan revisi terhadap Pasal 95 UU Pasar Modal, khususnya dengan memasukkan pengaturan teknis mengenai pre-clearance, blackout period, whistleblowing, dan kewajiban pelaporan otomatis bagi seluruh orang dalam, sebagaimana standar praktik yang diberlakukan SEC melalui Rule 10b-5, Reg FD, dan ketentuan pelaporan Form 4 dalam sistem kepemilikan saham orang dalam di Amerika Serikat. Pendekatan Amerika Serikat yang bersifat principle-based enforcement dan didukung pengawasan agresif SEC serta FINRA terbukti menciptakan efek jera, mengurangi asimetri informasi, dan meningkatkan integritas pasar modal [19].

Oleh karena itu, Indonesia perlu mengadopsi mekanisme serupa melalui penguatan kapasitas teknologi surveillance system di OJK dan Bursa Efek Indonesia (“BEI”), misalnya dengan mengembangkan pemantauan berbasis kecerdasan buatan yang mampu mendeteksi pola transaksi tidak wajar secara real-time, sebagaimana sistem SMARTS milik MAS dan FINRA. Selain perubahan regulasi formal, pengaturan ke depan juga harus memperluas definisi “orang dalam” untuk mencakup kategori temporary insiders, tippees, consultants, investment bankers, serta pihak eksternal yang menerima informasi material secara tidak langsung, mengikuti pendekatan yurisprudensi Amerika Serikat yang menekankan pada hubungan fidusia dan kewajiban menjaga kerahasiaan informasi.[20] Dalam tata kelola perusahaan, Indonesia perlu mewajibkan emiten menerapkan compliance program yang berisi pelatihan periodik mengenai keterbukaan informasi, larangan insider trading, dan manajemen risiko informasi, sebagaimana diatur dalam pedoman corporate governance di Singapura dan AS.

Selain itu, penguatan perlindungan investor juga perlu dilakukan melalui peningkatan sanksi administratif yang proporsional, penerapan denda berbasis disgorgement, serta mekanisme perlindungan pelapor internal untuk memastikan pengungkapan pelanggaran dapat dilakukan tanpa rasa takut. Reformasi juga perlu memperkuat koordinasi antara OJK, BEI, dan otoritas penegak hukum pidana agar kasus insider trading tidak berhenti pada tindakan administratif, tetapi dapat ditindak secara komprehensif sebagaimana model enforcement di Singapura dan Amerika Serikat. Secara keseluruhan, arah pengaturan ke depan harus bergerak menuju ekosistem pasar modal yang lebih transparan, cepat, berintegritas tinggi, serta berbasis teknologi, sehingga Indonesia mampu mencapai standar global dalam pencegahan insider trading sekaligus memperkuat kepercayaan investor dalam jangka panjang.

Penguatan arah pengaturan ke depan juga memerlukan peningkatan integrasi antara aspek regulasi, tata kelola perusahaan (corporate governance), dan literasi hukum pasar modal bagi seluruh pelaku industri. Indonesia dapat mengadopsi model layered compliance structure seperti dalam sistem Singapura, dimana kewajiban keterbukaan informasi tidak hanya berbasis regulasi level negara, tetapi juga dipertegas di level bursa melalui SGX Listing Rules yang menetapkan standar lebih tinggi dibandingkan peraturan pemerintah. Praktik ini mendorong disiplin emiten untuk menjaga kualitas informasi yang dirilis serta mengurangi kecenderungan penundaan penyampaian data material. Indonesia melalui BEI dapat memperkuat Peraturan Bursa No. I-E dengan menetapkan batas waktu immediate disclosure, kewajiban melakukan konferensi pers apabila terjadi peristiwa material signifikan, dan mewajibkan emiten menerbitkan trading statement apabila terjadi fluktuasi harga di luar kewajaran. Ketentuan ini selaras dengan model Trade with Caution Alert pada SGX dan mekanisme Market Watch Group pada MAS, sehingga dapat membatasi spekulasi dan mempercepat penanganan potensi penyalahgunaan informasi [17].

Selain itu, pembelajaran dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa perlindungan investor tidak dapat dilepaskan dari fungsi whistleblower program, sebagaimana diformalkan dalam Dodd-Frank Act yang memberikan insentif finansial serta perlindungan hukum bagi pelapor pelanggaran pasar modal. Indonesia dapat mengadopsi skema serupa melalui revisi POJK dan Peraturan OJK mengenai pelapor pelanggaran internal pada lembaga keuangan. Keberadaan whistleblower terbukti menjadi alat deteksi dini yang efektif untuk mencegah insider trading dan manipulasi pasar, karena pelanggaran jenis ini sering kali terjadi secara tertutup dan hanya dapat diungkap melalui sumber internal [21]. Indonesia juga perlu memperkuat sistem automatic detection terhadap pola transaksi mencurigakan. Berbeda dengan Indonesia, regulator di Amerika Serikat menggunakan sistem Consolidated Audit Trail (“CAT”) yang merekam seluruh aktivitas order dan eksekusi transaksi, sehingga memudahkan SEC dan FINRA melacak pola yang mengindikasikan penggunaan informasi orang dalam [1]. Pengembangan sistem serupa oleh OJK dan BEI akan meningkatkan transparansi struktural dan memberikan fondasi kuat dalam investigasi penegakan hukum.

Arah pengaturan ke depan perlu menyentuh aspek harmonisasi regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih antara ketentuan OJK, BEI, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Pengalaman Singapura menunjukkan bahwa koordinasi antara MAS dan SGX menciptakan ekosistem pasar modal yang lebih terintegrasi, sehingga penindakan insider trading dapat dilakukan secara cepat dan tegas. Indonesia perlu membangun mekanisme joint-task enforcement antara OJK, BEI, dan aparat penegak hukum untuk menyederhanakan alur pemeriksaan, mempercepat proses investigasi, serta memastikan pelanggaran insider trading tidak hanya dikenakan sanksi administratif, tetapi juga pidana sesuai Pasal 104 dan 105 UU Pasar Modal [22]. Harmonisasi ini akan menciptakan rezim pasar modal yang lebih kredibel serta mampu bersaing dengan yurisdiksi lain di kawasan Asia Tenggara.

Dari perspektif perlindungan investor, Indonesia juga perlu mempertimbangkan untuk memperkuat peran pemegang saham minoritas melalui peningkatan hak-hak prosedural dalam memperoleh informasi material. Pembelajaran dari Amerika Serikat menunjukkan bahwa keberadaan mekanisme class action dan derivative suit memberikan insentif struktural bagi perusahaan untuk menjaga integritas informasi, karena pelanggaran insider trading dapat menimbulkan risiko gugatan kolektif bagi direksi dan manajemen. Indonesia dapat memperluas mekanisme penyelesaian sengketa investor melalui Pengadilan Niaga atau Badan Arbitrase Pasar Modal sehingga investor mendapatkan akses ganti rugi yang efektif. Kebijakan ini selaras dengan prinsip perlindungan investor dalam OECD Principles of Corporate Governance, yaitu fair treatment of shareholders, timely disclosure, dan enforcement mechanisms yang memadai.

Arah pengaturan Indonesia ke depan harus berorientasi pada peningkatan kualitas regulasi dan penegakan hukum agar mampu menciptakan pasar modal yang kompetitif, setara, dan memiliki standar internasional dalam keterbukaan informasi. Kombinasi percepatan disclosure, perluasan definisi orang dalam, penguatan teknologi pengawasan, integrasi penegakan hukum, dan peningkatan perlindungan investor merupakan langkah strategis yang dapat membawa Indonesia menuju rezim pasar modal yang lebih maju [23]. Dengan mengadopsi elemen-elemen terbaik dari Singapura dan Amerika Serikat, Indonesia tidak hanya akan meningkatkan kepatuhan emiten, tetapi juga membangun kepercayaan jangka panjang yang menjadi prasyarat penting bagi pertumbuhan pasar modal yang sehat dan berkelanjutan.

Simpulan

Pencegahan insider trading di Indonesia masih terhambat oleh kelemahan regulasi dan implementasi yang tersebar dalam UU Pasar Modal, POJK 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi, POJK 11/POJK.04/2017 tentang Pelaporan Kepemilikan Saham, dan Peraturan BEI No. I-E tentang Kewajiban Penyampaian Informasi. Walaupun norma dasar mengenai larangan insider trading sudah tercantum dalam Pasal 95–99 UU Pasar Modal, ketentuan tersebut belum dilengkapi definisi komprehensif mengenai “orang dalam” dan belum mengadopsi pendekatan misappropriation theory seperti di negara-negara dengan pasar modal maju. Kelemahan dalam ketepatan waktu disclosure, inkonsistensi pelaporan perubahan kepemilikan saham oleh direksi/komisaris, serta keterbatasan teknologi pengawasan transaksi menunjukkan bahwa regulasi eksisting belum mampu menciptakan lingkungan yang benar-benar transparan. Selain itu, meskipun Pasal 102–110 UU Pasar Modal memuat ancaman pidana, dalam praktiknya penegakan hukum lebih sering berhenti pada sanksi administratif sesuai kewenangan OJK, sehingga tidak menimbulkan efek jera yang memadai.

Berdasarkan pembelajaran dari Singapura dan Amerika Serikat, Indonesia perlu memperkuat kerangka regulasinya dengan mengadopsi standar keterbukaan informasi yang lebih ketat dan mekanisme pengawasan yang lebih modern. Singapura melalui SFA dan SGX Listing Rules membuktikan bahwa immediate disclosure, trade-with-caution alerts, serta pengawasan terintegrasi antara regulator dan bursa mampu menekan praktik penyalahgunaan informasi. Amerika Serikat melalui SEA, SEC Rule 10b-5, Reg. FD, dan Dodd-Frank Whistleblower Program menunjukkan bahwa penegakan hukum agresif, perlindungan pelapor, serta penggunaan sistem CAT dapat meningkatkan deteksi dini insider trading. Indonesia dapat mengarahkan pengaturan ke depan dengan memperluas definisi orang dalam, memperkuat kewajiban keterbukaan informasi di bawah POJK, meningkatkan integrasi pengawasan antara OJK dan BEI, serta memperluas penggunaan sanksi pidana untuk pelanggaran serius. Berdasarkan hal tersebut, harmonisasi antara regulasi, tata kelola, dan teknologi dapat mewujudkan pasar modal Indonesia yang lebih transparan, berintegritas tinggi, dan mampu memberikan perlindungan optimal bagi investor.

References

F. A. M. Radinda, M. A. N. Massora, and R. A. Fathonah, “Praktik Insider Trading Sebagai Bentuk Pelanggaran Prinsip Keterbukaan Informasi Dalam Pasar Modal di Indonesia,” Jurnal Cakrawala Hukum, vol. 11, no. 1, pp. 41–49, Apr. 2020, doi: 10.26905/idjch.v11i1.3528.

N. A. Bhuana, C. R. P. Eritika, and B. B. Kusuma, “Information Inequality With Insider Trading Practices in the Indonesian Capital Market,” SKLJ, vol. 5, no. 2, pp. 212–221, Aug. 2021, doi: 10.24815/sklj.v5i2.21705.

Y. T. Muryanto and R. R. Widyoningrum, “Analysis of Insider Trading Practice Relating to Law Protection Effort for Minority Shareholders,” Yustisia, vol. 7, no. 2, p. 314, Sept. 2018, doi: 10.20961/yustisia.v7i2.17232.

T. D. Niandita, “Insider Trading and Law Enforcement in the Capital Market,” Jurnal Ilmu Indonesia (JII), vol. 3, no. 10, pp. 820–829, Oct. 2024, doi: 10.58344/jii.v3i10.5643.

M. A. Gea and M. J. Hutajulu, “Insider Trading Case Settlement: Studies in Indonesia and the United States,” Unpublished Manuscript, 2021.

W. Woon, “Regulation of the Securities Industry in Singapore,” Singapore Journal of Legal Studies, vol. 4, no. 3, 2019.

D. S. S. Nugroho, A. T. Haryani, and S. Hi, Metodologi Riset Hukum. Jakarta, Indonesia: Prenadamedia Group, 2020.

T. P. Palayukan and B. Nasution, “Analisis Terhadap Larangan Praktik Insider Trading di Pasar Modal,” Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM, vol. 27, no. 3, 2020.

F. Jonathan, F. Sugianto, and T. Michael, “Comparative Legal Analysis on the Competence of the Indonesia’s Financial Services Authority and Monetary Authority of Singapore on the Enforcement of Insider Trading Laws,” Journal of Central Banking, Law and Institutions, vol. 2, no. 2, pp. 283–300, May 2023, doi: 10.21098/jcli.v2i2.24.

Q. Shah, A. Ghafoor, F. Qureshi, and I. Ismail, “Market Manipulation in East-Asian Markets: A Regulatory Overview,” Economic and Environmental Advances, vol. 39, no. 1, Jan. 2021, doi: 10.25115/eea.v39i1.3376.

J. Matheus, “E-Arbitration: Digitization of Business Dispute Resolution in the E-Commerce Sector During the Covid-19 Pandemic,” Jurnal Legal Review, vol. 6, no. 4, Oct. 2021, doi: 10.20885/JLR.vol6.iss4.art4.

E. A. Syazali, A. Irawan, and A. Ternando, “Analisis Penegakan Hukum Insider Trading di Pasar Modal Indonesia,” Jurnal Hukum & Pembangunan, vol. 50, no. 2, 2020.

M. K. Jardak and H. Matoussi, “Investor Protection, Disclosure Regulation and Financial Market: International Evidence,” International Journal of Economics and Finance, vol. 12, no. 3, 2020.

R. M. A. Ilyasa, M. F. Millenio, and A. Nadiyya, “Problematika Kejahatan Insider Trading dan Solusi dalam Mewujudkan Perlindungan dan Kepastian Hukum bagi Para Investor,” Jurnal Hukum dan Investasi, vol. 8, no. 1, 2022.

E. P. R. Ps, “Mekanisme Penyelesaian Kejahatan Insider Trading dan Solusi dalam Mewujudkan Perlindungan Hukum bagi Investor Pasar Modal,” Jurrish, vol. 4, no. 2, pp. 939–948, June 2025, doi: 10.55606/jurrish.v4i2.5355.

R. R. Nusi, “Ketidakadilan Informasi dengan Adanya Praktik Insider Trading pada Pasar Modal Indonesia,” Jurnal Hukum & Ekonomi, vol. 5, no. 1, 2022.

F. L. Pranita, A. Choerudin, and A. Y. Vandika, “The Role of Market Transparency and Regulation on Investor Protection and Risk Management in Crypto Assets in Jawa Barat,” World Scientific Information Systems, vol. 2, no. 11, pp. 2181–2193, Nov. 2024, doi: 10.58812/wsis.v2i11.1450.

K. Widiarta, “Aspek Perlindungan Hukum terhadap Investor dalam Penyalahgunaan Rekening Efek,” Jurnal Hukum Bisnis, vol. 3, 2020.

J. Asril, “Insider Trading di Pasar Modal sebagai Kejahatan Bisnis,” Jurnal Ekonomi dan Bisnis, vol. 3, no. 1, 2019.

A. R. Musthafa, S. A. Putrazta, and A. Efendi, “Legitimacy of the CJEU in the Settlement of Trade Mark Disputes of Non-European Union Foreign Companies: A Case Study,” Lampung Journal of International Law, vol. 5, no. 2, pp. 129–140, Dec. 2023, doi: 10.25041/lajil.v5i2.3206.

A. Junaedi, “Tindak Pidana Insider Trading dalam Praktik Pasar Modal Indonesia,” Media Investasi, vol. 3, no. 3, p. 299, Oct. 2020, doi: 10.20473/mi.v3i3.19639.

D. E. Harahap, R. A. Kuswardani, T. H. Siregar, and M. Darwis, “Nira Production in Terms of Slope Level in South Tapanuli District,” International Journal of Science and Engineering, vol. 4, no. 4, pp. 112–116, Nov. 2024, doi: 10.51601/ijse.v4i4.115.

A. Z. Susilo, “Insider Trading: Isu Etika, Peraturan dan Sudut Pandang Trader,” Jurnal Akuntansi, vol. 15, 2014.