Login
Section Labor Law

Legal Liability for Violations of Outsourced Workers’ Rights in Indonesia from the Perspective of Comparative Joint Liability Principles in Spain and the Philippines

Pertanggungjawaban Hukum atas Pelanggaran Hak Pekerja Outsourcing di Indonesia dalam Perspektif Perbandingan Prinsip Joint Liability di Spanyol dan Filipina
Vol. 13 No. 2 (2025): December:

Nadya Christina (1), Ariawan Gunadi (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

General Background: The widespread adoption of outsourcing in Indonesia aims to enhance corporate flexibility and efficiency. Specific Background: Despite comprehensive regulation under UU 13/2003, UU 6/2023, and PP 35/2021, outsourced workers frequently experience violations of fundamental rights due to unclear allocation of legal responsibilities between outsourcing providers and user companies. Knowledge Gap: Existing Indonesian regulations place full liability solely on outsourcing companies, leaving limited legal remedies when providers fail to fulfil obligations, unlike countries applying joint liability. Aims: This study analyzes Indonesia’s legal framework on outsourced workers’ rights and compares it with the joint liability principles adopted in Spain and the Philippines. Results: Findings indicate that Indonesia’s system creates structural protection gaps, while Spain and the Philippines impose solidary responsibility on both provider and user companies, ensuring stronger enforcement of wages, social security, and working conditions. Novelty: This research provides a comparative legal perspective demonstrating how joint liability can operate as an equitable mechanism for outsourced worker protection. Implications: Adoption of joint liability in Indonesia could enhance legal certainty, prevent responsibility evasion, and strengthen workers’ access to remedies, offering a policy alternative for future legislative reform.


Highlights:




  • Indonesia’s current framework places full responsibility on outsourcing providers, creating protection gaps.




  • Spain and the Philippines strengthen worker rights through solidary (joint) liability between providers and user companies.




  • Joint liability offers a viable reform option to enhance fairness and legal certainty for outsourced workers in Indonesia.




Keywords: Outsourcing, Legal Liability, Joint Liability, Worker Protection, Comparative Labor Law

Author Biographies

Nadya Christina, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Ariawan Gunadi, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Pendahuluan

Perkembangan ekonomi dunia dan kemajuan teknologi yang terus meningkat membuat persaingan usaha semakin sengit. Lingkungan bisnis yang kompetitif ini memaksa perusahaan harus bisa beradaptasi dengan kebutuhan pasar yang memerlukan respon cepat dan fleksibel agar dapat memberikan layanan terbaik kepada konsumen. Oleh karena itu, diperlukan perubahan dalam cara mengelola bisnis agar mengurangi hambatan dalam manajemen dengan memperbaiki berbagai aspek, sehingga perusahaan bisa berjalan lebih efektif, efisien, dan produktif. Kemudian hal tersebut membuat munculnya kecenderungan sistem outsourcing atau alih daya, Dimana sebuah perusahaan memberikan sebagian atau beberapa bagian pekerjaan yang sebelumnya dikelola sendiri kepada perusahaan lain, maka perusahaan tersebut disebut sebagai perusahaan pengguna jasa [1]. Dalam sistem ketenagakerjaan di Indonesia, keberadaan pekerja outsourcing merupakan konsekuensi dari kebutuhan perusahaan akan fleksibilitas tenaga kerja.

Outsourcing di Indonesia bisa diartikan sebagai pihak ketiga yang mengerjakan tugas atau wewenang tertentu. Tujuannya adalah untuk mendukung strategi perusahaan yang menggunakan jasa tersebut, serta membagi risiko dan mengurangi beban kerja perusahaan tersebut. Para pekerja yang bekerja secara outsourcing dipekerjakan oleh perusahaan yang menggunakan jasa tersebut, melalui perjanjian kerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja. Prosesnya terdiri dari dua tahap, yaitu kesepakatan antara perusahaan yang memakai jasa outsourcing dengan perusahaan penyedia jasa, serta kesepakatan antara perusahaan outsourcing dengan para pekerjanya. Perjanjian kerja ini berisi terkait kesepakatan antara Perusahaan dengan pekerja outsourcing yang mencakup ketentuan-ketentuan kerja, hak, dan kewajiban dari masing-masing pihak. Perjanjian kerja ini memiliki kekuatan hukum dan berlaku bagi kedua belah pihak yang telah sepakat mengenai isi perjanjian tersebut, sehingga akan terbentuk hubungan kerja yang sah [2].

Perjanjian ini terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU 13/2003”) yang terbagi menjadi 2 yaitu: perjanjian kerja pemborong dan perjanjian penyedia jasa buruh. Perjanjian ini merupakan perjanjian penyerahan yang dilakukan sebagai bentuk pelaksanaan pekerjaan dari perusahaan pemakai jasa kepada perusahaan outsourcing, yang dibuat secara tertulis dengan berbagai syarat tertentu. Selain perjanjian yang terdapat dalam pasal tersebut, terdapat juga perjanjian kerja antara pekerja dan perusahaan yang berisi berbagai ketentuan seperti syarat-syarat kerja serta hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian kerja tersebut akan menghasilkan hubungan kerja yang memiliki tiga unsur, yaitu adanya pekerjaan, upah, dan perintah. Ketiga unsur tersebut merupakan bagian dari hak dan kewajiban yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh pekerja serta perusahaan.

Selanjutnya, ketentuan hukum mengenai outsourcing ditegaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU 6/2023”) menjadi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) yang memberikan jaminan bahwa pekerja outsourcing tetap memiliki hak-hak normatif yang sama dengan pekerja tetap. Hak-hak tersebut mencakup hak mendapatkan upah yang layak sesuai dengan ketentuan upah minimum, hak mendapatkan jaminan sosial dalam bidang ketenagakerjaan, hak mendapatkan Tunjangan Hari Raya (“THR”), serta hak mendapatkan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (“K3”) seperti yang diatur dalam Pasal 86 UU 13/2003, serta hak atas perlakuan nondiskriminatif dan penghormatan harkat martabat manusia dalam hubungan kerja. Dengan demikian, perjanjian kerja yang menjadi dasar hubungan kerja bukan hanya sekadar formalitas administratif, melainkan juga menjadi alat hukum yang menjamin pekerja outsourcing mendapatkan perlindungan yang sama dengan pekerja pada umumnya.

Namun, dalam praktiknya, banyak data yang menunjukkan bahwa masih ada sejumlah pekerja outsourcing yang tidak menerima hak-hak mereka. Sebagai contoh, data tersebut mencatat adanya praktik dari perusahaan yang mengakhiri kontrak kerja outsourcing untuk menghindar dari kewajiban untuk membayar THR [3]. Di samping terdapat data yang menunjukkan bahwa dari sekitar 7,4 juta pekerja outsourcing di Indonesia, lebih dari 60% tidak mendapat akses sepenuhnya terhadap program BPJS Ketenagakerjaan, yang dimana hal tersebut merupakan hak dasar bagi pekerja. Kasus lain juga menggambarkan kurangnya perlindungan K3, di mana perusahaan yang menggunakan jasa sering kali melempar tanggung jawab kepada vendor outsourcing, sehingga pekerja menjadi rentan jika terjadi kecelakaan di tempat kerja [4]. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa meskipun hak-hak pekerja outsourcing telah diatur secara normatif, kenyataannya pelaksanaannya di lapangan masih jauh dari harapan. Sebagai dampaknya, pekerja outsourcing sering kali menghadapi ketidakpastian hukum, perlakuan yang tidak adil, serta kerentanan dalam mendapatkan perlindungan. Hal ini menunjukkan perlunya penelitian yang lebih mendalam tentang seberapa besar tanggung jawab hukum yang dimiliki oleh perusahaan yang menggunakan jasa dalam memenuhi hak-hak pekerja outsourcing, serta bagaimana cara penegakan hukum dapat ditingkatkan untuk memastikan perlindungan bagi pekerja outsourcing di Indonesia.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, masalah yang akan dirumuskan dalam penelitian ini adalah bagaimana ketentuan hukum terkait dengan pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing menurut UU 13/2003 dan PP 35/2021? dan bagaimana pertanggungjawaban hukum atas pelanggaran hak-hak pekerja outsourcing di Indonesia, serta bagaimana perbandingannya dengan negara lain yang menerapkan prinsip joint liability dalam melindungi hak-hak pekerja outsourcing?

Metode

Dalam artikel ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan. Penelitian jenis ini berfokus pada prinsip, norma, asas, dan doktrin hukum yang relevan dengan isu yang dikaji [5]. Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menelaah berbagai ketentuan hukum positif yang menjadi dasar analisis, sehingga penelitian dapat diarahkan pada pemahaman yang komprehensif mengenai kerangka hukum yang berlaku. Proses pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui penelusuran terhadap peraturan perundang-undangan, literatur hukum, serta doktrin yang membahas isu terkait [6]. Setelah bahan hukum terkumpul, peneliti melakukan proses seleksi untuk memastikan relevansi dan validitasnya. Bahan-bahan tersebut kemudian diklasifikasikan berdasarkan jenis dan hierarkinya, sehingga memudahkan proses analisis lebih lanjut. Seluruh hasil kajian selanjutnya disusun secara sistematis agar menghasilkan argumentasi hukum yang terstruktur dan dapat dipertanggungjawabkan. Melalui metode dan pendekatan ini, peneliti memperoleh informasi serta data hukum yang relevan dan mendukung pembahasan topik secara mendalam. Metode yuridis normatif ini memungkinkan analisis dilakukan secara terarah, dengan titik tekan pada norma hukum positif yang mengatur isu yang diteliti.

Hasil dan Pembahasan

A. Ketentuan Hukum Terkait dengan Pemenuhan Hak-Hak Pekerja Outsourcing Menurut UU 13/2003 dan PP 35/2021

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan untuk membuat barang dan/atau memberikan jasa, baik untuk memenuhi kebutuhan pribadi maupun kebutuhan masyarakat. Setiap orang yang bekerja memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan dan hidup yang layak, tanpa memandang jenis kelamin, suku, agama, atau aliran politik, selama sesuai dengan minat dan kemampuannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945. Selain itu, tenaga kerja berhak menerima upah sebagai imbalan atas pekerjaannya untuk mendukung kebutuhan hidupnya, serta berhak mendapatkan perlakuan yang adil dari pemberi kerja maupun rekan sekerja. Hak-hak pekerja outsourcing tersebut pada dasarnya terdiri beberapa kategori, yaitu:

1. Upah yang Layak

Hak pekerja mengenai upah mencakup hak untuk menerima upah minimum yang wajib diberikan oleh perusahaan outsourcing. Standar upah minimum ini ditetapkan berdasarkan wilayah dan sektor pada provinsi atau kabupaten/kota tempat pekerja tersebut bekerja. Tujuan utama penetapan upah minimum adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup layak bagi pekerja. Selain itu, pekerja juga berhak atas tambahan upah atas pekerjaan lembur. Ketentuan mengenai waktu untuk kerja lembur diatur dalam Pasal 26 dan Pasal 27 PP 35/2021, yang menyatakan bahwa jam kerja lembur hanya boleh dilakukan paling lama empat jam setiap hari dan delapan belas jam dalam seminggu. Pelaksanaan lembur tersebut harus berdasarkan perintah pengusaha serta persetujuan dari pekerja yang bersangkutan.

Selain hak atas upah minimum dan lembur, pekerja juga berhak atas pembayaran upah ketika berhalangan masuk kerja, menjalankan kegiatan di luar pekerjaan, maupun saat menggunakan waktu istirahat. Pengaturan lebih lanjut mencakup aturan tentang denda dan potongan gaji, komponen-komponen yang bisa dihitung bersama gaji, serta struktur dan tingkat gaji yang harus ditentukan secara seimbang dan proporsional. Upah juga menjadi dasar dalam perhitungan pesangon dan pajak penghasilan. Seluruh ketentuan mengenai hak pekerja atas upah yang layak diatur dalam Pasal 88 ayat (3) UU 13/2003 serta ditegaskan kembali dalam PP 35/2021.

2. Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Hak pekerja yang berkaitan dengan jaminan sosial tenaga kerja outsourcing tidak tercantum secara jelas dalam kontrak kerja. Namun, Jamsostek menyelenggarakan empat program jaminan, yaitu: program jaminan kecelakaan kerja (JKK), program jaminan kematian (JKm), program jaminan tabungan hari tua (JHT), dan program jaminan kesehatan [7]. Jaminan ini berupa santunan kematian yang diberikan program BPJS Ketenagakerjaan apabila pekerja meninggal dunia disebabkan oleh kecelakaan yang terjadi di tempat kerja dan dari program ini pekerja mendapatkan santunan kematian berupa 56 kali upah dari pekerja tersebut, memberikan beasiswa kepada 2 anak pekerja senilai 174 juta, serta memberikan kepada ahli waris dari pekerja santunan kematian senilai 42 juta yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dari ahli waris tersebut [8]. Jaminan sosial bagi pekerja outsourcing ini harus diberikan oleh perusahaan outsourcing, dan bukan menjadi kewajiban dari perusahaan pengguna jasa. Hal tersebut terjadi karena perusahaan outsourcing merupakan perusahaan yang memberikan pekerjaaan terhadap pekerja outsorcing tersebut sehingga hal ini menjadi kewajiban yang harus diakukan oleh perusahaan outsourcing.

3. Cuti Tahunan dan Istirahat

Hak pekerja wajib diberikan oleh pengusaha outsourcing kepada pekerja outsourcing sesuai dengan Pasal 79 UU 13/2003 dan ditegaskan kembali dalam PP 35/2021, yaitu istirahat yang diberikan kepada pekerja meliputi istirahat antar jam kerja, yaitu istirahat yang diberikan setelah pekerja bekerja selama 4 jam secara terus-menerus dalam satu hari kerja. Selain itu, pekerja juga mendapatkan istirahat mingguan, yaitu 1 hari istirahat untuk 6 hari kerja atau 2 hari istirahat untuk 5 hari kerja. Ada pula istirahat panjang yang diberikan oleh perusahaan tertentu, dengan aturan yang diatur dalam peraturan perusahaan dan/atau perjanjian kerja. Selain itu, pekerja juga mendapatkan cuti tahunan selama minimal 12 hari kerja apabila telah bekerja terus menerus selama 12 bulan, dan hal ini diatur dalam perjanjian kerja sesuai dengan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja atau peraturan perusahaan.

4. Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( K3 ).

Untuk melindungi keselamatan para pekerja dan buruh, diperlukan upaya dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja agar mereka bisa bekerja secara optimal dan produktif. Tujuan dari upaya ini adalah memastikan keselamatan dan meningkatkan kesehatan para pekerja. Upaya tersebut dilakukan dengan mencegah kecelakaan kerja, mengelola bahaya di tempat kerja, mendorong kesehatan pekerja, memberikan pengobatan, serta melakukan rehabilitasi. K3 diatur dalam Pasal 86 dan Pasal 87 UU 13/2003, yang menyatakan bahwa setiap pekerja berhak memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, serta perusahaan wajib menerapkan sistem manajemen K3. Dalam konteks hubungan kerja alih daya, perusahaan pengguna jasa dan perusahaan outsourcing memiliki kewajiban yang sama dalam menjamin pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing, termasuk hak atas keselamatan dan kesehatan kerja tersebut.

5. Pesangon dan Kom pensasi.

Uang pesangon adalah uang yang diberikan oleh perusahaan outsourcing kepada karyawan outsourcing ketika hubungan kerjanya berakhir, baik karena dipecat, pensiun, atau alasan lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 40 PP 35/2021 yang berisi mengenai Pengusaha wajib memberikan beberapa hak kompensasi kepada pekerja. Hak tersebut terdiri dari tiga bagian utama, yaitu uang pesangon yang besarnya ditentukan sesuai dengan lama masa kerja pekerja, uang penghargaan masa kerja yang diberikan sebagai bentuk apresiasi bagi pekerja yang telah bekerja selama waktu tertentu, serta uang penggantian hak yang diberikan jika cuti tahunan pekerja belum diambil. Uang penggantian hak ini juga mencakup ongkos pulang pekerja ke tempat kerja, biaya penggantian tempat tinggal, serta biaya pengobatan dan perawatan sebesar 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja, asalkan pekerja memenuhi syarat. Selain itu, ada juga hal-hal lain yang ditentukan dalam perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja, serta peraturan perusahaan. Uang kompensasi ini diberikan sebagai bentuk penghargaan atas waktu kerja pekerja dan juga sebagai bantuan finansial sementara sampai pekerja tersebut menemukan pekerjaan baru.

6. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial terbagi menjadi 5, yaitu: Pertama, bipartit yang biasanya diatur dalam suatu peraturan perusahaan atau perjanjian kerja berupa negosiasi yang dilakukan oleh pekerja dan pengusaha. Mediasi biasanya wajib dilakukan dan memiliki waktu maksimal 7 hari setelah tanggal pencatatannya. Para pihak diberi kesempatan untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika para pihak sudah menentukan pilihan, maka proses tersebut akan ditangani oleh mediator di instansi Disnaker. Jika mediasi berhasil, kesepakatan wajib dibuat dalam bentuk perjanjian bersama. Namun jika tidak tercapai kesepakatan, para pihak bisa mengajukan gugatan ke pengadilan penyelesaian hubungan industrial [9]. kemudian terdapat konsiliasi yang pada umumnya menyelesaikan perselisihan mengenai kepentingan, perselisihan hubunagan kerja ataupun perselisihan yang terjadi antara para pekerja/buruh dengan tujuan untuk mencpai suatu kesepakatan yang akan dibuat serta dibentuk kedalam suatu perjanjian bersama. Selanjutnya arbitrase yang pada umunya menyelesaikan perselisihan terkait dengan perselisihan kepentingan atau perselisihan yang terjadi diantara para pekerja/buruh dengan cara para pihak menunjuk arbiter yang kemudian akan membuat suatu putusan yang mengikat. yang terakhir terdapat penyelesaian perselisihan hubungan industrial lewat pengadilan hubungan industrial. Masing-masing dari penyelesaian ini memiliki kewenangan untuk menangani penyelesaian terkait dengan perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja [10].

B. Pertanggungjawaban Hukum atas Pelanggaran Hak-Hak Pekerja Outsourcing di Indonesia, Serta Perbandingannya Dengan Negara Spanyol dan Filipina yang Menerapkan Prinsip Joint Liability dalam Melindungi Hak-Hak Pekerja Outsourcing

Hak-hak pekerja outsourcing serta pertanggungjawaban menenai pemenuhan hak-hak tersebut telah diatur dalam UU 13/2003. Yang kemudian di dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai berbagai hak-hak yang dimiliki pekerja outsourcing seperti upah, jaminan sosial bagi tenaga kerja, cuti tahunan dan istirahat, serta pesangon dan kompensasi yang didapatan pekerja apabila terjadi pemutusan hubungan kerja yang wajib dipenuhi oleh perusahaan outsourcing. Namun, pada kenyataannya seringkali muncul masalah ketika perusahaan outsourcing tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik. Sementara pekerja secara nyata bekerja untuk perusahaan pengguna jasa. Mesipun dasar hukum mengenaih hak-hak pekerja telah diatur, dalam penerapannya terdapat beberapa tantangan yang bersifat struktural dan kultural yang kemudian hal tersebut dapat menghalangi pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing. Tantangan tersebut terdiri dari: Ketidakjelasan Status Hukum yang dimana banyak pekerja outsourcing tidak memiliki pemahaman yang jelas mengenai status hubungan kerja mereka, seperti apakah mereka diakui sebagai pekerja dari perusahaan outsourcing /penyedia jasa atau berada di bawah tanggung jawab perusahaan yang menggunakan jasa para pekerja outsourcing tersebut dan penerapan yang tidak konsisten bagi pekerja outsourcing, walaupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 37/PUU-X/2012 telah menekankan pentingnya perlindungan hukum bagi tenaga kerja outsourcing, namun dalam penerapannya masih belum konsisten secara merata [11].

Dinamika hubungan kerja dalam skema outsourcing kerap memunculkan persoalan mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak pekerja. Ketika struktur hubungan kerja terbagi antara perusahaan pengguna dan perusahaan penyedia jasa, muncul kerancuan mengenai letak kewajiban hukum yang harus dipikul. Dalam konteks inilah prinsip perlindungan tenaga kerja memperoleh relevansinya yang paling mendasar, sebab negara harus memastikan bahwa pekerja tidak dirugikan hanya karena konstruksi hubungan kerja yang terfragmentasi. Dengan kata lain, perlindungan atas hak normatif pekerja tidak boleh hilang atau terabaikan akibat kompleksitas pengaturan kelembagaan yang melibatkan lebih dari satu pemberi kerja.

Di Indonesia, kerangka hukum yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban atas pelanggaran hak pekerja outsourcing telah dibentuk secara jelas melalui Pasal 66 UU 13/2003, yang kemudian dipertegas oleh ketentuan teknis dalam PP 35/2021. Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 13/2003 secara tegas menyatakan bahwa perlindungan terhadap upah dan kesejahteraan pekerja outsourcing merupakan tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh. Rumusan ini bukan sekadar formalitas normatif, melainkan penegasan bahwa beban pemenuhan hak-hak mendasar pekerja berada pada entitas yang secara hukum menjadi pihak yang mempekerjakan. Dari konstruksi tersebut tampak bahwa perusahaan outsourcing—sebagai pihak yang mengikatkan diri dalam hubungan kerja langsung dengan pekerja—memikul tanggung jawab utama atas pemenuhan hak-hak ketenagakerjaan [12]. Perusahaan pengguna jasa, meskipun menerima manfaat dari hasil kerja para pekerja outsourcing, tidak ditempatkan sebagai subjek yang memikul kewajiban langsung atas aspek kesejahteraan dan pemenuhan hak normatif [13].

Dalam konteks ini, perusahaan pengguna jasa hanya memperoleh hasil kerja dari pekerja tanpa memiliki kewajiban secara langsung dalam memenuhi hak-hak normatif seperti upah, jaminan sosial, dan tunjangan kesejahteraan. Mekanisme ini menunjukkan bahwa sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia menempatkan pekerja outsourcing sebagai subjek hukum yang berada dalam posisi subordinatif ganda, yaitu di bawah kendali administratif perusahaan penyedia jasa sekaligus kendali operasional perusahaan pengguna jasa. Namun, secara yuridis perlindungan hak-hak pekerja lebih difokuskan kepada tanggung jawab perusahaan outsourcing. Hal ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan terhadap perlindungan hukum, terutama ketika perusahaan penyedia jasa tidak memenuhi kewajibannya seperti menunda pembayaran gaji, tidak terdaftar dalam program jaminan sosial, atau mengabaikan hak-hak pekerja lainnya.

Berbeda dengan Indonesia, Spanyol dan Filipina telah mengadopsi prinsip joint liability secara tegas dalam sistem hukum ketenagakerjaannya. Di Spanyol pada Artículo 42 Estatuto de los Trabajadores (ET) yang secara spesifik pada ayat 2 yang berbunyi:

“La empresa principal, salvo el transcurso del plazo antes señalado respecto a la Seguridad Social, y durante los tres años siguientes a la terminación de su encargo, responderá solidariamente de las obligaciones referidas a la Seguridad Social contraídas por los contratistas y subcontratistas durante el periodo de vigencia de la contrata.

De las obligaciones de naturaleza salarial contraídas por las contratistas y subcontratistas con las personas trabajadoras a su servicio responderá solidariamente durante el año siguiente a la finalización del encargo”.

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa perusahaan utama (principal company) bertanggung jawab secara tanggung renteng (solidariamente) terhadap dua jenis kewajiban utama. Pertama, kewajiban jaminan sosial yang timbul selama masa berlakunya kontrak, di mana perusahaan utama tetap memikul tanggung jawab tersebut hingga tiga tahun setelah berakhirnya kontrak, apabila kontraktor atau subkontraktor tidak memenuhi kewajibannya. Kedua, kewajiban yang bersifat upah atau kewajiban finansial lainnya kepada pekerja, di mana tanggung jawab tanggung renteng berlaku selama satu tahun setelah pekerjaan yang dialihkan (encargo) selesai. Kerangka hukum ketenagakerjaan Spanyol memberikan lapisan perlindungan yang kuat bagi pekerja outsourcing, karena memastikan bahwa perusahaan pemberi pekerjaan (principal) tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari kewajiban ketenagakerjaan. Apabila kontraktor atau subkontraktor gagal memenuhi hak-hak pekerja, perusahaan utama tetap dapat dimintai pertanggungjawaban sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum yang bersifat preventif maupun represif.

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa perusahaan pengguna jasa serta perusahaan outsourcing (seperti kontraktor atau subkontraktor) harus bertanggung jawab bersama dalam membayar upah dan iuran jaminan sosial bagi pekerja yang bekerja dalam kontrak tersebut. Aturan ini berlaku selama masa kontrak kerja berlangsung dan tetap berlaku selama satu tahun setelah kontrak selesai. Penyusunan aturan ini mencerminkan penerapan prinsip joint liability yang memberikan perlindungan hukum yang lebih baik bagi pekerja outsourcing. Melalui mekanisme tersebut, pekerja bisa menuntut hak-haknya baik kepada perusahaan outsourcing maupun perusahaan pengguna jasa tanpa perlu terlebih dahulu membuktikan siapa yang secara langsung melanggar aturan. Prinsip ini secara efektif mencegah perusahaan pengguna jasa mengalihkan tanggung jawabnya ke perusahaan outsourcing, sekaligus memastikan pekerja tetap memperoleh perlindungan atas hak-hak dasar seperti upah dan jaminan sosial. Dalam penerapannya, ketentuan ini juga memperkuat kemampuan pekerja untuk berunding dan mendorong perusahaan pengguna jasa untuk memilih perusahaan outsourcing yang taat akan aturan karena perusahaan pengguna jasa tetap bertanggung jawab secara hukum jika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak dari pekerja outsourcing.

Negara Filipina juga menerapkan prinsip joint liability dalam hubungan kerja outsourcing, yang diatur secara khusus dalam The Philippines Labour Code Sections 106–109. Ketentuan mengenai solidary liability secara eksplisit tercantum dalam Article 109, yang menyatakan:

“The provisions of existing laws to the contrary notwithstanding, every employer or indirect employer shall be held responsible with his contractor or subcontractor for any violation of any provision of this Code. For purposes of determining the extent of their civil liability under this Chapter, they shall be considered as direct employers.”

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa ketika perusahaan pengguna jasa menyerahkan sebagian pekerjaan kepada perusahaan outsourcing, maka kedua entitas tersebut—baik employer maupun indirect employer—bertanggung jawab secara tanggung renteng (solidary) terhadap pekerja outsourcing. Tanggung jawab ini mencakup pembayaran upah, pemberian tunjangan, serta pemenuhan seluruh hak dan kewajiban lain yang timbul dari hubungan kerja. Dengan demikian, hukum ketenagakerjaan Filipina memastikan bahwa pekerja outsourcing tetap memperoleh perlindungan hukum yang setara, meskipun hubungan kerja dilakukan melalui pihak ketiga.

Hukum ketenagakerjaan Filipina secara jelas menerapkan prinsip joint liability sebagai bentuk perlindungan bagi pekerja dalam sistem kerja kontraktual atau outsourcing [14]. Berdasarkan perbandingan tersebut kemudian dapat dinilai bahwa hukum dapat menafsirkan adanya prinsip tanggung jawab bersama (Joint Liability) dengan perusahaan pengguna jasa agar pekerja outsourcing yang dalam hal ini tetap mendapatkan kepastian hukum mengenai hak-haknya. Prinsip Joint Liability (tanggung jawab bersama) juga merupakan salah satu konsep dalam hukum yang bertujuan untuk melindungi hak-hak dari pekerja outsourcing akibat dari kelalaian dari perusahaan outsourcing [15]. Ketika perusahaan outsourcing tidak memenuhi tanggung jawabnya misalnya tidak membayarkan upah, tidak mendaftarkan pekerja outsourcing ke dalam program jaminan sosial, atau tidak memberikan pesangon sesuai UU 13/2003, maka ber dasarkan prinsip Joint Liability perusahaan yang pengguna jasa tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum [16]. Konsep ini menjamin bahwa pekerja outsourcing masih mendapatkan kepastian hak meskipun perusahaan outsourcing tidak menjalankan kewajiban hukumnya dengan baik. Sehingga, prinsip dari Joint Liability tidak hanya melindungi pekerja dari kemungkinan kehilangan hak, tetapi juga menghindarkan perusahaan pengguna jasa dari lepas tangan dengan alasan kontrak outsourcing, sehingga prinsip keadilan dan perlindungan terhadap hak-hak dari pekerja outsourcing tetap terjaga.

Simpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap ketentuan hukum dan cara penerapan sistem outsourcing di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa aturan mengenai hubungan kerja dan perlindungan bagi pekerja outsourcing telah diatur secara jelas dalam UU 13/2003, sebagaimana telah diubah melalui UU 6/2023 serta PP 35/2021. Regulasi tersebut secara umum menjamin bahwa pekerja outsourcing memiliki hak-hak yang sama dengan pekerja tetap, seperti hak mendapatkan upah yang layak, jaminan sosial ketenagakerjaan, keselamatan dan kesehatan kerja, hak cuti tahunan, serta pesangon. Namun, dalam praktiknya, tanggung jawab hukum mengenai pemenuhan hak pekerja outsourcing di Indonesia sepenuhnya jatuh kepada perusahaan yang menyediakan jasa tenaga kerja, seperti yang diatur dalam Pasal 66 ayat (2) huruf c UU 13/2003. Hal ini berarti perusahaan yang menggunakan jasa tidak memiliki tanggung jawab hukum langsung terhadap pekerja outsourcing, meskipun secara nyata pekerja tersebut bekerja di bawah pengawasan dan petunjuk perusahaan pengguna jasa. Kondisi ini menimbulkan ketimpangan perlindungan hukum dan menempatkan pekerja outsourcing dalam posisi yang lemah ketika perusahaan penyedia jasa gagal memenuhi kewajibannya. Berbeda dengan aturan di Indonesia, beberapa negara seperti Spanyol dan Filipina sudah menerapkan prinsip joint liability dalam sistem ketenagakerjaan negaranya. Prinsip ini membuat perusahaan outsourcing dan perusahaan pengguna jasa bertanggung jawab bersama terhadap hak pekerja. Dengan prinsip ini, pekerja bisa meminta haknya kepada kedua perusahaan tersebut. Karena itu, berdasarkan perbandingan ini, menerapkan prinsip joint liability dapat menjadi solusi alternatif untuk meningkatkan perlindungan hukum bagi pekerja outsourcing di Indonesia.

Berdasarkan hasil penelitian, disarankan agar para pembuat undang-undang melakukan perubahan terhadap aturan sistem outsourcing dengan memperhatikan penerapan prinsip joint liability. Dengan demikian, tanggung jawab dalam memenuhi hak pekerja tidak hanya jatuh pada perusahaan outsourcing, tetapi juga harus dibebankan kepada perusahaan pengguna jasa. Pemerintah juga harus memperkuat cara pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik outsourcing serta memberikan sanksi yang berat bagi perusahaan yang melanggar aturan terkait hak pekerja. Selain itu, diharapkan perusahaan pengguna jasa ikut memastikan bahwa perusahaan outsourcing taat terhadap peraturan ketenagakerjaan sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan moral mereka. Pekerja outsourcing juga perlu diberikan pengetahuan yang cukup mengenai hak-hak mereka serta prosedur penyelesaian sengketa hubungan industrial agar dapat memperjuangkan kepentingannya secara efektif.

References

A. Sutedi, Hukum Perburuhan. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2009.

C. R. P. Nursalim and L. J. Suryono, “Perlindungan Hukum Tenaga Kerja pada Perjanjian Kerja Outsourcing,” Media Law Sharia, vol. 2, no. 1, pp. 47–62, Apr. 2021, doi: 10.18196/mls.v2i1.11478.

Forum Keadilan, “Nasib Outsourcing Tanpa Kepastian dan Perlindungan Hukum,” Forum Keadilan, 2024. [Online]. Available: forumkeadilan.co (tautan asli tidak tercantum).

A. Sebastian, “Cara Mencairkan BPJS Ketenagakerjaan untuk Tenaga Kerja Outsourcing,” 2024. [Online]. (Detail publikasi tidak tersedia).

Muhaimin, Metode Penelitian Hukum. Mataram, Indonesia: Mataram University Press, 2020.

S. Soekanto and S. Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, 16th ed. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2014.

U. Kholifah, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum bagi Tenaga Kerja Outsourcing Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 Tahun 2003,” Jurnal Spektrum Hukum, no. 1, pp. 19–28, 2017.

H. R. Purnamasari, “BPJS Ketenagakerjaan Miliki Program Unggulan JKK dan JKM,” 2025. [Online]. (Detail jurnal/penerbit tidak tersedia).

S. H. Wibowo and J. Matheus, “Tinjauan Yuridis Pemberian Uang Pesangon kepada Karyawan yang Di-PHK Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja,” Nusantara Journal of Social Science, vol. 10, no. 5, pp. 2560–2565, 2023, doi: 10.31604/jips.v10i5.2023.2560-2565.

A. Uwiyono, S. H. Hoesin, W. Suryandono, and M. Kiswandari, Asas-Asas Hukum Perburuhan. Jakarta, Indonesia: Raja Grafindo Persada, 2014.

R. B. Riyadi, “Tanggung Jawab Hukum terhadap Tenaga Kerja Outsourcing dalam Perspektif Undang-Undang Ketenagakerjaan di Indonesia,” MAROSTEK Journal of Computer Engineering, Agrotechnology, and Science, no. 1, pp. 1–7, 2025.

H. Sugiyono and J. Pardede, “Perlindungan Hukum terhadap Hak-Hak Pekerja Outsourcing atas Tindakan Pemutusan Hubungan Kerja oleh Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja,” Al Qodiri: Journal of Education, Social, and Religious Studies, vol. 19, no. 2, pp. 453–472, 2021, doi: 10.53515/al-qodiri.v19i2.4388.

W. B. Pratiwi and D. Andani, “Perlindungan Hukum Tenaga Kerja dengan Sistem Outsourcing di Indonesia,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, no. 3, pp. 1–15, 2022.

M. S. S. L., P. S., and H. P., “Comparative Analysis of Outsourcing Regulation in Indonesia and the Philippines,” International Journal of Social Policy and Law, no. 1, pp. 14–25, 2025.

W. Kenton, “Joint and Several Liability Explained: Definition, Example, State Restrictions,” Investopedia, 2025. [Online]. Available: https://www.investopedia.com

Cornell Law School, “Joint Liability,” Legal Information Institute (LII), n.d. [Online]. Available: https://www.law.cornell.edu