Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i2.1005

Prophetic Business Orientation in Corporate Law Efforts to Incorporate Aspects of Divinity and Justice in Business Law


Orientasi Bisnis Profetik dalam Hukum Perusahaan: Upaya Menghadirkan Aspek Ketuhanan dan Keadilan dalam Hukum Bisnis

Fakultas Hukum, Universitas Pendidikan Nasional
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Pendidikan Nasional
Indonesia

(*) Corresponding Author

Prophetic Business Orientation Corporate Law Ethical Integration Values in Business Legal Reforms

Abstract

This article explores the integration of prophetic business orientation, which combines religious and ethical values into corporate law, in the context of globalized modern economics. It employs a normative research methodology and legislative approach, analyzing the incorporation of values like transparency, ethics, and religious principles in Indonesian corporate law. The study reveals challenges related to legal uncertainty, corruption, unequal access to justice, and gender inequality in the workplace. Legal reforms and improved law enforcement are vital to promote ethical values and justice in contemporary business practices.

Highlights:

  • Ethics in Business: The study explores the concept of prophetic business orientation, emphasizing the integration of ethical and religious values into corporate law.
  • Multi-Faceted Implementation: It highlights the diverse aspects involved in the implementation of prophetic business orientation, from transparency to environmental sustainability.
  • Challenges and Necessity for Change: The research underscores the challenges, including legal uncertainty and corruption, and the need for legal reforms to promote ethical values and justice in modern business practices.

Keywords: Prophetic Business Orientation, Corporate Law, Ethical Integration, Values in Business, Legal Reforms

PENDAHULUAN

Hukum bisnis, sebagai salah satu cabang hukum yang mempengaruhi aktivitas ekonomi dan bisnis, selalu menjadi sorotan dalam upaya mencapai keadilan sosial dan ekonomi.[1] Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim, memiliki landasan nilai dan keyakinan yang kuat dalam agama Islam, yang memiliki potensi besar untuk memengaruhi etika bisnis dan hukum perusahaan. Salah satu aspek yang muncul dalam problematika ini adalah konsep "bisnis profetik," yang mencoba menggabungkan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan dalam praktik bisnis dan hukum perusahaan.

Pada dasarnya, bisnis profetik merujuk pada prinsip-prinsip Islam yang menuntun perilaku bisnis yang adil dan bermoral.[2] Dalam praktiknya, hal ini mencakup aspek-aspek seperti kepatuhan terhadap hukum syariah, perhatian terhadap keadilan ekonomi, transparansi, dan etika dalam bisnis. Namun, dalam konteks hukum perusahaan dan praktik bisnis di Indonesia, implementasi konsep bisnis profetik sering kali belum optimal dan cenderung mengalami hambatan.

Ketidakefektifan perlindungan dan implementasi hukum syariah dalam bisnis di Indonesia adalah isu yang telah lama menjadi perhatian dalam konteks keadilan ekonomi dan hukum perusahaan. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah perusahaan di negara ini, ada kebutuhan yang mendesak untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip agama Islam, yang menjadi dasar bagi banyak pengusaha dan pelaku bisnis di Indonesia, dihormati dan diimplementasikan dengan baik dalam praktik bisnis sehari-hari. Meskipun peraturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Peraturan Perundang-undangan (UUPPU) telah ada, namun implementasinya masih jauh dari efektif. Banyak kasus penipuan, praktik bisnis yang tidak bermoral, serta ketidakpatuhan terhadap prinsip-prinsip keadilan ekonomi terus terjadi, menunjukkan bahwa ada kesenjangan besar antara teori dan praktik.[3]

Salah satu kendala utama yang menghambat efektivitas perlindungan hukum syariah dalam bisnis adalah adanya faktor-faktor eksternal yang merongrong integritas di sektor bisnis. Korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) seringkali menghambat upaya untuk menciptakan lingkungan bisnis yang bersih dan beretika.[4] Praktik-praktik ini memengaruhi kinerja ekonomi dan menciptakan ketidakpastian hukum yang mempengaruhi hukum perusahaan dan praktik bisnis secara keseluruhan. Sebagai contoh, transaksi bisnis yang seharusnya sesuai dengan prinsip-prinsip hukum syariah seringkali tercemar oleh praktik-praktik korupsi, yang menghilangkan unsur keadilan dan integritas dalam proses bisnis. Selain itu, implementasi hukum syariah dalam bisnis juga terhambat oleh kurangnya pemahaman dan kesadaran akan nilai-nilai agama dalam praktik bisnis. Banyak pelaku bisnis dan perusahaan di Indonesia tidak sepenuhnya memahami atau menginternalisasi prinsip-prinsip bisnis profetik dalam operasional mereka. Hal ini dapat mengarah pada perilaku yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ketuhanan dan keadilan ekonomi yang diinginkan dalam konteks bisnis profetik.[5]

Upaya menghadirkan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis di Indonesia merupakan tantangan yang memerlukan perubahan holistik di berbagai sektor. Perusahaan-perusahaan perlu lebih berkomitmen pada nilai-nilai etika dan keadilan, serta memasukkan prinsip-prinsip bisnis profetik dalam strategi mereka.[6] Ini bisa mencakup penerapan praktik zakat, pengembangan inisiatif sosial yang mendukung masyarakat, dan perhatian yang lebih besar terhadap hak-hak pekerja. Perlu juga adanya upaya budaya yang kuat dalam perusahaan untuk mendorong penerapan aspek ketuhanan dan keadilan dalam bisnis. Budaya korporat yang mempromosikan integritas, transparansi, dan perhatian terhadap kepentingan masyarakat lebih luas dapat membantu menciptakan lingkungan yang mendukung bisnis profetik.

Kerja sama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil juga menjadi kunci dalam usaha menghadirkan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis. Pemerintah perlu memainkan peran aktif dalam memberikan insentif dan regulasi yang mendukung bisnis profetik, sementara sektor swasta perlu terlibat dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip ini dalam operasi mereka. Sementara itu, masyarakat sipil dan kelompok-kelompok pemantau harus memainkan peran pengawasan dan advokasi untuk memastikan bahwa praktik bisnis dan hukum perusahaan sesuai dengan nilai-nilai bisnis profetik dan prinsip-prinsip keadilan.[7]

Pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan juga sangat penting dalam mempromosikan bisnis profetik. Ini mencakup pembentukan dialog yang terbuka dan berkelanjutan antara semua pemangku kepentingan, termasuk perusahaan, pemerintah, dan masyarakat sipil.[8] Dalam masalah terkait dengan implementasi bisnis profetik dapat dibahas, tantangan diidentifikasi, dan solusi bersama dirumuskan. Ini memungkinkan semua pihak untuk merasa terlibat dan memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan visi bisnis profetik, yang pada gilirannya dapat memberikan kontribusi yang lebih positif bagi masyarakat dan perekonomian secara keseluruhan.

Dalam penelitian ini, penulis akan menyelidiki orientasi bisnis profetik dalam hukum perusahaan di Indonesia dan upaya untuk menghadirkan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis. Oleh sebab itu, maka perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana implementasi orientasi bisnis profetik dalam hukum perusahaan dapat memengaruhi praktik bisnis dan mengintegrasikan aspek ketuhanan dalam lingkungan bisnis?

2. Apa tantangan yang dihadapi dalam upaya mengintegrasikan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis di konteks bisnis di Indonesia?

METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni metode penelitian hukum normative disertai dengan pendekatan perundang-undangan. Metode penelitian hukum normatif adalah pendekatan yang fokus pada analisis teks-teks hukum yang relevan. Pendekatan perundang-undangan dalam konteks ini akan melibatkan penelusuran dan pemeriksaan berbagai peraturan hukum, seperti undang-undang, peraturan perusahaan, dan perjanjian bisnis yang terkait dengan orientasi bisnis profetik.

Sumber bahan hukum untuk penelitian ini akan mencakup teks-teks perundang-undangan, putusan pengadilan, pandangan ahli, dan literatur hukum terkait. Sedangkan teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum normatif seperti ini akan melibatkan pengumpulan dokumen hukum, analisis teks-teks hukum, dan pencarian literatur yang relevan. Dalam hal ini, peneliti akan mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai peraturan dan dokumen hukum yang berkaitan dengan orientasi bisnis profetik dan aspek ketuhanan serta keadilan dalam hukum bisnis.

Teknik analisis data dalam penelitian ini mencakup analisis terhadap teks-teks hukum yang terkumpul, perbandingan antara berbagai peraturan, serta interpretasi terhadap aspek-aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis. Analisis ini akan membantu peneliti dalam mengidentifikasi kesesuaian antara orientasi bisnis profetik dengan kerangka hukum yang ada, dan apakah perlu ada perubahan hukum untuk mengakomodasi nilai-nilai tersebut. Dengan demikian, penelitian ini akan memberikan kontribusi dalam pemahaman hukum perusahaan yang lebih inklusif, mengintegrasikan nilai-nilai ketuhanan dan keadilan dalam praktek bisnis.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Implementasi Orientasi Bisnis Profetik d alam Hukum Perusahaan yang d apat Memengaruhi Praktik Bisnis d an Mengintegrasikan Aspek Ketuhanan d alam Lingkungan Bisnis

Implementasi orientasi bisnis profetik dalam hukum perusahaan adalah sebuah konsep yang kompleks dan relevan dalam konteks perusahaan yang berlandaskan pada nilai-nilai agama, terutama dalam lingkungan bisnis yang didominasi oleh nilai-nilai ekonomi dan komersial. Konsep ini berfokus pada upaya untuk mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan, moral, dan etika dalam praktik bisnis, serta menjadikan ketuhanan sebagai panduan utama dalam pengambilan keputusan bisnis. Dalam rangka menggambarkan implementasi ini dapat memengaruhi praktik bisnis dan mengintegrasikan aspek ketuhanan dalam lingkungan bisnis, dilakukan pengkajian beberapa aspek hukum Perusahaan yakni sebagai berikut:

1. Prinsip-prinsip Agama dalam Hukum Perusahaan

Prinsip-prinsip agama dalam hukum perusahaan, seperti yang terlihat dalam contoh penerapan hukum syariah di negara-negara mayoritas Muslim, memiliki dampak signifikan pada praktik bisnis.[9] Di Indonesia, hal ini tercermin dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang memberikan ruang bagi pembentukan perusahaan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Hal ini mencakup larangan terhadap praktik riba dan investasi dalam bisnis yang melanggar nilai-nilai agama. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip agama ini dalam hukum perusahaan, Indonesia mencoba menciptakan landasan hukum yang memungkinkan bisnis untuk beroperasi sesuai dengan nilai-nilai agama yang dianut oleh mayoritas penduduknya, sekaligus menjaga keseimbangan antara aspek ketuhanan dan praktik bisnis yang adil dan berkelanjutan.

2. Transparansi dan Akuntabilitas

Dalam implementasi orientasi bisnis profetik, transparansi dan akuntabilitas memegang peran kunci. Di Indonesia, peraturan seperti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan aturan dari Bursa Efek Indonesia mengatur standar laporan keuangan dan transparansi bagi perusahaan publik.[10] Dalam konteks bisnis yang mengutamakan nilai-nilai agama, perusahaan perlu memastikan bahwa laporan keuangan mereka tidak hanya memenuhi persyaratan hukum, tetapi juga mencerminkan praktik bisnis yang selaras dengan nilai-nilai agama dan etika yang dianut oleh perusahaan. Hal ini mencakup pengungkapan jelas tentang sumber pendapatan, pengeluaran, dan penggunaan dana perusahaan yang mematuhi prinsip-prinsip bisnis profetik, serta keterbukaan mengenai kebijakan sosial, lingkungan, dan kesejahteraan yang diterapkan oleh perusahaan. Transparansi ini akan membantu membangun kepercayaan masyarakat, investor, dan pemegang saham, serta mendukung tujuan bisnis yang lebih berkelanjutan dan sesuai dengan nilai-nilai agama.

3. Pengelolaan Risiko Berbasis Etika

Pengelolaan Risiko Berbasis Etika menjadi semakin penting dalam implementasi orientasi bisnis profetik di Indonesia. Dalam bisnis konvensional, seringkali fokus utama perusahaan adalah mencapai pengembalian investasi yang tinggi tanpa mempertimbangkan implikasi etika, sosial, atau lingkungan dari keputusan bisnis. Namun, dalam orientasi bisnis profetik, perusahaan cenderung lebih berorientasi pada dampak sosial, lingkungan, dan moral dari tindakan mereka.[11] Di Indonesia, peraturan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan telah diterapkan, mendorong perusahaan untuk memperhatikan aspek etika dalam operasi mereka. Hal ini mencakup upaya perusahaan untuk mengelola risiko dengan mempertimbangkan implikasi sosial dan lingkungan dalam keputusan bisnis mereka, serta memastikan bahwa praktik bisnis mereka mendukung nilai-nilai etika dan keberlanjutan yang semakin penting dalam lingkungan bisnis saat ini.

4. Aspek Ketenagakerjaan dan Keadilan Sosial

Implementasi orientasi bisnis profetik dalam perusahaan di Indonesia dapat memiliki dampak positif pada aspek ketenagakerjaan. Perusahaan yang mengadopsi nilai-nilai agama, terutama dalam konteks Islam, akan lebih cenderung menjalankan praktik ketenagakerjaan yang adil dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang mendorong keadilan sosial. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai hak-hak pekerja dan kewajiban perusahaan dalam konteks ketenagakerjaan di Indonesia.[12] Implementasi orientasi bisnis profetik akan mendorong perusahaan untuk lebih memperhatikan hak-hak pekerja, termasuk upah yang layak, jam kerja yang wajar, dan kondisi kerja yang aman, sejalan dengan nilai-nilai agama yang mendorong keadilan sosial. Selain itu, perusahaan juga dapat memprioritaskan pelatihan dan pengembangan karyawan, menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, dan mempromosikan prinsip-prinsip keadilan dalam pengambilan keputusan terkait ketenagakerjaan.

5. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat

Pemberdayaan ekonomi masyarakat merupakan suatu aspek penting dalam prinsip-prinsip orientasi bisnis profetik, yang mengharapkan kontribusi positif perusahaan terhadap kesejahteraan komunitas di sekitarnya. Di Indonesia, konsep ini sering diimplementasikan melalui program Corporate Social Responsibility (CSR) yang melibatkan perusahaan dalam berbagai kegiatan pembangunan komunitas, pelatihan, dan pendidikan. Program-program CSR ini membantu memajukan masyarakat sekitar dengan memberikan peluang ekonomi, meningkatkan keterampilan, dan memberikan akses kepada layanan pendidikan dan kesehatan yang lebih baik.[13] Dengan berfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat, perusahaan dapat memainkan peran aktif dalam memajukan kualitas hidup komunitas setempat, sekaligus memenuhi kewajiban moral dan sosial dalam konteks bisnis profetik.

6. Penerapan Hukum Perusahaan Syariah

Penerapan hukum perusahaan syariah merupakan langkah penting dalam mencapai integrasi aspek ketuhanan dalam lingkungan bisnis di Indonesia. Di negara-negara dengan mayoritas Muslim, seperti Indonesia, perusahaan memiliki opsi untuk membentuk entitas hukum yang sesuai dengan prinsip syariah, seperti perusahaan mudarabah atau musyarakah.[14] Hal ini memungkinkan perusahaan untuk beroperasi sesuai dengan nilai-nilai Islam, termasuk larangan terhadap riba (bunga) dan prinsip keadilan dalam pembagian keuntungan. Di Indonesia, peraturan hukum perusahaan syariah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan Usaha Perbankan Syariah dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait Lembaga Keuangan Syariah. Dengan peraturan perundang-undangan tersebut, perusahaan dapat menjalankan bisnisnya dengan mematuhi prinsip-prinsip syariah, yang merupakan upaya nyata dalam mengintegrasikan aspek ketuhanan dalam aktivitas bisnis di Indonesia.

7. Perlindungan Konsumen dan Etika Bisnis

Implementasi orientasi bisnis profetik di Indonesia, yang mengedepankan nilai-nilai agama, juga melibatkan perlindungan konsumen dan praktik bisnis yang etis. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menjadi landasan hukum yang relevan dalam konteks ini. Perusahaan yang mengadopsi orientasi bisnis profetik cenderung lebih peduli terhadap keadilan dan kesejahteraan konsumen. Mereka akan berupaya menjalankan praktik bisnis yang adil, transparan, dan berpihak kepada konsumen sesuai dengan prinsip-prinsip agama yang mereka anut.[15] Hal ini mencakup memastikan kualitas produk atau layanan yang memenuhi standar yang ditetapkan, memberikan informasi yang jujur dan transparan kepada konsumen, serta menangani keluhan konsumen dengan etis dan tanggap.

8. Pajak dan Zakat

Dalam orientasi bisnis profetik, perusahaan diharapkan untuk memenuhi kewajiban pajak dan zakat dengan penuh kepatuhan, karena pemungutan zakat dan kepatuhan terhadap pajak adalah bagian integral dari praktik bisnis yang sesuai dengan nilai-nilai agama. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat mengatur tentang pengumpulan dan distribusi zakat, yang mengamanatkan perusahaan untuk berkontribusi dalam pembiayaan zakat untuk masyarakat yang membutuhkan.[16] Sementara itu, peraturan perpajakan diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan, yang mengharuskan perusahaan untuk mematuhi aturan perpajakan dengan itikad baik. Kepatuhan terhadap kewajiban zakat dan pajak merupakan wujud nyata dari komitmen perusahaan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan menjalankan bisnis dengan prinsip-prinsip keadilan dan ketuhanan.

9. Promosi Keberlanjutan dan Lingkungan Hidup

Di Indonesia, perusahaan diharapkan untuk mempromosikan keberlanjutan dan memperhatikan dampak lingkungan sejalan dengan orientasi bisnis profetik, yang menekankan nilai-nilai etis dan sosial dalam operasi bisnis. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi landasan hukum yang mengatur upaya perlindungan lingkungan dan menetapkan kewajiban perusahaan untuk berkontribusi pada pelestarian lingkungan.[17] Undang-undang ini menegaskan pentingnya meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan seiring dengan menjalankan operasi bisnis, dan mendorong perusahaan untuk mematuhi regulasi lingkungan serta berpartisipasi aktif dalam inisiatif keberlanjutan yang dapat memperbaiki kualitas lingkungan dan masyarakat secara lebih luas.

10. Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pengawasan dan penegakan hukum yang efektif adalah komponen kunci dalam implementasi orientasi bisnis profetik di Indonesia. Beberapa lembaga pengawasan yang berperan penting dalam hal ini adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). OJK bertanggung jawab untuk mengawasi sektor jasa keuangan, termasuk perbankan, asuransi, dan pasar modal, dengan fokus pada aspek-aspek keadilan dan ketuhanan dalam operasi perusahaan-perusahaan ini.[18] Bappebti mengawasi perdagangan berjangka dan komoditi, memastikan bahwa transaksi di sektor ini dilakukan dengan integritas dan keadilan. Sementara itu, KPPU bertugas untuk mencegah praktik-praktik persaingan usaha yang tidak sehat, yang dapat menghambat terwujudnya prinsip-prinsip bisnis profetik.

Dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama dan ketuhanan ke dalam praktik bisnis dan hukum perusahaan, implementasi orientasi bisnis profetik dapat memiliki dampak yang signifikan pada lingkungan bisnis. Hal ini dapat menciptakan perusahaan yang lebih etis, berkelanjutan, dan berfokus pada kesejahteraan sosial, serta memperkuat hubungan antara bisnis dan masyarakat. Namun, implementasi ini juga harus mempertimbangkan tantangan dan perbedaan budaya, serta harus dilakukan dengan menghormati hak-hak individu dan prinsip-prinsip demokrasi yang berbeda dalam setiap negara. Oleh karena itu, dalam melaksanakan orientasi bisnis profetik, penting untuk menjaga keseimbangan antara nilai-nilai agama dan nilai-nilai sosial yang lebih luas serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Orientasi bisnis profetik harus diimplementasikan dengan hati-hati dan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Semua perusahaan harus menghormati hak individu, termasuk kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat. Selain itu, pengaturan hukum dan peraturan perundang-undangan yang relevan harus selalu ditaati untuk memastikan bahwa implementasi orientasi bisnis profetik tidak melanggar hukum yang berlaku.

Dapat disimpulkan bahwa, implementasi orientasi bisnis profetik dalam hukum perusahaan dapat memengaruhi praktik bisnis dengan mengintegrasikan nilai-nilai agama, moral, dan etika dalam berbagai aspek operasional perusahaan. Hal ini dapat memperkuat hubungan antara bisnis dan masyarakat, menciptakan perusahaan yang lebih berkelanjutan, dan memberikan peran yang lebih besar bagi aspek ketuhanan dalam lingkungan bisnis. Namun, perlu dilakukan dengan hati-hati, dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan menghormati keragaman budaya dan nilai-nilai di berbagai negara. Peraturan perundang-undangan yang relevan seperti Undang-Undang perusahaan, peraturan pasar modal, dan peraturan perpajakan juga harus tetap diikuti agar implementasi ini tetap sesuai dengan hukum yang berlaku.

B. Tantangan yang dihadapi dalam Upaya Mengintegrasikan Aspek Ketuhanan dan Keadilan dalam Hukum Bisnis di Konteks Bisnis di Indonesia

Mengintegrasikan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis di konteks bisnis di Indonesia adalah tugas yang kompleks dan berpotensi memunculkan sejumlah tantangan. Hal ini disebabkan oleh keragaman budaya, agama, dan kepentingan ekonomi yang ada di Indonesia. Artikel ini akan membahas beberapa tantangan utama yang dihadapi dalam upaya mengintegrasikan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis di Indonesia, serta peraturan perundang-undangan yang relevan yang mendukung atau menghambat integrasi ini.

1. Keanekaragaman Agama dan Kebudayaan

Salah satu tantangan utama dalam mengintegrasikan aspek ketuhanan dalam hukum bisnis di Indonesia adalah keanekaragaman agama dan kebudayaan yang ada di negara ini. Indonesia adalah negara yang dikenal dengan pluralitas agama dan budayanya. Berbagai agama seperti Islam, Kristen, Hindu, Buddha, dan agama-agama tradisional menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia. Perbedaan dalam kepercayaan agama ini memunculkan tantangan dalam menciptakan hukum bisnis yang adil dan seimbang. Peraturan perundang-undangan yang mencerminkan nilai-nilai agama tertentu tidak selalu sejalan dengan keyakinan agama yang berbeda.[19] Oleh karena itu, menciptakan hukum bisnis yang menghormati dan mencerminkan nilai-nilai dari semua agama adalah tugas yang sangat sulit, yang mengharuskan pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan semua perspektif agama yang berbeda dalam merancang undang-undang yang adil dan inklusif.

Upaya untuk mengatasi tantangan ini telah menciptakan sejumlah peraturan perundang-undangan yang relevan. Misalnya, dalam Konstitusi Indonesia, Pasal 29 menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan, serta kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing. Pasal ini menegaskan pentingnya mengakui dan menghormati semua agama yang ada di Indonesia dalam hukum dan praktik bisnis. Selain itu, terdapat peraturan terkait bisnis yang mencakup aspek-aspek tertentu yang relevan dengan ketuhanan, seperti etika bisnis dan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur sektor-sektor bisnis tertentu, seperti perbankan syariah, yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam.

2. Ketidakpastian Hukum

Ketidakpastian hukum merupakan salah satu tantangan yang signifikan dalam upaya mengintegrasikan aspek keadilan dalam hukum bisnis di Indonesia. Salah satu faktor utama yang memperumit situasi ini adalah adanya beragam peraturan yang ambigu dan seringkali kontradiktif.[20] Pelaku bisnis, terutama perusahaan dan investor, sering kali kesulitan untuk memahami peraturan yang berlaku. Ketidakpastian ini dapat menghambat perkembangan bisnis dan investasi di Indonesia karena perusahaan tidak dapat merencanakan langkah-langkah bisnis mereka dengan pasti. Selain itu, hal ini juga menciptakan ketidakadilan dalam hukum bisnis, karena beberapa pihak dapat memanfaatkan celah hukum untuk kepentingan mereka sendiri, sementara yang lain terkena dampak negatif.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menjadi landasan untuk menciptakan peraturan yang jelas dan konsisten. Namun, dalam prakteknya, pelaksanaan undang-undang ini seringkali tidak mencapai tujuan tersebut. Peraturan-peraturan yang dihasilkan masih sering ambigu dan dapat diinterpretasikan dengan beragam cara. Hal ini menciptakan kesulitan bagi pelaku bisnis dalam memahami apa yang diharapkan dari mereka dalam menjalankan operasi mereka. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah Indonesia untuk memperbaiki pelaksanaan undang-undang ini dan memastikan bahwa peraturan-peraturan yang dihasilkan lebih jelas, konsisten, dan dapat dipahami oleh semua pihak yang terlibat dalam bisnis di Indonesia.

3. Korupsi dan Praktik Tidak Etis

Masalah korupsi dan praktik tidak etis dalam bisnis merupakan tantangan serius dalam upaya mengintegrasikan keadilan dalam hukum bisnis di Indonesia. Korupsi memiliki dampak yang merugikan pada keadilan dan keberlanjutan ekonomi negara. Praktik korupsi dapat mengubah hukum bisnis menjadi alat untuk kepentingan pribadi, merusak prinsip-prinsip keadilan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.[21] Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah ini, termasuk mengeluarkan undang-undang anti-korupsi seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, tantangan ini masih belum terselesaikan sepenuhnya.

Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membentuk lembaga independen yang memiliki mandat untuk melakukan penyelidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Selain itu, ada juga Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan publik yang bebas dari korupsi dan praktik tidak etis. Dengan adanya kerangka hukum yang lebih kuat dan lembaga-lembaga penegakan hukum yang independen, diharapkan dapat lebih efektif dalam memerangi korupsi dan praktik tidak etis dalam bisnis di Indonesia.

4. Ketidaksetaraan Akses terhadap Keadilan

Ketidaksetaraan akses terhadap keadilan merupakan masalah serius yang melanda Indonesia. Salah satu aspek penting dalam menjaga keadilan adalah memastikan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang setara untuk mengakses lembaga peradilan. Sayangnya, ketidaksetaraan ini menjadi terasa khususnya bagi masyarakat yang kurang mampu. Mereka seringkali kesulitan mendapatkan akses ke sistem peradilan karena terkendala oleh keterbatasan sumber daya finansial dan pengetahuan hukum. Sebagai akibatnya, hukum bisnis di Indonesia tidak berlaku dengan adil karena orang-orang dengan sumber daya yang lebih besar memiliki akses yang lebih baik ke sistem peradilan.[22] Hal ini berarti bahwa keputusan hukum bisa saja dipengaruhi oleh kekayaan daripada keadilan yang seharusnya dijunjung. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum dan Hak-hak Korban memberikan dasar hukum untuk mengatasi ketidaksetaraan ini. Namun, masalah utama terletak pada implementasinya yang masih menantang. Banyak orang rendah yang tetap kesulitan mendapatkan bantuan hukum yang layak, sehingga ketidaksetaraan ini terus menjadi kendala utama dalam sistem peradilan Indonesia.

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Sengketa Agraria, pada akhirnya menjadi alat untuk mengatasi ketidaksetaraan akses terhadap keadilan di sektor agraria, yang seringkali melibatkan konflik lahan antara pemilik tanah masyarakat adat dan perusahaan besar. Meskipun regulasi ini ada, dalam praktiknya, implementasinya masih jauh dari sempurna. Masyarakat miskin dan masyarakat adat seringkali kesulitan mengakses sistem peradilan untuk melindungi hak-hak tanah mereka. Diperlukan upaya serius untuk meningkatkan implementasi peraturan ini, serta peraturan-peraturan lain yang bertujuan untuk memastikan akses yang setara terhadap keadilan bagi semua lapisan masyarakat, terutama yang kurang mampu.

5. Perlindungan Lingkungan dan Keberlanjutan

Perlindungan Lingkungan dan Keberlanjutan merupakan isu krusial dalam konteks hukum bisnis yang berkaitan dengan aspek ketuhanan dan keadilan. Kepedulian terhadap lingkungan adalah hal yang sangat penting dalam era modern ini, karena bisnis yang tidak berkelanjutan dapat memiliki dampak yang merusak bagi lingkungan dan masyarakat. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi payung hukum yang mengatur kerangka kerja perlindungan lingkungan. Undang-undang ini menetapkan kewajiban bagi pelaku usaha untuk mematuhi prinsip-prinsip kelestarian lingkungan, serta mengatur perizinan dan sanksi terkait pelanggaran lingkungan.[20] Namun, seringkali diperlukan penegakan hukum yang lebih ketat dan pemantauan yang lebih cermat agar peraturan ini benar-benar efektif. Hal ini dapat mencakup peningkatan inspeksi, pengawasan, dan sanksi yang lebih tegas terhadap perusahaan yang melanggar peraturan lingkungan.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mengatur tentang percepatan berbagai izin usaha, termasuk yang berpotensi berdampak pada lingkungan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Penilaian Dampak Lingkungan Hidup juga merupakan peraturan penting yang mengatur tata cara perusahaan dalam merencanakan dan melaksanakan proyek-proyek yang berpotensi berdampak pada lingkungan. Di samping itu, peraturan perundang-undangan di tingkat daerah juga dapat memiliki peran penting dalam mengatur masalah perlindungan lingkungan, sehingga koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah perlu ditingkatkan untuk memastikan perlindungan lingkungan yang holistik dan efektif. menjaga keberlanjutan lingkungan dan mematuhi nilai-nilai ketuhanan dan keadilan.

6. Penegakan Hukum yang Lemah

Salah satu tantangan serius yang dihadapi dalam lingkup hukum bisnis adalah penegakan hukum yang lemah. Meskipun Indonesia memiliki berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur berbagai aspek bisnis, kenyataannya, penegakan hukum seringkali masih belum efektif.[23] Hal ini dapat menyebabkan ketidakadilan dalam dunia bisnis, karena pelaku bisnis yang melanggar hukum tidak dihukum secara tegas. Contoh konkret adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang mengatur proses peradilan pidana di Indonesia. Meskipun ada kerangka hukum yang jelas, terdapat kendala dalam pelaksanaan penegakan hukum, seperti kurangnya sumber daya, korupsi dalam sistem peradilan, dan proses hukum yang lambat. Semua ini menyebabkan ketidakpastian hukum dan mengurangi efektivitas hukum bisnis, yang seharusnya memberikan perlindungan bagi semua pihak yang terlibat dalam dunia bisnis.

Selain UU No. 8 Tahun 1981, terdapat UU No. 3 Tahun 2020 tentang Peraturan Perundang-undangan yang mengatur hal-hal terkait dengan perundang-undangan di Indonesia. UU ini seharusnya memberikan dasar yang lebih kuat untuk penegakan hukum yang efektif. Namun, walaupun ada kerangka hukum yang lebih modern, tantangan dalam pelaksanaannya tetap ada, dan hal ini mengakibatkan banyak pelaku bisnis tidak mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan reformasi dalam sistem peradilan pidana dan penegakan hukum yang lebih kuat, termasuk peningkatan sumber daya manusia, transparansi, dan akuntabilitas.

7. Ketidaksetaraan Gender

Ketidaksetaraan gender adalah masalah yang masih cukup merasuk dalam dunia bisnis di Indonesia.[24] Meskipun telah ada beberapa upaya untuk mengatasi isu ini melalui peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, tantangan-tantangan yang berhubungan dengan ketidaksetaraan gender tetap ada. Salah satu masalah utama adalah ketidaksetaraan dalam kesempatan kerja. Wanita seringkali menghadapi kesulitan dalam mengakses posisi-posisi tinggi atau mendapatkan bayaran yang setara dengan rekan-rekan pria mereka. Selain itu, terdapat isu-isu seperti pelecehan seksual di tempat kerja yang perlu diatasi.

Upaya untuk mengintegrasikan aspek keadilan dalam hukum bisnis seharusnya melibatkan peraturan perundang-undangan yang lebih konkret dan penegakan hukum yang lebih ketat untuk menghapus ketidaksetaraan gender. Selain Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, peraturan lain yang menjadi landasan hukum adalah Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Ketentuan-Ketentuan Pelaksanaan Pemerintah Dalam Rangka Mewujudkan Kesetaraan Gender. Namun, implementasi peraturan ini seringkali belum optimal. Diperlukan kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil untuk memastikan bahwa isu-isu ketidaksetaraan gender diatasi dengan serius. Selain itu, perusahaan juga perlu mengadopsi kebijakan yang mendukung kesetaraan gender dan memastikan bahwa tempat kerja mereka bebas dari diskriminasi dan pelecehan seksual.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa integrasi aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis di Indonesia adalah tantangan yang kompleks dan memerlukan pendekatan komprehensif. Tantangan seperti pluralitas agama, pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan hubungan bisnis-pemerintah yang tidak selalu sehat harus diatasi dengan hati-hati melalui perubahan peraturan perundang-undangan, mekanisme pengawasan yang efektif, edukasi masyarakat, dan kerja sama antara semua pihak yang terlibat. Dengan upaya yang sungguh-sungguh, Indonesia dapat mencapai tujuan integrasi aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis, sehingga bisnis dapat berkontribusi pada kesejahteraan sosial dan keadilan.

SIMPULAN

Implementasi orientasi bisnis profetik dalam hukum perusahaan di Indonesia mencakup berbagai aspek yang memengaruhi praktik bisnis dan mengintegrasikan aspek ketuhanan dalam lingkungan bisnis. Ini termasuk penerapan prinsip-prinsip agama dalam hukum perusahaan, transparansi dan akuntabilitas, pengelolaan risiko berbasis etika, aspek ketenagakerjaan dan keadilan sosial, pemberdayaan ekonomi masyarakat, penerapan hukum perusahaan syariah, perlindungan konsumen dan etika bisnis, pemenuhan kewajiban zakat dan pajak, promosi keberlanjutan dan lingkungan hidup, serta pengawasan dan penegakan hukum. Dengan integrasi nilai-nilai agama, moral, dan etika dalam praktik bisnis, perusahaan dapat menciptakan hubungan yang lebih etis, berkelanjutan, dan berfokus pada kesejahteraan sosial, sambil mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjaga prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keragaman budaya.

Tantangan utama dalam mengintegrasikan aspek ketuhanan dan keadilan dalam hukum bisnis di Indonesia melibatkan keanekaragaman agama dan budaya di negara ini, ketidakpastian hukum yang berkaitan dengan peraturan yang ambigu dan kontradiktif, masalah korupsi dan praktik tidak etis dalam bisnis, ketidaksetaraan akses terhadap keadilan terutama bagi masyarakat kurang mampu, perlindungan lingkungan dan keberlanjutan yang memerlukan penegakan hukum yang lebih ketat, penegakan hukum yang lemah dalam system peradilan, serta ketidaksetaraan gender dalam dunia kerja. Peraturan perundang-undangan yang relevan telah dikeluarkan, tetapi implementasinya masih sering menimbulkan tantangan yang perlu diatasi melalui reformasi hukum, peningkatan penegakan hukum, dan perubahan dalam praktik bisnis dan pemerintahan.

References

  1. B. Santoso, Pembaruan Hukum. Tangerang Selatan: UNPAM Press, 2021.
  2. M. N. Yasin, Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia. Malang: UIN Maliki Press, 2018.
  3. A. I. Badiora, “Perceptions on corruption and compliance in the administration of town planning laws: The experience from Lagos Metropolitan Area, Nigeria,” T. Reg. Plan., vol. 76, pp. 1–13, Jun. 2020, doi: 10.18820/2415-0495/trp76i1.1.
  4. M. Anggusti, Pengelolaan Perusahaan & Kesejahteraan Tenaga Kerja. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2019.
  5. R. Rosmaya, M. A. R. Bedong, M. K. Zubair, and W. Wahidin, “Analisis Etika Bisnis Islam dalam Persaingan Usaha Pabbagang di Desa Pallemeang Kabupaten Pinrang,” Diktum J. Syariah dan Huk., vol. 20, no. 1, pp. 01–18, Jul. 2022, doi: 10.35905/diktum.v20i1.2711.
  6. T. Rusli, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Lampung: Universitas Bandar Lampung (UBL) Press, 2021.
  7. A. Kadir, Fenomena Kebijakan Publik dalam Perspektif Administrasi Publik di Indonesia. Medan: CV. Dharma Persada Dharmasraya, 2020.
  8. Mukhlishin, Hukum dan Lembaga Filantropi: Tawaran Konsep Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Berbasis Profetik. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2023.
  9. Sekretariat Jenderal Komisi Yudisial Republik Indonesia, Memperkuat Peradaban Hukum dan Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia, 2019.
  10. A. R. T. Astuti, Aplikasi Etika Bisnis Islam Kontemporer (Suatu Kajian tentang praktik keuangan Islam). Parepare: IAIN Parepare Nusantara Press, 2022.
  11. F. Amalia, “Etika Bisnis Islam: Konsep dan Implementasi pada Pelaku Usaha Kecil,” Al-Iqtishad J. Ilmu Ekon. Syariah, vol. 6, no. 1, pp. 133–142, Jan. 2014, doi: 10.15408/aiq.v6i1.1373.
  12. R. Purnomo, Implementasi Etika Bisnis Islam dalam Perilaku Karyawan pada Perusahaan Advertising (Studi Kasus di CV. Jaya Star Nine Madiun). Ponorogo: IAIN Ponorogo, 2018.
  13. A. R. Taufiq and A. Iqbal, “Analisis Peran Corporate Social Responsibility terhadap Aspek Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan pada Industri Ritel,” J. Ilm. Akunt., vol. 6, no. 1, p. 22, Jun. 2021, doi: 10.23887/jia.v6i1.29046.
  14. F. N. Latifah and R. Maika, Buku Ajar Manajemen Strategik Bank Syariah. 2022. doi: 10.21070/2022/978-623-464-041-0.
  15. M. Rizan, M. Dimuk, M. Qibtiyah, and A. Nurhidayat, Analisis Lingkungan Bisnis di Era Digital. 2020.
  16. D. Kusuma, Wardani, Khoirunnisa, and Septirohmawati, “Efek moderasi religiusitas pada pengaruh pengetahuan zakat dan pajak terhadap kepatuhan pajak di masa pandemi covid-19,” Proceeding Natl. Conf. Account. Financ., vol. 4, pp. 183–191, 2022, doi: 10.20885/ncaf.vol4.art24.
  17. E. S. Feronika, K. R. Silva, S. T. Raharjo, and R. Resnawaty, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Bidang Lingkungan,” Pros. Penelit. dan Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 7, no. 1, p. 1, Jul. 2020, doi: 10.24198/jppm.v7i1.28557.
  18. E. S. Feronika, K. R. Silva, and S. T. Raharjo, “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Bidang Lingkungan,” Pros. Penelit. Pengabdi. Kpd. Masy., vol. 7, no. 1, pp. 1–11, 2020.
  19. J. Lestari, “Pluralisme Agama di Indonesia: Tantangan dan Peluang Bagi Keutuhan Bangsa,” Al-Adyan J. Relig. Stud., vol. 1, no. 1, pp. 29–38, Aug. 2020, doi: 10.15548/al-adyan.v1i1.1714.
  20. E. K. Purwendah, “Konsep Keadilan Ekologi dan Keadilan Sosial dalam Sistem Hukum Indonesia antara Idealisme dan Realitas,” J. Komun. Huk., vol. 5, no. 2, p. 139, Aug. 2019, doi: 10.23887/jkh.v5i2.18425.
  21. N. Solikin and N. Anam, Pendidikan Anti Korupsi: Konsep dan Aplikasi Pembelajaran Pendidikan Anti Korupsi di Sekolah, dan Perguruan Tinggi. Jember: IAIN Jember Press, 2015.
  22. L. Palulungan, M. G. H. K. K., and M. T. Ramli, Perempuan, Masyarakat Patriarki & Kesetaraan Gender. Makassar: Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), 2020.
  23. J. Sriwidodo, Perkembangan Sistem Peradilan Pidana Di Indonesia. 2020.
  24. K. Tridewiyanti, “Kesetaraan dan Keadilan Gender di Bidang Politik ‘Pentingnya Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan di Legislatif,’” J. Legis. Indones., vol. 9, no. 1, 2012, doi: https://doi.org/10.54629/jli.v9i1.377.