International Law
DOI: 10.21070/jihr.v12i2.1007

Advancing Democratic Engagement in Indonesia's Treaty Ratification Process


Memajukan Keterlibatan Demokratis dalam Proses Ratifikasi Perjanjian di Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Mataram
Indonesia

(*) Corresponding Author

Meaningful Participation International Treaty Ratification Public Involvement Legislative Process, Indonesian Democracy

Abstract

This study explores the application of the 'meaningful participation' principle in the formation of laws ratifying international agreements in Indonesia, with a focus on social, economic, and environmental sectors. The research adopts a normative legal methodology, utilizing statutory and conceptual approaches to analyze relevant legislation, court decisions, and academic literature. The findings reveal a significant imbalance in public participation in the ratification process, primarily characterized by a top-down approach with minimal substantive dialogue with affected community groups. Despite constitutional provisions allowing the President to establish agreements without ratification, meaningful public participation in legislative and ratification processes remains limited. The study emphasizes the need for open public consultations, active involvement of non-governmental organizations, and private sector engagement to achieve policies that reflect the comprehensive interests and aspirations of the populace. It highlights the importance of community involvement, transparency, economic-environmental balance, and inclusive approaches in influencing meaningful participation levels. The research calls for recommendations to the Government and Parliament to foster more qualitative and significant public participation in the ratification process, aligning Indonesia with international principles of meaningful participation in social, economic, and environmental law. This approach is crucial for Indonesia, as the world's third-largest democracy, to promote meaningful public participation in policy-making, especially in ratifying international agreements impacting the broader society.

Highlights:

  • Imbalanced Participation: Dominance of a top-down approach with minimal public dialogue in treaty ratification.
  • NGOs and Private Sector: Essential roles in representing diverse societal interests in legislative processes.
  • Legal and Democratic Alignment: Need for transparent and inclusive law-making, balancing economic and environmental aspects.

Keywords: Meaningful Participation, International Treaty Ratification, Public Involvement, Legislative Process, Indonesian Democracy

Pendahuluan

Proses ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia melalui undang-undang (UU) sebagaimana Pasal 11 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), menyoroti adanya ketidakseimbangan dalam partisipasi publik [1]. Meskipun negara telah meratifikasi sejumlah perjanjian di berbagai sektor seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup, proses tersebut masih cenderung bersifat top-down, melibatkan pemerintah yang mengajukan rancangan suatu perjanjian internasional dan DPR yang memberikan persetujuan tanpa melibatkan dialog yang signifikan dengan berbagai kelompok masyarakat terdampak [2]. Ini bertentangan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis yang mengedepankan keterlibatan substantif warga negara.

Dalam praktiknya, tidak semua perjanjian internasional diwujudkan melalui ratifikasi dengan undang-undang di Indonesia [3]. Hal ini dipengaruhi oleh Pasal 33 Ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (UU Perjanjian Internasional), yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan perjanjian dengan keputusan presiden, khususnya bagi perjanjian yang dianggap tidak memiliki dampak luas dan mendasar terhadap kehidupan rakyat serta terkait dengan kebijakan publik [4]. Mekanisme ini memungkinkan pemerintah untuk lebih fleksibel dalam menangani perjanjian yang bersifat spesifik dan terbatas dalam pengaruhnya, tanpa harus melibatkan proses panjang ratifikasi oleh lembaga legislatif.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) secara jelas menetapkan hak partisipasi masyarakat dalam memberikan masukan, baik secara lisan maupun tertulis, dalam proses legislasi. Undang-undang ini merupakan manifestasi dari asas keterbukaan yang menitikberatkan pada aspirasi publik dan kepentingan umum. Pendekatan ini mencerminkan semangat reformasi birokrasi dengan memprioritaskan partisipasi dan transparansi, sehingga proses legislasi tidak semata-mata menjadi domain eksklusif lembaga negara, melainkan harus mampu mengakomodasi suara masyarakat, terutama dari kelompok yang langsung terdampak oleh isu-isu yang diatur dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) [5], begitupun juga dengan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjadi fondasi hukum utama yang menegaskan hak partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik terkait HAM dan lingkungan hidup [6]. Hak ini memiliki signifikansi yang besar mengingat adanya banyak perjanjian internasional yang telah diratifikasi, mempengaruhi isu-isu sosial, ekonomi, dan lingkungan. Oleh karena itu, partisipasi publik dalam proses ratifikasi perjanjian internasional melalui legislatif di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan HAM dan lingkungan hidup melalui mekanisme legislasi yang demokratis dan transparan.

Partisipasi publik yang substansial dalam proses ratifikasi perjanjian internasional merupakan kunci untuk memastikan bahwa output legislasinya benar-benar mencerminkan kebutuhan dan prioritas riil masyarakat. Banyak perjanjian internasional yang sudah diratifikasi, seperti Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diakui melalui UU No. 11 Tahun 2005, belum memberikan manfaat yang signifikan bagi rakyat. Amnesty International menunjukkan bahwa pelaksanaannya di Indonesia masih jauh dari memadai, terutama dalam hal anggaran kesehatan yang minim, menyebabkan banyak warga tidak dapat menikmati hak mereka terhadap standar kesehatan yang layak [7]. Oleh karena itu, mengutamakan suara dan kebutuhan nyata publik dalam proses ratifikasi menjadi esensial untuk memastikan bahwa perjanjian internasional tidak hanya menjadi formalitas hukum, tetapi juga alat nyata untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Praktik yang minim partisipasi publik dalam proses ratifikasi perjanjian internasional di bidang lingkungan hidup tidak sejalan dengan prinsip "meaningful participation" dalam hukum internasional lingkungan [8]. Prinsip ini menekankan hak masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif, bebas, dan bermakna dalam pengambilan keputusan terkait isu lingkungan hidup, bukan hanya aspek prosedural semata. Prinsip tersebut bertujuan agar kebijakan dan legislasi lingkungan hidup yang dihasilkan lebih responsif terhadap kebutuhan dan prioritas kelompok masyarakat yang secara langsung terkena dampak isu tersebut. Dengan demikian, melibatkan publik secara lebih substansial dalam proses ratifikasi perjanjian internasional menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup yang lebih baik sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang terlibat.

Dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020, Mahkamah Konstitusi menegaskan prinsip meaningful participation sebagai suatu aspek krusial dalam konteks partisipasi publik. Mahkamah menggarisbawahi bahwa partisipasi masyarakat tidak hanya sebatas formalitas prosedural, melainkan harus bersifat substansial dan memiliki dampak yang signifikan dalam proses legislasi. Meskipun prinsip ini diakui sebagai penting, terdapat kesenjangan antara idealisme hukum dan praktik di lapangan. Proses pembentukan undang-undang, termasuk dalam meratifikasi perjanjian internasional, seringkali kurang mengakomodir partisipasi masyarakat secara maksimal. Hal ini menciptakan tantangan dalam mewujudkan prinsip meaningful participation sebagai landasan demokrasi yang sehat dan responsif terhadap kebutuhan serta aspirasi masyarakat secara keseluruhan [9].

Penerapan prinsip “meaningful participation” dalam proses legislasi dan ratifikasi perjanjian internasional di Indonesia masih jauh dari memadai, termasuk terkait isu-isu sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup. Partisipasi publik kerap hanya bersifat prosedural tanpa benar-benar mempengaruhi substansi kebijakan. Oleh karena itu penting untuk mengevaluasi penerapan prinsip “meaningful participation” dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Adapun perumusan maslalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

  1. Bagaimana penerapan prinsip Meaningful Participation dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan secara konkret di Indonesia?
  2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi yang bermakna (meaningful participation) dari masyarakat sipil dan kelompok kepentingan dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di sektor sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia?

Temuan penelitian ini diharapkan bisa memberi rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR untuk mendorong partisipasi publik yang lebih berkualitas dan bermakna dalam proses ratifikasi. Rekomendasi tersebut penting demi menjamin kepentingan rakyat benar-benar terakomodasi dan agar Indonesia sejalan dengan prinsip “meaningful participation” dalam aspek sosial, ekonomi, dan hukum lingkungan internasional. Dengan demikian, sebagai negara demokrasi ketiga terbesar di dunia, sudah semestinya Indonesia mendorong partisipasi bermakna publik dalam penyusunan kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Termasuk dalam ratifikasi perjanjian internasional terkait sosial-ekonomi-lingkungan yang dampaknya bisa dirasakan secara langsung oleh masyarakat Indonesia.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian ini dipilih dengan pertimbangan bahwa studi ini difokuskan untuk menganalisis penerapan norma dan prinsip meaningful participation dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya UU Ratifikasi Perjanjian Internasional bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sesuai dengan metode penelitian normatif, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) di mana penelitian ini menelaah berbagai regulasi terkait pembentukan peraturan perundang-undangan dan partisipasi masyarakat. Regulasi utama yang ditelaah antara lain UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, dan berbagai peraturan terkait lainnya. Di samping pendekatan perundang-undangan digunakan juga pendekatan konseptual (conceptual approach), yakni menganalisis permasalahan dengan didukung oleh konsep partisipasi publik khususnya, dan prinsip-prinsip hukum yang relevan pada umumnya.

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait, risalah dan naskah akademik pembentukan UU, serta putusan MK; dan bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, jurnal, artikel dan literatur akademik lainnya terkait topik penelitian. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dan studi dokumen terhadap bahan-bahan hukum yang telah disebutkan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif dengan teknik deskriptif analitis, yakni dengan mendeskripsikan fakta hukum yang ditemukan, kemudian dianalisis untuk menjawab permasalahan penelitian terkait penerapan prinsip meaningful participation dalam UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Pembahasan

Penerapan Meaningful Participation dalam UU Ratifikasi Perjanjian Internasional

Penerapan prinsip meaningful participation dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia memainkan peran penting dalam memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak signifikan pada kehidupan mereka. Prinsip ini menekankan pentingnya melibatkan berbagai pihak, termasuk warga negara, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta, untuk memastikan keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat. Dalam konteks perjanjian internasional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan, Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengintegrasikan prinsip meaningful participation dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional [10].

Indonesia telah mengambil langkah konkret untuk memastikan partisipasi yang bermakna dari masyarakat dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional dengan melibatkan mereka dalam proses konsultasi publik. Konsultasi publik menjadi instrumen utama di mana masyarakat dapat berperan aktif dengan menyampaikan pendapat, masukan, dan kekhawatiran terkait perjanjian internasional yang akan diratifikasi. Contoh penerapan nyata dari inisiatif ini terlihat dalam persiapan dan penelaahan Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Perjanjian Internasional (RUU PIPI). Dasar hukum untuk melibatkan masyarakat dalam konsultasi publik ini ditemukan dalam Pasal 5 UU Perjanjian Internasional [11]. Melalui konsultasi publik, pemerintah memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional, sehingga memastikan bahwa kepentingan mereka tercermin dalam kebijakan yang dihasilkan.

Pasal 5 UU Perjanjian Internasional memberikan landasan hukum yang kuat untuk penerapan konsultasi publik. Masyarakat dapat berkontribusi melalui berbagai saluran, baik melalui pertemuan publik konvensional maupun melalui media online. Pendekatan ini memberikan akses yang lebih luas bagi partisipasi masyarakat, memastikan bahwa pandangan dari berbagai lapisan masyarakat, terlepas dari lokasi geografis atau tingkat aksesibilitas, dapat diakomodasi. Melibatkan masyarakat secara langsung dalam proses ini tidak hanya menciptakan ruang untuk ekspresi pendapat mereka tetapi juga memperkuat legitimasi dan keabsahan kebijakan yang dihasilkan, karena mencerminkan aspirasi dan kebutuhan sebagian besar masyarakat [12].

Dalam konteks meaningful participation, keterlibatan aktif organisasi non-pemerintah (NGO) memegang peran penting dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia. NGO seringkali terlibat dalam forum-forum khusus, diskusi kelompok, atau menyusun pandangan bersama sebagai wujud kontribusi mereka dalam menyuarakan pandangan masyarakat sipil. Keterlibatan ini memberikan kontribusi positif terhadap diversitas pendapat yang dapat memperkaya proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional. Keberadaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang (UU No. 16 Tahun 2017) juga memberikan dasar hukum yang jelas untuk pemberian ruang kepada NGO. Pasal 5 UU a quo tersebut menegaskan bahwa Ormas bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dan keberdayaan Masyarakat, sehingga pemerintah memiliki kewenangan untuk melibatkan pihak ketiga, termasuk masyarakat sipil dan sektor bisnis, dalam proses pengesahan perjanjian internasional. Hal ini menciptakan landasan hukum yang mendukung partisipasi yang bermakna dan konstruktif dari NGO dalam proses legislasi terkait perjanjian internasional [13].

Adanya keterlibatan aktif NGO juga dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional. Dengan menyusun pandangan bersama dan berpartisipasi dalam forum khusus, NGO memiliki potensi untuk memberikan wawasan yang mendalam terkait dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari perjanjian internasional yang akan diratifikasi. Pada gilirannya, hal ini dapat memberikan masukan berharga kepada pemerintah dan legislator untuk memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan mencerminkan kepentingan seluruh masyarakat. Melalui keterlibatan NGO yang didukung oleh landasan hukum yang jelas, proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional dapat menjadi lebih inklusif, demokratis, dan mewakili beragam perspektif yang ada dalam masyarakat sipil [14].

Dalam konteks ekonomi, prinsip meaningful participation tidak hanya mencakup keterlibatan masyarakat sipil tetapi juga melibatkan sektor swasta dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional yang terkait dengan bidang ekonomi. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) sebagaimana telah diubah untuk yang ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 memberikan landasan bagi partisipasi sektor swasta melalui pembentukan Panitia Kerja (Panja). Panja memiliki fungsi untuk mengkaji secara mendalam RUU tertentu, dan dapat melibatkan pihak-pihak terkait, termasuk perwakilan dari dunia usaha [15]. RUU tertentu sebagaimana dimaksud salah satunya dapat diperuntukkan bagi pembentukan perjanjian internasional yang disahkan melalui ratifikasi (UU).

Melibatkan sektor swasta dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di sektor ekonomi memiliki keuntungan strategis. Dengan melibatkan perwakilan bisnis, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan realitas pasar dan mengakomodasi kepentingan bisnis secara efektif. Ini juga dapat memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan mendukung iklim investasi yang sehat dan memberikan insentif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Langkah-langkah konkret seperti pembentukan Panja, sebagaimana diatur dalam UU MD3, dapat menjadi saluran yang efektif untuk mendukung partisipasi sektor swasta dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional, menciptakan kerangka kerja yang lebih inklusif dan seimbang dalam pembentukan kebijakan ekonomi yang berdampak luas [16].

Dalam konteks lingkungan, prinsip meaningful participation menjadi krusial untuk menjaga keberlanjutan dan perlindungan lingkungan hidup. Indonesia, sebagai negara dengan kekayaan alam yang melimpah dan keanekaragaman hayati, memiliki tanggung jawab besar dalam mengelola sumber daya alamnya dengan berkelanjutan. Untuk mewujudkan partisipasi yang bermakna, pemerintah Indonesia dapat mengambil langkah-langkah konkrit, seperti mengadakan dialog publik, seminar, atau lokakarya terkait perjanjian internasional yang berdampak pada lingkungan. Melibatkan komunitas lokal, organisasi lingkungan, dan pakar-pakar terkait dalam proses pengambilan keputusan akan memastikan bahwa berbagai perspektif dan pengetahuan diperhitungkan.[17]

UU PPLH menjadi landasan hukum yang penting dalam mendukung partisipasi masyarakat dalam konteks lingkungan. UU a quo ini mengakui hak partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan, termasuk dalam konteks ratifikasi perjanjian internasional [18]. Dengan demikian, pemerintah memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengorganisir mekanisme partisipatif yang efektif dan mengintegrasikan pandangan masyarakat dalam pembentukan kebijakan lingkungan. Peningkatan partisipasi ini akan menciptakan kebijakan yang lebih akurat, relevan, dan dapat diterima oleh masyarakat, sekaligus meningkatkan kualitas keputusan terkait perlindungan lingkungan hidup di tingkat nasional maupun internasional.

Dalam upaya mewujudkan meaningful participation, sejumlah tantangan perlu diatasi. Salah satu hambatan utama adalah rendahnya pemahaman masyarakat terhadap perjanjian internasional dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari. Pemahaman yang terbatas ini dapat menghambat partisipasi yang bermakna, karena masyarakat mungkin kurang mampu memberikan masukan yang relevan dan terinformasi [19]. Oleh karena itu, diperlukan upaya intensif dalam meningkatkan pendidikan dan sosialisasi mengenai perjanjian internasional di berbagai tingkatan masyarakat. Program edukasi yang menyeluruh dapat membantu menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang implikasi perjanjian internasional dan memungkinkan masyarakat untuk berkontribusi secara lebih efektif dalam proses pembentukan undang-undang.

Aspek kesetaraan akses menjadi kritis dalam memastikan partisipasi yang merata. Pemerintah perlu menjamin bahwa semua lapisan masyarakat, termasuk yang tinggal di daerah terpencil, memiliki akses setara terhadap informasi dan peluang untuk berpartisipasi. Ini memerlukan infrastruktur yang memadai untuk menyediakan akses informasi dan pendidikan di seluruh wilayah negara. Penguatan sarana komunikasi dan jaringan informatif, terutama di daerah terpencil, dapat membantu mengatasi disparitas akses yang mungkin terjadi [20]. Dengan cara ini, meaningful participation dapat diwujudkan dengan lebih efektif, mengatasi hambatan pemahaman dan memastikan bahwa seluruh masyarakat dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional.

Pentingnya transparansi dalam seluruh proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional tidak dapat diabaikan. Transparansi ini mencakup aspek publikasi dokumen-dokumen terkait, rangkaian pertemuan, dan hasil-hasil konsultasi publik yang terkait dengan proses tersebut. Dengan memberikan akses terbuka kepada informasi-informasi kunci ini, pemerintah dapat memastikan bahwa masyarakat dapat memahami dengan jelas setiap tahap dari proses pembentukan kebijakan. Ini tidak hanya meningkatkan tingkat pemahaman masyarakat tentang konteks dan dampak dari perjanjian internasional yang akan diratifikasi, tetapi juga menciptakan dasar kepercayaan bahwa partisipasi masyarakat memiliki dampak nyata dalam menghasilkan undang-undang yang mencerminkan kebutuhan dan aspirasi bersama [6]. Oleh karena itu, transparansi menjadi kunci untuk memperkuat hubungan antara pemerintah dan masyarakat serta membangun fondasi partisipasi yang bermakna dan dapat dipercaya dalam proses legislasi terkait perjanjian internasional.

Secara keseluruhan, penerapan prinsip meaningful participation dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia dapat diwujudkan melalui konsultasi publik yang terbuka, partisipasi aktif organisasi non-pemerintah, dan keterlibatan sektor swasta. Dengan demikian, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Upaya ini sejalan dengan semangat demokrasi yang inklusif dan berkelanjutan, di mana setiap warga negara memiliki peran aktif dalam membentuk masa depan negaranya.

Faktor Pengaruh Partisipasi Bermakna dalam UU Ratifikasi Perjanjian Internasional

Pentingnya memahami bahwa tingkat partisipasi yang bermakna dari masyarakat sipil dan kelompok kepentingan dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia terkait erat dengan sejumlah faktor yang mencakup sektor sosial, ekonomi, dan lingkungan. Kebijakan pemerintah memiliki dampak signifikan dalam membentuk kerangka kerja partisipasi, sementara keterlibatan masyarakat sipil menjadi kunci dalam memastikan representasi yang inklusif. Transparansi dalam proses pembentukan perjanjian internasional juga menjadi faktor penting untuk mengatasi ketidakpastian dan memperkuat partisipasi yang bermakna. Selain itu, mencapai keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan menjadi tantangan esensial, di mana regulasi yang adil dan berwawasan lingkungan diperlukan untuk mendukung partisipasi yang berdampak positif [21].

Salah satu faktor yang secara signifikan mempengaruhi tingkat partisipasi yang bermakna dari masyarakat sipil dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia adalah keterlibatan aktif mereka dalam proses legislasi. Konstitusi Indonesia, khususnya Pasal 28H Ayat (3), memberikan landasan konstitusional yang kuat untuk hak setiap orang terlibat dalam komunikasi, memperoleh informasi, dan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Pasal ini menggarisbawahi pentingnya interaksi antara masyarakat dan proses pembentukan kebijakan. Lebih lanjut, UU P3 secara eksplisit menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam pembuatan undang-undang [22], hal ini juga seharusnya berlaku terhadap perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang. Dengan demikian, norma-norma hukum ini menciptakan dasar yang kokoh bagi peran masyarakat sipil dalam menyuarakan pandangan dan aspirasi mereka terkait ratifikasi perjanjian internasional.

Dalam konteks ratifikasi perjanjian internasional, peran masyarakat sipil menjadi semakin penting karena mereka memiliki kapasitas untuk mencerminkan kepentingan beragam masyarakat. Masyarakat sipil bukan hanya pemantau kritis, tetapi juga kontributor aktif yang dapat memberikan masukan substantif dalam proses pengambilan keputusan. Dalam hal ini, UU P3 memberikan landasan yang jelas untuk pemerintah untuk mendengarkan pandangan masyarakat dan mengakomodasi aspirasi mereka [23]. Oleh karena itu, keterlibatan masyarakat sipil tidak hanya menjadi hak konstitusional, tetapi juga sebuah tanggung jawab yang harus dijalankan untuk memastikan proses pembentukan undang-undang yang inklusif dan demokratis, khususnya dalam hal ratifikasi perjanjian internasional yang dapat memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat.

Faktor sosial memainkan peran sentral dalam menentukan tingkat partisipasi yang bermakna dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia. Perbedaan-perbedaan sosial, budaya, dan tingkat pendidikan di antara masyarakat dapat menjadi faktor kunci yang mempengaruhi sejauh mana individu dan kelompok merasa terlibat dalam proses kebijakan. Adanya kesenjangan sosial dan ekonomi dapat menjadi hambatan bagi partisipasi masyarakat yang lebih luas, sedangkan pemahaman budaya dan tingkat pendidikan yang tinggi dapat menjadi pendorong partisipasi yang aktif [21]. Oleh karena itu, perlu diterapkan pendekatan yang inklusif dan menyeluruh untuk mengakomodasi keberagaman masyarakat. Mekanisme partisipasi yang terbuka dan mudah diakses perlu diupayakan oleh pemerintah untuk memastikan bahwa semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok-kelompok yang mungkin kurang terwakili, memiliki akses dan kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional.

Pentingnya pendekatan inklusif ini diperkuat oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia yang diakui oleh konstitusi Indonesia. Pasal 28H Ayat (3) UUD NRI 1945 menekankan hak setiap orang untuk berkomunikasi, memperoleh informasi, dan ikut serta dalam kehidupan politik. Dalam kerangka ini, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat [24]. Oleh karena itu, kebijakan dan program harus dirancang dengan mempertimbangkan konteks sosial yang beragam, serta memberikan insentif bagi partisipasi yang lebih besar. Pemerintah juga harus proaktif dalam mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan sosial yang dapat menghambat partisipasi, termasuk dengan meningkatkan akses pendidikan dan mempromosikan pemahaman budaya yang lebih baik di antara masyarakat.

Dalam sektor ekonomi, kebijakan pemerintah memiliki dampak signifikan terhadap partisipasi masyarakat sipil dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta menjadi Undang-Undang (UU No. 6 Tahun 2023), yang mengatur berbagai aspek terkait investasi dan pengembangan ekonomi, menjadi suatu landasan hukum yang memerlukan keterlibatan aktif dari masyarakat sipil [25]. Pengaturan ini tidak hanya mencakup aspek ekonomi, tetapi juga berpotensi berdampak pada aspek sosial dan lingkungan. Keterlibatan masyarakat sipil dalam proses pembahasan dan perumusan undang-undang semacam ini sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan ekonomi tidak hanya menguntungkan kelompok tertentu, tetapi juga mencakup kebutuhan dan keadilan sosial secara menyeluruh [15].

Dalam konteks UU No. 6 Tahun 2023, partisipasi masyarakat sipil dapat berkontribusi untuk menyeimbangkan kepentingan ekonomi dengan keadilan sosial. Melalui mekanisme partisipatif, berbagai kelompok masyarakat dapat menyuarakan pandangan mereka, memastikan bahwa kebijakan yang dihasilkan melayani kepentingan luas. Seiring dengan itu, transparansi dalam proses legislatif menjadi kunci untuk membangun kepercayaan dan mendukung partisipasi yang bermakna [26]. Oleh karena itu, penerapan prinsip good governance, seperti akuntabilitas dan responsivitas, dalam pembentukan kebijakan ekonomi dapat menciptakan lingkungan yang mendukung partisipasi aktif masyarakat sipil dan mencapai keberlanjutan pembangunan yang seimbang dan inklusif.

Peran media dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia memiliki dampak yang signifikan terhadap partisipasi masyarakat sipil dan kelompok kepentingan [27]. Media yang independen dan beragam berperan sebagai saluran informasi yang penting, memastikan bahwa berbagai perspektif dan sudut pandang tercermin secara adil. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (UU Pers) memberikan dasar hukum bagi kebebasan pers sebagai hak asasi manusia, menekankan pentingnya media sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Kebebasan media menjadi kunci untuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam proses pembentukan undang-undang, memberikan akses kepada masyarakat untuk memahami secara mendalam isu-isu yang terkait dengan perjanjian internasional yang akan diratifikasi [28].

Melalui penyampaian informasi yang akurat dan objektif, media memberikan landasan bagi masyarakat untuk terlibat secara lebih efektif dalam pembahasan perjanjian internasional. Berita yang terpercaya dapat membantu membentuk opini publik yang informatif dan bertanggung jawab. Di samping itu, media juga memiliki peran sebagai penyambung suara masyarakat, memfasilitasi dialog antara pemerintah dan masyarakat sipil [29]. Oleh karena itu, dalam mendorong partisipasi masyarakat dalam proses legislasi di bidang perjanjian internasional, upaya untuk memperkuat keberagaman dan independensi media perlu diutamakan. Media yang berfungsi dengan baik dapat menjadi alat yang efektif untuk mencapai keterbukaan dan akuntabilitas dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional, menjembatani kesenjangan informasi dan memastikan bahwa keputusan yang diambil mencerminkan kepentingan sebesar-besarnya dari masyarakat.

Aspek lingkungan memiliki peran sentral dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di Indonesia. Keberlanjutan lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan kepentingan bersama yang harus dijaga secara kolaboratif oleh masyarakat sipil, pemerintah, dan sektor swasta [30]. UU PPLH menjadi landasan hukum yang signifikan dalam konteks ini. Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang jelas untuk melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan lingkungan, memastikan bahwa proses legislasi mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat terhadap keberlanjutan lingkungan.

Dengan adanya UU PPLH, keberlanjutan lingkungan bukan sekadar aspek teknis, tetapi juga menjadi bagian integral dari proses pengambilan keputusan. Masyarakat sipil memiliki peran penting dalam memastikan bahwa keputusan terkait dengan ratifikasi perjanjian internasional tidak hanya mempertimbangkan aspek ekonomi dan politik tetapi juga dampaknya terhadap lingkungan. Melibatkan masyarakat dalam proses ini bukan hanya memenuhi persyaratan hukum, tetapi juga menciptakan forum demokratis yang memungkinkan berbagai pihak untuk berkontribusi secara konstruktif terhadap langkah-langkah legislatif yang melibatkan aspek lingkungan [31]. Dengan demikian, aspek lingkungan menjadi pilar penting dalam membangun kerangka kerja hukum yang berkelanjutan dan memberikan dasar bagi partisipasi yang bermakna dari masyarakat dalam proses legislasi terkait perjanjian internasional.

Transparansi dalam proses legislasi memiliki dampak signifikan terhadap partisipasi yang bermakna dari masyarakat sipil dan kelompok kepentingan. Kejelasan mengenai isi perjanjian internasional yang akan diratifikasi merupakan langkah awal yang penting dalam membuka ruang bagi partisipasi yang lebih luas. Informasi yang jelas dan mudah diakses mengenai ketentuan-ketentuan perjanjian, implikasi terhadap masyarakat, serta mekanisme pembahasannya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memahami secara mendalam konteks perjanjian tersebut. Selain itu, proses pembahasan yang terbuka dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memberikan masukan, mempertanyakan, dan mengajukan saran terkait perjanjian internasional yang akan diratifikasi [32].

Penerapan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU Keterbukaan Informasi Publik) menjadi kunci dalam memastikan bahwa akses informasi mencakup seluruh aspek yang terkait dengan perjanjian internasional. Undang-undang ini memberikan dasar hukum untuk menyediakan informasi secara transparan kepada masyarakat, termasuk informasi seputar proses pembentukan perjanjian internasional. Dengan demikian, masyarakat dapat memiliki akses yang memadai untuk membentuk pandangan dan mengambil bagian secara aktif dalam proses legislasi. Keberhasilan penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik akan memberikan dasar yang kuat bagi terwujudnya partisipasi yang bermakna, yang pada gilirannya akan menciptakan kebijakan publik yang lebih representatif dan mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat [33].

Dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat sipil dan kelompok kepentingan dalam proses pembentukan undang-undang, langkah pertama yang perlu diambil adalah mengadakan dialog dan forum konsultasi yang inklusif. Forum semacam ini harus mencakup berbagai elemen masyarakat untuk memastikan representasi yang adil dan seimbang. Melalui dialog ini, berbagai pandangan, ide, dan kepentingan dapat didengar dan dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan. Hal ini tidak hanya menciptakan transparansi dalam proses pengambilan keputusan, tetapi juga memperkuat legitimasi kebijakan yang dihasilkan.

Selain itu, implementasi prinsip-prinsip good governance menjadi esensial dalam memperkuat proses pembentukan undang-undang [34]. Prinsip-prinsip ini, termasuk akuntabilitas, responsivitas, dan partisipasi, menjadi landasan bagi pemerintah untuk melibatkan masyarakat secara efektif. Akuntabilitas memastikan bahwa keputusan yang diambil dapat dipertanggungjawabkan, sementara responsivitas memastikan bahwa pemerintah dapat merespons kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Partisipasi, sebagai prinsip utama, tidak hanya memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, tetapi juga mengakui bahwa kebijakan yang melibatkan berbagai perspektif lebih mungkin berhasil dan berkelanjutan dalam jangka panjang [35]. Dengan menerapkan prinsip-prinsip good governance, proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan responsif terhadap kebutuhan seluruh masyarakat.

Sebagai kesimpulan, tingkat partisipasi yang bermakna dari masyarakat sipil dan kelompok kepentingan dalam proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di sektor sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia dipengaruhi oleh faktor-faktor kompleks. Keterlibatan masyarakat, transparansi, keseimbangan ekonomi dan lingkungan, serta pendekatan inklusif menjadi kunci dalam memastikan bahwa proses pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional mencerminkan kepentingan dan aspirasi seluruh masyarakat. Penerapan peraturan perundang-undangan yang relevan, seperti yang telah disebutkan di atas, menjadi landasan hukum untuk memastikan partisipasi yang bermakna dan adil dalam merumuskan kebijakan yang melibatkan kesepakatan internasional.

Simpulan

Penelitian ini mengungkap bahwa penerapan prinsip meaningful participation dalam pembentukan UU Ratifikasi Perjanjian Internasional di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan di Indonesia memiliki potensi signifikan untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan kebijakan publik. Melalui konsultasi publik yang terbuka, partisipasi aktif organisasi non-pemerintah, dan keterlibatan sektor swasta, kebijakan yang dihasilkan dapat lebih mencerminkan kepentingan dan aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Namun, studi ini juga mengidentifikasi tantangan, termasuk kesenjangan pemahaman masyarakat dan akses terhadap informasi, yang perlu diatasi untuk mewujudkan partisipasi yang bermakna. Temuan ini memiliki implikasi penting bagi pembuat kebijakan dalam merancang dan menerapkan strategi untuk meningkatkan partisipasi publik dalam proses legislatif. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengeksplorasi metode efektif dalam mengatasi hambatan ini dan untuk menilai dampak langsung dari partisipasi publik yang bermakna pada kualitas demokrasi dan kebijakan publik di Indonesia.

References

  1. D. A. G. Rompis, “Praktik Ratifikasi Terhadap Perjanjian Internasional Di Bidang Hak Asasi Manusia,” Lex Crim., vol. 6, no. 4, 2017.
  2. F. Hamdani, A. Fauzia, and E. A. M. Putra, “Penerapan Metode Ria Dalam Pembentukan Perjanjian Internasional: Upaya Optimalisasi Keterlibatan Rakyat Dalam Mewujudkan Negara Kesejahteraan,” in 5th National Conference on Law Studies 2023, 2023, pp. 1–26.
  3. F. Hamdani and A. Fauzia, “Gagasan Judicial Preview Terhadap UU Ratifikasi Perjanjian Internasional Dalam Rangka Pembaruan Hukum Di Indonesia,” J. Kaji. Ilmu Huk., vol. 12, no. 1, pp. 42–68, 2022.
  4. E. M. C. Sinaga and G. P. Claudia, “Pembaharuan Sistem Hukum Nasional Terkait Pengesahan Perjanjian Internasional Dalam Perlindungan Hak Konstitusional,” J. Konstitusi, vol. 18, no. 3, pp. 677, Feb 2022, doi: 10.31078/jk1839.
  5. J. Riskiyono, “Public Participation in the Formation of Legislation to Achieve Prosperity,” J. Aspir., vol. 6, no. 2, pp. 159–176, 2015.
  6. P. Aston and F. Magnis-Suseno, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM). Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, 2008.
  7. E. Septiana Nurbani, L. G. Nugraha, and D. Pitaloka, “Analisis Yuridis Terhadap Keppres Nomor 43 Tahun 1978 Tentang Pengesahan Cites 1973 Dalam Perspektif Konvensi Wina 1969 Tentang Perjanjian Internasional Dan Hukum Nasional Indonesia,” Unizar Law Rev., vol. 5, no. 2, Nov 2022, doi: 10.36679/ulr.v5i2.3.
  8. G. D. Triggs and P. C. J. Wall, “‘The Makings of a Success’: The Global Compact on Refugees and the Inaugural Global Refugee Forum,” Int. J. Refug. Law, vol. 32, no. 2, pp. 283–339, Oct 2020, doi: 10.1093/ijrl/eeaa024.
  9. I. Ramur, Analisis Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2023.
  10. A. Prastyo, “Limitation of Meaningful Participation Requirements in the Indonesian Law-Making Process,” J. Huk. Dan Peradil., vol. 11, no. 3, pp. 405, Dec 2022, doi: 10.25216/jhp.11.3.2022.405-436.
  11. M. Paputungan and S. Bakhri, “Menyoal Pemenuhan Partisipasi Masyarakat Yang Bermakna Dalam Pembentukan Undang-Undang Tentang Ibu Kota Negara,” Al-Qisth Law Rev., vol. 6, no. 2, pp. 274, 2023, doi: 10.24853/al-qisth.6.2.274-300.
  12. K. Sellang, Administrasi Dan Pelayanan Publik Antara Teori Dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016.
  13. W. Nugroho, “Konsistensi Pemerintah Indonesia Dalam Political Will Pasca Keikutsertaan Ratifikasi Perjanjian Internasional Di Bidang Ham,” J. Huk. Unissula, vol. 28, no. 2, 2012.
  14. A. Iswahyudi, I. Triyuwono, and M. Achsin, “Hubungan Pemahaman Akuntabilitas, Transparansi, Partisipasi, Value For Money Dan Good Governance (Studi Empiris Pada SKPD di Kabupaten Lumajang),” J. Ilm. Akunt., vol. 1, no. 2, Mar 2017, doi: 10.23887/jia.v1i2.9992.
  15. J. Riskiyono, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan Kesejahteraan,” Aspir. J. Masal. Sos., vol. 6, no. 2, 2015.
  16. B. N. Samsuri, “Pers Berkualitas, Masyarakat Cerdas,” Dewan Pers, pp. 1–345, 2013.
  17. J. A. Y. Wattimena, Hukum Internasional Mengenai Pengaturan Pulau Terluar Di Indonesia. Bandung: CV. Widina Media Utama, 2022.
  18. A. Kahpi, “Jaminan Konstitusional Terhadap Hak Atas Lingkungan Hidup Di Indonesia,” Al Daulah, vol. 2, no. 2, pp. 143–159, 2013.
  19. Haryanto, Evaluasi Pembelajaran (Konsep Dan Manajemen). Yogyakarta: UNY Press, 2020.
  20. M. Zaki, D. R. Rafsanzani, D. A. Hutabarat, B. Hidayah, and D. O. Radianto, “Sosialisme Demokratis Dalam Kebhinekaan Indonesia,” Visa J. Vis. Ideas, vol. 3, no. 3, pp. 558–569, Aug 2023, doi: 10.47467/visa.v3i3.4179.
  21. L. A. S., “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang­Undangan Untuk Mewujudkan Negara Kesejahteraan Indonesia,” J. Polit. Pemerintah. Dharma Praja, vol. 10, no. 1, 2017.
  22. H. Chandra SY and S. P. Irawan, “Perluasan Makna Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi,” J. Konstitusi, vol. 19, no. 4, pp. 766–793, Dec 2022, doi: 10.31078/jk1942.
  23. S. Tippe and A. Subagyo, Kapita Selekta Hubungan Internasional. Bandung: Alfabeta, 2016.
  24. H. A. Nasution and M. Marwandianto, “Memilih Dan Dipilih, Hak Politik Penyandang Disabilitas Dalam Kontestasi Pemilihan Umum: Studi Daerah Istimewa Yogyakarta,” J. Ham, vol. 10, no. 2, pp. 161, Nov 2019, doi: 10.30641/ham.2019.10.161-178.
  25. A. Fauzia, F. Hamdani, R. Rusdianto, and M. A. Mohamed, “Implementation of the Omnibus Law Concept and Consolidated Texts: Amalgamation of the Common Law and Civil Law Legal Systems,” J. Law Leg. Reform, vol. 4, no. 2, 2023.
  26. A. Indriyani, Civil Society Dan Legislasi (Studi Atas Penolakan Muhammadiyah Dalam Pengesahan Ruu Omnibus Law Cipta Kerja). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2022.
  27. F. Hamdani, A. Fauzia, R. Mardhiyana, and L. A. N. Kusuma, “Media Vs. Law: Which Acts as a Tool of Social Engineering?,” Indones. Media Law Rev., vol. 2, no. 2, 2023.
  28. Y. Nugroho, M. F. Siregar, and S. Laksmi, Memetakan Kebijakan Media di Indonesia. Jakarta: Centre for Innovation Policy and Governance, 2012.
  29. D. Novia, "Efektivitas Siaran Berita Televisi Sebagai Sumber Informasi Bagi Masyarakat Pedesaan (Studi pada Warga Desa Girimakmur, Kecamatan Malangbong, Kabupaten Garut, Jawa Barat)," UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016.
  30. F. Hamdani, A. Fauzia, E. A. M. Putra, E. L. Walini, B. A. Pambudi, and L. N. Akbariman, "Persoalan Lingkungan Hidup dalam UU Cipta Kerja dan Arah Perbaikannya Pasca Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020," J. Indones. Berdaya, vol. 3, no. 4, pp. 977–986, 2022.
  31. O. Sinaga, Y. M. Yani, and V. R. Siahaan, "Diplomasi Lingkungan Indonesia Antara Asa dan Realita," UKI Press, Jakarta, 2018.
  32. A. Peters, "Towards Transparency as a Global Norm," in Transparency in International Law, Cambridge University Press, 2013, pp. 534–607. doi: 10.1017/CBO9781139108843.028.
  33. C. S. Pratiwi, S. A. Purnamawati, Fauzi, and C. Y. Purbawati, "Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik," Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta, 2016.
  34. F. Hamdani, A. Fauzia, and D. N. Wahid, "Pembangunan Sistem Pelayanan Publik melalui Penyederhanaan Instrumen Perizinan: Kajian Pasca Pengesahan Perppu Cipta Kerja sebagai Undang-Undang," Natl. Multidiscip. Sci., vol. 2, no. 4, pp. 365–374, 2023.
  35. S. Tomuka, "Penerapan Prinsip-prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik di Kecamatan Girian Kota Bitung (Studi tentang Pelayanan Akte Jual Beli)," Polit. J. Ilmu Polit., vol. 1, no. 3, 2013.