This study critically analyzes the formulation of criminal offenses related to fraud in the revised Penal Code (KUHP) within the context of contemporary technological advancements. Employing a normative legal research method, the investigation draws on relevant legal literature, legislation, and scholarly publications. The findings reveal inadequacies in the current legal provisions, particularly in addressing cyber fraud facilitated by information technology. The newly introduced Article 492 of the revised KUHP remains rooted in conventional fraud models, lacking the capacity to accommodate digital modus operandi and failing to encompass diverse identity theft techniques and system vulnerabilities. The absence of specific regulations pertaining to electronic transactions, computer networks, and digital systems further underscores the limitations. While the revised KUHP exhibits positive enhancements, urgent revisions are warranted to incorporate comprehensive elements, impose stricter penalties, and reinforce global cooperation in combating cybercrime. The overarching goal is to ensure that criminal provisions remain adaptive and responsive to the dynamic landscape of technology-driven offenses in the future.
Highlights:
The revised Penal Code inadequately addresses digital fraud, necessitating a comprehensive update to encompass evolving technological modus operandi.
Existing legal provisions lack specificity concerning electronic transactions, computer networks, and digital systems, revealing a crucial gap in addressing contemporary cyber threats.
Urgent revisions are imperative to fortify criminal statutes, impose stricter penalties, and enhance international collaboration, ensuring a responsive legal framework for combating future technology-based crimes.
Keywords: Technological Fraud, Penal Code Revision, Cybercrime Legislation, Legal Adaptation, Global Cooperation
Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi telah menyebabkan perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat, dengan revolusi digital membawa dampak positif seperti peningkatan efisiensi, konektivitas global, dan dorongan inovasi. Namun, di sisi lain, perkembangan teknologi juga membuka celah untuk tindakan kejahatan, terutama dalam bentuk penipuan. Fenomena penipuan di bidang teknologi, seperti phising, malware, dan serangan siber, telah menjadi ancaman serius yang merugikan individu, perusahaan, dan masyarakat pada umumnya. Keberhasilan teknologi dalam menciptakan peluang baru juga diimbangi dengan risiko keamanan yang semakin kompleks, menyoroti perlunya perhatian serius terhadap aspek keamanan dalam menghadapi perubahan dalam lingkungan digital.[1]
Pentingnya menghadapi tantangan kejahatan di era digital tercermin dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia. KUHP sebagai landasan hukum pidana memerlukan perkembangan terus-menerus agar dapat mengikuti dinamika kejahatan yang semakin canggih dan kompleks di era digital. Langkah-langkah konkret dalam perubahan aturan hukum menjadi krusial untuk menanggulangi kejahatan di bidang teknologi, memastikan bahwa peraturan perundang-undangan memberikan dasar hukum yang kuat dan memadai. Selain peningkatan sanksi, diperlukan juga adaptasi normatif yang lebih spesifik terkait dengan kejahatan siber, pencurian identitas digital, dan modus operandi penipuan berbasis teknologi. Upaya ini bertujuan untuk menjaga relevansi hukum pidana dengan perkembangan teknologi informasi, melindungi masyarakat dari ancaman kejahatan di era digital, dan memberikan dasar hukum yang efektif dalam menanggapi perubahan perilaku kriminal yang terus berkembang. [2]
Tindak pidana penipuan, sebagai bentuk kejahatan konvensional, menjadi perhatian serius dalam masyarakat. Pasal 378 KUHP mengaturnya dengan merinci bahwa penipuan melibatkan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan yang mempengaruhi orang lain untuk menyerahkan barang atau sesuatu yang berharga. Namun, perkembangan teknologi informasi telah membuka pintu bagi modus-modus baru penipuan yang tidak tercakup secara eksplisit dalam KUHP saat ini. Fenomena penipuan melalui internet atau social engineering menjadi contoh bagaimana kejahatan ini beradaptasi dengan era digital.[3] Oleh karena itu, perluasan regulasi dan perhatian khusus terhadap kejahatan siber menjadi penting agar hukum dapat lebih efektif menanggapi dinamika perkembangan kejahatan penipuan dalam lingkup teknologi informasi..
Dalam Konsep Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, terdapat pengaturan baru yang mengenai tindak pidana penipuan, yang secara khusus diatur dalam Pasal 480. Pasal ini menetapkan unsur-unsur umum dari tindak pidana penipuan, mencakup aspek-aspek seperti penggunaan tipu muslihat atau pernyataan bohong untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum. Selain itu, konsep KUHP Baru juga mengatasi variasi dalam penipuan dengan mengatur pasal-pasal yang memberikan hukuman lebih berat atau lebih ringan tergantung pada keadaan khusus, seperti penipuan dengan pemberatan atau peringanan. Salah satu kemajuan signifikan dalam konsep ini adalah inklusi penipuan yang menyangkut sistem elektronik, menandai upaya untuk mengakomodasi perkembangan teknologi informasi dan melindungi masyarakat dari ancaman penipuan yang terkait dengan penggunaan sistem elektronik.[4]
Di sisi lain, terdapat tren yang mengkhawatirkan terkait kejahatan melalui internet di Indonesia, yang secara konsisten mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Menurut laporan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, jumlah kasus kejahatan siber yang ditangani pada tahun 2021 mencapai 1735, mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya yang hanya mencatat 828 kasus. Dalam konteks ini, kasus penipuan terutama menjadi sorotan dengan total 756 kasus. Peningkatan drastis ini menyoroti perlunya merumuskan kebijakan hukum pidana yang tepat dan adaptif terhadap dinamika kejahatan teknologi informasi, demi memberikan perlindungan maksimal kepada masyarakat dan menanggapi tantangan serius yang dihadapi dalam dunia digital.[5]
Formulasi tindak pidana penipuan dalam konteks KUHP baru menjadi salah satu aspek yang perlu mendapatkan perhatian serius. Pengembangan kebijakan ini harus mencerminkan karakteristik unik dari penipuan di era digital, seperti penggunaan metode cybercrime, phising, dan serangan perangkat lunak berbahaya. Sebagai pijakan hukum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2022 tentang Revisi KUHP menjadi tonggak utama dalam mengatasi permasalahan ini. Dalam revisi tersebut, terdapat sejumlah pasal yang relevan dengan penanganan kejahatan di bidang teknologi, termasuk penipuan. Pasal-pasal tersebut merinci definisi penipuan dalam konteks teknologi, mengidentifikasi jenis kejahatan yang melibatkan penggunaan teknologi, dan menetapkan sanksi yang sesuai.[6]
Selain KUHP Baru, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga memiliki peran krusial dalam menanggulangi kejahatan di bidang teknologi. UU ITE menjadi dasar hukum yang penting untuk penanganan tindakan kriminal yang melibatkan penggunaan teknologi informasi. Meskipun demikian, adanya kesenjangan antara regulasi yang ada dan perkembangan teknologi yang begitu cepat menunjukkan perlunya formulasi tindak pidana penipuan yang lebih spesifik dan terkini.[7] Dalam konteks ini, KUHP Baru perlu terus diperbaharui agar dapat bersinergi secara lebih efektif dengan UU ITE dan regulasi terkait lainnya, sehingga mampu memberikan perlindungan hukum yang komprehensif terhadap masyarakat di era digital yang terus berkembang pesat.
Pentingnya formulasi kebijakan tindak pidana penipuan dalam KUHP baru termanifestasi dalam meningkatnya angka kejahatan di bidang teknologi yang dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena serangan peretasan, pencurian identitas, dan penipuan daring semakin merajalela, menyebabkan kerugian finansial dan kerugian kepercayaan baik bagi individu maupun perusahaan.[8] Oleh karena itu, pembaharuan kebijakan ini bukan hanya menjadi suatu tuntutan, tetapi juga sebuah kebutuhan mendesak untuk menjaga keamanan dan membangun kepercayaan dalam lingkungan digital yang semakin kompleks. Dengan adanya perubahan dalam KUHP, diharapkan penanganan tindak pidana penipuan dapat lebih efektif, memberikan sanksi yang lebih sesuai, dan sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, sehingga masyarakat dapat merasa lebih aman dan dilindungi dalam menghadapi tantangan kejahatan di era digital.
Dalam lingkup global, banyak negara telah menanggapi tantangan serupa dengan memperbarui perundang-undangannya untuk mengatasi kejahatan di era teknologi. Inspirasi dapat diambil dari pengalaman negara-negara maju yang telah berhasil merumuskan kebijakan efektif dalam menanggulangi kejahatan berbasis teknologi. Pentingnya menerapkan teknologi kecerdasan buatan dan analisis forensik digital sebagai instrumen utama dalam mendeteksi dan menginvestigasi tindak pidana penipuan tidak dapat diabaikan. Selain itu, kerja sama internasional juga menjadi aspek krusial dalam merancang kebijakan yang komprehensif dan responsif terhadap dinamika global kejahatan. Dengan mengadopsi pendekatan ini, suatu negara dapat memperkuat kapasitasnya untuk melawan kejahatan penipuan di era digital dengan lebih efektif.[9]
Perumusan ketentuan pidana yang tepat dibutuhkan agar penegak hukum memiliki dasar untuk menjerat para pelaku kejahatan teknologi informasi yang kian canggih modus operandinya. Berangkat dari pentingnya hal ini, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan formulasi tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru dikaitkan dengan upaya penanggulangan kejahatan teknologi informasi agar sejalan dengan dinamika perkembangan zaman. Fokus utama penelitian ini adalah merumuskan rekomendasi kebijakan formulasi hukum pidana materiil yang responsive dan adaptif terhadap modus operandi kejahatan teknologi informasi di masa kini dan masa depan. Adapun perumusan maslalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
1. Bagaimana kesesuaian dan kecukupan formulasi tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru dalam menjerat para pelaku kejahatan penipuan dengan memanfaatkan teknologi informasi?
2. Apakah rumusan tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru sudah memadai dan adaptif terhadap perkembangan modus operandi kejahatan penipuan berbasis teknologi informasi di masa depan?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Metode penelitian ini dilakukan dengan mengkaji berbagai bahan pustaka yang relevan berupa peraturan perundang-undangan, publikasi ilmiah, dan sumber hukum lainnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) di mana penelitian difokuskan pada berbagai regulasi dan ketentuan hukum yang terkait dengan rumusan tindak pidana penipuan dalam konsep KUHP Baru. Regulasi tersebut dikaji untuk menemukan ratio legis dan dasar kebijakan formulasi ketentuan pidana tersebut dalam upaya penanggulangan kejahatan di bidang teknologi.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan terkait tindak pidana penipuan dan penanggulangan kejahatan siber, khususnya konsep KUHP Baru. Bahan hukum sekunder mencakup publikasi dan tulisan ilmiah para pakar di bidang hukum pidana. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah studi kepustakaan dengan melakukan penelaahan terhadap berbagai bahan hukum primer dan sekunder yang relevan. Kemudian data yang terkumpul dianalisis untuk menjawab pertanyaan dan permasalahan penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif. Data yang telah dikumpulkan kemudian ditelaah dan diedit untuk disusun secara sistematis. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menghasilkan argumentasi logis dan kritis guna menjawab permasalahan penelitian sesuai dengan teori dan asas hukum yang berlaku.
A. Kesesuaian dan Kecukupan Formulasi Tindak Pidana Penipuan dalam Konsep KUHP Baru dalam Menjerat Para Pelaku Kejahatan Penipuan dengan Memanfaatkan Teknologi Informasi
Dalam mengevaluasi kesesuaian dan kecukupan formulasi tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru, esensial untuk memahami unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 492. Pasal ini menegaskan bahwa tindak pidana penipuan melibatkan setiap orang yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, menggunakan metode seperti nama palsu, kedudukan palsu, tipu muslihat, atau rangkaian kata bohong. Unsur-unsur ini mencakup aspek-aspek yang luas, termasuk manipulasi melalui teknologi informasi. Keberadaan frasa "menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang" memberikan landasan yang cukup kuat untuk menangani penipuan berbasis teknologi, meskipun kemungkinan adanya perkembangan modus operandi baru yang perlu terus diakomodasi.[6]
Pasal 492 KUHP Baru mencerminkan usaha yang diarahkan untuk mengikuti perkembangan teknologi dengan merinci aspek-aspek yang relevan dengan kejahatan penipuan berbasis teknologi informasi. Pemisahan ekspresi seperti penggunaan nama palsu, kedudukan palsu, dan tipu muslihat secara khusus menunjukkan kesadaran hukum terhadap modus operandi yang kerap digunakan dalam kejahatan siber. Pada tingkat yang lebih rinci, rumusan norma ini juga mencakup penggunaan rangkaian kata bohong, mencerminkan keterlibatan teknologi informasi, media digital, dan komunikasi elektronik dalam tindak pidana penipuan. Dengan demikian, Pasal 492 KUHP Baru secara jelas mengeksplorasi dan mengakomodasi konteks teknologi informasi dalam rangka memberikan respons hukum yang lebih adekuat terhadap kejahatan penipuan yang semakin terdiversifikasi di era digital.
Meskipun demikian, perlu diperhatikan bahwa meski Pasal 492 mencakup beberapa aspek teknologi, perkembangan modus operandi baru dalam kejahatan penipuan yang mungkin muncul di masa depan perlu terus dipantau dan diakomodasi dalam revisi regulasi. Kesadaran dan keterlibatan pihak berwenang dalam mengidentifikasi serta menanggapi secara cepat terhadap inovasi-inovasi kejahatan teknologi informasi menjadi kunci dalam menjaga relevansi dan efektivitas norma hukum dalam mengatasi tantangan kejahatan di dunia digital yang terus berkembang.
Perubahan redaksional dalam Pasal 492, yang mencakup penggantian frasa "barangsiapa" dengan "setiap orang," menandai langkah adaptasi yang signifikan terhadap era digital yang semakin berkembang. Meskipun secara konsepsional mirip dengan Pasal 378 KUHP Lama, perubahan ini mencerminkan kesadaran terhadap kompleksitas tindak pidana penipuan yang terkait dengan teknologi informasi. Keputusan untuk menggunakan istilah yang lebih inklusif seperti "setiap orang" menghilangkan ambiguitas dan memberikan kejelasan normatif, memastikan bahwa pasal tersebut dapat lebih efektif menanggapi perubahan modus operandi kejahatan penipuan di era digital.
Selain itu, frasa "menggerakkan orang supaya menyerahkan suatu barang, memberi utang, membuat pengakuan utang, atau menghapus piutang" memberikan dasar hukum yang kuat untuk menangani penipuan berbasis teknologi. Pengakuan terhadap adanya keterlibatan transaksi elektronik, pemanfaatan jaringan komputer, dan sistem digital dalam rangkaian kejahatan penipuan memberikan landasan yang lebih konkret dalam menghadapi perkembangan teknologi informasi. Meskipun demikian, keberlanjutan evaluasi dan adaptasi terhadap formulasi pasal tersebut tetap diperlukan untuk mengikuti dinamika perkembangan teknologi dan modus operandi kejahatan penipuan di masa depan.
Dalam mengevaluasi kesesuaian dan kecukupan formulasi tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru terkait teknologi informasi, perbandingan dengan KUHP Lama menjadi penting. Meskipun unsur-unsur tindak pidana penipuan tetap konsepsional sama, perubahan signifikan terjadi pada sanksi yang diancamkan. KUHP Baru memberikan opsi pidana denda paling banyak kategori V sebagai sanksi alternatif, menggantikan pendekatan tunggal pidana penjara paling lama 4 tahun yang terdapat dalam KUHP Lama. Hal ini mencerminkan kesadaran legislator akan kompleksitas dan variasi tingkat kesalahan dalam tindak pidana penipuan, khususnya di era teknologi informasi. Pilihan ini menunjukkan niat untuk memberikan hukuman yang lebih proporsional dan sesuai dengan kerugian yang diakibatkan, mengakui dinamika perubahan masyarakat dan teknologi.
Meskipun demikian, evaluasi perlu dilakukan terkait kemampuan formulasi tersebut dalam mengakomodasi modus operandi kejahatan penipuan digital yang semakin canggih. Frasa "nama palsu," "kedudukan palsu," dan "tipu muslihat" yang tercantum dalam Pasal 492 KUHP Baru mungkin belum sepenuhnya mencakup variasi teknik penyalahgunaan identitas dan manipulasi sistem yang seringkali terjadi dalam kejahatan teknologi informasi. Oleh karena itu, peninjauan kembali terhadap ketentuan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa formulasi tindak pidana penipuan dapat efektif menanggapi tantangan keamanan dalam era digital.
Perbedaan antara KUHP Baru dan KUHP Lama, khususnya dalam memberikan alternatif pidana denda sebagai respons terhadap dinamika kejahatan di era digital yang semakin kompleks, menandai sebuah langkah maju dalam penegakan hukum. Keleluasaan yang diberikan kepada penegak hukum untuk menyesuaikan sanksi dengan tingkat kejahatan dan dampaknya mencerminkan kebutuhan adaptasi terhadap modus operandi kejahatan yang melibatkan teknologi informasi.[10] Dengan demikian, KUHP Baru memberikan landasan hukum yang lebih fleksibel dan responsif terhadap ancaman kejahatan di dunia digital, di mana kerugian finansial yang besar dapat terjadi akibat tindak pidana penipuan. Keberagaman sanksi juga memberikan dorongan bagi pencegahan dan penanggulangan kejahatan siber, menciptakan landasan yang lebih kuat dalam melindungi masyarakat dan keamanan digital secara keseluruhan.
Meskipun KUHP Baru memperkenalkan sanksi pidana denda sebagai alternatif, kritik muncul terkait keadilan dalam penerapannya. Beberapa kritikus menyoroti kemungkinan sanksi denda yang tinggi menjadi lebih menguntungkan bagi pelaku kejahatan yang memiliki kemampuan finansial untuk membayar, tanpa mempertimbangkan kerugian finansial yang signifikan yang mungkin dialami oleh korban. Keberlanjutan penyeimbangan antara sanksi pidana dan keadilan bagi korban perlu diperhatikan secara seksama agar hukuman yang diberikan dapat secara adil mencerminkan dampak sebenarnya dari tindak pidana penipuan, khususnya dalam konteks perubahan ekonomi dan teknologi yang terus berkembang.[11]
Dalam konteks teknologi informasi, tantangan utama yang dihadapi dalam penanganan kasus penipuan berbasis teknologi adalah kesulitan dalam mengumpulkan bukti dan melacak pelaku kejahatan. Keberhasilan penyelidikan dan penegakan hukum dalam kasus semacam ini sangat bergantung pada kerjasama erat antara lembaga penegak hukum, penyedia layanan teknologi informasi, dan pihak terkait lainnya. Kolaborasi yang efektif antara berbagai pihak ini tidak hanya mempermudah proses pengumpulan bukti digital, tetapi juga mendukung penyelidikan yang lebih cepat dan akurat.[12] Oleh karena itu, untuk mengatasi kompleksitas kejahatan di era digital, diperlukan upaya bersama dalam membentuk kerangka kerja hukum yang memfasilitasi pertukaran informasi yang aman dan efisien antara stakeholder yang terlibat dalam upaya penegakan hukum.
Untuk memastikan keberlanjutan efektivitas hukum terkait penipuan berbasis teknologi, diperlukan pembaruan berkala terhadap peraturan perundang-undangan. Upaya ini harus dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan ahli hukum, praktisi teknologi informasi, dan pihak terkait lainnya. Kolaborasi ini menjadi krusial dalam menanggapi perkembangan tren kejahatan dan teknologi informasi yang terus berubah. Pembaruan tersebut tidak hanya harus mempertimbangkan kebutuhan hukum, tetapi juga memahami dinamika teknologi yang menjadi landasan modus operandi penipuan. Dengan melibatkan para ahli dari berbagai bidang, peraturan yang dihasilkan dapat lebih adaptif dan mampu memberikan solusi yang tepat guna mengatasi tantangan kompleks kejahatan di era digital.[13]
Pendidikan hukum dan penyadaran masyarakat mengenai risiko penipuan berbasis teknologi informasi perlu ditingkatkan sebagai upaya pencegahan dini. Dengan menambah pengetahuan dan kewaspadaan masyarakat terhadap potensi penyalahgunaan teknologi informasi untuk melakukan kejahatan penipuan, diharapkan dapat membatasi kesempatan para pelaku untuk memanfaatkan celah dan kerentanan yang ada. Pendekatan pencegahan melalui peningkatan kesadaran hukum dan kewaspadaan masyarakat ini diperlukan untuk melengkapi upaya represif berupa penerapan sanksi pidana yang diatur dalam KUHP. Gabungan pendekatan pencegahan dan represif ini diharapkan dapat memberikan efek jera dan menekan laju pertumbuhan kejahatan penipuan berbasis teknologi informasi di Indonesia.[13]
Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa formulasi tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru belum cukup memadai dan sesuai dengan kebutuhan untuk menjerat para pelaku kejahatan penipuan yang memanfaatkan teknologi informasi. Beberapa alasan yang mendasari yakni:
1. Rumusan Pasal 492 KUHP Baru masih berfokus pada penipuan konvensional dan belum mengakomodasi berbagai modus operandi penipuan menggunakan teknologi informasi seperti phising, penyebaran malware, atau penipuan melalui media sosial.
2. Terminologi yang digunakan dalam Pasal 492 seperti "nama palsu", "kedudukan palsu" dinilai belum mencakup beragam bentuk penyalahgunaan identitas maupun kelemahan sistem yang kerap dimanfaatkan pelaku kejahatan siber.
3. Tidak adanya pengaturan khusus terkait penipuan dengan memanfaatkan transaksi elektronik, jaringan komputer, atau sistem elektronik.
4. Ancaman pidana yang diberikan belum proporsional dan memadai untuk memberikan efek jera bagi para pelaku kejahatan penipuan teknologi informasi.
Oleh karena itu, pembaharuan rumusan pasal ini perlu terus dilakukan agar dapat mengakomodasi perkembangan modus operandi kejahatan penipuan berbasis teknologi informasi hingga di masa mendatang. Aspek kepastian dan keadilan hukum perlu dijaga tanpa meninggalkan aspek kesejalanan dengan dinamika masyarakat digital.
B. Rumusan Tindak Pidana Penipuan d alam Konsep KUHP Baru Apakah Sudah Memadai d an Adaptif Terhadap Perkembangan Modus Operandi Kejahatan Penipuan Berbasis Teknologi Informasi d i Masa Depan
Pesatnya kemajuan dalam teknologi informasi berpotensi melahirkan modus kejahatan penipuan yang semakin kompleks dan canggih. Oleh karena itu, penting untuk melakukan evaluasi terhadap rumusan ketentuan pidana terkait tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru. Evaluasi ini diperlukan agar peraturan hukum dapat mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan modus operandi penipuan yang menggunakan teknologi informasi di masa mendatang. Proses evaluasi menjadi krusial dalam memastikan bahwa sistem hukum pidana nasional mampu beradaptasi secara terus-menerus dan memberikan dasar hukum yang memadai untuk menanggulangi kejahatan penipuan yang semakin berkembang seiring dengan kemajuan teknologi informasi.[14]
Tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru diatur secara spesifik dalam Pasal 492 yang terdapat dalam Bab XXVII yang membahas Tindak Pidana Perbuatan Curang. Pasal tersebut secara tegas melarang segala bentuk penipuan yang dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Penipuan dapat mencakup penggunaan nama palsu atau kedudukan palsu, serta pemanfaatan tipu muslihat atau rangkaian kata bohong. Pelaku tindak pidana penipuan dalam konteks ini dapat dikenai hukuman pidana penjara dengan maksimal 4 tahun atau pidana denda sebanyak kategori V senilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal ini bertujuan untuk memberikan landasan hukum yang jelas dan tegas terhadap tindak pidana penipuan, menetapkan sanksi yang sesuai, serta menciptakan efek jera bagi para pelaku kejahatan tersebut.[15]
Perubahan redaksional pada rumusan norma tindak pidana penipuan dalam Pasal 492 KUHP Baru dilakukan dengan tujuan memberikan kejelasan makna dan menghindari ambiguitas. Penggantian frasa "setiap orang" untuk menggantikan kata "barangsiapa" dan frasa "membuat pengakuan utang" yang menggantikan "memberi hutang" mencerminkan usaha legislator untuk memperketat formulasi tersebut, menghasilkan norma yang lebih tegas dan jelas. Langkah ini menjadi krusial dalam memperkuat dasar yuridis untuk penegakan hukum pidana terhadap penipuan, terutama mengingat modus operandi kejahatan tersebut terus berkembang.[16]
Secara subtansi, rumusan tindak pidana penipuan dalam KUHP Lama dan KUHP Baru tidak memiliki perbedaan mendasar. Namun demikian, terdapat perbedaan signifikan dalam hal ancaman sanksi yang diberikan. Jika KUHP Lama hanya mengancam tindak pidana penipuan dengan pidana tunggal berupa pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun, KUHP Baru memberikan alternatif ancaman sanksi, yaitu pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V senilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pemberian alternatif sanksi pidana denda ini penting guna memberikan fleksibilitas bagi hakim dalam menjatuhkan putusan yang sesuai dengan nilai keadilan dalam setiap kasus konkret tindak pidana penipuan yang ditangani.[17]
Penambahan alternatif pidana denda dalam Pasal 492 KUHP Baru memberikan pengadilan fleksibilitas untuk memberikan sanksi yang sesuai dengan tingkat kesalahan dan faktor-faktor lain dari pelaku tindak pidana penipuan. Langkah ini bertujuan untuk merespons kompleksitas modus operandi penipuan kontemporer yang seringkali melibatkan motif ekonomi dan menyebabkan kerugian materiil yang signifikan bagi korban.[18] Dengan adanya alternatif pidana denda, hukum pidana dapat menyesuaikan pengenaan sanksi secara adil dan memadai terhadap dampak yang dihasilkan oleh tindak pidana penipuan yang pola dan karakteristiknya terus berkembang.
Rumusan tindak pidana penipuan dalam Pasal 492 KUHP Baru belum sepenuhnya responsif dan antisipatif terhadap fenomena kejahatan siber serta modus operandi penipuan yang semakin canggih dengan memanfaatkan teknologi informasi. Penipuan-penipuan kontemporer seperti phising, penyebaran malware, dan skema penipuan daring lainnya, yang saat ini marak terjadi, masih belum secara eksplisit diakomodasi dalam norma pidana Pasal 492.[19] Oleh karena itu, rumusan ini dianggap masih kurang memadai dan perlu disempurnakan lebih lanjut agar dapat memberikan payung hukum yang komprehensif dalam upaya penanggulangan kejahatan penipuan yang mengadopsi model baru dan berkaitan dengan penyalahgunaan teknologi informasi.
Teknologi informasi dan dunia maya telah membawa dimensi baru dalam kejahatan penipuan, dengan tantangan unik dan kompleks seperti penyalahgunaan identitas, transaksi elektronik, dan serangan siber yang semakin marak.[9] Oleh karena itu, perlu adanya penyesuaian dan pembaruan komprehensif pada rumusan ketentuan pidana terkait tindak pidana penipuan dalam KUHP. Hal ini diperlukan untuk merinci dan mengakomodasi berbagai unsur dan modus operandi penipuan yang berbasis teknologi informasi, baik dalam perumusan unsur-unsur tindak pidana maupun penetapan sanksi pidana yang sesuai dan memadai untuk upaya penanggulangannya.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah membawa dampak serius berupa peningkatan ancaman kejahatan siber dan penipuan berbasis digital, mengancam ketertiban dan rasa keadilan masyarakat. Untuk menghadapi tantangan ini, menjadi sangat penting untuk terus melakukan adaptasi dan pembaruan regulasi hukum pidana. Penyempurnaan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi krusial dengan fokus pada penambahan atau revisi ketentuan-ketentuan pidana yang secara spesifik mengatur dan mengkriminalisasi tindak pidana penipuan elektronik, pencurian identitas digital, dan berbagai jenis kejahatan dunia maya lainnya. Hal ini diperlukan untuk memberikan landasan hukum yang memadai guna mendukung upaya penanggulangan kejahatan siber dan penipuan berbasis teknologi informasi.[19]
Pada tingkat global, kerja sama internasional dan antarnegara menjadi elemen kunci dalam menghadapi ancaman kejahatan siber yang bersifat transnasional. Indonesia perlu mengambil langkah proaktif dengan mengadopsi instrumen dan ketentuan hukum terkait kerja sama serta ekstradisi terhadap pelaku kejahatan siber. Hal ini bertujuan untuk menciptakan mekanisme yang dapat menghambat para pelaku agar tidak dapat beroperasi secara bebas melampaui batas yurisdiksi hukum nasional.[20] Dengan demikian, usaha penanggulangan kejahatan dunia maya di luar wilayah dapat dilakukan secara kolaboratif dan efektif oleh berbagai negara, menjaga keamanan dan ketertiban di ranah siber.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan, rumusan tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru memberikan perubahan yang positif dengan peningkatan dalam penentuan sanksi, memberikan alternatif pidana denda, dan penyesuaian redaksional untuk kejelasan normatif. Namun, dalam konteks teknologi informasi, perlu diakui bahwa masih terdapat kekurangan dalam menangani modus operandi kejahatan penipuan yang semakin canggih. Untuk itu, pembaruan lanjutan pada regulasi perlu dilakukan untuk mencakup secara lebih spesifik aspek-aspek kejahatan siber. Beberapa catatan kritis dan rekomendasi penyempurnaan yang dapat dikemukakan antara lain:
1. Perlu adanya revisi rumusan unsur-unsur tindak pidana penipuan agar lebih komprehensif mencakup penggunaan teknologi informasi dan ranah digital sebagai instrumen kejahatan.
2. Perlu juga dibuat pasal-pasal pidana khusus yang mengkriminalisasi jenis-jenis penipuan dengan memanfaatkan transaksi elektronik, jaringan komputer, dan sistem digital.
3. Ancaman pidana perlu ditingkatkan agar lebih proporsional dan memberi efek jera memadai bagi pelaku.
4. Mekanisme kerja sama internasional perlu diperkuat mengingat lintas negara kejahatan siber yang tinggi.
Dengan penyempurnaan ini diharapkan rumusan tindak pidana penipuan dalam KUHP Baru dapat lebih adaptif dan antisipatif terhadap perkembangan modus operandi kejahatan penipuan berbasis teknologi informasi hingga di masa mendatang.
KESIMPULAN
Formulasi tindak pidana penipuan dalam Konsep KUHP Baru saat ini dinilai masih belum memadai dan sesuai dengan kebutuhan untuk menangani kasus-kasus penipuan dengan memanfaatkan teknologi informasi. Pertama, karena rumusan Pasal 492 KUHP Baru masih terlalu berorientasi pada model penipuan konvensional dan belum mampu mengakomodasi beragam varian modus operandi penipuan digital seperti phising, penyebaran malware, ataupun skema penipuan di media sosial. Terminologi yang digunakan seperti “nama palsu” atau “kedudukan palsu” juga belum mencakup spektrum luas teknik penyalahgunaan identitas dan celah sistem oleh pelaku kejahatan dunia maya. Kedua, tidak adanya pengaturan khusus terkait model penipuan yang memanfaatkan transaksi elektronik, jaringan komputer, atau sistem digital. Padahal, modus operandi ini marak digunakan oleh pelaku kejahatan siber kontemporer. Selain itu ancaman pidananya pun dinilai belum proporsional dan cukup efektif untuk memberi efek jera. Oleh karena itu, pembaharuan rumusan Pasal 492 KUHP Baru dan penyempurnaan pengaturan pidana terkait penipuan teknologi informasi menjadi urgen untuk dilakukan. Hal ini guna memastikan kepastian dan rasa keadilan masyarakat terhadap kejahatan model baru ini dapat terjamin dengan baik di era digital.
Dalam Konsep KUHP Baru memberikan sejumlah peningkatan positif dibandingkan KUHP Lama, seperti penyempurnaan sanksi, alternatif pidana denda, dan ketegasan redaksional untuk memberi kejelasan norma. Namun perlu diakui bahwa dalam konteks kejahatan siber dan teknologi informasi, rumusan saat ini masih terdapat kelemahan dan kekurangan. Konsep KUHP Baru belum secara khusus dan memadai mengakomodasi perkembangan modus operandi kejahatan penipuan digital yang kian canggih. Oleh karena itu perlu dilakukan revisi ketentuan yang lebih spesifik mengatur unsur-unsur kejahatan siber dan model penipuan memanfaatkan transaksi elektronik, jaringan internet, maupun sistem digital. Beberapa rekomendasi perbaikan yang dapat diberikan antara lain memperluas rumusan unsur-unsur pasal penipuan agar lebih inklusif, memberikan ancaman pidana yang lebih berat dan proporsional, serta memperkuat mekanisme kerja sama global dalam menangani kejahatan dunia maya. Dengan penyempurnaan regulasi ini diharapkan ketentuan pidana tentang tindak pidana penipuan dalam KUHP Baru dapat lebih adaptif dan responsive terhadap dinamika modus operandi kejahatan berbasis teknologi informasi di masa depan.