This study investigates the regulatory framework and legal implications of airline liability in the context of air crash victims' rights in Indonesia, focusing on the enforceability of release and discharge agreements imposed by airlines. The research adopts a normative legal method, employing legislative and conceptual approaches to scrutinize primary and secondary legal materials related to aviation accident compensation. The primary sources include the Indonesian Aviation Act No. 1 of 2009, Article 141, and the Minister of Transportation Regulation PM 41 of 2011, alongside the Warsaw Convention of 1929. Secondary sources comprise academic literature, including books, journals, and research reports. The data were analyzed qualitatively, evaluating the extent to which the concepts of release and discharge align with the prevailing legal principles of transportation liability. The findings reveal that the Indonesian aviation regulations mandate airlines to compensate for deaths, permanent disabilities, or injuries resulting from air accidents, including to the heirs, with a cap set at Rp1.25 billion per passenger. However, the legal strength of release and discharge statements is considered weak, as they are not explicitly regulated, potentially disadvantageous to victims forced to sign as a precondition for compensation, and contrary to consumer protection laws prohibiting the shift of airline responsibilities to consumers. The study recommends a thorough government review of these release and discharge provisions to ensure alignment with national aviation laws, consumer protection statutes, and civil codes, emphasizing fairness and the protection of victims' and heirs' rights. This research contributes to the discourse on aviation liability in Indonesia, highlighting the need for legal reforms to uphold justice and certainty in airline compensation practices.
Highlights:
Keywords: Aviation Liability, Compensation, Release and Discharge, Consumer Protection, Legal Reform
Banyak faktor pendukung yang membuat angkutan udara sangat penting bagi penduduk Indonesia [1] . Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, sehingga keberadaan angkutan udara menjadi suatu kebutuhan untuk mencapai berbagai wilayah di Indonesia. Kelebihan yang membuat penduduk Indonesia memilih angkutan udara dibandingkan dengan moda transportasi lainnya melibatkan efektivitasnya dalam menghubungkan pulau-pulau, memungkinkan akses mudah dan cepat ke setiap bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu, angkutan udara menawarkan kenyamanan pelayanan, tarif yang bervariasi namun terjangkau, dan dianggap sebagai opsi paling aman mengingat potensi risiko kecelakaan. [2]
Berakhirnya badai pandemi di Indonesia telah mengakibatkan peningkatan signifikan dalam minat terhadap jasa angkutan udara. Dampak positif ini, bagaimanapun, juga membawa konsekuensi dalam bentuk peningkatan persaingan di antara perusahaan angkutan udara yang berlomba-lomba menawarkan harga tiket yang lebih murah. Ketatnya persaingan ini dapat menimbulkan kekhawatiran terkait penurunan kualitas pelayanan, dengan potensi risiko bahwa perusahaan-perusahaan tersebut mungkin mengorbankan standar layanan atau bahkan mengalami kelalaian dalam menjalankan proses maintenance yang seharusnya dilakukan secara rutin. Oleh karena itu, meskipun meningkatnya minat penumpang adalah kabar baik bagi industri penerbangan, penting bagi perusahaan-perusahaan tersebut untuk tetap memprioritaskan keamanan, kualitas layanan, dan pemeliharaan pesawat agar dapat menjaga kepercayaan pelanggan dan memastikan operasional yang aman dan efisien.[3]
Meskipun angkutan udara dianggap sebagai opsi paling aman dalam mengatasi potensi kecelakaan, kenyataannya kejadian kecelakaan tidak dapat dihindari dalam konteks pengangkutan umum, termasuk dalam layanan angkutan udara. Meski telah diambil langkah-langkah keamanan yang ketat, faktor-faktor seperti cuaca ekstrem, kesalahan manusia, atau kerusakan teknis masih dapat menjadi penyebab kecelakaan. Oleh karena itu, penting untuk terus melakukan evaluasi dan peningkatan pada aspek keamanan dalam industri angkutan udara guna mengurangi risiko dan memastikan keselamatan penumpang serta kru penerbangan.[4]
Kecelakaan transportasi, terutama kecelakaan pesawat, merupakan kejadian yang memberikan dampak serius baik dari segi materiil maupun imateriil. Menurut data dari Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) sepanjang tahun 2021, Indonesia mengalami 9 kecelakaan penerbangan yang mengakibatkan 15 orang kehilangan nyawa. Peristiwa serupa terus berlanjut pada tahun 2022, dimana hingga bulan September, tercatat 7 kecelakaan pesawat dengan total korban jiwa mencapai 12 orang. Angka ini mencerminkan kerugian yang signifikan bagi masyarakat dan pihak terkait, menggarisbawahi perlunya kajian mendalam terkait tanggung jawab hukum dan pemberian ganti rugi kepada korban kecelakaan pesawat di Indonesia.
Dalam kecelakaan transportasi, baik itu yang melibatkan kendaraan darat, laut, maupun udara, kerugian yang ditimbulkan dapat mencakup aspek harta benda dan kehilangan jiwa, memberikan dampak serius bagi para korban dan keluarga yang ditinggalkan. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1365 KUHPerdata yang mengatur tentang Perbuatan Melawan Hukum, para korban atau ahli warisnya memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan atas kerugian yang diderita. Prinsip ini menegaskan bahwa pihak yang melakukan tindakan yang melanggar hukum atau kewajiban, seperti pihak yang bertanggung jawab atas kecelakaan transportasi, wajib memberikan ganti kerugian kepada pihak yang menderita akibat tindakan melawan hukum tersebut. Oleh karena itu, pemulihan atas kerugian bagi para korban atau ahli warisnya menjadi suatu hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum untuk memberikan keadilan dan kompensasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[5]
Prinsip tanggung jawab yang di gunakan yakni strict liability (tanggungjawab mutlak), yang berarti bahwa pengangkut bertanggungjawab mutlak tanpa perlu dibuktikan kesalahannya.[6] Seperti bunyi Pasal 3 huruf a Permenhub No 77 Tahun 2011 bahwa pengangkut yang dalam hal ini merupakan Maskapai Penerbangan wajib memberikan ganti rugi apabila terjadi kecelakaan pesawat kepada masing-masing ahli waris korban sebesar Rp. 1.250.000.000 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah).
Berlandaskan Pasal 141 ayat (3) UU No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan jo Pasal 23 Permenhub No 77. Tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara, Ahli Waris korban mempunyai Hak untuk mengajukan dan/atau meminta ganti rugi lebih dari yang telah di tetapkan peraturan perundang-undangan melalui serangkaian proses yang juga telah di jelaskan dalam peraturan perundang-undangan, karena penyebab kejadian kecelakaan pesawat tidak terbatas hanya karena Human Error, namun ada sebab lain yang bisa mengakibatkan terjadinya kecelakaan pesawat yaitu resiko cacat produk.[7]
Hakikatnya, pemberian ganti rugi atau kompensasi sebagai akibat dari kecelakaan pesawat dapat dipahami sebagai sebuah kewajiban yang harus ditunaikan oleh perusahaan maskapai penerbangan kepada ahli waris korban. Dalam konteks ini, kewajiban tersebut seharusnya tidak terbebani oleh syarat khusus atau pengurangan nilai tertentu yang tidak diatur dalam perundang-undangan.[7] Dengan kata lain, perusahaan maskapai penerbangan seharusnya bertanggung jawab sepenuhnya dan memberikan ganti rugi tanpa adanya kendala atau pengurangan yang dapat mengurangi nilai kompensasi yang seharusnya diterima oleh ahli waris korban kecelakaan pesawat, sesuai dengan ketentuan yang telah diatur dalam hukum.
Dalam konteks pemberian ganti kerugian kepada korban atau ahli waris korban kecelakaan pesawat, umumnya melibatkan ketentuan pelepasan dan pembebasan tanggung jawab (release and discharge). Proses ini berkaitan dengan tuntutan ganti kerugian, di mana korban atau ahli waris secara resmi menyatakan penerimaan ganti kerugian dan berkomitmen untuk tidak mengajukan klaim hukum terhadap pihak manapun di masa mendatang yang terkait dengan kejadian tersebut. Dengan adanya pelepasan dan pembebasan ini, pihak yang memberikan ganti kerugian memperoleh kepastian hukum dan perlindungan dari tuntutan hukum lanjutan terkait kecelakaan pesawat tersebut, sedangkan korban atau ahli waris mendapatkan penggantian atas kerugian yang telah dialami.
Dalam pelaksanaannya, seringkali terjadi bahwa klausul pelepasan (release and discharge) tidak diberikan secara sukarela oleh operator sarana transportasi. Korban atau ahli warisnya sering diminta untuk menandatangani klausul pelepasan sebagai persyaratan untuk menerima ganti kerugian. Hal ini menimbulkan masalah ketika jumlah ganti kerugian yang diberikan ternyata tidak sebanding dengan kerugian yang dialami oleh korban atau ahli warisnya. Praktik ini dapat menimbulkan ketidaksetaraan dalam penyelesaian klaim ganti rugi, memicu pertanyaan etis dan hukum terkait keadilan dalam penanganan kasus kecelakaan transportasi.[8]
Pada peristiwa jatuhnya helikopter Mil Mi-17 Angkatan Darat di Tolikara, Papua, pada tahun 2015 yang menewaskan 12 prajurit TNI AD, terdapat kontroversi terkait tanggung jawab pihak operator. Meskipun pihak operator menyatakan bahwa kecelakaan terjadi akibat cuaca buruk, pada kenyataannya, prajurit dan ahli waris mereka terpaksa menandatangani dokumen release and discharge sebagai persyaratan untuk mendapatkan ganti rugi. Dokumen tersebut membuat mereka tidak memiliki hak untuk menuntut lebih lanjut terkait kejadian tersebut. Situasi ini menciptakan perdebatan seputar keadilan hukum dan perlindungan hak-hak korban dalam konteks kecelakaan penerbangan, menyoroti pentingnya kajian mendalam terhadap konsep pelepasan dan pembebasan dalam sistem tanggung jawab hukum transportasi udara di Indonesia.
Kasus serupa terulang Kembali pada kejadian Lion Air dengan kode penerbangan JT 610 pada tanggal 29 Oktober 2018 dan Sriwijaya Air dengan kode penerbangan SJ 182 pada tanggal 9 Januari 2021, pihak maskapai memberlakukan Release and Discharge sebagai syarat pencairan dana ganti rugi. Pada kasus Lion Air hal tersebut menyisakan ketidakjelasan penyelesaian pembayaran ganti rugi sesuai amanat Permenhub No. 77 Tahun 2011 kepada ahli waris yang enggan menandatangani Release and Discharge. Dengan dasar adanya kesalahan dari pihak produsen pesawat, sehingga sebagian ahli waris enggan menandatangani Release and Discharge dan melalui pengacara yang ditunjuk mengajukan tuntutan langsung ke Boeing Company di Amerika Serikat. Hal yang serupa pun dilakukan oleh sebagian ahli waris korban kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182.[9]
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis hukum yang komprehensif untuk mengupas persoalan release and discharge dalam pemberian ganti kerugian kecelakaan pesawat ini. Analisis hukum penting dilakukan untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai praktik release and discharge tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip hukum, sehingga bisa dirumuskan langkah perbaikannya ke depan demi keadilan para korban beserta ahli warisnya. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
Penelitian ini mengadopsi pendekatan hukum normatif, yang merupakan jenis penelitian hukum kepustakaan yang dilakukan dengan cara menyelidiki bahan pustaka yang memiliki relevansi dengan topik yang dibahas..[10] Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama, yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meninjau ketentuan hukum terkait ganti rugi bagi korban kecelakaan pesawat. Sementara itu, pendekatan konseptual melibatkan kajian literatur yang membahas konsep ganti rugi serta pelepasan dan pembebasan dalam konteks kecelakaan transportasi.
Sumber hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer mencakup peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kecelakaan dan tanggung jawab pengangkutan udara. Bahan hukum sekunder mencakup literatur akademik berupa buku, jurnal, dan laporan penelitian yang relevan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, yang mencakup pencarian, penemuan, pencatatan, dan pengumpulan data sekunder dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder terkait dengan materi penelitian.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Data yang diperoleh dievaluasi untuk mengukur sejauh mana konsep pelepasan dan pembebasan dalam pemberian ganti rugi kepada korban kecelakaan pesawat di Indonesia sesuai dengan prinsip-prinsip tanggung jawab hukum pengangkutan yang berlaku. Analisis dilakukan secara deskriptif untuk memberikan gambaran menyeluruh guna menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam penelitian.
Pengaturan mengenai tanggung jawab maskapai penerbangan Indonesia terhadap kerugian yang dialami oleh ahli waris korban kecelakaan pesawat diatur oleh sejumlah peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menjadi landasan utama yang mengatur aspek ini. Di dalamnya, terdapat ketentuan-ketentuan yang menetapkan kewajiban maskapai penerbangan terkait dengan ganti rugi dan tanggung jawab mereka terhadap kecelakaan pesawat. Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan PM 41 Tahun 2011 turut memperinci aspek-aspek tertentu terkait tanggung jawab maskapai penerbangan dalam konteks kecelakaan penerbangan di Indonesia.[11]
Tidak hanya itu, Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Warsawa 1929 tentang Pemberian Ganti Kerugian Kecelakaan Pesawat Udara Internasional. Konvensi ini memberikan kerangka hukum internasional yang mengatur hak dan tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap korban kecelakaan pesawat udara.[12] Oleh karena itu, melalui peraturan tersebut, Indonesia berkomitmen untuk melindungi hak ahli waris korban kecelakaan pesawat dan menetapkan standar ganti rugi yang sesuai. Dengan adanya peraturan-peraturan tersebut, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan perlindungan yang memadai bagi pihak-pihak yang terkena dampak kecelakaan pesawat di Indonesia.
Pasal 141 dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 menetapkan bahwa pengangkut dalam angkutan udara bertanggung jawab atas kerugian yang dialami penumpang, baik berupa kematian, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan oleh kejadian di dalam pesawat atau selama naik turun pesawat udara. Lebih lanjut, Pasal ini juga mencakup tanggung jawab terhadap ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia dalam konteks kejadian penerbangan. Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 41 Tahun 2011 memberikan ketentuan lebih spesifik mengenai ganti rugi bagi penumpang pesawat yang mengalami cidera fisik, luka-luka, cacat tetap, atau bahkan meninggal dunia akibat kecelakaan atau kejadian selama angkutan udara. Peraturan ini membantu menguraikan hak dan kewajiban pengangkut serta memberikan landasan hukum yang lebih rinci terkait tanggung jawab dalam memberikan ganti rugi kepada penumpang yang mengalami kerugian tersebut.[7]
Pentingnya pemahaman terhadap ketentuan dalam undang-undang dan peraturan tersebut menjadi krusial untuk memastikan perlindungan hak-hak penumpang dan ahli waris mereka, sekaligus menegaskan tanggung jawab pengangkut dalam memberikan kompensasi yang wajar dalam kasus kecelakaan atau insiden selama penerbangan. Implementasi dan pematuhan terhadap ketentuan ini sangat penting guna menjaga keadilan dan keamanan dalam sektor transportasi udara, serta menekankan perlunya perlindungan hukum bagi pihak yang terdampak oleh kejadian-kejadian tersebut.[13]
Konvensi Warsawa 1929, yang telah diratifikasi oleh Indonesia, memiliki peranan penting dalam mengatur tanggung jawab operator penerbangan terkait kerugian yang dialami oleh penumpang korban kecelakaan dan ahli waris mereka. Konvensi ini menetapkan batas maksimal ganti rugi yang dapat diberikan, membatasinya hingga sejumlah uang tertentu. Dalam konteks Indonesia, batas maksimal ganti kerugian yang diatur oleh Konvensi Warsawa adalah sebesar Rp1.250.000.000 per penumpang. Kendati konvensi ini memberikan kerangka kerja bagi pemenuhan hak-hak korban dan ahli warisnya, masih terdapat permasalahan terkait implementasinya di lapangan. Beberapa kasus menunjukkan bahwa prajurit atau keluarga mereka terkadang terpaksa menandatangani dokumen pelepasan tanggung jawab sebagai syarat untuk menerima ganti rugi, memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana perlindungan hukum yang sebenarnya diberikan kepada korban dan ahli warisnya dalam situasi seperti ini.[14]
Dalam mengkaji implementasi Konvensi Warsawa di Indonesia, perlu juga diperhatikan bahwa batas maksimal ganti rugi yang telah ditetapkan mungkin perlu diperbarui sesuai dengan perkembangan ekonomi dan inflasi. Hal ini dapat menjadi aspek penting dalam menjamin bahwa korban kecelakaan dan ahli warisnya dapat mendapatkan ganti rugi yang setimpal dengan kerugian yang mereka alami, seiring dengan kondisi ekonomi yang berubah seiring waktu. Perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan terus-menerus terhadap peraturan dan praktik hukum terkait agar dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi para korban kecelakaan penerbangan di Indonesia.[15]
Proses klaim ganti rugi untuk ahli waris korban kecelakaan pesawat diawali dengan memberikan pemberitahuan secara tertulis kepada maskapai penerbangan terkait. Pada tahap ini, maskapai akan memulai investigasi menyeluruh untuk menentukan penyebab kecelakaan dan menilai besaran kerugian yang dialami oleh keluarga korban. Selanjutnya, kedua belah pihak, yaitu ahli waris dan maskapai, akan memasuki tahap negosiasi untuk menetapkan jumlah ganti rugi yang akan diberikan. Proses negosiasi ini didasarkan pada bukti-bukti kerugian yang diajukan oleh pihak ahli waris dan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam konteks kecelakaan penerbangan.[16]
Pentingnya tahapan ini terletak pada keadilan dan kejelasan proses penentuan ganti rugi, yang seharusnya memberikan pengakuan terhadap kerugian yang nyata dan sesuai dengan norma hukum yang berlaku.[17] Oleh karena itu, transparansi dan kejujuran dalam pertukaran informasi dan bukti menjadi kunci dalam proses negosiasi ini. Selain itu, pemahaman yang mendalam terhadap peraturan perundang-undangan di bidang ini juga menjadi faktor penting agar proses klaim ganti rugi dapat berlangsung dengan adil dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam proses pemberian ganti rugi, maskapai penerbangan sering kali menerapkan klausul pelepasan dan pembebasan tanggung jawab (release and discharge) kepada ahli waris korban, yang mengimplikasikan bahwa penerima ganti rugi melepaskan haknya untuk menuntut maskapai lebih lanjut terkait kasus yang sama. Praktik ini seringkali merugikan ahli waris, karena besaran ganti rugi yang diterima tidak jarang tidak memadai atau tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan etis dan hukum tentang perlunya perlindungan hak-hak korban, terutama ahli waris, dalam konteks kecelakaan penerbangan. Penerapan release and discharge perlu dianalisis lebih lanjut, mempertimbangkan posisi tawar yang lemah dari pihak ahli waris korban dan memastikan keadilan dalam penyelesaian ganti rugi di sektor penerbangan.[18]
Dalam mengatasi permasalahan ini, perlu pertimbangan untuk meningkatkan transparansi dalam perjanjian ganti rugi, serta memastikan bahwa hak-hak korban tidak terpinggirkan. Analisis mendalam terhadap praktek-praktek semacam itu dapat membantu merumuskan kebijakan yang lebih adil dan mengedepankan kepentingan korban dalam sistem tanggung jawab hukum di sektor penerbangan.
Praktik pernyataan pelepasan dan pembebasan tanggung jawab, yang umumnya dikenal dengan istilah release and discharge, telah menjadi fenomena umum dalam kasus kecelakaan penerbangan di Indonesia. Dalam skenario ini, pihak korban atau ahli waris sering kali dipaksa untuk menandatangani dokumen yang menyatakan pelepasan hak mereka untuk menuntut maskapai secara hukum terkait insiden kecelakaan pesawat. Penerimaan ganti kerugian oleh pihak korban seringkali diikuti dengan persyaratan untuk menandatangani release and discharge, yang memuat klausul-klausul yang membatasi hak hukum mereka. Meskipun pada awalnya terlihat sebagai solusi untuk mendapatkan kompensasi lebih cepat, praktik ini memunculkan pertanyaan etis dan hukum tentang keadilan, keamanan, dan perlindungan hak-hak individu dalam konteks kecelakaan penerbangan.[19]
Penting untuk menyoroti perlunya evaluasi dan pemahaman lebih lanjut terhadap implikasi dari praktik pelepasan dan pembebasan tanggung jawab ini dalam hukum penerbangan di Indonesia. Analisis mendalam terhadap konsep-konsep ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa hak-hak korban tidak dikompromikan, dan agar dapat membangun sistem yang lebih adil dan aman dalam penanggulangan kasus kecelakaan pesawat, mempertimbangkan berbagai aspek yang melibatkan hak, kewajiban, dan keadilan hukum.[20]
Secara hukum, kekuatan mengikat dari dokumen release and discharge tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan atau regulasi terkait lainnya di Indonesia. Hingga saat ini, pengaturan terkait release and discharge masih sebatas praktik kebiasaan dalam industri penerbangan nasional. Ketidakadanya landasan hukum yang jelas menimbulkan pertanyaan mengenai sejauh mana keabsahan dan kekuatan hukum dari release and discharge, terutama ketika dipertimbangkan dari perspektif perlindungan hukum bagi korban atau ahli waris mereka.[21] Dalam konteks ini, penting untuk mengkaji lebih lanjut bagaimana praktik tersebut dapat diintegrasikan atau diatur secara lebih tegas dalam kerangka hukum yang mengakui hak-hak korban kecelakaan penerbangan dan memastikan bahwa mereka tidak kehilangan haknya untuk menuntut keadilan.
Pentingnya pemikiran lebih mendalam terkait release and discharge ini juga memunculkan diskusi mengenai perlunya pembaharuan atau klarifikasi dalam peraturan hukum penerbangan di Indonesia. Langkah-langkah untuk menyelaraskan praktik industri dengan norma hukum yang lebih jelas dan adil dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih efektif bagi korban kecelakaan dan keluarganya, serta memastikan bahwa keselamatan dan hak-hak konsumen tetap menjadi fokus utama dalam pengaturan transportasi udara di negara ini.[22]
Dalam kerangka teori perikatan yang diatur oleh Buku III KUHPerdata, suatu perikatan terbentuk melalui kesepakatan para pihak untuk menimbulkan akibat hukum. Release and discharge, seperti yang terjadi pada kasus jatuhnya helikopter Mil Mi-17 di Tolikara, Papua, pada tahun 2015, dapat diklasifikasikan sebagai bentuk perjanjian sepihak. Dalam konteks ini, dokumen release and discharge menjadi instrumen yang memberikan konsekuensi hukum berupa pelepasan hak pihak korban atau ahli waris untuk menuntut ganti rugi lebih lanjut. Meskipun pada dasarnya perikatan adalah hasil kesepakatan bersama, pada kasus ini, terdapat ketidaksetaraan kekuatan antara pihak operator dan korban. Para prajurit atau ahli waris mereka mungkin merasa terdorong untuk menandatangani dokumen tersebut sebagai syarat untuk menerima ganti rugi, sehingga terjadi pengorbanan hak mereka untuk menuntut lebih lanjut sebagai akibat dari kecelakaan helikopter.[23]
Lebih lanjut, peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan etis dan hukum terkait perlindungan hak-hak korban kecelakaan penerbangan. Apakah praktik penggunaan release and discharge sebagai persyaratan untuk menerima ganti rugi sesuai dengan prinsip keadilan hukum? Bagaimana cara menyelaraskan antara perlindungan hukum bagi korban dan kebutuhan operator untuk mengatasi risiko finansial? Kajian mendalam terhadap hubungan antara teori perikatan, keadilan hukum, dan praktik penggunaan dokumen release and discharge dapat memberikan wawasan yang lebih baik tentang aspek-aspek hukum dan etika yang terlibat dalam kasus serupa di masa depan. [8]
Pada kasus kecelakaan pesawat, perlu diperhatikan bahwa kedudukan para pihak yang terlibat tidak selalu setara. Korban atau ahli waris korban seringkali mendapati diri mereka berada dalam posisi yang lemah dan terdesak untuk memperoleh ganti kerugian, terutama dalam situasi di mana pihak operator atau maskapai pesawat mendalilkan faktor-faktor seperti kondisi cuaca buruk sebagai penyebab kecelakaan. Dalam upaya untuk mendapatkan kompensasi, korban atau ahli waris mereka sering diminta untuk menandatangani dokumen release and discharge yang mengharuskan mereka melepaskan hak untuk menuntut lebih lanjut. Kondisi ini menciptakan ketidaksetaraan dalam negosiasi, yang tidak selaras dengan prinsip kebebasan berkontrak yang seharusnya mengharuskan adanya kesetaraan kedudukan antara para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian.[24]
Ketidaksetaraan ini menimbulkan pertanyaan etis dan hukum terkait perlindungan hak-hak korban kecelakaan pesawat. Pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip tanggung jawab hukum pengangkutan udara dan kajian yang cermat terhadap konsep pelepasan dan pembebasan menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa hak-hak korban tidak terpinggirkan dan bahwa prinsip keadilan hukum dijaga dalam penanganan kasus kecelakaan pesawat di Indonesia.[25]
Penting untuk mencermati Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang secara tegas melarang segala bentuk ketentuan yang merugikan konsumen. Dalam konteks ini, Pasal 18 UUPK secara khusus mengharamkan pencantuman klausula baku yang menyatakan pengalihan tanggung jawab maskapai penerbangan kepada konsumen. Hal ini menunjukkan kesadaran hukum terhadap perlunya melindungi hak-hak konsumen, termasuk dalam kasus kecelakaan penerbangan. Adanya release and discharge, yang secara esensial dapat dianggap sebagai upaya pengalihan tanggung jawab kepada konsumen, menjadi titik perhatian serius dalam menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban pihak-pihak yang terlibat dalam perjalanan udara.[26]
Sebagai konsekuensi, perlu dipertimbangkan ulang bagaimana kebijakan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan konsumen yang diatur oleh UU Perlindungan Konsumen. Kajian mendalam terhadap implementasi hukum ini, terutama dalam kasus-kasus konkret seperti jatuhnya helikopter Mil Mi-17 di Tolikara, Papua, dapat menjadi dasar untuk mengidentifikasi perbaikan atau klarifikasi yang diperlukan dalam kerangka hukum. Ini akan membantu memastikan bahwa konsumen, termasuk para korban kecelakaan penerbangan, tetap mendapatkan perlindungan yang layak sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku di Indonesia.[27]
Melihat situasi tersebut, validitas dokumen release and discharge dalam konteks kecelakaan pesawat di Indonesia menjadi suatu isu yang perlu diperdebatkan. Keabsahannya dinilai rentan dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mutlak karena konon bertentangan dengan asas-asas hukum perikatan. Dokumen tersebut, yang memaksa korban atau ahli waris untuk menandatanganinya sebagai syarat untuk menerima ganti rugi, dipertanyakan karena dinilai tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pihak yang terkena dampak kecelakaan. Dalam konteks aspek hukum perikatan, keharusan menandatangani release and discharge dapat dianggap sebagai klausul paksa yang merugikan satu pihak dan cenderung melanggar prinsip keadilan hukum.
Perlu adanya kajian mendalam terhadap validitas dan dampak hukum dari praktik semacam ini dalam rangka memastikan hak-hak korban dan ahli warisnya mendapatkan perlindungan hukum yang setara dengan kepentingan pihak operator. Reformasi dalam sistem tanggung jawab hukum transportasi udara di Indonesia mungkin perlu dipertimbangkan untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak korban, asas-asas keadilan, dan kepentingan pihak yang terlibat dalam operasi penerbangan.
Penerapan release and discharge dalam konteks penerbangan harus mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan. Hal ini penting agar para pihak yang terlibat memiliki kedudukan yang seimbang dan tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh maskapai penerbangan. Release and discharge tidak boleh menjadi alasan bagi maskapai untuk menghindari tanggung jawab hukumnya terkait kecelakaan penerbangan. Sebaliknya, mekanisme ini seharusnya digunakan secara etis, di mana korban dan ahli warisnya tetap mendapatkan ganti rugi yang layak dan memadai. Perlindungan terhadap hak-hak mereka harus menjadi fokus utama, mengingat dampak serius yang dapat ditimbulkan oleh kecelakaan penerbangan.
Dalam konteks hukum penerbangan, keseimbangan antara perlindungan hak-hak korban dan kepentingan maskapai merupakan kunci untuk menciptakan sistem yang adil dan berkeadilan. Oleh karena itu, penerapan release and discharge harus diawasi dengan ketat agar tidak melanggar prinsip keadilan, dan hukum harus tetap menjadi instrumen yang melindungi hak-hak individu yang terkena dampak. Dengan demikian, masyarakat dapat memiliki kepercayaan bahwa industri penerbangan bertanggung jawab secara etis dan memberikan perlindungan yang cukup terhadap korban dan ahli warisnya dalam situasi yang sulit akibat kecelakaan penerbangan.
Secara singkat, release and discharge, sebagai dokumen yang mengharuskan korban atau ahli warisnya menandatanganinya sebagai syarat untuk menerima ganti rugi dalam kasus kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia, dinilai memiliki kekuatan hukum yang lemah. Hal ini memberikan pihak operator keleluasaan untuk menghindari tanggung jawab atas kejadian tersebut dengan berdalih pada faktor cuaca atau kondisi lainnya, sehingga merugikan pihak korban. Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan kembali terhadap ketentuan tersebut guna memastikan bahwa asas keadilan dan perlindungan hukum bagi pihak korban atau ahli warisnya tetap diutamakan dalam sistem tanggung jawab hukum penerbangan sipil di Indonesia.
Langkah tersebut dapat melibatkan revisi peraturan dan perundang-undangan yang mengatur aspek tanggung jawab dalam kecelakaan penerbangan, serta penguatan mekanisme penilaian objektif terhadap faktor-faktor penyebab kecelakaan. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula mekanisme yang memastikan bahwa korban atau ahli warisnya tidak terpaksa menandatangani dokumen release and discharge tanpa pemahaman yang memadai mengenai hak-hak mereka. Dengan demikian, upaya peningkatan keadilan dan perlindungan hukum dalam konteks kecelakaan penerbangan sipil di Indonesia dapat lebih efektif terwujud.
Studi ini menyoroti lanskap regulasi tanggung jawab maskapai penerbangan di Indonesia, dengan menekankan kekurangan kerangka hukum saat ini dalam menangani hak-hak ahli waris korban kecelakaan udara. Regulasi utama, yaitu Undang-Undang Penerbangan No. 1 Tahun 2009 dan Peraturan Menteri Perhubungan PM 41 Tahun 2011, bersama dengan ratifikasi Konvensi Warsawa 1929, menetapkan tanggung jawab maskapai dalam kompensasi. Namun, kekuatan hukum dari pernyataan pelepasan dan pembebasan, yang digunakan oleh maskapai untuk membatasi tanggung jawab lebih lanjut, dinilai lemah dan berpotensi merugikan ahli waris korban. Perjanjian ini seringkali bertentangan dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang melarang pengalihan tanggung jawab maskapai kepada konsumen. Ketidaksesuaian ini menyoroti perlunya peninjauan mendalam oleh pemerintah untuk menyelaraskan kebijakan ini dengan prinsip keadilan dan perlindungan hak korban. Studi ini menyarankan bahwa kompensasi harus mengikuti persyaratan hukum minimal, saat ini ditetapkan sebesar Rp1,25 miliar per penumpang yang meninggal, untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum. Lebih lanjut, hal ini menekankan perlunya reformasi hukum untuk memastikan tanggung jawab maskapai tidak dikurangi oleh praktik yang bertentangan dengan norma hukum yang berlaku. Riset ini membuka jalur untuk penelitian lebih lanjut dalam menemukan keseimbangan antara kebutuhan industri dan hak konsumen di sektor penerbangan, memanggil evaluasi kebijakan yang mendalam untuk melindungi keberlangsungan maskapai serta perlindungan konsumen dalam konteks kecelakaan penerbangan di Indonesia.