This research focuses on analyzing the construction of the parliamentary inquiry right (hak angket) within the context of the controversial Constitutional Court (Mahkamah Konstitusi, MK) Decision No. 90/PUU-XXI/2023 in Indonesia. The decision, which interprets the age requirement for presidential and vice-presidential candidates, has sparked debates about the potential misuse of MK's authority. The study aims to understand the legal construction of the DPR’s parliamentary inquiry in light of the 1945 Constitution and relevant legislations, and to assess its implications on the oversight function of representative institutions. Employing a normative legal research methodology, the study analyzed legislation, legal concepts, and conducted expert interviews and content analysis. The findings reveal that the parliamentary inquiry, as a constitutional right of the DPR stipulated in Article 20A paragraph (2) of the 1945 Constitution, is utilized to assess the impact of MK Decision No. 90/PUU-XXI/2023 on Indonesia’s democracy and electoral system. The study highlights the need for DPR to observe legal provisions and ensure transparency and accountability in its inquiry process, emphasizing the significance of balancing democratic principles, transparency, and protection of citizens’ political rights in the oversight mechanism.
Highlights:
Keywords: Parliamentary Inquiry, Constitutional Court Decision, Legal Analysis, Indonesian Democracy, Oversight Function
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden telah menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat. Dalam putusannya, MK memaknai Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bahwa syarat usia minimal 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden dapat ditafsirkan tidak berlaku mutlak jika yang bersangkutan memiliki pengalaman politik sebagai kepala daerah yang dipilih melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Putusan ini berpotensi membuka peluang bagi munculnya calon presiden dan wakil presiden baru dari kalangan di luar politik nasional yang berusia di bawah 40 tahun. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat mengingat jabatan presiden dan wakil presiden merupakan jabatan politik tertinggi yang mengatur jalannya pemerintahan.
Pasal 169 huruf q UU Pemilu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden harus memenuhi syarat minimal usia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menciptakan kebingungan karena memperluas pemahaman atas jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum, yang mencakup pemilihan kepala daerah. Implikasinya adalah bahwa seseorang yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini menimbulkan perdebatan dan polemik di antara berbagai pihak, termasuk ahli hukum, politisi, dan masyarakat umum. Beberapa pihak menganggap bahwa putusan ini mengubah dinamika politik dengan mengharuskan calon presiden dan wakil presiden untuk memiliki pengalaman kepemimpinan di tingkat daerah. Namun, sebagian lain berpendapat bahwa batasan usia 40 tahun dapat menghambat partisipasi generasi muda dalam pesta demokrasi.
Selain itu, juga timbul pertanyaan apakah MK telah tepat dalam membuat putusan yang dipandang kontroversial tersebut. Oleh karena itu, DPR RI sebagai lembaga perwakilan rakyat berencana menggunakan hak angketnya untuk melakukan penyelidikan atas putusan MK ini. Hak angket merupakan salah satu hak yang dimiliki DPR dalam fungsi pengawasannya sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). Dalam Pasal 79B UU MD3 disebutkan bahwa DPR dapat melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.[1] Oleh karena itu, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial dapat menjadi objek penggunaan hak angket DPR. Tujuan dari penggunaan hak angket ini adalah untuk melakukan klarifikasi dan konfirmasi atas dugaan telah terjadi penyimpangan atau kelalaian yang dilakukan oleh MK dalam memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 (Pasal 79C ayat (1) UU MD3). Hasil penggunaan hak angket ini kemudian akan ditindaklanjuti oleh DPR dalam rapat paripurna.
Pada Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk mengadili dan memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu, penelitian ini akan menyoroti peran Mahkamah Konstitusi dalam menafsirkan dan menetapkan batasan usia calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Selain itu, Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga memberikan wewenang kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus perkara yang bersifat abstrak terkait dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan.[2]
Namun, seiring dengan ketentuan hukum tersebut, muncul pertanyaan tentang relevansi dan konstruksi hak angket dalam mengevaluasi putusan Mahkamah Konstitusi. Sebagai dasar hukum, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan memberikan landasan bagi pembentukan hak angket oleh DPR, termasuk untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah dan institusi negara.[3] Apakah konstruksi hak angket dapat diterapkan dengan memadukan kebebasan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya dengan kewenangan legislasi DPR merupakan fokus kajian yang akan diuraikan dalam penelitian ini.
Keputusan Mahkamah Konstitusi juga menciptakan potensi konflik antara lembaga-lembaga negara, terutama antara keputusan Mahkamah Konstitusi dan kewenangan legislatif DPR yang memiliki hak angket. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah turut menjadi bahan kajian guna mengeksplorasi hubungan antarlembaga tersebut.[4]
Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik menjadi faktor penting yang akan dianalisis dalam penelitian ini. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menetapkan bahwa hak angket dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah yang dinilai tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023, pertanyaan muncul mengenai sejauh mana aspirasi dan pandangan masyarakat tercermin dalam putusan tersebut, serta sejauh mana peran hak angket sebagai instrumen untuk menyalurkan aspirasi masyarakat.[5]
Penelitian ini akan membuka ruang untuk mendiskusikan konstruksi hak angket dalam kasus-kasus kontroversial seperti putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, mempertimbangkan kerangka hukum yang ada dan mengeksplorasi implikasi politiknya. Melalui analisis mendalam terhadap peraturan perundang-undangan dan tinjauan atas putusan Mahkamah Konstitusi, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi pada pemahaman kita tentang dinamika peradilan konstitusi dan hubungannya dengan representasi politik dalam konteks Indonesia. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap mekanisme penggunaan hak angket DPR RI serta implikasi politik dan ketatanegaraan atas rencana penggunaan hak angket untuk menyelidiki Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat berkontribusi pada pengembangan kajian hukum tata negara terkait kewenangan lembaga perwakilan rakyat dan hubungannya dengan institusi peradilan.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan hukum sekunder.[6] Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Dengan pendekatan perundang-undangan, penelitian ini akan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak angket. Sedangkan dengan pendekatan konseptual, penelitian ini akan menelaah konsep-konsep hukum yang terkait dengan hak angket.
Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait hak angket seperti UUD NRI 1945, UU MD3, Peraturan Tata Tertib dan Kode Etik MPR/DPR/DPD. Bahan hukum sekunder berupa hasil penelitian, jurnal, buku teks, dan lainnya terkait hak angket. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum dan ensiklopedia. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan terhadap bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang berkaitan dengan topik penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik kualitatif. Data yang diperoleh akan dikaji dan ditelaah isinya (content analysis) untuk kemudian diinterpretasikan maknanya secara hukum. Setelah proses tersebut, peneliti akan menarik sebuah kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan penelitian berdasarkan analisis dan interpretasi yang dilakukan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menginterpretasikan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) terkait syarat usia minimal untuk calon presiden dan wakil presiden menimbulkan kekhawatiran serius terkait perubahan dinamika pemilihan kepala negara di Indonesia. Dengan menetapkan batas usia minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman terpilih melalui pemilihan umum, MK telah merumuskan standar yang lebih ketat, memunculkan pertanyaan tentang inklusivitas dan pluralitas dalam proses pemilihan. Dampak signifikan putusan ini juga memerlukan pemahaman konstruksi hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam konteksnya, dengan melibatkan landasan hukum yang berkaitan seperti UUD NRI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan terkait, guna mengevaluasi sejauh mana lembaga perwakilan rakyat dapat menjalankan fungsi pengawasan mereka terhadap calon presiden dan wakil presiden secara efektif sesuai dengan interpretasi baru MK.
Dalam perspektif UUD NRI Tahun 1945, Pasal 169 UU Pemilu menjadi fokus interpretasi Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut menetapkan berbagai syarat, termasuk ketentuan usia minimal, bagi calon presiden atau wakil presiden. Putusan MK, Nomor 90/PUU-XXI/2023, secara tegas memaknai bahwa calon presiden atau wakil presiden harus berusia minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman menduduki jabatan terpilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah. Interpretasi baru ini menghasilkan klarifikasi yang signifikan terhadap ketentuan usia yang awalnya tidak terinci dalam UU Pemilu.[7] Oleh karena itu, MK dalam putusannya mengubah dan mengonkretkan persyaratan pencalonan, menciptakan landasan hukum yang lebih jelas dan ketat yang memengaruhi dinamika pemilihan umum dan hak partisipasi warga negara dalam konteks demokrasi di Indonesia.
Dalam membangun konstruksi hak angket DPR, perlu diperhatikan peran dan kewenangan DPR sebagai lembaga legislatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD NRI Tahun 1945. Pasal tersebut memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan hak angket terhadap lembaga negara lainnya, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam konteks ini, DPR dapat menggunakan hak angket untuk mengkaji atau mengawasi kebijakan atau tindakan suatu lembaga yang dianggap memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh, DPR dapat merinci tindakan hak angket terkait putusan MK yang memiliki potensi memengaruhi jalannya proses demokrasi dan sistem pemilihan, sehingga menjelaskan konstruksi hak angket menjadi instrumen penting dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga negara yang berperan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan demokrasi di Indonesia.[8]
Penggunaan hak angket oleh DPR perlu tunduk pada ketentuan yang diatur dalam UUD NRI Tahun 1945. Dalam merinci konstruksi hak angket terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, DPR harus mematuhi peraturan perundang-undangan yang mengatur hak angket, dan salah satu peraturan yang relevan dalam konteks ini adalah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3). UU MD3 memberikan landasan hukum bagi penggunaan hak angket oleh DPR, termasuk prosedur pelaksanaan dan batasan wewenangnya. Oleh karena itu, dalam menjalankan fungsi pengawasannya terkait syarat usia calon presiden dan wakil presiden sebagaimana diputuskan oleh MK, DPR harus memastikan bahwa penggunaan hak angketnya sesuai dengan norma-norma hukum yang terkandung dalam UUD NRI Tahun 1945 dan diatur secara rinci dalam UU MD3.
Dalam Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), hak angket diatur secara rinci, termasuk prosedur pelaksanaan, batasan, dan sanksi yang dapat diterapkan. Pasal 245 ayat (1) UU MD3 menetapkan bahwa hak angket dapat dilaksanakan melalui keputusan DPR setelah memperoleh persetujuan dari setidaknya dua pertiga jumlah anggota DPR yang hadir. Selain itu, DPR wajib memberikan kesempatan kepada lembaga yang menjadi objek hak angket untuk memberikan keterangan atau penjelasan terkait dengan hal yang menjadi objek hak angket. Ketentuan ini memberikan landasan hukum yang jelas dan mekanisme yang ketat untuk melaksanakan hak angket, memastikan bahwa proses tersebut dilakukan dengan transparansi, partisipasi, dan memperhatikan hak-hak pihak yang terlibat.[9]
Merinci prosedur dan tata cara pelaksanaan hak angket sesuai dengan peraturan perundang-undangan merupakan langkah esensial yang memegang peran penting dalam memastikan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat menjalankan fungsinya dengan transparan, proporsional, dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Penentuan tujuan hak angket, ruang lingkup pembahasan, serta prosedur yang jelas menjadi kunci keberhasilan penggunaan hak angket dalam mengawasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023.[10] Dengan merinci langkah-langkah tersebut, DPR dapat memastikan bahwa mekanisme pengawasan yang digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan memberikan kejelasan kepada masyarakat terkait proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan interpretasi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Saat melibatkan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai objek hak angket, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu cermat dalam mempertimbangkan prinsip-prinsip demokrasi, pemisahan kekuasaan, dan hak asasi manusia. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demokrasi diakui sebagai prinsip pemerintahan yang berlandaskan kedaulatan rakyat. Dalam rangka memastikan bahwa penggunaan hak angket menguatkan demokrasi, DPR harus memastikan partisipasi anggota DPR dilakukan secara proporsional, dan memberikan kesempatan kepada lembaga yang menjadi objek hak angket untuk menyampaikan pendapat atau tanggapannya. Pendekatan ini tidak hanya mencerminkan prinsip demokrasi, tetapi juga menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan memberikan ruang partisipasi dan kebebasan berpendapat kepada semua pihak yang terlibat dalam proses hak angket tersebut. [11]
Pemisahan kekuasaan menjadi prinsip kunci yang harus dijaga, terutama oleh DPR sebagai lembaga legislatif. DPR harus melaksanakan fungsi pengawasan terhadap lembaga-lembaga lain, termasuk Mahkamah Konstitusi (MK), tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar pemisahan kekuasaan. Oleh karena itu, penggunaan hak angket perlu dilakukan dengan penuh pertimbangan, sesuai dengan ruang lingkup kewenangan DPR dalam mengawasi lembaga-lembaga negara.[12] Dalam hal ini, DPR perlu menjalankan tanggung jawabnya sebagai lembaga pengawas dengan memastikan bahwa penggunaan hak angket tidak melebihi batas kewenangannya dan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Ini merupakan langkah penting untuk menjaga keseimbangan antara kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif guna memastikan sistem pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan di Indonesia.
Pentingnya memperhatikan aspek hak asasi manusia tidak dapat diabaikan dalam pengambilan langkah-langkah terkait penggunaan hak angket. Langkah-langkah tersebut seharusnya didesain sedemikian rupa agar tidak merugikan hak-hak dasar individu atau kelompok yang terlibat, termasuk hak hakim atau lembaga peradilan yang menjadi objek putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam konteks ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa pelaksanaan hak angket tidak mengancam independensi dan integritas lembaga peradilan, sejalan dengan prinsip hak asasi manusia yang diakui secara universal. [13] Upaya tersebut perlu mengakomodasi hak-hak dasar semua pihak yang terlibat, menjaga keseimbangan antara kewenangan legislatif dan hak asasi manusia, guna menegakkan nilai-nilai demokrasi dan supremasi hukum dalam sistem pemerintahan.
Dalam konteks ini, DPR memiliki tanggung jawab penting untuk memastikan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang menginterpretasikan persyaratan usia minimal calon presiden dan wakil presiden tetap sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi, pemisahan kekuasaan, dan hak asasi manusia. Proses konstruksi hak angket sebagai salah satu mekanisme pengawasan DPR perlu dilaksanakan dengan cermat, mengakomodasi ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Pemilihan Umum, dan Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MD3) sebagai landasan hukum yang mengatur dan membatasi pelaksanaan hak angket. Keberlanjutan demokrasi dan perlindungan hak-hak rakyat harus menjadi fokus utama, sambil tetap memperhatikan prinsip-prinsip konstitusional dan norma hukum yang mengatur tata cara pelaksanaan hak angket tersebut.
Dalam merinci konstruksi hak angket terkait putusan MK tersebut, DPR dapat mengorganisir langkah-langkah sebagai berikut:
Penetapan tujuan hak angket oleh DPR terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi suatu kebutuhan esensial guna memberikan kejelasan dalam proses pengawasan. DPR perlu merinci apakah tujuannya lebih bersifat evaluatif terhadap dampak putusan tersebut terhadap demokrasi dan proses pemilihan umum, atau apakah hak angket diarahkan untuk memperoleh klarifikasi mendalam dari MK mengenai pertimbangan hukum yang melandasi putusan tersebut. Penjelasan tujuan yang tajam akan memberikan arah yang jelas dalam pelaksanaan hak angket, memastikan bahwa proses tersebut tidak hanya bersifat formalitas semata, tetapi juga dapat memberikan kontribusi substansial terhadap pemahaman masyarakat dan pemangku kepentingan terkait implikasi serta konsekuensi dari putusan MK tersebut dalam konteks demokrasi dan sistem pemilihan kepemimpinan di Indonesia.[10]
Dalam menentukan ruang lingkup pembahasan hak angket, DPR perlu secara cermat mengidentifikasi aspek-aspek spesifik dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dianggap memerlukan penjelasan lebih lanjut. Hal ini dapat mencakup aspek-aspek seperti implikasi hukum, dampak politik, dan konsekuensi demokratis dari interpretasi baru MK terhadap Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017. Fokus pada aspek-aspek ini akan membantu memastikan bahwa pembahasan hak angket dilakukan dengan tepat sasaran dan memberikan pemahaman yang mendalam terhadap konsekuensi serta perubahan yang ditimbulkan oleh putusan MK tersebut.[14]
Persetujuan Anggota DPR untuk melaksanakan hak angket merupakan langkah kunci yang diatur oleh Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (MD3). Menurut ketentuan tersebut, DPR wajib memperoleh persetujuan dari setidaknya dua pertiga jumlah anggota DPR yang hadir sebagai syarat sebelum memulai pelaksanaan hak angket. Mekanisme ini menandai tahap awal yang krusial dalam proses hak angket, menegaskan pentingnya dukungan mayoritas anggota DPR untuk melanjutkan penyelidikan dan pemeriksaan lebih lanjut terhadap suatu isu yang memerlukan pengawasan dan klarifikasi di tingkat legislatif.[9]
Pemberian kesempatan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memberikan keterangan atau penjelasan terkait putusan yang menjadi objek hak angket merupakan langkah yang sesuai dengan prinsip keadilan dan transparansi dalam sistem demokrasi. Tindakan ini memperkuat aspek akuntabilitas lembaga perwakilan rakyat, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang sedang melakukan hak angket terhadap keputusan MK. Memberikan ruang untuk dialog konstruktif antara DPR dan MK tidak hanya mendukung keberlanjutan pemeriksaan oleh DPR, tetapi juga membangun kerangka kerja yang menghargai perspektif dan argumentasi dari lembaga yudisial.[15]
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu secara aktif menerapkan mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap proses hak angket. Langkah ini esensial untuk memastikan bahwa pelaksanaan hak angket dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi, pemisahan kekuasaan, serta hak asasi manusia. Melalui pengawasan yang cermat, DPR dapat menjamin transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam penggunaan hak angket sebagai instrumen pengawasan terhadap kebijakan pemerintah. Evaluasi yang rutin dan komprehensif juga diperlukan guna memastikan bahwa hak angket digunakan dengan tepat dan memberikan kontribusi positif terhadap perwakilan kepentingan masyarakat serta fungsi legislasi DPR sebagai lembaga yang mewakili suara rakyat.[16]
Untuk menjaga integritas dan meyakinkan publik terhadap proses hak angket terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, penting bagi DPR untuk melaksanakan proses tersebut secara transparan dan akuntabel. DPR seharusnya memberikan informasi terbuka kepada publik mengenai setiap langkah yang diambil selama proses hak angket, termasuk pemilihan anggota panitia, pembahasan hasil temuan, dan rekomendasi yang dihasilkan. Dengan demikian, masyarakat dapat memahami dan mengawasi jalannya proses tersebut, menciptakan kepercayaan yang diperlukan terhadap kewenangan DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya terkait interpretasi dan implementasi putusan MK tersebut. Transparansi dan akuntabilitas yang diterapkan dalam proses hak angket akan memperkuat legitimasi lembaga perwakilan rakyat dan memastikan bahwa tindakan yang diambil sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi hukum.[15]
Kesesuaian dengan prinsip-prinsip konstitusi merupakan kriteria penting dalam setiap tindakan yang diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk pemanfaatan hak angket. Prinsip-prinsip konstitusi menjadi pedoman yang harus dijunjung tinggi agar tindakan DPR tidak merugikan integritas lembaga negara, terutama Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki peran sentral sebagai penafsir konstitusi. Dalam konteks penggunaan hak angket, DPR perlu memastikan bahwa langkah-langkah yang diambil sesuai dengan semangat demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.
Pentingnya merinci konstruksi hak angket secara cermat dan proporsional menjadi dasar utama agar fungsi kontrol dan pengawasan DPR tetap sesuai dengan kewenangannya tanpa melanggar prinsip-prinsip dasar konstitusi. Konstruksi hak angket yang jelas memastikan bahwa DPR dapat menggunakan instrumen tersebut dengan tepat dan tidak bersifat sewenang-wenang, sehingga tetap sejalan dengan prinsip demokrasi dan pemisahan kekuasaan. Dengan merinci hak angket, DPR dapat menjalankan tugasnya dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dengan penuh tanggung jawab, menjaga keseimbangan kekuasaan, dan tetap menghormati hak asasi manusia. Hal ini mendukung keberlanjutan sistem demokrasi di Indonesia, di mana lembaga legislatif dapat memainkan peran kritis sebagai wakil rakyat yang bertanggung jawab dan efektif dalam mengawasi jalannya pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi yang mendasari sistem demokrasi tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 memiliki implikasi besar terhadap kewenangan dan hak-hak lembaga perwakilan rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap calon presiden dan wakil presiden di Indonesia. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 memberikan interpretasi yang lebih luas terkait syarat usia minimal calon presiden dan wakil presiden. Dengan adanya putusan MK ini, persyaratan usia minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman menduduki jabatan terpilih melalui pemilihan umum, termasuk pemilihan kepala daerah, diperkuat secara hukum. Hal ini menjadikan lembaga perwakilan rakyat, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), memiliki tanggung jawab yang lebih berat dalam mengawasi pencalonan kepala negara. Kewenangan lembaga perwakilan rakyat dalam menetapkan standar etika dan integritas calon presiden juga menjadi lebih kritis, sejalan dengan penegasan MK terhadap persyaratan pencalonan yang lebih ketat.[17]
Implikasi putusan MK ini tidak hanya terbatas pada ranah hukum, melainkan juga memperdalam dampaknya dalam konteks politik dan demokrasi. Standar baru yang ditegaskan MK dapat memicu perubahan dinamika pemilihan umum, mengingat persyaratan usia dan pengalaman dapat mempengaruhi komposisi dan karakteristik calon presiden dan wakil presiden yang dapat diusung oleh partai politik. Lembaga perwakilan rakyat perlu memperhatikan secara cermat bagaimana keputusan ini akan memengaruhi representasi pluralitas dan partisipasi dalam proses demokratis. Oleh karena itu, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 menghadirkan tantangan baru bagi lembaga perwakilan rakyat untuk menjalankan fungsi pengawasannya dengan cermat, mempertimbangkan perubahan regulasi serta aspek-aspek politik dan demokrasi yang terkait dengan proses pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia.
Secara hukum, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 memberikan fondasi interpretatif yang kuat pada Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebelum putusan ini, pasal tersebut memberikan keleluasaan interpretasi yang lebih longgar terkait persyaratan usia minimal bagi calon presiden dan wakil presiden. Dengan menetapkan batas usia minimal 40 tahun atau persyaratan pengalaman terpilih melalui pemilihan umum, MK telah merumuskan standar yang lebih ketat, menempatkan batasan yang jelas terhadap kandidat yang ingin mencalonkan diri. Keputusan ini tidak hanya mengubah paradigma hukum terkait eligibility calon presiden dan wakil presiden, tetapi juga menciptakan preceden hukum yang dapat memengaruhi penafsiran dan kebijakan hukum di masa mendatang. Dampaknya meresap ke dalam aspek kewarganegaraan, hak politik, dan berbagai aspek hukum lainnya yang terkait dengan proses pencalonan kepala negara, memperkuat kerangka hukum yang lebih ketat dan mengarah pada pertimbangan yang lebih cermat terhadap syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh calon pemimpin negara.
Pengaruh putusan MK ini bukan hanya sekadar perubahan hukum, tetapi juga memiliki konsekuensi mendalam dalam dinamika demokrasi Indonesia. Standar usia dan pengalaman yang lebih ketat yang ditetapkan oleh MK dapat dianggap sebagai langkah yang melibatkan pertimbangan matang terhadap stabilitas dan kematangan kepemimpinan. Meskipun demikian, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana persyaratan yang lebih ketat ini akan mempengaruhi inklusivitas dan pluralitas dalam proses demokratis, dan apakah hal tersebut mungkin menciptakan hambatan bagi kandidat yang memiliki popularitas dan dukungan masyarakat tinggi.[18] Dengan demikian, putusan ini menciptakan dinamika baru dalam arena politik Indonesia, memunculkan perdebatan dan refleksi mendalam terkait sejauh mana pembatasan ini sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang dijunjung tinggi oleh negara.
Dalam ranah politik, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 memunculkan pertanyaan kritis seputar peran lembaga perwakilan rakyat, terutama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dalam menjalankan fungsi pengawasan terhadap calon presiden dan wakil presiden. Kewenangan DPR dan DPD dalam melakukan pengawasan terhadap pemilihan umum, yang sebelumnya mencakup pemeriksaan dokumen persyaratan calon, kini menghadapi tantangan baru seiring dengan ketegasan interpretasi MK terhadap Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Putusan ini mendorong lembaga perwakilan rakyat untuk merevitalisasi dan menyesuaikan mekanisme pengawasan mereka, termasuk memperkuat pemeriksaan terhadap usia dan pengalaman calon presiden serta wakil presiden agar sesuai dengan standar baru yang telah ditetapkan oleh MK.[19]
Sejalan dengan itu, keputusan MK juga memperlihatkan perlunya kerja sama antara lembaga perwakilan rakyat dan MK dalam mengembangkan regulasi yang jelas dan akurat guna mendukung proses pengawasan yang efektif. Langkah-langkah koordinasi yang sinergis antara lembaga legislatif dan yudikatif diperlukan agar tidak hanya mematuhi putusan MK, tetapi juga mampu menjaga keberlanjutan demokrasi dan pemerintahan yang baik.[20] Oleh karena itu, dalam menghadapi implikasi politik dari putusan ini, lembaga perwakilan rakyat diharapkan dapat merumuskan perangkat hukum dan prosedur yang transparan, memastikan bahwa pengawasan terhadap calon presiden dan wakil presiden dapat berlangsung efisien tanpa mengorbankan integritas demokrasi dan partisipasi warga negara.
Di sisi lain, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini memiliki dampak yang cukup kompleks terhadap dinamika demokrasi di Indonesia. Meskipun secara positif dapat dianggap sebagai upaya untuk memastikan kualitas kepemimpinan, pembatasan usia dan persyaratan pengalaman yang lebih ketat juga membawa risiko terhadap pluralitas dan inklusivitas dalam proses pemilihan umum. Keterbatasan ini dapat menjadi penghalang bagi kandidat yang populer dan memiliki dukungan publik yang tinggi, namun belum memenuhi standar usia atau pengalaman yang ditetapkan oleh MK. Pertanyaan etis pun muncul seputar sejauh mana suatu regulasi dapat dianggap sebagai pembatasan hak politik masyarakat untuk memilih calon sesuai dengan keinginan mereka. Perlu adanya keseimbangan antara menjaga kualitas kepemimpinan dan memastikan bahwa proses demokratisasi tetap inklusif dan memberikan wadah bagi partisipasi setiap lapisan masyarakat.[15]
Potensi hambatan yang dihadapi oleh kandidat yang tidak memenuhi persyaratan yang lebih ketat juga dapat meruncing menjadi isu ketidaksetaraan dalam akses politik. Oleh karena itu, pengaturan ulang atau penyempurnaan regulasi terkait pencalonan calon presiden dan wakil presiden harus mempertimbangkan upaya untuk mengurangi risiko diskriminasi dan menjamin bahwa kesempatan politik terbuka bagi semua kalangan. Sementara kebijakan ini bertujuan untuk menjaga stabilitas dan kapasitas kepemimpinan, penting untuk memahami dan menangani dampak potensialnya terhadap pluralitas, inklusivitas, dan hak politik warga negara dalam konteks kerangka demokratisasi Indonesia. Inisiatif untuk melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pihak berkepentingan lainnya dalam dialog konstruktif dapat membantu menghasilkan kebijakan yang lebih seimbang dan memperkuat fondasi demokrasi di tanah air.
Meskipun putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023 menimbulkan kontroversi terkait pembatasan usia dan syarat pengalaman politik bagi calon presiden dan wakil presiden, dapat dilihat pula bahwa putusan ini dapat dianggap sebagai langkah proaktif MK untuk menjaga stabilitas dan kematangan kepemimpinan di Indonesia. Dengan menetapkan standar usia minimal 40 tahun dan pengalaman politik melalui pemilihan umum, MK tampaknya ingin memastikan bahwa pemimpin negara memiliki kapasitas dan kualifikasi yang memadai untuk melaksanakan tugas-tugas kepemimpinan dengan efektif. Perspektif ini mencerminkan keinginan MK untuk melibatkan calon yang telah teruji dalam dunia politik dan memiliki pengalaman yang substansial, sehingga dapat diharapkan bahwa pemerintahan yang dihasilkan akan lebih stabil dan mampu menghadapi tantangan kompleks yang dihadapi oleh Indonesia.
Dalam konteks ini, keputusan MK menggambarkan komitmen untuk meningkatkan kualitas kepemimpinan, yang secara langsung dapat mempengaruhi stabilitas dan keberlanjutan pemerintahan. Dengan mengharuskan calon presiden dan wakil presiden memiliki usia dan pengalaman tertentu, MK berupaya mencegah potensi kekosongan kepemimpinan atau pemimpin yang kurang berpengalaman. Meskipun hal ini dapat dianggap sebagai pembatasan, perspektif ini memberikan argumen bahwa kualitas kepemimpinan yang lebih tinggi dapat berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan dan mengurangi risiko ketidakstabilan politik. Sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di Indonesia, MK memiliki tanggung jawab untuk memastikan bahwa interpretasinya terhadap undang-undang menciptakan landasan yang kokoh bagi sistem pemerintahan yang efektif dan stabil.[19]
Sebelum putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, regulasi terkait kewenangan lembaga perwakilan rakyat dalam mengawasi calon presiden dan wakil presiden diatur oleh Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut menetapkan bahwa lembaga perwakilan rakyat memiliki tugas dan kewajiban untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut. Namun, ketentuan tersebut kurang menjelaskan sejauh mana kewenangan pengawasan lembaga perwakilan rakyat dapat diimplementasikan, terutama terkait dengan penilaian syarat usia dan pengalaman calon presiden dan wakil presiden.[17]
Setelah putusan MK, peran lembaga perwakilan rakyat dalam pengawasan mengalami perubahan signifikan. Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 yang diinterpretasikan oleh MK memberikan arahan baru terkait persyaratan usia minimal 40 tahun atau pengalaman terpilih melalui pemilihan umum bagi calon presiden dan wakil presiden. Dalam konteks ini, lembaga perwakilan rakyat dapat mempertimbangkan perluasan peran dan kewenangan mereka untuk memastikan kepatuhan calon terhadap standar yang ditetapkan MK. Hal ini mungkin melibatkan pemeriksaan lebih mendalam terhadap kualifikasi calon dan penyesuaian mekanisme pengawasan untuk menanggapi perubahan hukum yang bersifat substansial.[21] Dengan demikian, putusan MK memicu perlunya penyesuaian regulasi dan praktik pengawasan lembaga perwakilan rakyat agar tetap relevan dan efektif dalam mengawasi calon presiden dan wakil presiden sesuai dengan perubahan hukum yang ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi.
Dalam menjawab implikasi putusan MK, lembaga perwakilan rakyat juga dapat melibatkan masyarakat sipil, akademisi, dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan bahwa proses pengawasan berlangsung secara transparan dan adil. Keterlibatan publik dapat membantu menyeimbangkan antara kepentingan hukum, politik, dan demokrasi sehingga tidak menimbulkan ketidaksetujuan masyarakat terhadap sistem pemilihan dan pengawasan yang ada. Oleh karena itu, kesimpulannya, putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 memiliki dampak yang signifikan terhadap kewenangan dan hak-hak lembaga perwakilan rakyat dalam melakukan pengawasan terhadap calon presiden dan wakil presiden. Implikasi hukum, politik, dan demokrasi yang terkandung dalam putusan ini menuntut penyesuaian dalam mekanisme pengawasan, regulasi, dan partisipasi masyarakat dalam proses politik. Dalam menghadapi tantangan ini, lembaga perwakilan rakyat dan pihak terkait diharapkan dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan akan kepemimpinan yang berkualitas dan perlindungan hak politik rakyat secara menyeluruh.
Studi ini menyimpulkan bahwa hak angket yang digunakan oleh DPR RI sebagai tanggapan atas Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 memainkan peran penting dalam memastikan proses demokrasi yang seimbang dan pengawasan yang efektif atas putusan pengadilan. Temuan penelitian ini menyoroti pentingnya kepatuhan terhadap norma-norma konstitusional dan hukum, serta pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses penyelidikan. Penelitian ini berkontribusi dalam memahami dinamika antara pengawasan legislatif dan penafsiran yudisial dalam kerangka konstitusional Indonesia. Implikasi dari penelitian ini menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut mengenai keseimbangan antara independensi yudisial dan pengawasan legislatif dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis.