Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v13i1.1013

Application of Capital Punishment for Narcotics Offenders in the Perspective of Responsive Law


Penerapan Sanksi Pidana Mati terhadap Pelaku Kejahatan Narkotika dalam Perspektif Hukum Responsif.

Fakultas Hukum, Universitas Muhammadiyah Malang
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang
Indonesia

(*) Corresponding Author

Capital Punishment Narcotics Offenses Responsive Law Human Rights Rehabilitation

Abstract

This study employs a normative legal research method, grounded in the Nonet and Selznick theory of responsive law, to examine the implementation of capital punishment for narcotics offenders in Indonesia. Evaluating the punitive measures through the lens of responsiveness to societal goals, participation of vulnerable groups, and legal institutions' balanced response, the research highlights the need for a nuanced approach. Findings indicate that the current use of capital punishment lacks effectiveness and contradicts human rights principles. The study suggests a reassessment, prioritizing rehabilitation and decriminalization for a more humane and sustainable approach to combating narcotics trafficking.

Highlights: 

  • The study reevaluates the application of capital punishment for narcotics crimes in Indonesia through the lens of responsive legal principles.
  • Findings underscore the ineffectiveness of the current punitive measures and their conflict with human rights norms.
  • The research advocates for a reconsideration of the approach, emphasizing rehabilitation and decriminalization to achieve a more humane and sustainable strategy against narcotics trafficking.

Keywords: Capital Punishment, Narcotics Offenses, Responsive Law, Human Rights, Rehabilitation.

Pendahuluan

Penyalahgunaan narkotika telah menjadi ancaman serius bagi masyarakat modern, merusak kesehatan individu, dan merintangi kemajuan sosial. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, perang melawan peredaran narkotika telah menjadi prioritas nasional. Dalam upaya memberantas kejahatan narkotika, penerapan sanksi pidana mati menjadi isu kontroversial yang menimbulkan pertanyaan etis dan hukum.[1] Pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika menciptakan landasan diskursif yang luas, terutama ketika dilihat dari perspektif hukum responsif.

Menurut teori hukum responsif yang dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, hukum harus bersifat responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Dalam konteks ini, sensitivitas terhadap tujuan sosial, partisipasi kelompok lemah, dan tanggapan terhadap penuntutan keadilan menjadi pertimbangan utama.[2] Meskipun sanksi pidana mati dapat dianggap sebagai respons terhadap tujuan sosial untuk memberantas peredaran narkotika, penting untuk memastikan bahwa implementasinya sejalan dengan standar hak asasi manusia dan norma internasional. Oleh karena itu, perdebatan mengenai efektivitas sanksi pidana mati dalam menanggulangi peredaran narkotika perlu terus dijelajahi dengan keseimbangan antara kebutuhan responsif hukum dan perlindungan hak asasi manusia.

Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia ditegaskan melalui berbagai peraturan perundang-undangan, dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi salah satu landasan utamanya. Dalam Undang-Undang ini, Pasal 1 ayat (1) menggolongkan narkotika sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, perasaan atau pikiran, dan dapat menimbulkan ketergantungan. Regulasi ini secara rinci mengatur penanganan kejahatan narkotika dari Pasal 114 hingga Pasal 128B, yang mencakup ketentuan-ketentuan terkait pidana mati bagi pelaku kejahatan narkotika.[3]

Penerapan sanksi pidana mati di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kerangka peraturan lain, khususnya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2005 tentang Pemberian Grasi. Keputusan ini memberikan kewenangan kepada Presiden untuk memberikan grasi, yang mencakup kemampuan untuk mengubah hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup atau hukuman penjara lainnya. Dengan adanya regulasi ini, pemerintah dapat menjalankan pendekatan responsif dalam menanggapi kasus-kasus yang memerlukan pertimbangan khusus, seperti kasus-kasus di mana faktor-faktor mitigasi atau perubahan kebijakan dapat mempengaruhi keputusan hukuman.[4] Oleh karena itu, implementasi sanksi pidana mati harus dipahami dalam konteks sistem hukum yang lebih luas, yang memungkinkan adanya keseimbangan antara kebijakan keras dan fleksibilitas yang diakui oleh keputusan grasi sebagai bagian dari upaya untuk mencapai keadilan yang lebih holistik dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum responsif.

Kebijakan pemberian sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika memunculkan pertanyaan serius terkait dengan efektivitas, keadilan, dan kebijakan hukum secara keseluruhan. Pendukung penerapan hukuman mati berpendapat bahwa sanksi ini diperlukan sebagai upaya keras dalam memerangi peredaran narkotika yang merusak masyarakat. Mereka meyakini bahwa hukuman mati dapat memberikan efek jera yang signifikan, mengurangi tingkat kejahatan, dan melindungi masyarakat dari bahaya narkotika.[5]

Sementara itu, kritik muncul dari berbagai pihak yang mempertanyakan keberlanjutan dan akuntabilitas hukuman mati, terutama dalam konteks hak asasi manusia. Banyak pihak yaang menyoroti risiko penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, dan keadilan yang mungkin terabaikan dalam proses peradilan. Polemik ini menciptakan dilema antara keinginan untuk memberantas peredaran narkotika secara efektif dan perlindungan terhadap hak-hak individu, menekankan perlunya penilaian dan peningkatan kebijakan yang lebih holistik dan responsif dalam menanggulangi masalah kompleks kejahatan narkotika.[6]

Perspektif hukum responsif menjadi esensial dalam mengevaluasi penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika, dengan mengedepankan responsibilitas sistem hukum terhadap dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Teori hukum responsif yang dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick menyoroti pentingnya respons sensitif terhadap faktor-faktor seperti latar belakang sosial, pendidikan, dan kondisi ekonomi pelaku kejahatan dalam merumuskan tindakan hukum. Dalam konteks kejahatan narkotika, aspek-aspek ini menjadi kunci untuk menilai apakah sanksi pidana mati dapat dianggap sebagai respons hukum yang sesuai dan efektif.[7] Dengan merangkul teori hukum responsif, penilaian terhadap pelaku kejahatan narkotika tidak hanya dilakukan melalui prisma kejahatan itu sendiri, tetapi juga melalui pemahaman mendalam terhadap latar belakang dan kondisi yang mungkin mendorong individu tersebut terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut.

Philippe Nonet dan Philip Selznick mengembangkan konsep hukum responsif (responsive law) sebagai bentuk kritik terhadap paradigma hukum otonom (autonomous law). Menurut mereka, hukum harus memiliki sifat responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.[2] Hukum responsif, dalam pandangan mereka, memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, sensitivitas terhadap tujuan sosial dan pemenuhan kebutuhan manusia menjadi dasar pengembangan hukum yang dapat memberikan kontribusi positif terhadap masyarakat. Kedua, partisipasi yang efektif dari kelompok-kelompok lemah dan rentan dianggap sebagai elemen krusial untuk memastikan keadilan dalam sistem hukum. Ketiga, institusi hukum memiliki kewajiban untuk memberikan tanggapan terhadap penuntutan keadilan dan aspirasi sosial, menekankan peran proaktif dalam merespons dinamika masyarakat. Konsep ini mengajarkan bahwa hukum bukanlah entitas yang berdiri sendiri, tetapi harus mencerminkan dan merespons dinamika sosial untuk mencapai keadilan yang lebih komprehensif.

Dalam konteks penelitian tentang penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika, teori hukum responsif dapat digunakan untuk:

a. Menganalisis apakah penerapan sanksi pidana mati telah memperhatikan tujuan sosial dan pemenuhan hak asasi pelaku kejahatan narkotika

b. Melihat sejauh mana kelompok-kelompok rentan seperti pengguna narkotika telah dilibatkan dalam pembentukan kebijakan

c. Mengevaluasi tanggapan institusi hukum terhadap penuntutan keadilan bagi pelaku kejahatan narkotika

Ketidaksetaraan dalam pemberian sanksi pidana mati menjadi fokus perhatian yang serius dalam konteks peradilan pidana. Berbagai laporan menunjukkan bahwa pelaku kejahatan narkotika yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke atas memiliki peluang yang lebih besar untuk menghindari hukuman mati dibandingkan dengan mereka yang berasal dari lapisan masyarakat yang lebih rendah. Disparitas ini mencerminkan adanya kesenjangan dalam sistem peradilan pidana, yang mungkin dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan sosial. Perbedaan perlakuan ini memicu pertanyaan kritis tentang keadilan dalam penerapan sanksi pidana mati dan menyoroti perlunya reformasi dalam sistem peradilan untuk memastikan bahwa hukuman diterapkan secara merata tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi pelaku.[8]

Dampak penerapan sanksi pidana mati terhadap citra internasional Indonesia merupakan faktor penting yang perlu diperhitungkan dalam konteks hukum responsif. Banyak negara dan organisasi internasional telah mengeluarkan kecaman terhadap hukuman mati, menganggapnya sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Dalam perspektif responsif, perlu dipertimbangkan sejauh mana kebijakan hukuman mati mencerminkan komitmen Indonesia terhadap norma-norma hukum internasional. Penerapan sanksi pidana mati yang kontroversial dapat mempengaruhi hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara lain serta kerjasama internasional di berbagai bidang.[9] Oleh karena itu, dalam memutuskan penerapan sanksi pidana mati, pemerintah perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap reputasi dan posisi Indonesia di panggung global, sejalan dengan prinsip-prinsip hukum responsif yang menekankan responsibilitas terhadap aspirasi sosial dan norma-norma internasional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi secara mendalam tentang penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika dalam perspektif hukum responsif. Dengan menggali argumen pro dan kontra, serta menganalisis dampak hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam memahami kompleksitas isu ini dan merancang rekomendasi kebijakan yang lebih tepat dan berkelanjutan. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia dapat dipahami dari perspektif hukum responsif?

2. Bagaimana efektivitas sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika dalam perspektif hukum responsive sebagai Solusi dalam menanggulangi peredaran narkotika di Indonesia?

Penelitian ini diarahkan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika dalam perspektif hukum responsif. Dengan menganalisis kerangka hukum, kontroversi, perspektif hukum responsif, dan pengaruh internasional, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan kebijakan yang lebih bijaksana dan adil dalam penanganan kejahatan narkotika di Indonesia.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum normatif mengacu pada norma hukum positif, yaitu peraturan perundang-undangan yang berlaku.[10] Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang terkait dengan penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika. Sedangkan pendekatan konseptual dilakukan dengan menggunakan doktrin-doktrin dan prinsip-prinsip dalam teori hukum responsif.

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan terkait sanksi pidana mati dan tindak pidana narkotika, serta putusan hakim yang memuat pertimbangan penerapan sanksi pidana mati. Selain itu juga menggunakan bahan hukum sekunder berupa jurnal, buku, dan sumber lain yang terkait dengan topik penelitian ini. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan terhadap bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif dengan logika deduktif untuk menilai kesesuaian penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika ditinjau dari kerangka teori hukum responsif. Hasil analisis data disajikan dalam bentuk uraian logis dan sistematis.

Hasil dan Pembahasan

A. Penerapan Sanksi Pidana Mati terhadap Pelaku Kejahatan Narkotika di Indonesia dapat Dipahami dari Perspektif Hukum Responsif

Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia saat ini diatur oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Undang-Undang ini memberikan dasar hukum untuk memberantas peredaran narkotika dengan menetapkan sanksi pidana mati bagi pelaku kejahatan narkotika tertentu, terutama yang terlibat dalam perbuatan seperti mengimpor, mengekspor, memproduksi, menyalurkan, atau menjual narkotika Golongan I dalam jumlah besar. Sejalan dengan pendekatan hukum responsif yang menekankan sensitivitas terhadap tujuan sosial, Undang-Undang ini mencerminkan upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan respons yang keras terhadap kejahatan narkotika yang dapat merusak masyarakat, walaupun tetap penting untuk memastikan bahwa penerapan sanksi ini mematuhi prinsip-prinsip hak asasi manusia dan norma-norma internasional.[11]

Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia dapat dipahami melalui lensa teori hukum responsif yang dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick. Dalam perspektif ini, penerapan sanksi pidana mati harus mencerminkan kepekaan hukum terhadap kebutuhan masyarakat, dengan tujuan utama memberantas peredaran narkotika yang merugikan masyarakat. Selain itu, aspek partisipasi kelompok yang rentan, seperti pengguna narkotika yang mungkin terjerat dalam lingkaran kemiskinan, harus dipertimbangkan dalam proses peradilan. Dalam konteks tanggapan terhadap tuntutan keadilan dan aspirasi sosial, sanksi pidana mati harus diimplementasikan dengan memastikan bahwa hak asasi manusia pelaku kejahatan tetap terlindungi, dan proses peradilan bersifat adil.[12] Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana mati dalam penanggulangan kejahatan narkotika harus sejalan dengan prinsip-prinsip hukum responsif untuk menciptakan sistem peradilan yang sensitif, partisipatif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Kedua, aspek partisipasi kelompok lemah dan rentan dalam konteks penerapan sanksi pidana mati juga merupakan pertimbangan penting dalam kerangka hukum responsif. Teori hukum responsif menekankan perlunya melibatkan kelompok-kelompok yang rentan dalam proses peradilan agar keadilan dapat ditegakkan dengan seimbang. Dalam kasus narkotika, pelaku kejahatan seringkali berasal dari lapisan masyarakat yang terpinggirkan dan rentan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa hak-hak pelaku dihormati dan bahwa proses peradilan memberikan ruang bagi partisipasi mereka. Perlu ditekankan bahwa pemberlakuan sanksi pidana mati harus memastikan bahwa pelaku memiliki akses yang memadai terhadap pembelaan hukum dan bahwa tidak ada penyalahgunaan kekuasaan yang terjadi. Membangun sistem peradilan yang responsif terhadap kebutuhan kelompok lemah dan rentan merupakan langkah krusial untuk menjaga keseimbangan antara keamanan masyarakat dan perlindungan hak asasi manusia.[13]

Meskipun sanksi pidana mati dapat dipandang sebagai respons yang keras terhadap peredaran narkotika, perlu dicatat bahwa penerapannya harus memenuhi standar hak asasi manusia dan norma-norma internasional. Peraturan perundang-undangan, seperti Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional, memberikan landasan yang jelas terkait penggunaan sanksi pidana mati.[3] Oleh karena itu, pemerintah perlu menjalankan implementasi sanksi pidana mati dengan cermat dan memastikan bahwa semua proses peradilan sesuai dengan standar keadilan dan hak asasi manusia. Hanya dengan demikian, penerapan sanksi pidana mati dapat dianggap sebagai langkah responsif yang sejalan dengan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan keamanan masyarakat.

Meskipun aspek sensitivitas terhadap kebutuhan manusia dan aspirasi masyarakat menjadi dasar penting dalam teori hukum responsif, polemik muncul terutama dalam kasus-kasus di mana sanksi pidana mati diterapkan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor mitigasi atau kondisi khusus pelaku. Dalam kerangka responsivitas, hal ini menunjukkan kurangnya kepekaan hukum terhadap konteks individu dan fakta yang mendasari tindakan kriminal. Kritik terhadap kebijakan pemberlakuan sanksi pidana mati tanpa mempertimbangkan variabel-variabel ini menggarisbawahi perlunya peninjauan dan penyesuaian dalam penerapan hukuman mati. Langkah ini diperlukan untuk memastikan bahwa sistem hukum tetap konsisten dengan prinsip sensitivitas terhadap kebutuhan manusia dan aspirasi masyarakat, menjembatani kesenjangan antara kebutuhan hukum untuk memberantas kejahatan narkotika dan keharusan melindungi hak asasi manusia serta memberikan keadilan yang adil.[14]

Karakteristik partisipasi yang efektif dari kelompok-kelompok lemah dan rentan juga memegang peranan penting dalam merangkul teori hukum responsif, terutama dalam konteks hukuman mati terhadap pelaku narkotika. Partisipasi ini menjadi kunci untuk memastikan bahwa kebijakan hukuman tidak hanya didasarkan pada perspektif penguasa atau elit, tetapi juga mencerminkan pandangan dan pengalaman dari kelompok yang mungkin rentan terhadap ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.[15] Dalam hal ini, nara pidana, yang seringkali berasal dari kelompok masyarakat lemah, dapat memberikan wawasan yang berharga dalam menilai konsekuensi sosial dan kemanusiaan dari sanksi pidana mati.

Namun, perlu diakui bahwa keterlibatan kelompok masyarakat lemah dan rentan belum sepenuhnya tercermin dalam kebijakan hukuman mati di Indonesia. Keberlanjutan praktik hukuman mati dalam beberapa kasus menimbulkan kekhawatiran akan potensi diskriminasi dan ketidaksetaraan dalam sistem peradilan. Terdapat kecenderungan bahwa pelaku narkotika yang terlibat dalam jaringan kejahatan besar mungkin lebih rentan terhadap hukuman mati, sementara mereka yang hanya sebagai kurir kecil dapat mendapatkan perlakuan yang lebih ringan. Hal ini tidak hanya melanggar prinsip keadilan, tetapi juga dapat menciptakan distorsi dalam efektivitas hukuman sebagai alat pencegahan kejahatan narkotika.[16] Oleh karena itu, penting untuk mengakui perlunya peningkatan partisipasi dan representasi kelompok lemah dalam proses perumusan kebijakan hukuman mati agar kebijakan tersebut mencerminkan keadilan dan keseimbangan yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum responsif.

Responsivitas terhadap partisipasi kelompok rentan dapat terlihat melalui perubahan kebijakan terkait narkotika di Indonesia. Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo mengumumkan moratorium pelaksanaan hukuman mati terhadap pelaku narkotika. Keputusan ini tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk kelompok advokasi hak asasi manusia dan organisasi kesehatan. Walaupun moratorium ini tidak bersifat permanen, langkah ini mencerminkan responsivitas terhadap aspirasi masyarakat yang mendesak peninjauan kembali terhadap kebijakan hukuman mati. Tindakan ini menandai pengakuan terhadap peran kelompok rentan dalam proses perubahan kebijakan narkotika, memberikan contoh konkret bagaimana partisipasi mereka dihargai dalam proses pengambilan keputusan pemerintah terkait kebijakan krusial yang dapat berdampak signifikan pada hak asasi manusia.[7]

Kewajiban dari institusi hukum untuk memberikan tanggapan terhadap penuntutan keadilan dan aspirasi sosial menjadi elemen kunci dalam teori hukum responsif. Dalam konteks penerapan hukuman mati, penting untuk menilai apakah sanksi tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Sistem Peradilan Pidana menetapkan bahwa sistem peradilan pidana Indonesia bertujuan untuk mencapai keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan.[17] Oleh karena itu, evaluasi mendalam terhadap dampak sanksi pidana mati terhadap pelaku narkotika perlu dilakukan untuk memastikan bahwa tujuan tersebut tetap tercapai. Adakah sanksi tersebut memberikan kepastian hukum yang diinginkan oleh masyarakat, ataukah terdapat kekhawatiran akan inkonsistensi dan ketidakpastian hukum yang dapat menghambat pencapaian tujuan tersebut.

Selain itu, tanggapan hukum terhadap permasalahan narkotika juga perlu mencerminkan aspirasi masyarakat secara menyeluruh. Teori hukum responsif menuntut agar institusi hukum memperhatikan dan merespons kebutuhan serta harapan masyarakat dalam merumuskan kebijakan.[18] Oleh karena itu, evaluasi kebijakan hukuman mati terhadap pelaku narkotika harus mempertimbangkan apakah kebijakan tersebut memenuhi aspirasi masyarakat terkait penanganan kejahatan narkotika ataukah terdapat ketidaksesuaian yang dapat menimbulkan ketidakpuasan. Dengan merespons secara lebih efektif terhadap aspirasi sosial, institusi hukum dapat memastikan bahwa kebijakan yang diambil mencerminkan keinginan dan keadilan yang diinginkan oleh masyarakat luas.

Namun, kritik terhadap kewajiban institusi hukum juga muncul dalam konteks penerapan hukuman mati. Beberapa pihak berpendapat bahwa proses hukum terkait kasus narkotika seringkali terburu-buru, tanpa memberikan kesempatan yang cukup bagi terdakwa untuk membela diri atau mengajukan banding. Responsivitas terhadap tuntutan keadilan dalam hal ini menjadi pertanyaan, mengingat sanksi pidana mati memiliki implikasi serius terhadap hak-hak individu, seperti hak atas kehidupan dan hak untuk tidak mengalami perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat. Penerapan sanksi pidana mati yang tergesa-gesa dapat mengakibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan memicu ketidaksetaraan dalam sistem peradilan.[3] Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap langkah dalam proses hukum diberikan dengan cermat, memberikan ruang yang memadai bagi pembelaan, dan memastikan bahwa keputusan hukuman mati didasarkan pada bukti yang kuat serta menjunjung tinggi standar keadilan untuk melindungi hak-hak individu yang terlibat dalam kasus narkotika.

Dalam menerapkan hukuman mati terhadap pelaku kejahatan narkotika, pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilema internasional yang kompleks. Keputusan untuk menggunakan sanksi pidana mati menciptakan ketegangan dengan negara-negara dan organisasi internasional yang secara kritis menentang penggunaan hukuman mati. Kritik ini tidak hanya dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap citra internasional Indonesia, tetapi juga berpotensi merusak hubungan diplomatiknya.[19] Oleh karena itu, aspek responsivitas terhadap aspirasi sosial harus diperhatikan dalam skala global, di mana nilai-nilai hak asasi manusia dan keadilan universal menjadi fokus perhatian. Sejalan dengan teori hukum responsif, pemerintah perlu mempertimbangkan dampak global dari kebijakan hukuman mati dan memastikan bahwa implementasinya sejalan dengan norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional, guna menjaga hubungan diplomatik yang sehat dan memperkuat posisi Indonesia dalam komunitas global.

Dalam konteks narkotika, responsivitas terhadap aspirasi sosial tidak hanya terbatas pada aspek penindakan pidana, tetapi juga mencakup upaya pencegahan dan rehabilitasi. Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menegaskan pentingnya rehabilitasi bagi pecandu narkotika sebagai bentuk respons terhadap tantangan kesehatan masyarakat. Upaya rehabilitasi ini seharusnya memainkan peran krusial dalam merespons aspirasi masyarakat terkait perlunya pendekatan holistik terhadap masalah narkotika. Namun, ironisnya, dalam penerapan hukuman mati terhadap pelaku narkotika, seringkali perhatian terhadap upaya rehabilitasi terabaikan, dan penekanan lebih diberikan pada aspek penindakan pidana. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan dalam respons hukum terhadap kebutuhan masyarakat terkait narkotika, di mana aspek pencegahan dan rehabilitasi seharusnya menjadi fokus utama untuk mencapai solusi berkelanjutan.[20]

Dalam mengakhiri, penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia harus dianalisis dari berbagai perspektif, terutama dalam kerangka teori hukum responsif Philippe Nonet dan Philip Selznick. Sensitivitas terhadap tujuan sosial dan kebutuhan manusia, partisipasi kelompok rentan, dan kewajiban institusi hukum untuk memberikan tanggapan terhadap tuntutan keadilan dan aspirasi sosial adalah prinsip-prinsip kunci yang harus diperhatikan dalam merumuskan dan mengevaluasi kebijakan hukuman mati. Meskipun penerapan hukuman mati di Indonesia mengklaim respons terhadap ancaman serius yang diakibatkan oleh peredaran narkotika, tetap perlu mempertimbangkan aspek sensitivitas, partisipasi, dan tanggapan terhadap keadilan untuk mencapai sistem hukum yang responsif dan sesuai dengan nilai-nilai keadilan universal serta hak asasi manusia.

B. Efektivitas Sanksi Pidana Mati terhadap Pelaku Kejahatan Narkotika dalam Perspektif Hukum Responsive sebagai Solusi dalam Menanggulangi Peredaran Narkotika di Indonesia

Sanksi pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, menjadi langkah serius pemerintah untuk mencegah dan memberantas peredaran gelap narkotika yang semakin mengkhawatirkan. Meskipun sanksi ini dianggap sebagai respons hukum terhadap tujuan sosial untuk melindungi masyarakat, efektivitasnya memerlukan kajian mendalam dari perspektif hukum responsif, yang menekankan sensitivitas terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pertimbangan terhadap partisipasi kelompok lemah dan rentan, serta kewajiban institusi hukum untuk memberikan tanggapan yang sesuai terhadap penuntutan keadilan dan aspirasi sosial, menjadi penting dalam menilai apakah penerapan sanksi pidana mati dapat diintegrasikan dengan prinsip-prinsip hukum responsif secara seimbang dan menjaga hak asasi manusia.[11]

Penanggulangan peredaran narkotika di Indonesia, sebagai prioritas pemerintah untuk menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakat, menghadapi perdebatan terkait pemberlakuan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika. Meskipun dianggap kontroversial, langkah ini dipertimbangkan sebagai solusi efektif dalam perspektif hukum responsif. Menurut teori yang dikembangkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, hukum responsif harus sensitif terhadap tujuan sosial dan pemenuhan kebutuhan manusia, sambil memastikan partisipasi efektif kelompok lemah dan rentan. Pemberlakuan sanksi pidana mati menjadi bentuk respons terhadap tujuan sosial untuk memberantas peredaran narkotika, walaupun perlu dipastikan bahwa implementasinya tidak hanya reaktif tetapi juga proaktif dalam menjaga hak asasi manusia dan memberikan perlindungan yang adekuat. [3]

Teori hukum responsif dari Nonet dan Selznick menekankan pentingnya responsivitas hukum terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat, dengan landasan utama pada sensitivitas terhadap tujuan sosial dan pemenuhan kebutuhan manusia. Dalam konteks penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia, aspek sensitivitas terhadap tujuan sosial menjadi sorotan kritis. Data Badan Narkotika Nasional menunjukkan bahwa meskipun sanksi pidana mati diterapkan, kasus tindak pidana narkotika masih terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menggambarkan ketidakmampuan sanksi pidana mati dalam memberikan efek jera yang diharapkan, dan menimbulkan pertanyaan terkait keefektifan sanksi tersebut dalam mencapai tujuan sosial yakni memberantas peredaran narkotika.[2]

Dalam konteks ini, perlu dipertimbangkan apakah penerapan sanksi pidana mati secara eksklusif sebagai bentuk penindakan pidana telah mengesampingkan upaya pencegahan dan rehabilitasi yang seharusnya menjadi bagian integral dari respons hukum terhadap masalah narkotika. Responsivitas hukum terhadap kebutuhan masyarakat juga seharusnya mencakup evaluasi terhadap efektivitas berbagai strategi penanganan narkotika, bukan hanya fokus pada sanksi pidana mati semata.[21] Oleh karena itu, perlu adanya peninjauan ulang terhadap strategi dan kebijakan yang diambil untuk memastikan bahwa respons hukum benar-benar mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat dalam menghadapi tantangan serius yang dihadirkan oleh kejahatan narkotika.

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika menjadi peraturan perundang-undangan relevan dalam konteks penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia. Undang-Undang ini tidak hanya memberikan dasar hukum bagi pemberantasan peredaran narkotika, tetapi juga menjadi tolok ukur dalam menilai responsivitas hukum terhadap kebutuhan masyarakat.[22] Dari perspektif hukum responsif, evaluasi terhadap Undang-Undang tersebut perlu mempertimbangkan sejauh mana ketentuan-ketentuannya memberikan respons yang efektif terhadap tujuan sosial dan pemenuhan kebutuhan manusia. Selain itu, penting untuk memeriksa sejauh mana Undang-Undang ini melibatkan partisipasi kelompok lemah dan rentan dalam proses perumusannya, sejalan dengan prinsip sensitivitas terhadap kebutuhan kelompok-kelompok tersebut. Evaluasi ini juga harus mencakup kajian mendalam terhadap kewajiban institusi hukum dalam memberikan tanggapan terhadap penuntutan keadilan dan aspirasi sosial, dengan memastikan bahwa hukum yang ada dapat memberikan solusi yang seimbang dan sesuai dengan harapan masyarakat terkait penanggulangan masalah narkotika.

Partisipasi kelompok rentan, khususnya pecandu narkotika, seharusnya mendapatkan perlakuan yang lebih pembinaan dan rehabilitatif daripada terjerat dalam jeratan pidana. Sayangnya, kenyataannya adalah pengguna dan pecandu narkotika seringkali menghadapi proses hukum yang memberatkan, dengan ancaman sanksi pidana yang berat. Dalam konteks ini, terlihat adanya kelemahan dalam perlindungan terhadap kelompok rentan tersebut. Penciptaan lingkungan hukum yang lebih responsif dan inklusif terhadap pecandu narkotika menjadi penting agar partisipasi mereka dalam upaya rehabilitasi dapat diakomodasi dengan lebih baik, dan untuk mengurangi stigma serta hukuman berlebihan yang seringkali diterapkan terhadap kelompok rentan ini.[23]

Penerapan sanksi pidana mati dalam kasus penyalahgunaan narkoba belum diimbangi dengan upaya maksimal untuk memberikan respon terhadap masalah sosial yang mendasari, seperti kurangnya fasilitas rehabilitasi bagi pecandu dan program pencegahan bagi masyarakat umum. Meskipun penindakan pidana penting dalam menanggulangi peredaran narkoba, keberhasilan dalam menangani akar permasalahan memerlukan pendekatan yang lebih holistik. Fasilitas rehabilitasi yang memadai dapat memberikan bantuan bagi pecandu untuk pulih dan reintegrasi ke dalam masyarakat, sementara program pencegahan memberikan edukasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang bahaya narkoba. Kurangnya fokus pada upaya ini dapat menciptakan ketidakseimbangan dalam respons terhadap permasalahan narkoba, dengan risiko mengabaikan faktor permintaan di masyarakat yang seharusnya juga menjadi fokus utama untuk mencapai solusi yang berkelanjutan.[24]

Teori hukum responsif menyoroti pentingnya partisipasi yang efektif dari kelompok-kelompok lemah dan rentan dalam konteks penanggulangan kejahatan narkotika. Dalam realitas kejahatan narkotika, seringkali pelaku merupakan individu yang terpinggirkan atau rentan, dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang sulit, terjerat dalam lingkaran kemiskinan atau ketidaksetaraan.[25] Oleh karena itu, dalam penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika, perlu memastikan bahwa sistem peradilan menghormati hak-hak individu tersebut dan memberikan jaminan partisipasi mereka dalam proses hukum. Dengan demikian, penegakan sanksi pidana mati harus mencerminkan kepekaan terhadap kondisi sosial pelaku, memastikan bahwa aspek-aspek kemanusiaan dan keadilan tetap terjaga dalam penanganan kasus kejahatan narkotika.

Tantangan utama dalam menerapkan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika adalah potensi penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Sesuai dengan prinsip-prinsip teori hukum responsif, institusi hukum memiliki kewajiban untuk merespons penuntutan keadilan dan aspirasi sosial.[26] Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk memastikan bahwa sistem peradilan yang diterapkan memenuhi standar keadilan yang tinggi dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap hak asasi manusia, termasuk hak-hak pelaku kejahatan narkotika. Dengan demikian, implementasi sanksi pidana mati harus dilakukan dengan berhati-hati dan diawasi secara ketat, menghindari potensi penyalahgunaan kekuasaan serta memastikan bahwa hak asasi manusia tetap dihormati dalam konteks penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika.

Penting untuk merujuk pada norma-norma hukum internasional, khususnya Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional, yang dengan tegas melarang penggunaan sanksi pidana mati terhadap kejahatan non-penilai. Meskipun Indonesia tidak menandatangani Protokol Tambahan Konvensi Hak Asasi Manusia Internasional tentang Penghapusan Hukuman Mati, penting untuk mempertimbangkan pandangan dan standar internasional dalam mengevaluasi efektivitas sanksi pidana mati dalam penanggulangan peredaran narkotika. Hal ini dapat membuka ruang untuk mengkaji kembali implementasi sanksi pidana mati, terutama mengingat keprihatinan dan kritik dari lembaga-lembaga hak asasi manusia internasional terhadap penggunaan hukuman mati dalam konteks perang melawan narkotika.[16] Dengan memperhatikan norma-norma internasional, dapat dilakukan evaluasi lebih holistik terhadap dampak dan keberlanjutan sanksi pidana mati sebagai alat penegakan hukum dalam kasus kejahatan narkotika.

Dalam perspektif sosial, penting untuk mengevaluasi efektivitas sanksi pidana mati dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat secara keseluruhan. Analisis empiris dan statistik dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang sejauh mana penerapan hukuman mati berkontribusi pada penurunan tingkat peredaran narkotika. Meskipun sanksi pidana mati mungkin memberikan efek jera, perlu disadari bahwa hal ini bukanlah satu-satunya instrumen dalam strategi penanggulangan narkotika. Pendekatan holistik yang mencakup aspek pencegahan, pengobatan, dan rehabilitasi juga harus menjadi fokus dalam menilai keberhasilan suatu kebijakan.[27] Oleh karena itu, dalam merancang strategi penanggulangan narkotika, pemerintah perlu mempertimbangkan tidak hanya sanksi pidana mati tetapi juga upaya-upaya pencegahan, edukasi, serta rehabilitasi untuk mencapai hasil yang optimal dan berkelanjutan.

Sanksi pidana mati, sebagai solusi dalam penanggulangan narkotika, perlu diimbangi dengan upaya-upaya pencegahan, edukasi, dan rehabilitasi. Teori hukum responsif memberikan pengajaran bahwa hukum harus mampu memberikan tanggapan yang seimbang terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam konteks kejahatan narkotika, pendekatan yang holistik dan inklusif yang mencakup tindakan pencegahan, peningkatan pemahaman melalui edukasi, dan upaya rehabilitasi bagi mereka yang terkena dampak peredaran narkotika adalah krusial. Pemerintah perlu mengembangkan kebijakan yang tidak hanya fokus pada sanksi pidana mati sebagai bentuk penindakan, tetapi juga memberikan perhatian serius pada strategi pencegahan yang efektif dan program rehabilitasi untuk memastikan tanggapan hukum yang komprehensif dan sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan.[7]

Pentingnya menciptakan lingkungan hukum yang responsif terhadap perubahan sosial dan dinamika masyarakat tergambar dalam upaya reformasi hukum. Melibatkan prinsip-prinsip teori hukum responsif, reformasi tersebut bertujuan untuk menciptakan sistem peradilan yang lebih adil dan efektif. Langkah-langkah konkret seperti perubahan legislasi yang mendukung partisipasi aktif masyarakat dalam proses peradilan menjadi esensial, karena hal ini tidak hanya meningkatkan transparansi dan keadilan, tetapi juga memperkuat legitimasi sistem hukum. Selain itu, integrasi pendekatan rehabilitasi dalam sistem hukuman menjadi langkah positif, menggarisbawahi kebutuhan untuk menanggulangi peredaran narkotika melalui pendekatan holistik yang tidak hanya memperhatikan hukuman, tetapi juga pencegahan dan pemulihan. Kesemuanya bersatu dalam visi menciptakan lingkungan hukum yang responsif, adaptif, dan berdaya guna dalam menghadapi tantangan perubahan sosial dan kompleksitas masyarakat.[28]

Berdasarkan analisis di atas, penerapan sanksi pidana mati dinilai belum memberikan efek positif yang signifikan dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Sanksi pidana mati belum mampu menimbulkan efek jera, melindungi kelompok rentan, dan belum diimbangi upaya maksimal pembinaan serta pencegahan. Oleh karena itu, kebijakan sanksi pidana mati perlu ditinjau kembali efektivitas dan kesesuaiannya dengan konsep hukum responsif. Pendekatan alternatif seperti dekriminalisasi penggunaan narkotika serta pengalihan pecandu ke proses rehabilitasi dinilai lebih humanis dan berpotensi lebih efektif dalam jangka panjang. Dengan begitu, tujuan sosial pemberantasan peredaran narkoba dapat dicapai tanpa mengabaikan perlindungan kelompok rentan dan kewajiban negara merespons akar masalah sosial penyalahgunaan narkoba.

Simpulan

Penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika di Indonesia dapat dipahami dari perspektif hukum responsif dengan memperhatikan aspek sensitivitas terhadap tujuan sosial dan kebutuhan masyarakat dalam memberantas peredaran narkotika, partisipasi dari kelompok rentan seperti pengguna narkotika dalam proses peradilan, serta kewajiban institusi hukum untuk memberikan tanggapan terhadap tuntutan keadilan dan hak asasi manusia dalam penerapan sanksi pidana mati. Penerapan sanksi pidana mati juga harus memenuhi standar hak asasi manusia dan norma-norma internasional agar tercipta sistem hukum yang responsif dan seimbang dalam memberantas kejahatan narkotika dan melindungi hak-hak individu.

Penerapan sanksi pidana mati dinilai belum memberikan efek positif yang signifikan dalam upaya penanggulangan tindak pidana narkotika. Sanksi pidana mati belum mampu menimbulkan efek jera, melindungi kelompok rentan, dan belum diimbangi upaya maksimal pembinaan serta pencegahan. Oleh karena itu, penerapan sanksi pidana mati terhadap pelaku kejahatan narkotika perlu dianalisis dari perspektif hukum responsif, dengan memperhatikan aspek sensitivitas terhadap tujuan sosial pemberantasan peredaran narkoba, partisipasi dan perlindungan kelompok rentan seperti pecandu narkoba, serta kewajiban institusi hukum untuk memberikan tanggapan seimbang terhadap kebutuhan masyarakat akan upaya pencegahan dan rehabilitasi. Penerapan sanksi pidana mati dinilai belum efektif dan perlu ditinjau kembali dengan pendekatan yang lebih mengedepankan rehabilitasi dan dekriminalisasi untuk mencapai tujuan pemberantasan peredaran narkoba secara lebih manusiawi dan berkelanjutan.

References

  1. S. Suryawati, D. S. Widhyharto, and Koentjoro, "UGM Mengajak: Raih Prestasi Tanpa Narkoba," Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2015.
  2. P. Nonet and P. Selznick, "Hukum Responsif," Nusa Media, Bandung, 2013.
  3. U. Anwar, "Penjatuhan Hukuman Mati Bagi Bandar Narkoba Ditinjau dari Aspek Hak Asasi Manusia (Analisa Kasus Hukuman Mati Terpidana Kasus Bandar Narkoba; Freddy Budiman)," J. Legis. Indones., vol. 13, no. 3, 2016, doi: 10.54629/jli.v13i3.148.
  4. B. Rantung, "Kewenangan Presiden Dalam Memberikan Grasi Kepada Terpidana Mati Kasus Narkoba," Lex Priv., vol. 4, no. 4, 2016.
  5. F. Fikri, S. Saidah, A. Aris, and W. Wahidin, "Pemikiran Hakim dalam Hukuman Mati Kejahatan Narkotika: Perspektif Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam," J. Syariah dan Huk., vol. 20, no. 2, pp. 306–322, 2022, [Online]. Available: http://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/diktum/article/view/4164%0Ahttp://ejurnal.iainpare.ac.id/index.php/diktum/article/download/4164/1337.
  6. Anggara et al., "Politik Kebijakan Hukuman di Indonesia Dari Masa ke Masa," Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta, 2017.
  7. B. Hutapea, "Kontroversi Penjatuhan Hukuman Mati terhadap Tindak Pidana Narkotika dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia," Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Jakarta, 2016.
  8. J. Sriwidodo, "Perkembangan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia," 2020.
  9. G. T. Cahyani, S. B. Sholehah, D. N. Salsabillah, M. A. Ramandhana, R. A. Pratama, and H. Antoni, "Hukum Pidana Mati di Indonesia Berdasarkan Perspektif Hak Asasi Manusia dan Alternatif Penegakan Hukum," Al-Qisth Law Rev., vol. 7, no. 1, p. 167, Aug. 2023, doi: 10.24853/al-qisth.7.1.167-184.
  10. P. M. Marzuki, "Penelitian Hukum," Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2019.
  11. N. Andayanti, "Penerapan Sanksi Pidana Mati Bagi Pelaku Tindak Pidana Narkotika," Locus J. Konsep Ilmu Huk., vol. 1, no. 1, pp. 14–19, Dec. 2021, doi: 10.56128/JKIH.V1I1.13.
  12. B. Guntara and F. Jamal, "Penerapan Pidana Mati di Indonesia dalam Literatur Hukum dan Hak Asasi Manusia," Rechtsregel J. Ilmu Huk., vol. 4, no. 2, p. 237, Dec. 2021, doi: 10.32493/RJIH.V4I2.16155.
  13. J. Riskiyono, "Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Perundang-undangan untuk Mewujudkan Kesejahteraan," Aspir. J. Masal. Sos., vol. 6, no. 2, 2015.
  14. H. Arianto, "Hukum Responsif dan Penegakan Hukum di Indonesia," Lex Jurnalica, vol. 7, no. 2, 2010.
  15. Kurnisar, "Kajian Kritis Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Kerangka Negara Hukum di Indonesia," Bhineka Tunggal Ika Kaji. Teor. dan Prakt. Pendidik. PKN, vol. 4, no. 1, 2017, doi: https://doi.org/10.36706/JBTI.V4I1.4600.
  16. P. Aston and F. Magnis-Suseno, "Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)," Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2008.
  17. O. Yanto, "Negara Hukum: Kepastian, Keadilan dan Kemanfaatan Hukum (Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia)," Pustaka Reka Cipta, Bandung, 2020.
  18. M. Mahbub, "Dialektika Pembaruan Sistem Hukum Indonesia," p. 370, 2012.
  19. I. K. G. Arimbawa, I. M. P. Diantha, and A. A. S. Utari, "Hukuman Mati Terkait Kejahatan Narkotika dalam Perspektif Hukum Internasional dan Hukum Nasional," Kertha Negara J. Ilmu Huk., vol. 4, no. 2, 2016.
  20. T. Y. Rahmanto, "Kepastian Hukum bagi Pengguna Penyalahgunaan Narkotika: Studi Kasus di Provinsi Jawa Timur," J. Penelit. Huk. Jure, vol. 17, no. 2, p. 265, Jun. 2017, doi: 10.30641/DEJURE.2017.V17.265-282.
  21. M. Pardede, "Dinamika Sistem Hukum Pemidanaan (Narkotika & Pencucian Uang)," BALITBANGKUMHAM Press, Jakarta, 2021.
  22. A. Sudanto, "Penerapan Hukum Pidana Narkotika di Indonesia," ADIL J. Huk., vol. 8, no. 1, pp. 137–161, 2017, doi: https://dx.doi.org/10.33476/AJL.V8I1.457.
  23. S. Hidayataun and Y. Widowaty, "Konsep Rehabilitasi bagi Pengguna Narkotika yang Berkeadilan," J. Penegakan Huk. dan Keadilan, vol. 1, no. 2, 2020, doi: 10.18196/JPHK.1209.
  24. R. Triawan, S. W. Eddyono, V. R. Hizzal, and T. Yuliyanto, "Membongkar Kebijakan Narkotika Catatan Kritis terhadap Beberapa Ketentuan dalam UU No 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika Beserta Tinjauan Konstitusionalitasnya," Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Jakarta, 2010.
  25. G. H. Gunawan, "Peran Serta Masyarakat Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika (Studi Kasus di Polres Aceh Tenggara)," J. Huk. dan Kemasyarakatan Al-Hikmah, vol. 2, no. 1, 2021, doi: https://doi.org/10.30743/JHAH.V2I1.3604.
  26. F. Permaqi, "Hukuman Mati Pelaku Tindak Pidana Narkotika dalam Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dalam Tinjauan Yuridis Normatif)," Legis. Indones., vol. 53, no. 9, p. 2, 2015.
  27. N. K. R. Kumala Dewi, "Keberadaan Pidana Mati dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)," J. Komun. Huk., vol. 6, no. 1, p. 104, Feb. 2020, doi: 10.23887/JKH.V6I1.23444.
  28. L. Ansori, "Reformasi Penegakan Hukum Perspektif Hukum Progresif," J. Yuridis, vol. 4, no. 2, p. 148, Jan. 2018, doi: 10.35586/.V4I2.244.