This study aims to analyze the impact and challenges of digitalization in the Indonesian legal system, focusing on its implications for legal education, data security, and professional readiness. Adopting a qualitative approach, the research synthesizes discussions on the evolution of legal processes in response to technological advancements. Findings highlight that digitalization offers efficiencies and transparency yet poses significant cybersecurity risks. The study underscores the urgent need for enhanced digital literacy and legal education reform, emphasizing skills in AI and blockchain technology. The implications of this study are pivotal for policymakers and educators as they navigate the balance between embracing digital innovation and addressing the associated risks in the legal domain.
Highlights:
Keywords: Digitalization, Indonesian Legal System, Big Data, Blockchain, Artificial Intelligence
Revolusi digital telah mempengaruhi sistem hukum di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Big data, blockchain, dan AI telah mengubah sistem hukum. Pemrosesan data dan analisis pengadilan telah meningkat dengan menggunakan AI. AI mempercepat dan menurunkan biaya peradilan. Indonesia memiliki berbagai program pengadilan digital, termasuk E-Court. Program ini memungkinkan pengguna untuk mengajukan dan menyidangkan perkara secara online [1].
Teknologi modern menghadirkan tantangan baru bagi polisi. Peretasan dan keamanan data pribadi menjadi perhatian. Seiring dengan meningkatnya pelanggaran, banyak negara memperketat aturan keamanan siber, termasuk Indonesia. Pembeli online harus mematuhi Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) Uni Eropa [2]. Di Indonesia ada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Indonesia, yang didalamanya mencakup kejahatan siber dan perlindungan transaksi pembelian online. Oleh karena itu, menggunakan teknologi untuk menyederhanakan prosedur hukum dan menjaga data pribadi merupakan hal yang sulit saat ini, karena keduanya menjadi bertolak belakang.
Sistem pengadilan konvensional Indonesia menolak teknologi karena infrastruktur, undang-undang, dan budaya yang belum beradaptasi dengan perkembangan global. Indonesia memiliki masalah infrastruktur teknologi dan transportasi yang masih kurang memadai. Oleh karenanya, sistem pengadilan digital di Indonesia memiliki tantangan karena masyarakat pedesaan kesulitan mengakses internet. Tidak semua orang memiliki konektivitas internet untuk membangun sistem pengadilan digital. Selain itu, firma hukum khawatir tentang server yang aman, penyimpanan data, dan masalah infrastruktur TI lainnya [3].
Pada peraturan dan regulasi, Indonesia masih berjuang untuk menciptakan lingkungan hukum yang ramah terhadap digitalisasi. Masalah terbesarnya adalah memperbarui undang-undang untuk mengikuti perkembangan teknologi yang cepat. Hukum di Indonesia umumnya tertinggal di belakang teknologi, sehingga menyulitkan penegakan hukum digital. Terakhir, elemen sosial-budaya juga mempengaruhi transformasi ini. Skeptisisme dan ketidaksiapan masyarakat dalam mengadopsi teknologi digital, bersama dengan masalah privasi dan keamanan data, menghambat integrasi sistem hukum digital. Guna menjamin transisi digital yang sukses, kesadaran publik dan pelatihan teknologi hukum sangat penting [4].
Sistem peradilan Indonesia dapat mengambil manfaat dari digitalisasi dalam hal efisiensi, transparansi, dan akses terhadap keadilan. Menerapkan teknologi digital dapat meningkatkan efisiensi operasional. E-filing dan e-court dapat mempercepat proses hukum, mengurangi penggunaan kertas, dan meningkatkan manajemen perkara. Digitalisasi memungkinkan para pengambil keputusan untuk memanfaatkan big data dan analitik untuk membuat peraturan hukum yang lebih efektif dan berbasis bukti [5].
Sistem hukum Indonesia merupakan sintesa dari berbagai pengaruh hukum, yang mengakar dari sejarah kolonisasi Belanda dan diperkaya oleh keberagaman sosial dan budaya negara. Pengadopsian sistem hukum Civil Law oleh Indonesia, yang sebagian besar merupakan hasil penyerapan asas konkordansi selama kolonialisasi Belanda [6], merefleksikan keinginan untuk membangun fondasi hukum yang terstruktur dan terdokumentasi dengan baik. Namun, keunikan sistem hukum Indonesia juga terletak pada pengaruh hukum adat dan hukum Islam, yang muncul dari keragaman suku dan keberagamaan penduduknya[7]. Selain itu, penyerapan konsep dari sistem hukum negara lain, termasuk common law system, tak terelakkan dalam era globalisasi dan hukum internasional yang berkembang [8].
Untuk memahami dinamika sistem hukum Civil Law di Indonesia, kita bisa menggunakan lensa teori Lawrence M. Friedman, dengan mempertimbangkan tiga aspek utama: struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum [9]. Friedman, yang dikenal karena karyanya di bidang sejarah hukum dan sosiologi hukum, menekankan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam memahami hukum [10]. Dalam konteks Indonesia, ini melibatkan analisis tentang bagaimana sistem hukum Civil Law berinteraksi dengan elemen hukum adat dan hukum Islam, serta bagaimana praktik dan prosedur hukum informal mempengaruhi struktur hukum formal.
Substansi hukum, menurut Friedman, mencakup isi hukum itu sendiri, seperti undang-undang dan peraturan. Di Indonesia, hal ini berkaitan dengan bagaimana undang-undang dan peraturan dibentuk dan diubah dalam konteks sosial, budaya, dan politik negara. Ini membuka ruang untuk memahami bagaimana hukum dibentuk dan direformasi untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan masyarakat, serta bagaimana hukum tersebut mencerminkan nilai-nilai dan norma-norma sosial yang ada [11].
Aspek ketiga, budaya hukum, merupakan konsep penting dalam teori Friedman. Ini merujuk pada sikap dan nilai masyarakat terhadap hukum. Dalam konteks Indonesia, hal ini bisa mencakup persepsi dan reaksi masyarakat terhadap berbagai aspek hukum, mulai dari hukum adat hingga hukum yang berasal dari sistem hukum Civil Law. Memahami budaya hukum ini penting untuk menganalisis bagaimana hukum dipatuhi, diterapkan, dan diubah seiring waktu, serta bagaimana perubahan sosial mempengaruhi hukum dan sebaliknya [9].
Adaptasi terhadap perkembangan sosial dan teknologi merupakan hal yang krusial dalam hukum di Indonesia. Teknologi, khususnya digitalisasi, dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas hukum. Sistem hukum Indonesia harus menggunakan teknologi digital untuk mengikuti perubahan substansi hukum dan budaya hukum serta memenuhi permintaan masyarakat akan proses hukum yang lebih cepat, transparan, dan mudah diakses. Digitalisasi ini mengubah cara kerja lembaga hukum dan bagaimana masyarakat berinteraksi dengan sistem hukum, sehingga memungkinkan terjadinya perubahan yang berorientasi pada keadilan dan efisiensi [12].
Digitalisasi dapat menyederhanakan proses hukum di Indonesia, menghemat waktu dan biaya. Solusi elektronik termasuk e-filing, pengadilan elektronik, dan manajemen kasus digital dapat meningkatkan efisiensi. Pengadilan elektronik di Indonesia telah mempersingkat proses hukum. Pengarsipan online menghemat waktu dan biaya dengan menghilangkan kebutuhan untuk pengiriman fisik. Digitalisasi juga menyederhanakan manajemen perkara pengadilan, menghilangkan penumpukan perkara dan mempercepat pengambilan keputusan.
Digitalisasi juga memangkas biaya sistem peradilan. Biaya operasional pengadilan dapat dipangkas dengan mengurangi prosedur dan pertemuan fisik. Teknologi pengadilan digital mengurangi biaya administrasi dan operasional bagi pihak yang berperkara dan sistem peradilan [13]. Hal ini termasuk penghematan biaya transportasi dan penginapan, terutama untuk kelompok yang jauh. Digitalisasi juga membuat informasi hukum dan putusan pengadilan lebih mudah diakses, sehingga mengurangi biaya berperkara [14]. Dengan demikian, proses hukum menjadi lebih efisien dan lebih murah karena digitalisasi.
Pemanfaatan teknologi dapat meningkatkan ketersediaan informasi hukum kepada publik dan mengurangi korupsi di sektor peradilan dengan mempromosikan keterbukaan dan akuntabilitas. Digitalisasi menawarkan platform yang efisien untuk mempublikasikan dan mengakses informasi hukum, yang mencakup keputusan, undang-undang, dan prosedur. Platform online dan repositori hukum memungkinkan masyarakat umum untuk segera dan secara terbuka mengambil informasi terkait. Hal ini meminimalisir kebingungan publik dan kuantifikasi informasi dalam sistem konvensional. Digitalisasi proses hukum memungkinkan terciptanya catatan elektronik yang akurat, sehingga meningkatkan akurasi dan kemampuan audit [15].
Menerapkan teknologi digital dalam sistem peradilan dapat mengurangi korupsi dengan meminimalisir keterlibatan langsung dengan pihak berwenang. E-Court memiliki potensi untuk mengurangi korupsi dengan mengurangi prosedur manual dalam sistem hukum tradisional. Pendekatan ini meminimalisir kemungkinan terjadinya interaksi yang melanggar hukum antara para pihak. Adanya transparansi dalam keputusan hukum dan administratif memfasilitasi identifikasi dan pencegahan korupsi. Penerapan digitalisasi dalam sistem hukum tidak hanya meningkatkan ketersediaan informasi hukum kepada publik tetapi juga berfungsi sebagai alat untuk memerangi korupsi di sektor hukum [16].
Digitalisasi dalam sistem hukum meningkatkan keadilan, terutama bagi kelompok rentan yang kesulitan mendapatkan bantuan hukum. Orang-orang yang jauh, berpenghasilan rendah, dan memiliki keterbatasan mobilitas dapat mengakses dan mendapatkan layanan hukum berkat digitalisasi. Platform internet dan aplikasi seluler memungkinkan orang untuk mendapatkan nasihat hukum, konsultasi, dan dukungan tanpa harus menempuh perjalanan jarak jauh atau biaya tinggi. Teknologi memungkinkan sistem pengaduan online untuk mempercepat pelaporan keluhan dan permintaan bantuan hukum, sehingga memperluas akses terhadap keadilan bagi lebih banyak orang [14].
Pengadilan online dan mediasi digital membuat penyelesaian sengketa hukum menjadi lebih mudah diakses dan terjangkau. Strategi ini menguntungkan kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses ke sistem hukum tradisional karena kendala fisik, ekonomi, atau geografis. Penyelesaian sengketa secara daring memungkinkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa dari lokasi mereka, sehingga mengurangi waktu dan biaya perjalanan. Dengan demikian, digitalisasi membantu menutup kesenjangan keadilan dan memberikan pilihan yang lebih komprehensif dan adil bagi semua orang.
Blockchain dan AI dapat memodernisasi sistem hukum Indonesia. Hal ini termasuk merampingkan proses hukum dan menawarkan ide-ide baru. Kecerdasan buatan dapat menganalisis data dalam jumlah besar dan menggunakan pembelajaran mesin untuk mengantisipasi hasil kasus, menganalisis pola hukum, dan memberi saran dalam pengambilan keputusan hukum [17]. Kecerdasan buatan (AI) dapat membantu peninjauan dan analisis kasus, meningkatkan efisiensi dan akurasi hukum. Kecerdasan buatan juga dapat mengotomatiskan tugas-tugas administrasi pengadilan, mengurangi tenaga kerja manual dan meningkatkan efisiensi [18].
Di sisi lain, teknologi blockchain dapat meningkatkan ketergantungan dan perlindungan data legislatif secara signifikan. Teknologi blockchain dapat mengamankan catatan kepemilikan, transkrip pengadilan, dan kontrak karena sifatnya yang tidak dapat diubah dan transparan. Teknologi blockchain dalam sistem peradilan dapat mengurangi manipulasi dokumen [19]. Hal ini juga dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap peradilan. Teknologi blockchain juga dapat digunakan untuk membuat kontrak pintar, algoritma perangkat lunak yang secara otomatis memenuhi komitmen hukum. Proses hukum dan transaksi menjadi lebih cepat. Kecerdasan buatan dan blockchain dalam sistem peradilan di Indonesia memiliki beberapa manfaat. Inovasi, modernisasi, keamanan, keterbukaan, dan efisiensi dalam kegiatan hukum.
Berdasarkan hal tersebut maka bisa disimpulkan bahwa terdapat empat peluang digitalisasi pada sistem hukum di Indonesia yakni:
Infrastruktur teknologi di Indonesia mempengaruhi keberhasilan sistem peradilan digital. Infrastruktur teknologi di perkotaan dan pedesaan berbeda, sehingga mempengaruhi implementasi sistem hukum digital. Daerah perkotaan memiliki lebih banyak internet berkecepatan tinggi dan gadget digital, membuat e-Court dan database hukum online lebih mudah digunakan. Infrastruktur teknologi yang maju di Jakarta dan Surabaya telah membantu e-Court dalam meningkatkan proses hukum [14]. Ketersediaan internet yang buruk dan kurangnya gadget digital adalah hambatan terbesar di daerah pedesaan. Infrastruktur yang buruk membuat akses sistem peradilan digital menjadi masalah di tempat-tempat ini [5].
Sistem peradilan di Indonesia dapat meningkatkan operasi pengadilan dan pengambilan keputusan dengan AI. AI dapat menganalisis data yang sangat besar, meramalkan pola, dan merekomendasikan putusan berdasarkan fakta-fakta historis. AI dapat meningkatkan ketidakberpihakan dalam pengambilan keputusan di pengadilan dan menghilangkan prasangka dengan menggunakan data dan algoritma yang canggih [20]. Implementasi AI menuntut infrastruktur data yang solid dan etika data serta standar keamanan yang jelas. Bahkan saat ini Dewan Eropa telah mengembangkan Prinsip Etika untuk penggunaan AI dalam administrasi peradilan, yang harus dipertimbangkan ketika bekerja dengan AI dalam konteks hukum [21].
Di sisi lain, teknologi blockchain dapat meningkatkan transparansi dan integritas hukum. Blockchain dapat melindungi dan menyimpan data hukum secara permanen seperti kontrak dan transaksi. Blockchain dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia, mengurangi korupsi dan manipulasi dokumen[22]. Blockchain dapat menyederhanakan pembuatan dan pengelolaan kontrak hukum, menurunkan biaya transaksi [23]. Seperti halnya AI, adopsi blockchain membutuhkan infrastruktur teknologi yang berkembang dan kebijakan yang mendukung. Kesemuanya itu mendapatkan tantangan dalam hal privasi data dan keamanan. Tantangan keamanan dan privasi data ini dapat diatasi dengan berbagai cara.
Pertama, meskipun Indonesia telah mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), peraturan pelaksana dan integrasinya dengan perundangan yang lain merupakan persoalan tersendiri. Adanya Badan perlindungan data independen yang melapor langsung ke presiden atau Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang mengatur perlindungan data masih belum terealisasi meskipun telah diamanatkan oleh UU PDP [24]. Persoalan integrasi ini menggarisbawahi tantangan dalam membangun konsensus hukum dan politik untuk perlindungan data yang komprehensif.
Kedua, kesadaran dan kemampuan akan risiko keamanan siber harus ditingkatkan. Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) melaporkan lebih dari 1,6 miliar "anomali lalu lintas" pada tahun 2021, termasuk malware, trojan, dan upaya phishing, di Indonesia [25]. Hal ini meningkatkan kebutuhan untuk mengembangkan infrastruktur dan kemampuan keamanan siber untuk memerangi ancaman siber.
Ketiga, koordinasi dan tata kelola keamanan siber harus lebih terintegrasi. Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, dan BSSN berbagi tugas keamanan siber dan perlindungan data. Meskipun model desentralisasi ini memungkinkan setiap lembaga untuk membangun kapasitas internal berdasarkan kebutuhan dan sumber dayanya, model ini membatasi kapasitas respons ancaman siber pemerintah pusat.
Kerja sama yang lebih baik di antara lembaga-lembaga pemerintah, aturan yang lebih jelas dan komprehensif, serta kesadaran dan kapasitas keamanan siber diperlukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini. Hal ini melibatkan peningkatan kerja sama keamanan siber dan perlindungan data internasional.
Pada konteks implementasi digitalisasi sistem hukum di Indonesia, studi kasus menunjukkan bahwa keberhasilan dan kegagalan seringkali tergantung pada tata kelola dan pengelolaan strategis. Studi menyatakan bahwa ketiadaan tata kelola yang efektif pada tahap awal digitalisasi, terutama di negara berkembang, dapat menyebabkan kegagalan dalam implementasi pada tingkat lokal. Mereka mengidentifikasi dua kegagalan kritis dalam tata kelola digitalisasi: ego sektoral horizontal dan asimetri serta ketidaksesuaian vertikal. Kegagalan-kegagalan ini menghasilkan konsekuensi yang tidak diinginkan pada tingkat subaltern, yang ditunjukkan melalui ambivalensi yang beragam dan konstruksi yang "kehilangan suara" oleh aktor lokal. Studi ini menekankan pentingnya praktik tata kelola pada tingkat strategis dalam implementasi agenda digitalisasi nasional [26].
Kesiapan sumber daya manusia, termasuk para profesional hukum, dalam menghadapi perubahan yang dibawa oleh digitalisasi hukum, merupakan aspek kritis yang perlu diperhatikan. Para profesional hukum harus belajar untuk membingkai masalah secara efektif untuk mesin yang didukung perangkat lunak dan menilai risiko serta kepercayaan terhadap hasil analisis AI. Mereka perlu fokus lebih pada bagian-bagian penting dari peran mereka, sambil mengelola risiko, triase informasi, dan membaca hasil AI. Pendidikan dan pelatihan hukum lanjutan harus menyediakan kemampuan ini [27]. Dengan demikian, transformasi pendidikan hukum melalui digitalisasi membuka peluang untuk pendidikan yang lebih inklusif dan global, serta mempersiapkan profesional hukum untuk menghadapi lingkungan kerja yang semakin didigitalisasi [28].
Meskipun digitalisasi menghadirkan kemungkinan baru untuk proses hukum yang lebih terbuka dan efisien, hal ini juga menimbulkan masalah keamanan siber yang baru. Untuk memahami sepenuhnya bagaimana kecerdasan buatan (AI) dan blockchain yang dapat meningkatkan sistem peradilan, diperlukan lebih banyak penelitian. Pertimbangan utama adalah apakah sumber daya manusia siap untuk perubahan ini, sehingga pelatihan dan pendidikan yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan. Dengan memberikan perhatian pada perlunya modifikasi keamanan data yang lebih kuat dan pentingnya memasukkan teknologi ke dalam pendidikan hukum, penelitian ini menyoroti pergeseran Indonesia ke sistem hukum digital.