Background: Regional regulations (Perda) in Indonesia often face issues of overlap and inefficiency. Specific Background: The Omnibus Law method, known for simplifying and harmonizing regulations, has been applied nationally but remains underexplored locally. Knowledge Gap: Its practical application at the regional level, including challenges and opportunities, lacks sufficient research. Aims: This study examines the legal reconstruction of Perda using the Omnibus Law to improve regulatory efficiency and alignment with national laws. Results: The method streamlines regulations, enhances coherence, and boosts legal certainty but faces challenges such as stakeholder resistance and capacity limitations. Novelty: The research highlights the method's transformative potential for resolving Indonesia's regulatory complexities. Implications: It advocates for capacity-building, participatory processes, and effective oversight to achieve cohesive and responsive governance.
Highlights:
Keywords: Omnibus Law, Regional Regulations, Legal Reconstruction, Regulatory Efficiency, Governance Harmonization
Penyusunan peraturan daerah (Perda) merupakan salah satu aspek penting dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efektif dan efisien di Indonesia. Perda tidak hanya berfungsi sebagai instrumen hukum yang mengatur kehidupan masyarakat di tingkat daerah, tetapi juga sebagai sarana untuk mewujudkan visi pembangunan daerah yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik lokal. Namun, dalam praktiknya, penyusunan Perda sering menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi proses legislasi maupun dari segi harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan lainnya [1]. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk mengatasi tantangan ini adalah metode Omnibus Law. Metode Omnibus Law adalah pendekatan legislasi yang memungkinkan pembentukan satu undang-undang atau peraturan yang mengatur berbagai isu atau mengubah beberapa undang-undang atau peraturan sekaligus. Di Indonesia, metode ini telah menjadi sorotan terutama setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang merupakan contoh nyata dari penerapan Omnibus Law [2] Metode ini dianggap efektif dalam mempercepat proses legislasi dan mengurangi tumpang tindih regulasi, terutama dalam konteks reformasi birokrasi dan deregulasi. Di tingkat daerah, penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda memiliki potensi untuk menyederhanakan regulasi yang berlaku dan mengatasi berbagai masalah yang timbul akibat banyaknya Perda yang saling tumpang tindih. Selain itu, dengan metode ini, proses harmonisasi antara Perda dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat dapat lebih mudah dilakukan, sehingga tercipta keselarasan antara kebijakan daerah dan kebijakan nasional.[3]
Namun, penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda juga memerlukan kajian yang mendalam, mengingat kompleksitas dan dinamika permasalahan yang dihadapi di tingkat daerah. Permasalahan tumpang tindih peraturan di tingkat daerah sering kali menjadi hambatan baik implementasi kebijakan yang efektif. Banyaknya Perda yang saling bertentangan atau tidak sejalan dengan peraturan pusat menyebabkan kebingungan dalam penerapan hukum di lapangan. Hal ini tidak hanya berdampak pada efektivitas pemerintahan daerah, tetapi juga pada kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku usaha. Oleh karena itu, diperlukan sebuah rekonstruksi hukum dalam penyusunan Perda, yang mampu mengakomodasi kebutuhan harmonisasi regulasi dengan tetap mempertimbangkan karakteristik lokal. Metode Omnibus Law dapat menjadi solusi untuk permasalahan ini, dengan catatan penerapannya dilakukan secara hati-hati dan berdasarkan kajian yang komprehensif [4].[5] Seiring dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah daerah, kebutuhan akan regulasi yang lebih adaptif dan responsif menjadi semakin mendesak. Penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda diharapkan dapat memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menyusun regulasi yang lebih fleksibel dan sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya, dalam konteks pembangunan ekonomi daerah, penerapan Omnibus Law dapat mempermudah integrasi berbagai kebijakan sektoral yang sebelumnya diatur dalam Perda yang terpisah-pisah.[6] Dengan demikian, diharapkan akan tercipta iklim investasi yang lebih kondusif dan mendukung percepatan pembangunan daerah.
Namun demikian, penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda juga tidak terlepas dari berbagai tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah bagaimana memastikan bahwa seluruh tahapan dalam proses legislasi tetap berjalan transparan dan partisipatif. Metode Omnibus Law, dengan sifatnya yang komprehensif, berpotensi menimbulkan resistensi dari berbagai pihak yang merasa kepentingannya tidak terakomodasi [7]. Oleh karena itu, partisipasi publik dalam setiap tahap penyusunan Perda sangat penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan aspirasi masyarakat.
Selain itu, metode Omnibus Law juga menuntut adanya kapasitas dan kapabilitas yang memadai dari pemerintah daerah, baik dari segi sumber daya manusia maupun dari segi infrastruktur pendukung. Pemerintah daerah harus memiliki pemahaman yang mendalam mengenai berbagai aspek yang terkait dengan penerapan Omnibus Law, termasuk teknik legislasi, analisis dampak regulasi, dan harmonisasi hukum [8]. Tanpa kapasitas yang memadai, penerapan metode ini justru dapat menimbulkan masalah baru, seperti rendahnya kualitas Perda yang dihasilkan atau meningkatnya potensi konflik hukum.[8] Dalam konteks hukum, rekonstruksi hukum melalui metode Omnibus Law juga memerlukan penyesuaian terhadap berbagai prinsip dasar dalam sistem hukum Indonesia. Misalnya, prinsip lex specialis derogat legi generali yang selama ini menjadi salah satu prinsip dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, harus disesuaikan dengan konsep Omnibus Law yang cenderung mengintegrasikan berbagai isu dalam satu regulasi. Selain itu, rekonstruksi hukum ini juga harus mempertimbangkan aspek-aspek lain seperti keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan, yang merupakan tiga pilar utama dalam hukum.
Perda secara efektif, diperlukan adanya kebijakan yang mendukung dari pemerintah pusat, termasuk regulasi yang mengatur secara khusus mengenai penggunaan metode ini di tingkat daerah. Kebijakan ini harus mampu memberikan pedoman yang jelas bagi pemerintah daerah dalam menyusun Perda dengan metode Omnibus Law, serta memastikan adanya mekanisme pengawasan dan evaluasi yang efektif. Dengan demikian, diharapkan penerapan metode ini tidak hanya menjadi solusi sementara, tetapi dapat menjadi bagian dari reformasi regulasi yang berkelanjutan di Indonesia. Pada akhirnya, rekonstruksi hukum dalam penyusunan Perda dengan metode Omnibus Law merupakan upaya untuk meningkatkan kualitas regulasi di tingkat daerah dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Meskipun penerapannya tidak mudah dan memerlukan berbagai persiapan, namun jika dilakukan dengan benar, metode ini memiliki potensi besar untuk memberikan manfaat yang signifikan bagi pembangunan daerah.[3] Penelitian ini akan mengeksplorasi lebih lanjut mengenai potensi, tantangan, dan implikasi dari penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda, serta memberikan rekomendasi kebijakan yang dapat mendukung implementasinya di masa depan. Berdasarkan pada pemaparan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian berjudul “Rekonstruksi Hukum Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Dengan Metode Omnibus Law”. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini yakni:
1. Bagaimana proses rekonstruksi hukum dapat diterapkan dalam penyusunan Peraturan Daerah menggunakan metode Omnibus Law?
2. Apa tantangan dan peluang yang dihadapi dalam penerapan metode Omnibus Law untuk rekonstruksi hukum Peraturan Daerah?
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, yang fokus pada analisis terhadap konsep hukum, prinsip-prinsip hukum, dan peraturan perundang-undangan yang relevan dengan rekonstruksi hukum dalam penyusunan peraturan daerah menggunakan metode Omnibus Law. Pendekatan normatif ini dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk menganalisis norma-norma hukum yang ada, serta memberikan interpretasi dan konstruksi hukum terhadap penyusunan peraturan daerah melalui metode Omnibus Law [9]. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan konseptual dan perundang-undangan. Pendekatan konseptual dilakukan dengan mengkaji konsep-konsep hukum yang mendasari metode Omnibus Law dan bagaimana konsep tersebut dapat diterapkan dalam penyusunan peraturan daerah. Pendekatan ini penting untuk memahami secara mendalam teori dan ide-ide dasar yang mempengaruhi perkembangan hukum dalam konteks ini. Sementara itu, pendekatan perundang-undangan digunakan untuk menganalisis peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyusunan peraturan daerah dan penerapan metode Omnibus Law di Indonesia, termasuk undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah yang relevan.
Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer meliputi peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, serta berbagai peraturan daerah yang menjadi objek kajian. Bahan hukum sekunder mencakup literatur hukum, jurnal ilmiah, artikel, serta pendapat para ahli yang relevan dengan topik penelitian. Bahan hukum sekunder ini digunakan untuk memperkuat analisis dan memberikan perspektif yang lebih luas terhadap isu yang dikaji.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Melalui studi kepustakaan, peneliti mengumpulkan berbagai bahan hukum yang relevan dengan topik penelitian, baik dari sumber-sumber primer maupun sekunder. Studi kepustakaan memungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi dan memahami secara mendalam berbagai pandangan dan interpretasi yang ada terkait penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan peraturan daerah. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti interpretasi, evaluasi, dan konstruksi hukum. Data yang telah dikumpulkan diorganisir dan dianalisis untuk menemukan hubungan antara konsep-konsep hukum, norma-norma hukum, dan peraturan perundang-undangan yang dikaji. Proses analisis ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif mengenai bagaimana metode Omnibus Law dapat direkonstruksi dan diterapkan dalam penyusunan peraturan daerah, serta untuk mengidentifikasi implikasi hukum dari penerapan metode tersebut.
Rekonstruksi hukum adalah proses penyusunan ulang atau pembaruan hukum yang dilakukan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat serta dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang terjadi. Dalam konteks penyusunan peraturan daerah (Perda), rekonstruksi hukum menjadi penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dibuat tidak hanya relevan dan efektif, tetapi juga harmonis dengan kerangka hukum nasional.[10] Rekonstruksi hukum mengakui bahwa hukum harus berkembang untuk mencerminkan nilai dan norma masyarakat yang berubah. Ini dapat melibatkan pembaruan hukum yang ada atau penciptaan hukum baru untuk menangani isu-isu kontemporer seperti teknologi, hak asasi manusia, dan masalah lingkungan. Gerakan ini menekankan peran dinamika kekuasaan dan keadilan sosial dalam hukum. Rekonstruksi hukum dalam konteks ini sering kali berusaha untuk menantang dan mengubah struktur hukum yang ada yang mempertahankan ketidaksetaraan atau ketidakadilan [11]. Rekonstruksi hukum sering kali menarik wawasan dari disiplin lain, seperti sosiologi, ekonomi, dan ilmu politik, untuk lebih memahami implikasi dari aturan hukum dan untuk menginformasikan proses rekonstruksi. Rekonstruksi hukum juga dapat terjadi melalui keputusan yudisial, di mana pengadilan menafsirkan dan menerapkan hukum dengan cara yang dapat membentuk kembali prinsip-prinsip dan preseden hukum [12].
Tak hanya diatas, Rekonstruksi hukum dapat melibatkan proses legislatif formal untuk mengubah atau mencabut hukum yang sudah usang, memastikan bahwa kerangka hukum tetap relevan dan efektif. Salah satu metode yang dapat digunakan dalam rekonstruksi hukum ini adalah metode Omnibus Law, yang memungkinkan penyusunan atau perubahan beberapa regulasi sekaligus dalam satu payung hukum. Penerapan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda adalah sebuah langkah inovatif yang diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah yang selama ini dihadapi dalam proses legislasi daerah, seperti tumpang tindih peraturan, inkonsistensi antara Perda dengan peraturan pusat, serta prosedur legislasi yang berlarut-larut. Omnibus Law, yang secara harfiah berarti "untuk semua" atau "mencakup semua," memungkinkan penyatuan berbagai regulasi yang memiliki kesamaan dalam satu dokumen hukum, sehingga menciptakan efisiensi dalam proses legislasi.[6] Proses rekonstruksi hukum dengan menggunakan metode Omnibus Law dalam penyusunan Perda dimulai dengan identifikasi peraturan-peraturan daerah yang relevan dan berkaitan satu sama lain. Identifikasi ini melibatkan kajian mendalam terhadap Perda-Perda yang sudah ada, dengan tujuan untuk menemukan potensi tumpang tindih, ketidaksesuaian, atau ketidakpastian hukum yang mungkin timbul akibat peraturan-peraturan tersebut.[13]
Dalam konteks ini, peran pemerintah daerah, khususnya bagian hukum, menjadi sangat krusial dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan proses identifikasi ini. Setelah tahap identifikasi selesai, langkah berikutnya adalah melakukan harmonisasi peraturan-peraturan tersebut dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Proses harmonisasi ini penting untuk memastikan bahwa Perda yang dihasilkan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, seperti undang-undang atau peraturan pemerintah. Dalam hal ini, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi acuan utama, karena undang-undang ini mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dan benar, termasuk di dalamnya kewajiban untuk melakukan harmonisasi. Harmonisasi dalam konteks Omnibus Law melibatkan integrasi berbagai aspek yang diatur dalam beberapa Perda menjadi satu kesatuan yang utuh. Sebagai contoh, dalam bidang pembangunan ekonomi daerah, beberapa Perda yang mengatur sektor investasi, izin usaha, dan pengelolaan sumber daya alam dapat diintegrasikan ke dalam satu Perda Omnibus [14]. Dengan demikian, peraturan yang dihasilkan lebih komprehensif dan dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan tanpa harus mengacu pada banyak Perda yang terpisah-pisah. Setelah proses harmonisasi selesai, tahap berikutnya adalah penyusunan naskah akademik dan draf Perda Omnibus. Penyusunan naskah akademik merupakan tahap penting karena berfungsi sebagai landasan ilmiah dan dasar pertimbangan bagi penyusunan draf Perda. Naskah akademik harus memuat analisis mendalam mengenai isu-isu yang diatur dalam Perda Omnibus, termasuk kajian terhadap dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan dari implementasi peraturan tersebut.
Dalam penyusunan draf Perda, penting untuk melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha, guna memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan mencerminkan aspirasi dan kebutuhan berbagai pihak [15].[16]
Partisipasi publik dalam proses penyusunan Perda Omnibus merupakan elemen kunci yang tidak boleh diabaikan. Meskipun metode Omnibus Law bertujuan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses legislasi, transparansi dan partisipasi publik tetap harus dijaga. Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 mengatur bahwa masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan.[17] Oleh karena itu, pemerintah daerah harus memastikan adanya mekanisme yang memungkinkan masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses penyusunan Perda Omnibus, baik melalui konsultasi publik, diskusi kelompok terfokus, maupun forum-forum lainnya [18]. Selain itu, dalam proses rekonstruksi hukum ini, penting untuk memperhatikan prinsip-prinsip dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, seperti prinsip kejelasan tujuan, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dan keterbukaan. Prinsip-prinsip ini dijelaskan dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, yang menekankan bahwa setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip yang menjamin keadilan dan kepastian hukum.[19] Oleh karena itu, dalam penyusunan Perda Omnibus, pemerintah daerah harus memastikan bahwa setiap ketentuan yang dimasukkan dalam Perda tersebut memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak menimbulkan multitafsir.
Setelah draf Perda Omnibus disusun, tahap berikutnya adalah proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dalam tahap ini, DPRD akan melakukan evaluasi terhadap draf Perda, termasuk melakukan pengujian terhadap kesesuaian antara draf Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. DPRD juga berperan dalam memastikan bahwa draf Perda Omnibus tidak bertentangan dengan kepentingan publik dan sejalan dengan visi pembangunan daerah. Proses pembahasan ini biasanya melibatkan berbagai komisi di DPRD yang terkait dengan substansi Perda yang dibahas. Setelah mendapatkan persetujuan dari DPRD, Perda Omnibus harus melalui tahap pengesahan oleh kepala daerah. Pengesahan ini merupakan tahap akhir dari proses legislasi, di mana Perda yang telah disetujui oleh DPRD dinyatakan sah dan memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun, sebelum disahkan, Perda tersebut masih dapat mengalami perubahan jika ditemukan hal-hal yang perlu diperbaiki atau disesuaikan. Setelah disahkan, Perda Omnibus kemudian diundangkan dan mulai berlaku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Perda tersebut.[20]
Implementasi Perda Omnibus di tingkat daerah menjadi tantangan tersendiri, terutama dalam hal koordinasi antar instansi dan sosialisasi kepada masyarakat. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa seluruh instansi terkait memahami dan dapat mengimplementasikan Perda Omnibus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selain itu, sosialisasi kepada masyarakat juga penting untuk memastikan bahwa Perda yang baru disahkan dapat diterima dan dipatuhi oleh seluruh lapisan masyarakat. Tanpa sosialisasi yang baik, implementasi Perda Omnibus dapat mengalami kendala, seperti rendahnya tingkat kepatuhan atau munculnya resistensi dari masyarakat.[21] Untuk memastikan efektivitas implementasi Perda Omnibus, diperlukan mekanisme pengawasan dan evaluasi yang komprehensif. Pengawasan dilakukan untuk memastikan bahwa seluruh ketentuan dalam Perda Omnibus diterapkan dengan benar, sementara evaluasi bertujuan untuk menilai dampak dari penerapan Perda tersebut. Berdasarkan hasil evaluasi, pemerintah daerah dapat melakukan revisi atau perubahan terhadap Perda jika diperlukan. Dalam konteks ini, penting untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk masyarakat dan akademisi, dalam proses evaluasi guna mendapatkan masukan yang objektif dan komprehensif. Secara keseluruhan, penerapan proses rekonstruksi hukum dalam penyusunan Perda menggunakan metode Omnibus Law menawarkan banyak keuntungan, seperti penyederhanaan regulasi, peningkatan efisiensi proses legislasi, dan penguatan harmonisasi hukum antara peraturan daerah dan peraturan pusat. Namun, untuk mencapai hasil yang optimal, proses ini harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, memperhatikan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, serta melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan. Dengan demikian, Perda yang dihasilkan tidak hanya relevan dan efektif, tetapi juga mampu memberikan kontribusi positif bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Penerapan metode Omnibus Law dalam rekonstruksi hukum peraturan daerah (Perda) di Indonesia menghadirkan tantangan dan peluang yang signifikan. Metode ini, meskipun efektif dalam penyederhanaan dan harmonisasi regulasi, juga memerlukan perhatian khusus terhadap berbagai aspek hukum, administratif, dan sosial yang terkait dengan penerapan di tingkat daerah. Dalam konteks hukum yang kompleks seperti di Indonesia, penerapan Omnibus Law di tingkat daerah menjadi tantangan tersendiri, namun juga menawarkan peluang besar untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan daerah dan mendorong pembangunan yang lebih inklusif. Salah satu tantangan utama dalam penerapan metode Omnibus Law di tingkat daerah adalah kesulitan dalam harmonisasi peraturan daerah dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan perubahannya melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019, mengatur bahwa setiap peraturan daerah harus konsisten dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Namun, dalam praktiknya, banyak Perda yang masih bersifat sektoral dan terfragmentasi, sehingga penerapan metode Omnibus Law memerlukan usaha ekstra untuk menyatukan berbagai aturan yang ada menjadi satu regulasi yang koheren.[3] Selain itu, tantangan lainnya adalah resistensi dari pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perubahan regulasi. Metode Omnibus Law sering kali dianggap sebagai pendekatan yang terlalu sentralistik dan mengurangi otonomi daerah.
Hal ini bisa menimbulkan ketegangan antara pemerintah pusat dan daerah, terutama jika proses pembentukan Perda dengan metode ini tidak melibatkan partisipasi yang cukup dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal. Padahal, partisipasi yang luas sangat penting untuk memastikan bahwa peraturan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi daerah [22]. Penerapan metode Omnibus Law di tingkat daerah juga menghadapi tantangan dalam hal kapasitas sumber daya manusia. Pemerintah daerah sering kali kekurangan tenaga ahli yang memiliki pemahaman mendalam tentang teknik legislasi dan harmonisasi hukum yang diperlukan untuk menerapkan metode ini. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pemerintah daerah memiliki wewenang dalam pembentukan peraturan daerah. Namun, tanpa dukungan sumber daya manusia yang memadai, penerapan Omnibus Law justru dapat menimbulkan masalah baru, seperti kualitas regulasi yang rendah atau bahkan meningkatnya konflik hukum di kemudian hari.[6] Selain itu, kompleksitas hukum di Indonesia juga menjadi tantangan tersendiri dalam penerapan metode Omnibus Law. Dengan berbagai macam peraturan yang saling berkaitan, baik di tingkat pusat maupun daerah, menyusun sebuah peraturan daerah yang menggunakan pendekatan Omnibus Law memerlukan analisis yang sangat mendalam dan komprehensif. Ini bukan hanya soal menggabungkan beberapa peraturan menjadi satu, tetapi juga memastikan bahwa seluruh ketentuan tersebut tidak saling bertentangan dan tetap sejalan dengan prinsip-prinsip dasar hukum yang berlaku [23].[24]
Tantangan lain yang juga perlu diperhatikan adalah masalah pengawasan dan implementasi. Meskipun suatu peraturan daerah telah disusun dengan metode Omnibus Law, pelaksanaannya di lapangan sering kali menghadapi berbagai kendala, seperti kurangnya koordinasi antara instansi terkait, keterbatasan anggaran, dan resistensi dari masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa Perda yang dihasilkan dengan metode Omnibus Law dapat diterapkan dengan baik dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.[25] Meskipun menghadapi berbagai tantangan, penerapan metode Omnibus Law dalam rekonstruksi hukum Perda juga menawarkan sejumlah peluang yang signifikan. Salah satu peluang utama adalah kemampuan untuk menyederhanakan dan mengharmonisasikan berbagai peraturan yang ada, sehingga dapat menciptakan regulasi yang lebih koheren dan mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam konteks otonomi daerah, metode ini dapat membantu pemerintah daerah dalam mengintegrasikan berbagai kebijakan sektoral yang selama ini diatur dalam Perda yang terpisah-pisah, menjadi satu regulasi yang komprehensif dan terpadu [26]. Metode Omnibus Law juga membuka peluang untuk meningkatkan kualitas peraturan daerah. Dengan menyederhanakan proses legislasi dan mengurangi tumpang tindih peraturan, pemerintah daerah dapat lebih fokus pada substansi kebijakan yang ingin diatur. Hal ini sejalan dengan semangat deregulasi dan debirokratisasi yang diusung oleh pemerintah pusat melalui berbagai kebijakan reformasi hukum.[3] Dengan demikian, Perda yang dihasilkan diharapkan dapat lebih responsif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, serta mampu memberikan kepastian hukum yang lebih baik.
Selain itu, penerapan metode Omnibus Law juga dapat mendorong partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pembentukan peraturan daerah. Dengan menyatukan berbagai isu dalam satu peraturan, masyarakat dapat lebih mudah memahami dan memberikan masukan terhadap regulasi yang akan diundangkan [27]. Partisipasi publik ini sangat penting untuk memastikan bahwa Perda yang dihasilkan tidak hanya sesuai dengan kebutuhan hukum, tetapi juga mencerminkan aspirasi dan kepentingan masyarakat secara lebih luas.[28] Hal ini juga sejalan dengan prinsip demokrasi yang menjadi dasar dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Peluang lain yang juga dapat dimanfaatkan adalah peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam konteks penerapan Omnibus Law, pemerintah pusat dapat memberikan panduan dan dukungan teknis kepada pemerintah daerah untuk memastikan bahwa Perda yang disusun sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi [29]. Ini dapat menciptakan sinergi yang lebih baik antara kebijakan nasional dan kebijakan daerah, sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional yang lebih inklusif dan merata. Dalam jangka panjang, penerapan metode Omnibus Law juga dapat berkontribusi pada penguatan sistem hukum di Indonesia. Dengan menyederhanakan dan mengharmonisasikan berbagai peraturan daerah, metode ini dapat membantu mengurangi kompleksitas hukum yang sering kali menjadi penghambat dalam pelaksanaan hukum di lapangan. Selain itu, dengan menciptakan regulasi yang lebih koheren dan terpadu, diharapkan akan tercipta kepastian hukum yang lebih baik, sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan pelaku usaha terhadap sistem hukum di Indonesia.Monitasari, Furqon, and Khaerunnisa, “Implikasi Penerapan Metode Omnibus Law Dalam Sistem Pembentukan Perundang-Undangan Indonesia Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.”
Penerapan metode Omnibus Law dalam rekonstruksi hukum peraturan daerah harus dilakukan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satu peraturan yang menjadi acuan adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019. Undang-undang ini mengatur prinsip-prinsip dasar dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, termasuk peraturan daerah. Dalam konteks penerapan Omnibus Law, pemerintah daerah perlu memastikan bahwa Perda yang disusun tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.[6] Selain itu, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah juga menjadi landasan hukum yang penting dalam penerapan metode Omnibus Law di tingkat daerah. Undang-undang ini memberikan wewenang kepada pemerintah daerah untuk menyusun peraturan daerah, namun juga mengatur bahwa setiap Perda harus selaras dengan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat.[30] Dalam konteks ini, penerapan metode Omnibus Law dapat menjadi alat yang efektif untuk memastikan bahwa Perda yang disusun oleh pemerintah daerah tetap konsisten dengan kebijakan nasional dan tidak menimbulkan konflik hukum.
Penerapan metode Omnibus Law dalam rekonstruksi hukum peraturan daerah juga harus memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Undang-undang ini merupakan contoh penerapan Omnibus Law di tingkat nasional dan dapat menjadi referensi bagi pemerintah daerah dalam menyusun Perda dengan metode yang sama. Melalui Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah pusat telah memberikan landasan hukum yang kuat untuk penerapan Omnibus Law, yang dapat diadaptasi oleh pemerintah daerah dalam konteks penyusunan peraturan daerah.[31] Dapat disimpulkan bahwa penerapan metode Omnibus Law dalam rekonstruksi hukum peraturan daerah merupakan langkah yang strategis dalam upaya meningkatkan kualitas regulasi di tingkat daerah dan mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, seperti harmonisasi peraturan, resistensi dari pihak-pihak berkepentingan, dan keterbatasan sumber daya manusia, metode ini juga menawarkan peluang besar untuk menciptakan regulasi yang lebih koheren, responsif, dan partisipatif. Dengan dukungan kebijakan dari pemerintah pusat dan partisipasi yang luas dari masyarakat, penerapan metode Omnibus Law di tingkat daerah dapat menjadi bagian dari reformasi regulasi yang berkelanjutan di Indonesia. Dalam jangka panjang, diharapkan metode ini tidak hanya mampu menyederhanakan proses legislasi, tetapi juga berkontribusi pada penguatan sistem hukum nasional dan peningkatan kepastian hukum bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Proses rekonstruksi hukum dalam penyusunan Peraturan Daerah (Perda) menggunakan metode Omnibus Law melibatkan beberapa tahapan penting. Dimulai dengan identifikasi peraturan-peraturan daerah yang relevan dan berkaitan, dilanjutkan dengan harmonisasi peraturan tersebut dengan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Setelah itu, dilakukan penyusunan naskah akademik dan draf Perda Omnibus yang mengintegrasikan berbagai aspek dari beberapa Perda menjadi satu kesatuan yang komprehensif. Proses ini melibatkan partisipasi publik melalui konsultasi dan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan. Selanjutnya, draf Perda Omnibus dibahas di DPRD, disahkan oleh kepala daerah, dan diundangkan. Implementasi Perda Omnibus kemudian memerlukan koordinasi antar instansi, sosialisasi kepada masyarakat, serta pengawasan dan evaluasi yang komprehensif untuk memastikan efektivitasnya. Metode ini bertujuan untuk menyederhanakan regulasi, meningkatkan efisiensi proses legislasi, dan memperkuat harmonisasi hukum antara peraturan daerah dan pusat.
Penerapan metode Omnibus Law untuk rekonstruksi hukum Peraturan Daerah (Perda) menghadapi beberapa tantangan utama, antara lain: kesulitan harmonisasi Perda dengan peraturan di tingkat pusat, resistensi dari pihak-pihak yang berkepentingan, keterbatasan kapasitas sumber daya manusia di pemerintah daerah, kompleksitas hukum di Indonesia, serta masalah pengawasan dan implementasi. Namun, metode ini juga menawarkan peluang signifikan seperti: penyederhanaan dan harmonisasi regulasi yang menciptakan peraturan lebih koheren dan mudah dipahami, peningkatan kualitas Perda, dorongan partisipasi publik yang lebih luas dalam proses pembentukan Perda, peningkatan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, serta kontribusi pada penguatan sistem hukum Indonesia dalam jangka panjang. Dengan memanfaatkan peluang-peluang ini dan mengatasi tantangan-tantangan yang ada, penerapan metode Omnibus Law di tingkat daerah dapat menjadi alat efektif untuk meningkatkan kualitas regulasi dan mendorong tata kelola pemerintahan yang lebih baik.