Login
Section Criminal Law

Consent Capacity of Persons with Disabilities in Sexual Relations: A Comparative Legal Study of Indonesia, Canada, and the United Kingdom

Kapasitas Persetujuan Bagi Penyandang Disabilitas dalam Hubungan Seksual: Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Kanada, dan Inggris
Vol. 13 No. 2 (2025): December:

Sayyidina Azzahra (1), Rugun Romaida Hutabarat (2)

(1) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
(2) Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia
Fulltext View | Download

Abstract:

Background (General): Consent serves as the central boundary distinguishing lawful sexual relations from criminal sexual violence. Background (Specific): For persons with disabilities, assessing consent becomes more complex due to cognitive, mental, physical, or sensory limitations that may affect their ability to understand and communicate agreement. Knowledge Gap: Indonesian criminal law, including the UU TPKS, lacks explicit definitions of consent and standardized indicators for determining consent capacity, unlike jurisdictions such as the United Kingdom and Canada. Aim: This study examines Indonesia’s legal framework on sexual consent and evaluates the absence of consent-capacity standards for persons with disabilities through comparative analysis with UK and Canadian regulations. Results: Findings show that Indonesian law narrowly associates non-consent with coercion or threats, failing to consider cognitive incapacity, whereas the UK (Sexual Offences Act 2003; Mental Capacity Act 2005) and Canada (Criminal Code Section 153.1) provide clear criteria for assessing mental ability, voluntariness, and relational power imbalance. Novelty: This research identifies the structural legal gap in Indonesian consent-capacity regulation and proposes a model grounded in comparative jurisprudence. Implications: The study underscores the urgent need for legal reform to establish explicit consent-capacity standards, strengthening protection against sexual exploitation of persons with disabilities.


Highlights:




  • Highlights the absence of explicit consent-capacity standards in Indonesian law.




  • Shows how UK and Canada provide clearer protections through defined legal criteria.




  • Emphasizes the urgency of legal reform to safeguard persons with disabilities from exploitation.




Keywords: Consent Capacity, Sexual Consent, Persons With Disabilities, Comparative Law, Indonesian Criminal Law

Author Biographies

Sayyidina Azzahra, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Rugun Romaida Hutabarat, Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara

Fakultas Hukum

Downloads

Download data is not yet available.

Consent Capacity of Persons with Disabilities in Sexual Relations: A Comparative Legal Study of Indonesia, Canada, and the United Kingdom

Consent Capacity B agi Penyandang Disabilitas dalam Hubungan Seksual : Studi Perbandingan Hukum Indonesia, Kanada, dan Inggris

Sayyidina Azzahra*1), Rugun Romaida Hutabarat2)

1, 2)Program Studi Ilmu Hukum, Universitas Tarumanagara, Indonesia

*Email Penulis Korespondensi:

Abstract . The concept of consent in sexual relations constitutes a decisive legal boundary between lawful sexual activity and criminal sexual violence. For persons with disabilities, this issue becomes significantly more complex, as physical, mental, intellectual, or sensory impairments may affect their ability to understand, evaluate, and freely provide informed consent. This research aims to analyze the regulation of sexual consent within Indonesian criminal law while examining the absence of a clear framework regarding consent capacity for persons with disabilities under the Sexual Violence Crimes Law. Using a normative juridical method and statutory as well as comparative approaches, this study contrasts Indonesia’s legal landscape with the frameworks applied in the United Kingdom and Canada. The findings demonstrate that Indonesia lacks an explicit legal definition of consent and does not provide measurable indicators to assess an individual’s capacity to consent. The concept of “absence of consent” in Indonesian law remains narrowly tied to external coercion or threats, overlooking cognitive or mental limitations that impede genuine consent. In contrast, the United Kingdom—through the Sexual Offences Act 2003 and the Mental Capacity Act 2005—clearly stipulates that a person lacks consent capacity when they are unable to understand, evaluate, or communicate a choice regarding sexual activity. Similarly, Canada’s Criminal Code Section 153.1 provides robust protection by invalidating consent obtained within relationships involving dependency, authority, or power imbalance. This study argues that Indonesia urgently needs to reform its legal framework by adopting explicit standards and criteria for assessing consent capacity, thereby ensuring stronger legal protection for persons with disabilities and preventing sexual exploitation .

Keywords - Consent, Consent Capacity, Persons With Disabilities, Sexual Violence, Indonesian Criminal Law, Comparative Law.

Abstrak . Isu mengenai persetujuan (consent) dalam hubungan seksual merupakan komponen fundamental dalam menentukan batas antara aktivitas seksual yang sah dan tindak kekerasan seksual . Dalam konteks penyandang disabilitas , persoalan ini menjadi semakin kompleks karena keterbatasan fisik , mental, intelektual , atau sensorik dapat memengaruhi kapasitas seseorang untuk memahami dan memberikan persetujuan secara bebas dan sadar . Penelitian ini bertujuan menganalisis konsep persetujuan dalam hukum pidana Indonesia sekaligus menilai ketidakjelasan pengaturan mengenai kapasitas persetujuan (consent capacity) khususnya bagi penyandang disabilitas dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Penelitian hukum normatif digunakan dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan perbandingan dengan sistem hukum Inggris dan Kanada. Hasil kajian menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki definisi eksplisit mengenai consent maupun parameter untuk menilai kapasitas seseorang dalam memberikan persetujuan . Konsep tanpa persetujuan dalam UU TPKS dan KUHP masih berorientasi pada unsur paksaan atau ancaman , sehingga belum mengakomodasi situasi di mana individu secara kognitif tidak mampu memahami konsekuensi dari tindakan seksual . Sebaliknya , Inggris melalui Sexual Offences Act 2003 dan Mental Capacity Act 2005 secara tegas mengatur bahwa seseorang dianggap tidak mampu memberikan persetujuan jika tidak dapat memahami , menilai , atau mengkomunikasikan pilihan secara sadar . Kanada pun memberikan perlindungan luas melalui Criminal Code Section 153.1 yang menyatakan bahwa relasi ketergantungan atau ketimpangan kuasa menggugurkan validitas persetujuan . Dengan demikian , penelitian ini menekankan urgensi pembaharuan hukum Indonesia untuk mengatur kriteria consent capacity guna memperkuat perlindungan bagi penyandang disabilitas dari risiko eksploitasi seksual .

Kata Kunci - Consent, Kapasitas Persetujuan, Penyandang Disabilitas, Kekerasan Seksual, UU TPKS, Perbandingan Hukum.

I. Pendahuluan

Isu kekerasan seksual merupakan salah satu problem sosial yang terus menjadi sorotan dan tidak pernah benar-benar surut dari perhatian negara. Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin bahwa setiap warga negara memperoleh perlindungan hukum yang adil dan efektif dari segala bentuk tindakan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Jaminan ini tertuang secara tegas dalam Pasal 28G ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menegaskan bahwa setiap orang berhak bebas dari penyiksaan, perlakuan yang merendahkan martabat, serta ancaman yang menimbulkan rasa takut 1. Ketentuan konstitusional tersebut menjadi landasan normatif bagi negara untuk memastikan adanya kepastian hukum dalam melindungi warga negara dari segala bentuk kekerasan, termasuk kekerasan seksual yang kerap menimbulkan trauma berkepanjangan dan mengancam rasa aman individu.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menampilkan laporan Catatan Tahunan yang dalam Laporan CATAHU 2024 tersebut telah mencatat sebanyak 445.502 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan, dimana kasus ini naik sebanyak 10% dibandingkan tahun 2023 dengan jumlah 401.975 kasus 2. Dengan tinggi nya angka kasus kekerasan seksual terhadap Perempuan yang disoroti oleh Komnas Perempuan, pemerintah merespon melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang selanjutnya disebut dengan UU TPKS. Dimana peraturan ini bertujuan guna memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Dimana dalam UU TPKS ini memberikan 19 bentuk yang dinyatakan sebagai tindak pidana kekerasan seksual, dengan meliputi yaitu pelecehan seksual secara fisik maupun non-fisik.

Seksualitas diartikan menurut Martono adalah suatu bentuk energi psikis dalam mendorong suatu organisme untuk melakukan sesuatu yaitu bersifat seksual, bertujuan untuk reproduksi, yang karena tujuan tersebut disertai dengan penghayatan yang menyenangkan bagi suatu organisme 3. Juga dalam pandangan Sigmud Freud yang memberikan pandangan nya bahwa kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari persoalan seksual, dimana menurut Freud, sejak bayi manusia sudah memiliki naluri seksual dalam tahap tertentu, di mana implementasi bagi masing-masing manusia kemungkinan tidak sama 4. Namun, apabila dalam hubungan seksual terdapat unsur paksaan. Maka tujuan dan makna dari aktivitas seksual tersebut tidak tercapai, dimana jika hubungan yang seharusnya dilandasi oleh persetujuan dengan penghayatan menyenangkan berubah menjadi tindakan yang merugikan dan melanggar ha katas integritas tubuh seseorang.

Kekerasan seksual pada hakikatnya mencakup setiap tindakan bernuansa seksual yang dilakukan secara melawan kehendak, baik yang berbentuk serangan fisik yang menimbulkan luka maupun tanpa kontak fisik langsung tetapi tetap menghadirkan dampak psikologis yang berat bagi korbannya 5. Inti dari perbuatan ini terletak pada absennya persetujuan—aktivitas seksual dilakukan bukan karena kehendak bebas korban, melainkan karena paksaan, manipulasi, atau kondisi yang membuat korban tidak mampu menyatakan pilihan secara sadar. Dalam perkembangan teori hukum dan kriminologi, persetujuan dalam konteks seksual dipahami tidak cukup hanya sebagai adanya kesadaran bahwa suatu tindakan berkarakter seksual, tetapi harus merupakan bentuk kesediaan yang diberikan secara sadar, otonom, dan tanpa tekanan 6. Istilah “persetujuan” atau consent merujuk pada ekspresi kehendak, baik berupa persetujuan maupun penolakan, yang menjadi dasar sahnya suatu aktivitas seksual. Tanpa adanya pernyataan yang valid dan bebas dari paksaan ini, setiap tindakan seksual berubah menjadi pelanggaran terhadap integritas tubuh dan martabat manusia.

Dalam konteks hukum pidana, keberadaan persetujuan menjadi pembeda anatara tindakan seksual yang sah dan tindak pidana kekerasan seksual, dengan meskipun UU TPKS tidak menyebutkan istilah consent secara eksplisit namun substansi mengenai persetujuan tercemin melalui unsur “tanpa persetujuan” dan “pemaksaan” yang terdapat dalam berbagai jenis tindak pidana kekerasan seksual. Ketidakjelasan ini menjadi persoalan tersendiri, terutama ketika dikaitkan dengan individu yang memiliki keterbatasan seperti penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas dipandang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (“UU 8/2016”) sebagai seseorang individu yang mempunyai kekurangan atas fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik pada kurun waktu yang cukup lama sehingga memperhambat berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Dimana penyandang disabilitas ini sebagai kelompok yang memiliki kerentanan tinggi terhadap kekerasan seksual akibat keterbatasan fisik, mental, sensorik maupun intelektual nya. Tercatat dalam informasi Komnas Perempuan tahun 2023 yaitu sebanyak 105 kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas yang terkategorikan disabilitas mental sejumlah 40 kasus, disabilitas sensorik 33 kasus, disabilitas intelektual sebanyak 20 kasus dan 12 kasus disabilitas fisik 7. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi kemampuan individu dalam memahami, menilai, dan memberikan persetujuan terhadap suatu tindakan seksual.

Ketidakmampuan untuk menyetujui didefinisikan sebagai ketidakmungkinan untuk memberikan persetujuan bebas untuk tindakan seksual ini karena usia, penyakit, cacat mental atau fisik 8. Hal ini menjadi penting untuk menilai sejauh mana penyandang disabilitas memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan yang sah secara hukum, karena ranpa kemampuan tersebut, persetujuan yang diberikan dapat dianggap tidak valid dan berimplikasi pada perlindungan hukum bagi korban. Dalam UU TPKS yang belum mengatur secara spesifik mengenai bagaimana seseorang dalam menentukan, khususnya penyandang disabilitas dalam memiliki atau tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan. Dimana yang diungkapkan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dengan menekankan bahwa suatu hubungan seksual dikategorikan sebagai tindak pidana bila terdapat ketidaksetujuan atas sexual consent9.

Persetujuan berperan sebagai poin penting dalam mendapatkan bukti apakah benar atau tidak seseorang melakukan tindak pidana, yang dalam hal penyandang disabilitas apakah mampu dalam memberikan persetujuan atas hubungan seksual sehingga berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan analisis yuridis terhadap kapasitas persetujuan penyandang disabilitas dalam konteks hubungan seksual menurut UU TPKS dengan melihat bagaimana pengaturan yang mengatur mengenai persetujuan dalam hukum pidana di Indonesia dan Bagaimana pengaturan consent capacity bagi penyandang disabilitas dalam hubungan seksual menurut Indonesia, perbandingan dengan pengaturan di Inggris dan Kanada, maka dari itu penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul penelitian “CONSENT CAPACITY BAGI PENYANDANG DISABILITAS DALAM HUBUNGAN SEKSUAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2022 TENTANG TINDAK PIDANA KEKERASAN SEKSUAL”.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis merumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengaturan yang mengatur mengenai persetujuan (consent) dalam hukum pidana di Indonesia?
  2. Bagaimana pengaturan consent capacity bagi penyandang disabilitas dalam hubungan seksual menurut Indonesia, perbandingan dengan pengaturan di Inggris dan Kanada?

Untuk menganalisis secara yuridis pengaturan mengenai persetujuan (consent) dalam hukum pidana di Indonesia serta menilai kapasitas penyandang disabilitas dalam memberikan persetujuan tersebut, khususnya dalam UU TPKS dengan membandingkan pengaturan di Indonesia dengan sistem hukum Inggris dan Kanada, guna menemukan model pengaturan yang lebih jelas dan komprehensif dalam menentukan consent capacity.

II. Metode

Metode penelitian hukum dapat dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan jenisnya, yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris 10. Dalam kajian ini, metode penelitian yang dipilih adalah penelitian normative, seperti yang dijelaskan oleh Peter Mahmud dalam karyanya yang berjudul Penelitian Hukum. Penelitian normative didefinisikan sebagai aktivitas untuk menemukan kebenaran secara koheren sebagai respons terhadap masalah yang ada 11, dengan memanfaatkan data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, mencakup peraturan perundang-undangan, doktrin hukum, prinsi-prinsip hukum, asas hukum, serta bahan hukum sekunder seperti buku dan jurnal hukum yang relevan untuk studi ini 12. Pendekatan yang diterapkan dalam penulisan ini adalah pendekatan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan 12. Pendekatan perundang-undangan merupakan cara yang dilakukan dengan mengkaji semua undang-undang dan regulasi terkait isu hukum yang dibahas. Dalam konteks ini, UU TPKS yang menjadi fokus utama. Pendekatan perbandingan yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbandingan dengan negara Inggris dan Kanada.

III. Hasil dan Pembahasan

  1. Pengaturan Mengenai Persetujuan (Consent) Hubungan Seksual dalam Hukum Pidana di Indonesia

Persetujuan pada dasarnya dipahami sebagai tindakan memberikan izin, menyetujui suatu perbuatan, atau membiarkan seseorang melakukan sesuatu terhadap diri kita. Namun, meskipun konsep tersebut tampak sederhana secara teoritis, penerapannya dalam konteks hubungan atau aktivitas seksual jauh lebih rumit. Kompleksitas itu muncul karena persetujuan tidak hanya menyangkut ucapan atau tindakan lahiriah, tetapi juga berkaitan dengan kondisi psikologis, dinamika komunikasi antarindividu, serta pemahaman terhadap situasi yang sering kali bersifat intim dan sangat personal. Dalam kajiannya, GioVanni Corona, Emmanuele A. Jannini, dan Mario Maggi memperluas pemahaman mengenai sexual consent dengan menawarkan pendekatan multidimensional, yakni bahwa persetujuan harus dilihat melalui tiga lapisan pemaknaan yang berbeda namun saling berkelindan, sehingga penilaian terhadap sah atau tidaknya persetujuan tidak dapat dilepaskan dari konteks, kapasitas individu, serta kualitas relasi antara para pihak yang terlibat 13.

Pertama, persetujuan dipandang sebagai kondisi internal kesiapan, yakni keadaan batin atau kesiapsediaan seseorang untuk terlibat dalam aktivitas seksual tanpa paksaan, tekanan, maupun ketidaknyamanan. Pada dimensi ini, persetujuan tidak hanya menyangkut kata-kata yang diucapkan, tetapi juga mencakup keadaan psikologis yang genuine. Kedua, persetujuan dapat dipahami sebagai tindakan menyetujui secara eksplisit, yaitu ketika seseorang secara jelas dan tegas menyatakan kesediaannya, baik melalui ucapan maupun tindakan yang tidak menyisakan ambiguitas. Bentuk ini umumnya dianggap sebagai standar ideal karena memberikan kepastian mengenai adanya kehendak bebas. Ketiga, persetujuan dipahami sebagai perilaku yang ditafsirkan sebagai kesiapan, yakni ketika tindakan atau sikap seseorang ditafsirkan oleh pihak lain sebagai bentuk kesediaan untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Meskipun representasi ini sering terjadi dalam praktik, pendekatan ini juga mengandung risiko salah tafsir yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum, terutama ketika perilaku tersebut tidak mencerminkan kehendak yang sebenarnya.

Konsep mengenai “consent” dalam hubungan seksual perlu dimengerti hendaknya dapat memahami makna “tanpa persetujuan korban”. Sexual consent dalam hubungan seksual merupakan aktivitas seksual yang apabila dalam melakukan terdapat paksaan dan tidak adanya persetujuan dari salah satu pihak, merupakan kategori kekerasan seksual 14. Bahwa consent ini harus diberikan dengan penuh kesadaran dan tanpa adanya bebas dari unsur paksaan untuk melakukan perbuatan seksual, di mana konsep ini juga menyatakan bahwa consent juga suatu persetujuan jelas yang dibuat berdasarkan sukarela dan sadar tanpa adanya tekanan atau ancaman untuk berpartisipasi dalam aktivitas seksual meupun non-seksual. Dengan ini persetujuan yang sah harus diberikan secara sukarela, tanpa paksaan, ancaman, tiu muslihat maupun kondisi yang meniadakan kemampuan seseorang untuk memahami dan menghendaki perbuatan tersebut.

Tanpa adanya persetujuan seksual yang dijelaskan dalam jurnal milik Byrnes, muncul pertanyaan apakah individu perlu secara lisan mengucapkan “iya” atau “tidak” terhadap individu lain yang untuk berinteraksi seksual sebagai tanggung jawab untuk membuktikan atau jika persetujuan itu hanya dianggap sebagai elemen tambahan dalam menilai apakah suatu tindakan bisa digolongkan sebagai kekerasan seksual 15. Demikian hal ini menjadi faktor penting dalam mempertimbangkan niat seseorang yang melanggar persetujuan dalam interaksi seksual. Dalam hal seseorang perlu bisa membuktikan secara konkret bahwa ia mempercayai sepenuhnya bahwa pasangan seksualnya telah memberikan persetujuan atau tidak. Jika persetujuan seksual menjadi faktor penentu dalam mengubah sebuah tindakan menjadi tindak pidana, maka tanggung jawab untuk membuktikannya hanya berada pada argument persetujuan antara kedua belah pihak 16.

Dalam pembahasan nya jurnal yang ditulis oleh Scott, memberikan tiga bagian utama yang perlu dipertimbangkan dalam memahami consent to sexual behavior, yang meliputi rasionalitas, pengetahuan, dan kesukarelaan. Kapasitas untuk memberikan persetujuan dalam konteks ini adalah kemampuan seseorang untuk menyetujui aktivitas seksual 17. Lebih lanjut, rasionalitas yang dijelaskan oleh Scott mengacu pada kemampuan untuk mengevaluasi secara kritis, menimbang untung rugi serta membuat keputusan yang berpengetahuan. Kemudian pengetahuan merujuk pada suatu pemahaman tentang perilaku seksual, kemampuan memilih untuk menerima ataupun menolek perilaku seksual. Selain itu, keharusan sukarela yang mengacu pada kemampuan untuk mengambil langkah perlindungan diri terhadap gangguan, penyalahgunaan, dan eksploitasi yang tidak diinginkan.

Pembaharuan hukum pidana yang dikemukakan Barda Nawawi Arief dalam karyanya menegaskan bahwa setiap proses evaluasi maupun perubahan terhadap sistem pemidanaan harus berangkat dari nilai-nilai dasar, orientasi politik, landasan filosofis, dan budaya hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesi 18. Reformasi hukum pidana tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi fondasi bagi perumusan kebijakan kriminal, kebijakan sosial, serta praktik penegakan hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Dalam konteks pengaturan mengenai consent atau persetujuan seksual, sebelum hadirnya UU TPKS, hukum Indonesia belum memberikan definisi maupun pengaturan yang jelas. Meskipun unsur persetujuan sesungguhnya tersirat dalam beberapa ketentuan, konsep tersebut tidak pernah diatur secara eksplisit sebagai parameter sah atau tidaknya suatu tindakan seksual. KUHP lama, misalnya, hanya memberikan batasan melalui Pasal 285 yang menyatakan: “Barangsiapadengankekerasanatauancamankekerasanmemaksaseorangwanitabersetubuhdengandia di luarperkawinan” Rumusan tersebut memperlihatkan bahwa fokus utama hukum pidana klasik terletak pada adanya kekerasan atau ancaman sebagai unsur yang menentukan terjadinya tindak pidana, bukan pada ada atau tidaknya persetujuan dari pihak yang menjadi korban. Pendekatan seperti itu membatasi pemahaman mengenai kekerasan seksual semata-mata pada tindakan pemaksaan fisik, sehingga ruang lingkupnya tidak mampu menjangkau situasi di mana persetujuan sesungguhnya tidak pernah ada, tetapi korban tidak dapat menolak karena kondisi psikologis, relasional, atau ketidakmampuan kognitifnya.

Frasa yang terdapat pada bunyi pasal dengan unsur “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa” yang menunjukkan bahwa memaksa hubungan seksual yang dilakukan tanpa consent merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Tanpa adanya izin untuk berhubungan secara seksual, tidak selalu disertai dengan intimidasi, tetapi juga dapat melalui eksploitasi situasi. Oleh karena itu, undang-undang perlu mempunyai definisi atau pengaturan yang menyeluruh mengenai tindakan kekerasan seksual 19. Di sini menilai bahwa konsep persetujuan ini berhubungan dengan konsep tanpa paksaan yang memang dalam pasal-pasal KUHP diatas menekankan adanya frasa memaksa. Sedangkan melalui konsep persetujuan yang memang tidak dicantumkan dengan jelas dapat dilihat dalam Pasal 290 KUHP yang berbunyi: Barangsiapa yang melakukanperbuatancabuldenganseseorang, padahaldiketahuinyabahwa orang itupingsanatautidakberdaya…”. Dalam hal ini, KUHP lama menganut bahwa persetujuan yang sah haruslah dalam keadaan sadar yang dapat memahami makna perbuatan dan tanpa adanya unsur pemaksaan.

Karakteristik persetujuan dalam konteks relasi seksual dapat dianalisis baik dari sudut pandang umum maupun perspektif hukum, yang pada pokoknya menegaskan bahwa sexual consent yang sah harus memenuhi unsur-unsur tertentu. Dalam kerangka hukum pidana maupun perlindungan korban, persetujuan tidak sekadar dipahami sebagai kesediaan untuk terlibat dalam aktivitas seksual, tetapi merupakan ekspresi kehendak bebas yang lahir dari individu yang berwenang secara hukum untuk membuat keputusan mengenai tubuhnya 20:

  1. Persetujuan harus berasal dari pihak yang memiliki kecakapan hukum, yakni mereka yang cukup usia dan mampu secara mental untuk memahami konsekuensi dari tindakan seksual tersebut. Dengan demikian, anak dan penyandang disabilitas tertentu—yang secara hukum dinilai tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan yang valid—tidak dapat dianggap memberikan consent yang sah, sehingga setiap tindakan seksual terhadap mereka pada dasarnya berpotensi dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
  2. Persetujuan hanya dapat dinyatakan sah apabila diberikan tanpa keberadaan ancaman, baik berupa tekanan fisik, psikologis, maupun bentuk intimidasi lain yang berpotensi meniadakan kehendak bebas. Ancaman dalam konteks ini mencakup tindakan secara langsung ataupun terselubung yang menimbulkan rasa takut sehingga korban merasa tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui tindakan tersebut.
  3. Persetujuan harus diberikan tanpa paksaan, yakni tanpa tekanan, manipulasi, atau dominasi yang menghilangkan otonomi individu untuk membuat keputusan secara bebas. Unsur ini menegaskan bahwa persetujuan tidak dapat dianggap sah apabila muncul sebagai hasil dari situasi ketidakberdayaan, ketergantungan, relasi kuasa yang timpang, atau upaya memanipulasi psikologis seseorang.

Sejalan dengan karakteristik diatas, Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 55 Tahun 2024 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Perguruan Tinggi (yang selanjutnya disebut “Permendikbudristek 55/2024”) yang memberikan secara jelas, terang mengenai persetujuan (consent) yang ditentukan dalam Pasal 12 ayat (2), bahwa aktivitas seksual encakup element persetujuan yang melibatkan tindakan-tindakan berikut, “penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban; b. perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; c. penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual; d. perbuatan menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat Korban merasa tidak nyaman; e. pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban; f. perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; g. perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; h. penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; i. perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; j. perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu kepada Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui Korban; k. pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; l. perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; m. perbuatan membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; n. pemaksaan terhadap Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; o. praktik budaya komunitas Warga Kampus yang bernuansa Kekerasan seksual; p. percobaan perkosaan walaupun penetrasi tidak terjadi; q. perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; r. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk melakukan aborsi; s. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk hamil; t. pemaksaan sterilisasi; u. penyiksaan seksual; v. eksploitasi seksual; penyampaian ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban; b. perbuatan memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan Korban; c. penyampaian ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual; d. perbuatan menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau membuat Korban merasa tidak nyaman; e. pengiriman pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban; f. perbuatan mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; g. perbuatan mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; h. penyebaran informasi terkait tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban; i. perbuatan mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi; j. perbuatan membujuk, menjanjikan, atau menawarkan sesuatu kepada Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui Korban; k. pemberian hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual; l. perbuatan menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium, dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban; m. perbuatan membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban; n. pemaksaan terhadap Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual; o. praktik budaya komunitas Warga Kampus yang bernuansa Kekerasan seksual; p. percobaan perkosaan walaupun penetrasi tidak terjadi; q. perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin; r. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk melakukan aborsi; s. pemaksaan atau perbuatan memperdayai Korban untuk hamil; t. pemaksaan sterilisasi; u. penyiksaan seksual; v. eksploitasi seksual; w. perbudakan seksual; x. tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; y. pembiaran terjadinya Kekerasan seksual dengan sengaja; dan/atau z. perbuatan lain yang dinyatakan sebagai Kekerasan seksual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Bahwa seluruh tindakan ini dianggap sebagai pelanggaran ketika dilakukan tanpa adanya persetujuan, di mana keadaan tanpa persetujuan ini diatur secara jelas termasuk saat faktor usia masih dibawah dewasa, selanjutnya dalam situasi di mana korban mengalami paksaan atau terancam, juga dalam kondisi ketika korban berada di bawah pengaruh obat atau alcohol, korban yang sedang sakit, pingsan, atau tertidur, keadaan fisik ataupun mental korban dalam kondisi lemah, serta korban yang dalam situasi yang tidak stabil. Prinsip yang berkaitan dengan persetujuan ini mengadopsi asas yang menjelaskan bagaimana peristiwa maupun tindakan, menyertakan semua kelompok dengan cara yang etis untuk memberikan bentuk izin yang dilakukan dengan penuh kesadaran dan sah, serta dalam keadaan di mana tidak ada nya kelompok yang mengalami kerugian yang krusial. Sementara itu jika individu yang dalam situasi kurang mampu dalam melakukan suatu perlawanan bahkan protes lebih dahulu dalam bereaksi atas perlakuan yang diterima, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai suatu persetujaun, sehingga disimpulkan bahwa tidak memberikan reaksi tidak dapat diartikan sebagai persetujuan atas tindakan tersebut.

Dengan demikian, bahwa dapat dipahami dalam pengaturan mengenai persetujuan (consent) pada hukum pidana di Inonesia masih bersifat implisit seperti yang sudah diuraikan di atas. Meskipun Permendikbudristek 55/2024 telah memperkenalkan batasan yang lebih tegas mengenai tindakan yang dilakukan tanpa persetujuan, untuk hukum pidana secara umum sendiri belum memberikan definisi eksplisit tentang consent itu sendiri, yang mana hukum pidana masih memandang ketidaksetujuan hanya dengan adanya unsur paksaan dan ancaman. Dimana pandangan ini menunjukkan bahwa konsep consent belum dipahami sebagai bentuk persetujuan aktif yang harus diberikan secara bebas, sadar dan berkelanjutan.

  1. Perbandingan Pengaturan Consent Capacity Bagi Penyandang Disabilitas dalam Hubungan Seksual di Inggris dan Kanada

Persetujuan seksual (consent sexual) biasanya menunjukkan beberapa bentuk persetujuan untuk terlibat dalam aktivitas seksual dimana setiap orang yang dapat setuju itu haruslah tanpa ada nya ancaman, kekerasan atau paksaan untuk mendorong suatu persetujuan. Dalam pengambilan keputusan untuk menyetujui (consent) ini berkaitan dengan kapasitas seseorang dalam menilai dan memahami pemberian consent to capacity. Dalam buku yang ditulis oleh Stavis dan Walker-Hirsch memberikan daftar kriteria untuk menilai rasionalitas seseorang 21:

  1. Kesadaran terhadap orang, waktu, tempat dan peristiwa;
  2. Kemampuan untuk membedakan kebenaran dari fantasi dan kebohongan;
  3. Kemampuan untuk membedakan persetujuan seseorang dari persetujuan orang lain;
  4. Memiliki respon yang dapat dipahami terhadap pengalaman hidup; dan
  5. Kemampuan untuk melaksanakan pilihan terkait pengambilan keputusan.

Kriteria ini menegaskan bahwa capacity to consent harus dilihat dari aspek kognitif dan psikologis yang memungkinkan seseorang memahami konteks, risiko, dan konsekuensi dari tindakan seksual yang dilakukan. Dengan demikian, seseorang yang tidak memenuhi indikator tersebut dapat dikatakan tidak memiliki kapasitas penuh untuk memberikan persetujuan yang sah secara hukum.

Ketidakmampuan seseorang untuk memberikan persetujuan dalam konteks tindakan seksual dipahami sebagai kondisi dimana individu tersebut tidak memiliki kapasitas untuk menyatakan kehendak bebasnya. Dalam situasi demikian, persetujuan yang dianggap “bebas dan sadar” tidak mungkin diberikan, sehingga setiap tindakan seksual terhadap orang tersebut berpotensi melanggar hukum. Kondisi ini mencakup beberapa kategori individu yang secara hukum maupun secara faktual tidak mampu menyatakan persetujuan, antara lain mereka yang masih berusia di bawah umur, penderita penyakit akut yang memengaruhi fungsi kesadaran, orang dengan disabilitas intelektual atau sensorik, individu yang sedang tidur, pingsan, atau tidak sadar, serta mereka yang berada dalam situasi penyalahgunaan wewenang atau berada di bawah ancaman 8. Dalam kerangka ini, penyandang disabilitas yang memiliki hambatan mental maupun fisik sering kali dinilai tidak memiliki kapasitas penuh untuk memahami, mengevaluasi, dan menyetujui konsekuensi dari suatu aktivitas seksual. Oleh karena itu, hukum memandang bahwa persetujuan yang diberikan dalam kondisi seperti ini tidak dapat dianggap sah. Prinsip tersebut hadir untuk memberikan perlindungan maksimal bagi kelompok rentan, memastikan bahwa setiap bentuk tindakan seksual harus berlandaskan pada kehendak bebas dan kesadaran penuh dari pihak yang terlibat, serta untuk mencegah eksploitasi atau penyalahgunaan relasi kuasa yang dapat menghilangkan otonomi dan martabat seseorang.

Dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (“CRPD”), khususnya Pasal 1, ditegaskan bahwa penyandang disabilitas mencakup individu dengan hambatan fisik, mental, intelektual, atau sensorik jangka panjang yang, dalam interaksinya dengan berbagai bentuk hambatan lingkungan maupun sosial, dapat membatasi partisipasi mereka secara penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan prinsip kesetaraan. Rumusan ini kemudian diadopsi dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016, yang pada Pasal 1 angka 1 mendefinisikan penyandang disabilitas sebagai individu yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik. Keterbatasan tersebut diakui sebagai faktor yang dapat menghalangi seseorang untuk berpartisipasi secara setara dengan warga masyarakat lainnya. Pengertian serupa juga tercermin dalam UU TPKS. Dalam Pasal 1 angka 8, undang-undang tersebut memberikan batasan definisional yang pada dasarnya sejalan dengan CRPD dan UU 8/2016, yakni dengan menempatkan penyandang disabilitas sebagai kelompok yang memiliki karakteristik khusus dan karenanya memerlukan perlindungan tambahan. Keselarasan definisi tersebut menunjukkan bahwa kerangka hukum Indonesia berupaya menegaskan kembali bahwa disabilitas bukan sekadar persoalan kondisi individu, tetapi merupakan hasil interaksi antara keterbatasan yang dimiliki seseorang dan hambatan sosial yang menghalangi terpenuhinya hak-hak mereka secara setara.

Penyandang disabilitas dipandang sebagai kelompok yang memiliki tingkat kerentanan lebih tinggi terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual, suatu kondisi yang tidak terlepas dari keterbatasan fisik, mental, intelektual, maupun sensorik yang mereka alami. Kerentanan ini mendorong negara, melalui UU TPKS, untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat dan bersifat afirmatif. Salah satu bentuk perlindungan tersebut tercermin dalam Pasal 15 ayat (1) huruf h UU TPKS, yang menetapkan bahwa pelaku kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas dapat dijatuhi pidana dengan penambahan sepertiga dari ancaman hukuman pokok. Ketentuan ini menunjukkan pengakuan legislator bahwa tindak kekerasan yang menyasar kelompok rentan memiliki tingkat keseriusan yang lebih tinggi, karena dampak yang ditimbulkan kerap berlipat dan berlangsung dalam jangka panjang.

Dalam konteks tersebut, isu mengenai kapasitas penyandang disabilitas menjadi sangat penting. Penyandang disabilitas sering kali menghadapi hambatan kognitif, emosional, atau komunikatif yang dapat mengganggu kemampuan mereka untuk memahami situasi, menilai risiko, serta menyatakan persetujuan secara bebas dan sadar. Ketidakmampuan ini berimplikasi langsung pada validitas consent dalam hubungan seksual. Oleh karena itu, perlindungan hukum yang diberikan tidak hanya bertujuan menghukum pelaku lebih berat, tetapi juga memastikan bahwa kondisi keterbatasan penyandang disabilitas diakui sebagai faktor yang memengaruhi kapasitas mereka dalam memberikan persetujuan yang sah, sehingga negara wajib mengedepankan pendekatan yang lebih manusiawi, berkeadilan, dan berperspektif korban.

Berdasarkan Pasal 6 huruf c UU TPKS yang berbunyi: Setiap Orang yang menyalahgunakankedudukan, wewenang, kepercayaan, atauperbawa yang timbuldaritipumuslihatatauhubungankeadaanataumemanfaatkankerentanan, ketidaksetaraanatauketergantunganseseorang, memaksaataudenganpenyesatanmenggerakkan orang ituuntukmelakukanataumembiarkandilakukanpersetubuhanatauperbuatancabul UU TPKS pada pasal di atas menekankan unsur ‘memaksa’ sebagai tindakan pelecehan seksual dimana korban dianggap tidak menyetujui jika berada dalam keadaan dipaksa, diancam. Ketentuan ini menunjukkan bahwa penilaian terhadap adanya consent masih berorientasi pada keberadaan paksaan atau ancaman.

Padahal, dalam konteks penyandang disabilitas, persoalan utama bukan pada adanya paksaan melainkan pada kemampuan individu memahami dan menilai tindakan seksual itu sendiri. Demikian UU TPKS tidak mengatur secara jelas mengenai batas dimana seseorang dapat dikatakan memberikan kapasitas untuk setuju dan tidak setuju nya dalam perbuatan dengan aktivitas seksual. Terlebih korban kekerasan seksual seringkali memperoleh pandangan sebagai aib dan biasanya korban yang disalahkan, hal ini yang menjadi dasar pemikiran bahwa terlepas korban yang menjadi korban kekerasan seksual tidak setuju (lack of consent) pandangan masyarakat tetap menilai ada nya keterlibatan korban yang menyebabkan suatu tindak pidana kekerasan seksual itu terjadi.

Berdasarkan The Mental Capacity Act 2005 (“MCA”), orang dewasa yang dinilai tidak memiliki kapasitas mental dapat dikenai pembatasan untuk mencegah mereka terlibat dalam aktivitas seksual. Ketentuan ini ditujukan bagi individu yang kapasitas kognitifnya terganggu akibat kelainan atau penurunan fungsi pikiran maupun otak, sehingga mereka tidak mampu memahami atau menilai konsekuensi dari aktivitas seksual tersebut. Tujuan utama MCA bukanlah melarang hubungan seksual secara umum, melainkan memastikan perlindungan bagi individu yang tidak dapat memberikan persetujuan yang sah. Kerangka ini menekankan bahwa hubungan seksual hanya dapat dilakukan apabila semua pihak benar-benar memiliki kemampuan mental untuk memberikan persetujuan yang bebas, sadar, dan diinformasikan; ketika kapasitas tersebut tidak terpenuhi, negara memiliki dasar hukum untuk melakukan intervensi demi menjaga keselamatan dan martabat individu yang rentan.

Selanjutnya penelitian nya Scott menyebutkan bahwa dibandingkan dengan populasi umum, orang dengan disabilitas terkhusus nya disabilitas intelektual kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang hak mereka yang dapat meningkatkan kerentanan dan risiko mereka terhadap pelecehan seksual. Demikian pula menurut Murphy dan O’Callaghan dalam penelitian nya dimana orang dewasa dengan disababilitas intelektual secara signifikan kurang mengetahui hampir semua aspek seksual dan lebih rentan terhadap penyalahgunaan, terkadang kesulitan membedakan hubungan yang bersifat penyalahgunaan dengan hubungan yang bersifat persetujuan 22.

Dalam pengaturan inggris yang secara jelas mengatur mengenai consent pada Sexual Offences Act 2003 Section 4.1 yang berbunyi: “A person (A) commits an offence if—

  1. He intentionally causes another person (B) to engage in an activity,
  2. The activity is sexual,
  3. B does not consent to engaging in the activity, and
  4. A does not reasonably believe that B consents.”

Bahwa dalam pengaturan diatas menyebutkan dengan perbuatan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ada nya conenst itu dinyatakan dalam Pasal 4.1 itu seseorang melakukan perbuatan yang merupakan aktivitas seksual kemudian seseorang yang mendapat perlakuan tersebut tidak menyetujui, sehingga hal tersebut dinyatakan sebagai suatu tidak ada nya consent.

Kemudian mengenai consent to capacity penyandang disabilitas yang diatur dalam Sexual Offences Act 2003 Section 30.1 dengan bunyi: “A person (A) commits an offence if—

  1. he intentionally touches another person (B),
  2. the touching is sexual,
  3. B is unable to refuse because of or for a reason related to a mental disorder, and
  4. A knows or could reasonably be expected to know that B has a mental disorder and that because of it or for a reason related to it B is likely to be unable to refuse.”

Bahwa dalam peraturan tersebut menyebutkan jika seseorang melakukan perbuatan dengan sengaja bertujuan untuk sebuah aktivitas seksual kemudian orang yang mendapatkan perbuatan tersebut tidak dapat menolak karena dengan alasan gangguan mentl, dimana seseorang itu mengetahui bahwa orang tersebut memiliki gangguan mental.

Selanjutnya pada Section 30.2:“B is unable to refuse if—

  1. he lacks the capacity to choose whether to agree to the touching (whether because he lacks sufficient understanding of the nature or reasonably foreseeable consequences of what is being done, or for any other reason), or
  2. he is unable to communicate such a choice to A.”

Bahwa dalam pasal ini menyebutkan korban yang merupakan gangguan mental dinilai tidak dapat menolak sehingga dalam hal ini dia tidak memiliki kapasitas untuk memilih apakah akan menyetujui sentuhan secara seksual tersebut disamping apakah karena dia tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang sifat atau konsekuensi yang dapat diperkirakan secara wajar dari apa yang sedang dilakukan. Sehingga korban tidak dapat mengkomunikasikan pilihan itu kepada pelaku.

Melalui artikel yang di publis oleh Cambridge University Press, bahwa Undang-Undang Kejahatan Seksual tahun 2003 tersebut mengatur tentang pelanggaran terhadap orang dengan gangguan mental yang menghalangi pilihan, terdapat dalam Bagian 30 sampai 33 dan pelanggaran mengenai bujukan, ancaman, atau penipuan untuk mendapatkan aktivitas seksual dengan orang dengan gangguan mental pada Bagian 34 sampai 37. Dimana pelanggaran ini mencakup berbagai perilaku yang tidak pantas, termasuk aktivitas/sentuhan seksual, menyebabkan atau menghasut aktivitas seksual, terlibat dalam aktivitas seksual di hadapan orang dengan mental, menyebabkan orang dengan gangguan mental menonton tindakan seksual dan perilaku serupa yang disebabkan oleh ancaman atau penipuan 23.

Pada buku yang berisikan diskusi mengenai Defining Sexual Consent yang ditulis oleh The New York Times Editor Staff memberikan pendapat mengenai Capacity, yaitu 24: “Capacity means that someone who is under severe influence of drink or drugs; someone who may be young or have certain learning disabilities; or who is asleep, may not be able to consent to sex.” Bahwa kapasitas dalam memberikan persetujuan seksual diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk secara sadar memahami dan menyetujui tindakan seksual yang dilakukan. Hal ini merujuk pada seseorang yang berada di bawah pengaruh berat alcohol atau obat-obatan, anak, memiliki disabilitas intelektual tertentu, atau sedang tertidur dianggap tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan.

Dalam Sexual Offences Act 2003 di Inggris dan Wales yang memberikan perlindungan khusus terhadap penyandang disabilitas dengan mental yang mengganggu kapasitas untuk menyetujui persetubuhan, dimana di dalam undang-undang ini menetapkan kejahatan seseorang secara sengaja menyentuh secara seksual orang lain yang tidak mampu menolak karena disabilitas mentalnya dan seseorang itu tahu atau bisa memperkirakan secara wajar bahwa kondisi tersebut membuat orang lain yang karena disabilitas mental tidak bisa menolak.

Sementara itu, hukum Kanada melalui Criminal Code Canada R.S.C., 1985 c. C-46 Pasal 153.1(1) yaitu sexual exploitation of person with disability bahwa:“Every person who is in a position of trust or authority towards a person with a mental or physical disability or who is a person with whom a person with a mental or physical disability is in a relationship of dependency and who, for a sexual purpose, counsels or incites that person to touch, without that person’s consent, his or her own body, the body of the person who so counsels or incites, or the body of any other person, directly or indirectly, with a part of the body or with an object, is guilty of

  1. an indictable offence and liable to imprisonment for a term not exceeding 10 years; or
  2. an offence punishable on summary conviction.”

Bahwa sebagaimana diatur dalam Criminal Code Canada Section 153.1 (1), dimana Kanada secara tegas mengakui dalam hubungan antara penyandang disabilitas dan orang yang berada dalam posisi otoritas atau kepercayaan, tidak ada persetujuan yang benar-benar bebas. Sehingga kapasitas persetujuan dianggap tidak valid jika ada ketimbangan kuasa dan kondisi disabilitas mental atau fisik yang membuat seseorang tidak sepenuhnya memahami atau mampu menolak ajakan seksual. Lebih lanjut, peraturan Kanada memberikan definisi mengenai consent itu sendiri, yaitu: “(2) Subject to subsection (3), consent means, for the purposes of this section, the voluntary agreement of the complainant to engage in the sexual activity in question. Consent(2.1) Consent must be present at the time the sexual activity in question takes place.” Bahwa pada Pasal ini memberikan penegasan consent bukan hanya tidak adanya paksaan, melainkan juga harus ada persetujuan aktif dan sadar. Dimana kapasitas untuk memberikan consent harus ada pada suatu tindakan. Jadi jika seseorang sedang tidak sadar, memiliki gangguan mental atau berada di bawah tekanan, maka persetujuan itu tidak sah secara hukum.

Selain itu, dalam artikel yang ditulis oleh Jonathan Pyzer menyebutkan bahwa persetujuan consent didefinisikan oleh Criminal Code Canada dalam pada Pasal 273.1(1) yaitu suatu perjanjian sukarela yang melibatkan seseorang dengan orang lain dalam aktivitas seksual yang bersangkutan. Sehingga definisi ini menekankan pentingnya keadaan pikiran individu, membutuhkan kesepakatan yang jelas dan afirmatif baik melalui kata-kata atau perilaku pada saat aktivitas 25. Kemudian Criminal Code Canada Section 153.1 (3) memberikan beberapa bentuk persetujuan yang tidak diperoleh, diantaranya: “For the purposes of this section, no consent is obtained if

(a.1)  the complainant is unconscious;

  1. the agreement is expressed by the words or conduct of a person other than the complainant;
  2. the complainant is incapable of consenting to the activity for any reason other than the one referred to in paragraph (a.1);
  3. the accused counsels or incites the complainant to engage in the activity by abusing a position of trust, power or authority;
  4. the complainant expresses, by words or conduct, a lack of agreement to engage in the activity; or
  5. the complainant, having consented to engage in sexual activity, expresses, by words or conduct, a lack of agreement to continue to engage in the activity.”

Dalan sistem hukum Kanada, batasan mengenai kapasitas persetujuan diatur secara eksplisit dalam Criminal Code Section 153.1 (3), yang menegaskan bahwa seseorang dianggap tidak memberikan persetujuan apabila berada dalam kondisi tidak sadar, tidak mampu memberikan persetujuan karena keterbatasan tertentu, atau ketika persetujuan tersebut diperoleh melalui penyalahgunaan kekuasaan. Ketentuan ini mencerminkan pengakuan hukum terhadap konsep consent capacity yang memastikan bahwa hanya individu yang secara sadar dan rasional memahami tindakan seksual yang dapat memberikan persetujuan yang sah.

Jika dibandingkan dengan pengaturan di negara yang telah disebutkan diatas seperti Inggris dan Kanada, yang terlihat adanya perbedaan mendasar dalam cara hukum memandang konsep consengt capacity. Inggris melalui Sexual Offences Act 2003 dan the Mental Capacity Act 2005 secara jelas mengatur bahwa seseorang yang tidak memiliki kapasitas mental, baik karena gangguan fungsi kognitif maupun keterbatasan intelektual, wajib dicegah dari melakukan maupun menjadi subjek dalam hubungan seksual. Regulasi tersebut menekankan bahwa kapasitas untuk memberikan persetujuan haruslah didasarkan pada kemampuan individu untuk memahami, menilai, dan membuat keputusan secara sadar atas tindakan yang akan dilakukan. Sementara itu, dalam sistem hukum Kanada, Criminal Code Section 273.1 juga menegaskan bahwa tidak ada persetujuan yang dianggap sah apabila pihak yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan tersebut, atau ketika persetujuan diberikan dalam situasi penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan, maupun ketergantungan. Sejalan denganpendapat Van Hamel, yang menjelaskan bahwa kemampuan ini dinyatakan bertanggungjawab jika kondisi kesiapan dan kenormalan psikis mencakup kemampuan lain terkait arah dan tujuan factual dari perbuatan sendiri 26.

Berbeda dengan kedua yurisdiksi tersebut, Indonesia hingga kini belum membangun kerangka hukum yang secara tegas menilai maupun menentukan kapasitas seseorang untuk memberikan persetujuan dalam konteks relasi seksual. Baik KUHP maupun UU TPKS belum memberikan definisi yang komprehensif mengenai persetujuan, karena konsep “tanpa persetujuan” masih dipersempit pada adanya tekanan yang bersifat eksternal, seperti paksaan atau ancaman yang dilakukan oleh pelaku. Konstruksi hukum pidana Indonesia masih bertumpu pada keberadaan unsur pemaksaan sebagai parameter utama, sehingga belum sepenuhnya mengakomodasi situasi di mana seseorang secara psikologis, sosial, atau kondisi lainnya tidak memiliki kapasitas nyata untuk memberikan persetujuan yang bebas dan otonom. Hal ini menunjukkan bahwa pengaturan nasional masih berkutat pada pendekatan tradisional yang menitikberatkan pada tindakan pelaku, alih-alih menilai kondisi dan kerentanan korban sebagai bagian integral dari penentuan ada atau tidaknya persetujuan.

Akibat ketiadaan pengaturan yang mengakui kapasitas individu dalam memberikan persetujuan, penyandang disabilitas kerap ditempatkan dalam posisi yang sangat rentan terhadap berbagai bentuk eksploitasi seksual. Kerentanan ini diperparah oleh absennya norma yang secara tegas mengakui bahwa ketidakmampuan mereka untuk memberikan persetujuan yang sah seharusnya dipandang sebagai bentuk kekerasan atau setidaknya sebagai pelanggaran serius terhadap hak atas integritas tubuh. Dalam perkembangan pemikiran hukum modern, konsep consent tidak lagi direduksi sekadar sebagai kondisi “tidak adanya penolakan”, melainkan sebagai ekspresi kesediaan yang lahir dari kesadaran penuh, kemampuan menimbang secara rasional, serta kebebasan dari tekanan, manipulasi, atau situasi yang tidak dipahami oleh pihak yang dimintai persetujuan.

VII. Simpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap konsep consent dalam hukum pidana di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pengaturan mengenai persetujuan dalam konteks hubungan seksual masih bersifat terbatas dan belum secara eksplisit mengatur mengenai kapasitas seseorang dalam memberikan persetujuan tersebut. Dalam kedua sistem hukum yang menjadi perbandingan tersebut, seseorang dianggap tidak mampu memberikan persetujuan apabila secara mental atau intelektual tidak memiliki kapasitas untuk memahami makna dan konsekuensi dari tindakan seksual yang dilakukan. Prinsip ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum terhadap penyandang disabilitas tidak hanya diberikan setelah terjadinya tindak kekerasan seksual, tetapi juga dilakukan secara preventif untuk mencegah terjadinya eksploitasi atas keterbatasan mereka.

Indonesia sendiri belum memiliki ketentuan yang menilai consent capacity sebagai dasar untuk menentukan sah atau tidaknya persetujuan dalam hubungan seksual, sehingga penyandang disabilitas masih berada dalam posisi rentan terhadap kekerasan seksual yang tidak mudah dibuktikan secara hukum. Oleh karena itu, diperlukan pembaharuan hukum yang menegaskan batasan dan indikator kapasitas persetujuan, baik melalui revisi peraturan yang sudah ada maupun pembentukan regulasi baru. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa hukum pidana Indonesia mampu memberikan perlindungan komprehensif bagi penyandang disabilitas, sekaligus menegakkan prinsip-prinsip kesetaraan, martabat manusia, dan hak atas integritas tubuh sebagaimana dijamin dalam Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD).

Referensi

[2]A. Fahira, “CATAHU 2024: 445.502 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Naik Hampir 10%!,” Bimbang Perempuan. [Online]. Available: http://bincangperempuan.com/catahu-2024-445-502-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-naik-hampir-10/

[3]N. Martono, Sosiologi Pendidikan Michel Foucault: Pengetahuan, Kekuasaan, Disiplin, Hukuman dan Seksualitas. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.

[4]A. Wijaya and W. P. Ananta, Darurat Kejahatan Seksual. Jakarta: Sinar Grafika, 2016.

[5]M. Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung: Refika Aditama, 2012.

[6]A. M. Lambros and A. Murray, “Capacity to Consent to Sexual Activity Among Individuals with Intellectual Disability,” J. Am. Acad. Psychiatry Law Online, vol. 53, no. 3, pp. 312–313, 2025, doi: https://doi.org/10.29158/JAAPL.250050-25.

[7]M. MD, “Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dengan Disabilitas,” Rumah KitaB. Accessed: Nov. 15, 2025. [Online]. Available: https://rumahkitab.com/kekerasan-seksual-terhadap-perempuan-dengan-disabilitas/

[8]A. M. Amborski, E.-L. Bussières, M.-P. Vaillancourt-Morel, and C. C. Joyal, “Sexual Violence Against Persons With Disabilities: A Meta-Analysis,” Trauma, Violence, Abus., vol. 23, no. 4, pp. 1330–1343, 2021, doi: https://doi.org/10.1177/1524838021995975.

[9]R. Zulfiko, “Paradigma Sexual Consent Dalam Pembaharuan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” Pagaruyuang Law J., vol. 5, no. 2, pp. 104–122, 2022.

[10]I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Nomatif dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta: Prenada Media Group, 2016.

[11]R. F. Fansuri and J. Matheus, “Enforcement of Human Rights through Criminal Law Against Environmental Destruction Due to Batik Industry Activities,” Indones. J. Crim. Law Stud., vol. 7, no. 2, pp. 291–316, 2022, doi: https://doi.org/10.15294/ijcls.v7i2.

[12]P. M. Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, 19th ed. Jakarta: Prenada Media Group, 2019.

[13]G. Corona, E. A. Jannini, and M. Maggi, Emotional, Physical and Sexual Abuse: Impact on Individuals, Couples, Children and Minorities. Switzerland: Springer International Publishing, 2024.

[14]R. Rahmasari, “Analisa Makna ‘Persetujuan’ dalam Pemendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 terhadap Fenomena Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang Dianggap sebagai Upaya Legitimasi Terhadap Perzinaan,” J. PENEGAKAN Huk. DAN KEADILAN, vol. 3, no. 1, pp. 78–89, 2022, doi: https://doi.org/10.18196/jphk.v3i1.13484.

[15]C. T. Byrnes, “Putting the Focus Where it Belongs: Mens Rea, consent, Force, and The Crime of Rape,” Yale JL Fem., vol. 10, p. 277, 1998.

[16]C. L. Saunders, “Rape as ‘one person’s word against another’s’: challenging the conventional wisdom,” Int. J. Evid. Proof, vol. 22, no. 2, 2018, doi: https://doi.org/10.1177/1365712718766478.

[17]S. J. Modell, “Capacity to Consent to Sexual Behavior and Adults with Intellectual Disabilities,” JSM Sex. Med., vol. 5, no. 3, p. 1077, 2021.

[18]B. N. Arief, Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru). Semarang: Kencana Prenada Media Group, 2008.

[19]E. Gretgrix and C. Farmer, “Heteronormative Assumptions and Expectations of Sexual Violence: Language and Inclusivity Within Sexual Violence Policy in Australian Universities,” Sex. Res. Soc. Policy, vol. 20, pp. 735–750, 2022, doi: https://doi.org/10.1007/s13178-022-00718-7.

[20]A. Fransiska and D. Sergio, “Pelanggaran Conditional Consent dalam Hubungan Seksual: Analisis terhadap Undang-Undang TPPKS,” J. Penelit. Pendidik. Indones., vol. 10, no. 4, pp. 672–681, 2024, doi: https://doi.org/10.29210/020244658.

[21]P. F. Stavis and L. W. Walker-Hirsch, Consent to sexual activity. Washington, DC.: American Association on Intellectual and Developmental Disabilities, 1999.

[22]G. H. Murphy and A. O’Callaghan, “Capacity of adults with intellectual disabilities to consent to sexual relationships,” Psychol. Med., vol. 34, no. 7, pp. 1347–1357, 2004, doi: 10.1017/s0033291704001941.

[23]M. Curtice and E. Kelson, “The Sexual Offences Act 2003 and people with mental disorders,” Psychiatrist, vol. 35, no. 7, pp. 261–265, 2011, doi: https://doi.org/10.1192/pb.bp.110.033076.

[24]The New York Times Editorial Staff, Defining Sexual Consent: Where The Law Falls Short. New York: Rosen Publishing, 2019.

[25]J. Pyzer, “What is Sexual Consent?,” Pyzer Criminal Lawyers. Accessed: Nov. 10, 2025. [Online]. Available: https://www.torontodefencelawyers.com/sexual-consent/#:~:text=Sexual consent is a fundamental,to engage in sexual activity.

[26]J. Remmelink, Hukum Pidana. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2014.

References

A. D. Saputra, “Analisis Yuridis Pasal 28G Ayat (2) UUD 1945 Terhadap Kasus Tindak Kekerasan oleh Aparat Kepolisian (Studi Kasus Saka Tatal Putusan Nomor 16/Pid.Sus-Anak/2016/Pn Cbn),” FKPH Brawijaya, 2016. [Online]. Available: https://fkphbrawijaya.or.id/docs/analisis-yuridis-pasal-28g-ayat-2-uud-1945-terhadap-kasus-tindak-kekerasan-oleh-aparat-kepolisian-studi-kasus-saka-tatal-putusan-nomor-16-pid-sus-anak-2016-pn-cbn/

A. Fahira, “CATAHU 2024: 445.502 Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Naik Hampir 10%!” Bimbang Perempuan, 2024. [Online]. Available: http://bincangperempuan.com/catahu-2024-445-502-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-naik-hampir-10/

N. Martono, Sociology of Education: Michel Foucault—Knowledge, Power, Discipline, Punishment, and Sexuality. Jakarta, Indonesia: Rajawali Pers, 2014.

A. Wijaya and W. P. Ananta, Darurat Kejahatan Seksual. Jakarta, Indonesia: Sinar Grafika, 2016.

M. Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Perempuan. Bandung, Indonesia: Refika Aditama, 2012.

A. M. Lambros and A. Murray, “Capacity to Consent to Sexual Activity Among Individuals With Intellectual Disability,” Journal of the American Academy of Psychiatry and the Law, vol. 53, no. 3, pp. 312–313, 2025.

M. MD, “Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Dengan Disabilitas,” Rumah KitaB, 2023. [Online]. Available: https://rumahkitab.com/kekerasan-seksual-terhadap-perempuan-dengan-disabilitas/

A. M. Amborski, E.-L. Bussières, M.-P. Vaillancourt-Morel, and C. C. Joyal, “Sexual Violence Against Persons With Disabilities: A Meta-Analysis,” Trauma, Violence & Abuse, vol. 23, no. 4, pp. 1330–1343, 2021.

R. Zulfiko, “Paradigma Sexual Consent Dalam Pembaharuan Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” Pagaruyuang Law Journal, vol. 5, no. 2, pp. 104–122, 2022.

I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif Dalam Justifikasi Teori Hukum. Jakarta, Indonesia: Prenada Media Group, 2016.

R. F. Fansuri and J. Matheus, “Enforcement of Human Rights Through Criminal Law Against Environmental Destruction Due to Batik Industry Activities,” Indonesian Journal of Criminal Law Studies, vol. 7, no. 2, pp. 291–316, 2022.

P. M. Marzuki, Penelitian Hukum, 19th ed. Jakarta, Indonesia: Prenada Media Group, 2019.

G. Corona, E. A. Jannini, and M. Maggi, Emotional, Physical and Sexual Abuse: Impact on Individuals, Couples, Children, and Minorities. Cham, Switzerland: Springer International Publishing, 2024.

R. Rahmasari, “Analisa Makna ‘Persetujuan’ Dalam Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 Terhadap Fenomena Kekerasan Seksual,” Jurnal Penegakan Hukum dan Keadilan, vol. 3, no. 1, pp. 78–89, 2022.

C. T. Byrnes, “Putting the Focus Where It Belongs: Mens Rea, Consent, Force, and the Crime of Rape,” Yale Journal of Law & Feminism, vol. 10, p. 277, 1998.

C. L. Saunders, “Rape as ‘One Person’s Word Against Another’s’: Challenging the Conventional Wisdom,” International Journal of Evidence & Proof, vol. 22, no. 2, 2018.

S. J. Modell, “Capacity to Consent to Sexual Behavior and Adults With Intellectual Disabilities,” JSM Sexual Medicine, vol. 5, no. 3, p. 1077, 2021.

B. N. Arief, Kebijakan Hukum Pidana: Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru. Semarang, Indonesia: Kencana Prenada Media Group, 2008.

E. Gretgrix and C. Farmer, “Heteronormative Assumptions and Expectations of Sexual Violence: Language and Inclusivity Within Sexual Violence Policy in Australian Universities,” Sexuality Research and Social Policy, vol. 20, pp. 735–750, 2022.

A. Fransiska and D. Sergio, “Pelanggaran Conditional Consent Dalam Hubungan Seksual: Analisis Terhadap Undang-Undang TPPKS,” Jurnal Penelitian Pendidikan Indonesia, vol. 10, no. 4, pp. 672–681, 2024.

P. F. Stavis and L. W. Walker-Hirsch, Consent to Sexual Activity. Washington, DC: American Association on Intellectual and Developmental Disabilities, 1999.

G. H. Murphy and A. O’Callaghan, “Capacity of Adults With Intellectual Disabilities to Consent to Sexual Relationships,” Psychological Medicine, vol. 34, no. 7, pp. 1347–1357, 2004.

M. Curtice and E. Kelson, “The Sexual Offences Act 2003 and People With Mental Disorders,” The Psychiatrist, vol. 35, no. 7, pp. 261–265, 2011.

The New York Times Editorial Staff, Defining Sexual Consent: Where the Law Falls Short. New York, USA: Rosen Publishing, 2019.

J. Pyzer, “What Is Sexual Consent?” Pyzer Criminal Lawyers, 2025. [Online]. Available: https://www.torontodefencelawyers.com/sexual-consent/

J. Remmelink, Hukum Pidana. Jakarta, Indonesia: Gramedia Pustaka Utama, 2014.