Environmental Law
DOI: 10.21070/jihr.v4i2.25

Legal Mismatch on Illegal Sand Mining in Indonesia: an Example in Sleman, Indonesia


Ketidaksesuaian Hukum Pada Penambangan Pasir Ilegal di Indonesia: Contoh di Sleman, Indonesia)

Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Indonesia
Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Indonesia

(*) Corresponding Author

illegal sand mining reclamation environmental law

Abstract

The purpose of this study was to determine the implementation of regulations on illegal sand mining activities in Sleman Regency. The approach used is a legal regulation approach. The results of the study found that the implementation of regulations in illegal sand mining activities in Sleman Regency had not been implemented properly. In fact there are many violations committed by miners in running their businesses, and many mining activities are carried out illegally without having a mining business permit. In addition, the obstacle faced in implementing the regulation is that the miners believe that the sand they take is a blessing due to the eruption of Mount Merapi, so they assume that they can mine in large quantities. In addition, there are limitations to regional budgets that often become obstacles in implementing reclamation as an act of restoring environmental damage carried out by the Environment Agency both at the provincial and district / city levels as well as the limited number of personnel and experts.

Pendahuluan

Dasar konstitusional pengelolaan lingkungan atau sumber daya alam di negara Indonesia tercantum di dalam Pasal 33 ayat(3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa ”Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut dijabarkan dalam UU Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diubah dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan telah diubah lagi dengan UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Ketentuan Pasal 3 UUPPLH antara lain menentukan bahwa tujuan pengelolaan lingkungan hidup adalah untuk menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia serta menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Namun demikian kenyataannya penambangan pasir ilegal dan liar di berbagai tempat di wilayah Kabupaten Sleman dirasakan sudah mengganggu lingkungan dan masyarakat sekitar. Penambangan dengan angkutan kendaraan besar sudah rusak beberapa ruas jalan, selain itu banyak penambang tradisional yang kalah bersaing. Meskipun beberapa kali dilakukan operasi penertiban baik penambangan dengan menggunakan alat berat backhoe maupun penambangan secara tradisional tetap saja terus berlangsung.

Lingkungan hidup sebagai media hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan unsur alam yang terdiri dari berbagai macam proses ekologi yang merupakan suatu kesatuan. Proses-proses tersebut merupakan mata rantai atau siklus penting yang menentukan daya dukung lingkungan hidup terhadap pembangunan. Lingkungan hidup juga mempunyai fungsi sebagai penyangga perikehidupan yang sangat penting, oleh karena itu pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaannya dalam keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan dan rehabilitasi serta usaha pemeliharaan keseimbangan antara unsur-unsur secara terus menerus.

Di Indonesia, dampak negatif kegiatan pertambangan sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita, karena sudah banyak diekspos di berbagai media cetak dan seminar-seminar berskala nasional. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Indonesia yang paling sering meneriakkan dampak buruk industri pertambangan adalah WALHI (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan JATAM (Jaringan Advokasi Tambang). Secara lebih khusus lagi di Indonesia, Pemerintah RI sudah mengatur mengenai penggolongan jenis-jenis bahan galian yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 27 Tahun 1980 tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa penggolongan bahan galian ada tiga yaitu: a) Bahan galian Strategis yang berarti strategis untuk pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara, misalnya minyak bumi, gas alam, batubara, uranium, nikel, timah, dan lain-lain. b) Bahan galian Vital yang berarti dapat menjamin hajat hidup orang banyak, misalnya emas, perak, tembaga, besi, seng, belerang, mangan, zirkon, dan lain-lain. c) Bahan galian yang tidak termasuk bahan galian Strategis dan Vital dikarenakan sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, misalnya batu permata, kaolin, marmer, pasir kuarsa, batu kapur, andesit, pasir, besi, dan lain-lain.

Penambangan galian C, khususnya pasir yang terjadi di lereng Gunung Merapi sangat sulit dihentikan. Pasalnya, para penambang menganggap bahwa pasir yang mereka ambil dari sungai merupakan berkah akibat adanya erupsi Gunung Merapi dan mereka menganggap pasir tersebut tak ada yang memilikinya, sehingga mereka menambang dalam jumlah yang sangat banyak. Penambangan pasir di wilayah lereng Gunung Merapi terjadi secara legal (resmi) dan illegal (penambangan liar). Padahal selama ini, penambangan galian C cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan karena penambangan pasir dilakukan ditempat yang tidak sesuai.

Penambangan pasir di Kali Opak, Dusun Batur, Kepuharjo, Cangkringan dikeluhkan warga karena menyebabkan rusaknya fasilitas jalan di daerah konservasi tersebut. Setiap hari tak kurang dari 100 truk pengangkut pasir beroperasi di daerah yang berlokasi di sebelah timur Merapi Golf tersebut. Tambang seluas 2,2 hektare tersebut diperkirakan memiliki kandungan pasir sebanyak 250.000 meter kubik. Penambang diberi izin untuk melakukan penambangan selama 6 bulan sejak izin dikeluarkan. Selama tiga bulan aktivitas penambangan, pasir yang sudah diambil diperkirakan sudah mencapai 30.000 meter kubik. Untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan, penambangan pasir di kali opak telah melalui kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPLH) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sehingga kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan masyarakat setempat dapat diminimalisir.

Penambangan liar berbagai tempat di wilayah Kabupaten Sleman dirasakan sudah mengganggu lingkungan dan masyarakat sekitar. Penambangan dengan angkutan kendaraan besar sudah rusak beberapa ruas jalan, selain itu banyak penambang tradisional yang kalah bersaing. Meskipun beberapa kali dilakukan operasi penertiban baik penambangan dengan menggunakan alat berat Backhoe maupun penambangan secara tradisional tetap saja terus berlangsung.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah:

  1. Bagaimana implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan tindakan perusakan dan pencemaran lingkungan studi penambangan pasir illegal Kabupaten Sleman ?
  2. Apa saja hambatan yang dihadapi dalam implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang mengenai pengaturan hukum lingkungan berkaitan dengan tindakan perusakan dan pencemaran lingkungan studi penambangan pasir illegal Kabupaten Sleman dan solusinya?

Metode Penelitian

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dan penelitian yuridis empiris. Penelitian yuridis normative ini diperoleh dari bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Penelitian yuridis empiris yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data primer sebagai sumber data utamanya. Objek dari penelitian ini adalah implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam kegiatan penambangan pasir secara illegal Kabupaten Sleman.

Sumber Data

Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari perundangan-perundangan yang terkait dengan obyek penelitian, yang terdiri dari:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
  2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara
  3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
  4. Peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Bahan Hukum Sekunder

Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan kejelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku literatur, jurnal, makalah, artikel, hasil penelitian dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.

Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, misalnya kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan lainnya.

Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh dari studi lapangan.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di kabupaten Sleman Propinsi daerah Istimewa Yogyakarta.

Subyek Penelitian

  1. Kepala Dinas SDAEM DIY
  2. Kepala Badan Lingkungan Hidup DIY
  3. Kepala Dinas Pengairan, Pertambangan dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA) DIY

Teknik Pengumpulan Data

  1. Data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan; dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dan mengajukan daftar pertanyaan kepada subyek penelitian.
  2. Data sekunder berupa penelitian kepustakaan; dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu mengkaji, mempelajari dan menelaah bahan-bahan hukum yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Analisis Data

Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh dari penelitian disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan dalam penelitian.
  2. Hasil klasifikasi data selanjutnya disistematisasikan.
  3. Data yang telah disistematisasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan.

Hasil Penelitian

A . Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang mengenai pengaturan hukum lingkungan berkaitan dengan tindakan perusakan da pencermaran lingkungan studi Penambangan Pasir Secara Il egal di Kabupaten Sleman

Salah satu wilayah yang mempunyai potensi Pertambangan adalah Daerah Provinsi Yogyakarta yang berada di Kabupaten Sleman. Secara geografis Kabupaten Sleman terletak diantara: 110°33’00’’ dan 110°13’00’’ bujur timur, 7°34’51’’ dan 7°47’30’’ lintang selatan. Luas wilayah Kabupaten Sleman adalah 57.482 Ha atau 574,82 Km2 atau sekitar 18% dari luas Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 3.185,80 Km2, dengan jarak terjauh utara-selatan 32 Km,timur-barat 35 Km2, dan secara administratif terdiri dari 17 wilayah kecamatan, 86 Desa, dan 1.212 Dusun.

Dari luas wilayah yang dimiliki Sleman, kekayaan alam dari sumber daya alam yang berpotensi dimiliki oleh Kabupaten Sleman sangatlah besar. Potensi pertambangan yang dimiliki di Kabupaten Sleman adalah mineral bukan logam dan batuan. Hal ini tentunya menarik minat para pelaku usaha dan masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar dari kabupaten ini untuk mengelola dan memanfaatkan hasil bahan galian tambang, para pelaku usaha pun beragam dari skala kecil menengah bahkan menengah ke atas tertarik untuk melakukan kegiatan pertambangan dikarenakan bisnis pertambangan sangatlah menguntungkan.

Sebelum melakukan kegiatan usaha pertambangan pasir haruslah memiliki izin, setiap usaha pertambangan haruslah mempunyai izin yang sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 35 UU MINERBA “usaha pertambangan dilaksanakan dalam bentuk izin usaha pertambangan (IUP)”. Pada kenyataannya masih banyak usaha pertambangan yang tidak memiliki izin usaha pertambangan. Menurut Edy Sumantri, beberapa dampak negatif disebabkan oleh kegiatan pertambangan tanpa izin yaitu: Kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, kecelakaan tambang. Negara maupun pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan dan gejolak sosial.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY, diperoleh keterangan bahwa banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha kegiatan pertambangan terutama pertambangan pasir di Kabupaten Sleman, dan masih banyak kegiatan pertambangan dilakukan secara ilegal tanpa memiliki izin usaha pertambangan yang dikeluarkan oleh instansi-instansi pemerintah yang diberi wewenang untuk mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP).

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X mengungkapkan bahwa sebanyak 70 persen penambangan di daerahnya ilegal. Selama perizinan penambangan masih menjadi kewenangan pemerintah kabupaten dan kota, serta baru 22 penambangan yang dinyatakan legal, Sisanya tujuh puluh persen ilegal.

Pertambangan ilegal marak dan kerap dilakukan di Kabupaten Sleman. Salah satu kasus yang sangat menyita perhatian publik adalah penambangan pasir dari letusan merapi pada tahun 2010 silam. Tindakan pemerintah membuat sebuah aturan dalam upaya penanggulangan dan normalilasi aliran sungai kering akibat tertimbun material vulkanik, seperti batu dan pasir. Pemerintah mempunyai tujuan utamayaitu Memulihkan ekonomi warga pasca letusan merapi. Pengambilan pasir dan batu yang dilakukan di lahan warga yang berguna agar secepat mungkin lahan warga yang tertimbun batu dan pasir pasca letusan merapi dapat ditanami dan dilakukan penghijauan kembali.

Namun justru sebaliknya hal tersebut menimbulkan banyak masalah, seperti pohon-pohon yang tumbuh di sekitar perumahan warga yang seharusnya berfungsi sebagai tempat untuk penyaringan resapan air tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya lagi. Semua itu dikarenakan pohon-pohon yang tumbuh di sekitar perumahan warga tidak dapat tumbuh maupun ditanami kembali. Warga pun menjadi kesulitan untuk mendapatkan air bersih untuk di manfaatkan dalam kebutuhan kehidupan sehari-hari.

Para pelaku usaha pertambangan yang telah memperoleh izin usaha pertambangan juga tak luput dari pengawasan pemerintah dan kontrol dari para aparatur pemerintah yang berwenang karena bisa saja menyebabkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan dari kegiatan pertambangan pasir yang dilakukan oleh pemilik IUP. Menurut Muchsan, pengawasan merupakan segala usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas atau kegiatan, apakah sesuai dengan semestinya atau tidak.

Kecamatan Cangkringan merupakan kecamatan yang berada di Kabupaten Sleman Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Kecamatan Cangkringan termasuk daerah lereng Gunung Merapi. Di Kecamatan Cangkringan terdapat beberapa sungai yang berhulu di Gunung Merapi. Beberapa diantaranya adalah sungai gendol, sungai opak dan sungai kuning.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY, aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi sudah dimulai sejak Gunung Merapi mengeluarkan lava pada tahun 1930an. Lava yang turun dari puncak merapi membawa jutaan meter kubik material pasir. Material pasir tersebut ikut mengalir dan tertinggal di sungai-sungai yang menjadi jalur lava, beberapa diantaranya adalah sungai opak, sungain gendol dan sungai kuning. Bagi masyarakat lereng Gunung Merapi, aktivitas penambangan pasir merupakan pekerjaan turun temurun yang menjadi sumber mata pencaharian warga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup DIY, Penambangan pasir di Kali Opak, Dusun Batur, Kepuharjo, Cangkringan dikeluhkan warga karena menyebabkan rusaknya fasilitas jalan di daerah konservasi tersebut. Setiap hari tak kurang dari 100 truk pengangkut pasir beroperasi di daerah yang berlokasi di sebelah timur Merapi Golf tersebut. Tambang seluas 2,2 hektare tersebut diperkirakan memiliki kandungan pasir sebanyak 250.000 meter kubik. Penambang diberi izin untuk melakukan penambangan selama 6 bulan sejak izin dikeluarkan. Selama tiga bulan aktivitas penambangan, pasir yang sudah diambil diperkirakan sudah mencapai 30.000 meter kubik. Untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan, penambangan pasir di kali opak telah melalui kajian Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPLH) dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) sehingga kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan masyarakat setempat dapat diminimalisir.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup DIY, Menambang pasir bagi sebagian orang merupakan cara mudah untuk mendapatkan uang, karena menurut mereka, aktivitas dalam menambang pasir tidak memerlukan keterampilan (skill) khusus. Hanya dengan bermodal senggrong saja, seseorang bisa menjadi penambang pasir dengan penghasilan Rp. 90.000 – Rp. 150.000 cukup menggiurkan tentunya. Rata-rata penambang pasir di daerah sungai gendol dan sungai kuning adalah warga Cangkringan dan klaten. Usia mereka sekitar 20-40 tahunan. Mereka menjadikan menambang pasir sebagai pekerjaan pokok mereka.

Menurut Kepala Dinas Pengairan, Pertambangan, dan Penanggulangan Bencana Alam (P3BA), kerusakan yang terjadi akibat penambangan pasir meliputi perubahan kondisi alam, hilangnya kesuburan tanah dan perubahan tata air. Pasca penambangan, kondisi alam berubah dan meninggalkan kerusakan dengan pemandangan yang buruk. Bersamaan dengan berubahnya kondisi alam, permukaan tanah yang merupakan lapisan tanah paling subur yang memiliki kandungan humus akan hilang disebabkan penggalian atau pengerukan pasir. Akibatnya tanah diseputaran lokasi penambangan pasir rata-rata merupakan areal perbukitan gundul dan tanah gersang.

Proses penambangan di Merapi, beralih dari aktivitas penambangan sederhana ke cara modern dengan menggunakan back hoe memberikan tekanan besar bagi perubahan kondisi alam di kawasan ini. Berbeda dari aktivitas penambangan yang hanya mengandalkan tenaga manusia, yang relatif lambat, mengunakan peralatan seadanya dan memanfaatkan sebagian besar material letusan Merapi, maka penambangan dengan menggunakan back hoe lebih cepat mengeruk, menggali dan mengubah bentang alam.

Apalagi tingkat permintaan pembeli akan pasir Merapi terus meningkat (rata-rata 6-9 juta M 3 /tahun), tidak lagi sebanding dengan supplay material dari letusan Merapi rata-rata hanya mampu memberikan daya dukung kebutuhan pasir sebesar 2,5 juta M 3/tahun. Di luar jalur aliran erupsi Merapi, para penambang juga masuk ke wilayah tutupan hutan pinus yang berdekatan dengan sungai-sungai lokasi penambangan sebelumnya atau menyewa lahan-lahan pertanian maupun perkebunan penduduk.

Sekarang kondisi alam di kawasan Merapi berubah dengan cepat. Beberapa desa di Kecamatan Cangkringan, kini telah berubah menjadi lubang-lubang penambangan pasir yang setiap hari dipenuhi para penambang, back hoe dan truck pengangkut pasir.

Warga yang tinggal disekitar lereng Gunung Merapi memprotes maraknya penambangan pasir karena mengancam lingkungan tempat mereka tinggal. Selama ini protes sudah dilayangkan ke Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tetapi belum ada tanggapan. Kegiatan penambangan pasir di lereng Gunung Merapi Yogyakarta sampai dengan saat ini masih terus berlangsung. Alat-alat berat seperti bego digunakan untuk mengeruk pasir dari lereng Merapi. Warga Kepuharjo, Cangkringan, Sleman, Yogyakarta yang berada disekitar lokasi penambangan pasir menentang keras penambangan pasir di lereng Merapi yang sudah tidak terkendali. Warga menganggap penggunaan alat berat seperti beko akan berdampak negatif terhadap lingkungan sekitar. Selain itu hilir mudik ratusan truk setiap harinya juga merusak jalan dan jalur evakuasi bencana. Warga mengancam apabila tidak digubris warga akan menghentikan sendiri aktifitas penambangan tersebut. Lereng gunung Merapi ini selama ini merupakan daerah yang sangat penting sebagai resapan air bagi kebutuhan warga Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah. (dalam berita fokus:indosiar).

Temuan Walhi Jogjakarta menunjukkan hal yang berbeda. Jarang ditemukan adanya wilayah di sekitar tambang pasir Merapi yang kaya dan ikut mensejahterakan masyarakatnya. Dalam banyak pengamatan justru ditemukan wilayah-wilayah yang ditambang penuh dengan cerita kemiskinan dan pendapatan yang masuk ke kas daerah pun hanya sedikit saja.

Sebagai contoh perbandingan penjualan pasir dari lokasi tambang dan pajak dari penggalian dan pengolahan bahan galian C di Kabupaten Magelang dan Klaten menunjukkan perbedaan dratis yang sungguh memprihatinkan. Dari penjualan rata-rata Rp. 995 milyar s.d Rp. 1, 29 trilyun/tahun dari lokasi di Kecamatan Srumbung atau Kecamatan Kemalang saja, pajak yang diperoleh di Kabupaten Magelang dan Klaten dari seluruh lokasi penggalian dan pengolahn bahan golongan C sampai bulan Oktober yang masuk ke kas daerah hanya sebesar Rp. 233 juta hinga Rp.250 juta/tahun. Jumlah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan atau nilai penjualan dari lokasi penambangan disatu kecamatan saja.

Sekarang ketika lingkungan semakin rusak dan kerugian atas rusaknya lingkungan semakin besar, untuk apa aktivitas penambangan itu terus diijinkan tanpa kendali? Masyarakat dan pemerintah di empat kabupaten yang termasuk dalam kawasan Merapi, seharus melarang aktivitas penambangan yang merusak dan secara tegas melakukan beberapa pembatasan terkait pembatasan ijin penambangan, pembatasan lokasi tambang dan terutama pembatasan volume penambangan pasir berdasarkan daya dukung erupsi Merapi.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas SDAEM Kabupaten Sleman DIY Tahun 2011 - 2014, potensi komoditas pertambangan batuan di Kabupaten Sleman dapat diketahui bahwa potensi pertambangan yang paling besar di Kabupaten Sleman adalah komoditas tambang batuan yang berupa komoditas pasir, yaitu sebesar 29.471.298 m3 yang tersebar di berbagai wilayah di Kabupaten Sleman.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY, kegiatan pertambangan pasir banyak dilakukan pasca erupsi merapi, terutama di sekitar wilayah Lereng Merapi di beberapa sungai kering seperti Sungai Gendol di Kabupaten Sleman. Kegiatan pertambangan pasir tersebut didasarkan pada SK Bupati Sleman No 284 Tahun 2011 Tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Merapi, yang dimaksudkan untuk menormalisasi aliran sungai yang tertimbun material vulkanik Gunung Merapi serta lahan-lahan warga yang tidak bisa di pakai untuk pertanian maupun perkebunan. Namun kebijakan tersebut disalah-artikan oleh para pelaku pertambangan, sehingga kegiatan penambangan pasir menjadi tidak terkontrol.

Menurut Kepala Dinas SDAEM DIY, Penambangan pasir bukan lagi dilakukan di aliran sungai, melainkan di lahan-lahan warga. Hal tersebut dikarenakan harga pasir cukup mahal, sehingga mengakibatkan banyak bermunculan penambang ilegal yang menambang pasir dan tidak sedikit yang menggunakan alat berat.

Dengan adanya persoalan yang terjadi di Kabupaten Sleman terkait pertambangan pasir yang banyak dilakukan secara ilegal, sudah semestinya dalam mengeluarkan kebijakan Pemerintah Kabupaten Sleman harus lebih berhati-hati dan dapat menimbang persoalan-persoalan yang akan muncul dikemudian hari. Hal yang paling penting saat ini adalah menindak tegas para penambang illegal. Pelaku penambangan illegal dapat dikenai sanksi, baik secara administrasi maupun sanksi pidana, sehingga akan menimbulkan efek jera bagi para penambang ilegal. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah harus memegang teguh prinsip Good Governance, yakni suatu kondisi yang menjamin tentang adanya proses kesejajaran, kesamaan dan keseimbangan peran serta, saling mengontrol yang dilakukan oleh komponen-komponen pemerintah, rakyat, dan pelaku usaha. Prinsip Good Governance tersebut mesti digunakan dalam pengelolaan kegiatan penambangan pasir di Kabupaten Sleman.

Kegiatan pertambangan pasir di Kabupaten Sleman selain memiliki dampak positif juga mempunyai dampak negatif. Dampak positifnya antara lain adalah hasil dari pengelolaan dan pemanfatan penambangan pasir secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan Pendapat Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sleman melalui pajak, retribusi atau royalti kepada daerah.

Kegiatan penambangan pasir secara langsung berkontribusi terhadap peningkatan Pendapat Asli Daerah (PAD) Kabupaten Sleman dalam penerimaan pajak, sebagai contoh, periode Mei tahun 2011 lalu Pemerintah Kabupaten Sleman menerima pendapatan pajak sebesar Rp. 1,042 Milyar (Satu Milyar Empat Puluh Dua Juta Rupiah).

Di samping itu, penambangan pasir juga berkontribusi bagi pengadaan lapangan kerja bagi masyarakat, baik di sekitar area pertambangan maupun masyarakat di luar area pertambangan yang membutuhkan pekerjaan guna mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pertambangan pasir juga memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, yaitu antara lain adalah kerusakan lingkungan. Gencarnya aktivitas kegiatan penambangan pasir telah mengakibatkan hilangnya kemampuan pepohonan dan tumbuh-tumbuhan dalam penyerapan air. Di Kabupaten Sleman, sumber air yang ada di Lereng Merapi menurun sekitar 50%. Apabila dampak ini tidak diatasi, maka warga akan terus kesulitan mendapatkan air bersih yang dipakai untuk keperluan sehari-hari seperti memasak, mencuci, mandi dan kesehatan warga di sekitar Lereng Merapi akan semakin memburuk.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Badan Lingkungan Hidup DIY,, penambangan pasir ilegal menimbulkan banyak lubang yang tidak di reklamasi oleh para pelaku penambangan. Hal itu menyebabkan area sekitar penambangan rawan kecelakaan dan sulitnya penyerapan pohon-pohon dan tumbuhan di sekitar area penambangan pasir untuk mendapatkan air bersih. Mengetahui hal tersebut Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman sudah banyak melakukan kegiatan reklamasi untuk menormalisasi kembali penyerapan tanah dan menutup lubang-lubang yang ditimbulkan para penambang ilegal. Keterbatasan APBD dari pemerintah daerah sering menjadi kendala dalam melaksanakan reklamasi, oleh karena itu, BLH Kabupaten Sleman belum dapat memaksimalkan kegiatannya untuk menanggulangi hal tersebut.

Di samping menggangu keseimbangan lingkungan, kegiatan penambangan pasir di Kabupaten Sleman yang banyak dilakukan di sekitar Lereng Merapi menimbulkan dampak yang serius bagi kesehatan warga di sekitar Lereng Merapi. Berdasarkan data yang dihimpun dari Puskesmas Cangkringan, Penderita ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) rentang usia 1 sampai 19 tahun sepanjang 2011 sebanyak 1.658 anak, dengan rata-rata pasien perbulan sejumlah 138 orang. Pada periode Februari sampai Agustus tahun 2012, pasien di bawah usia 19 tahun berjumlah 1.142 dan jika dirata-rata setiap bulan setidaknya terdapat 163 pasien anak yang menderita ISPA.

Berdasarkan banyaknya dampak negatif yang terjadi akibat penambangan pasir di Lereng Merapi, Kepala Dinas SDAEM Kabupaten Sleman mengeluarkan Surat Edaran nomor 545/364 yang berisi penghentian sementara normalisasi daerah aliran sungai (DAS). Penutupan kegiatan pertambangan pasir tersebut ditujukan untuk menyiapkan kesiap-siagaan penanggulangan bencana alam dan melindungi penambang rakyat serta pelaku normalisasi alur sungai.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY, keberadaan Surat Edaran dari Dinas SDAEM Kabupaten Sleman tersebut, sudah disosialisasikan kepada 7 (tujuh) pengelola penambangan pasir di Desa Kepuharjo. Kemudian Pemerintah Desa Kepuharjo menghentikan segala bentuk kegiatan penambangan pasir.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa walaupun sudah dilakukan sosialisasi mengenai kegiatan Normalisasi Daerah Aliran Sungai, masih banyak pihak yang melakukan pelanggaran. Pelanggaran yang seringkali terjadi pada kegiatan Normalisasi Daerah Aliran Sungai adalah melanggar jam operasional dan pelanggaran tonase, serta pelanggaran jumlah alat berat. Bagi pelanggaran jam operasional diberikan surat peringatan, sedangkan bagi pelanggaran tonase dikenai sanksi berdasarkan UU lalu lintas, yaitu dikenai surat tilang. Bagi yang menggunakan alat berat, maka alat berat tersebut akan disita oleh pihak Kepolisian Polres Sleman dan/atau Polda DIY, namun hingga saat ini belum diketemukannya penambangan pasir dengan menggunakan alat berat di Desa Kepuharjo. Penambang ilegal pada umumnya masih menggunakan alat-alat sederhana dan tradisional. Banyaknya pelanggaran yang terjadi disebabkan oleh kurangnya pengawasan dari pemerintah maupun kurangnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya mematuhi peraturan yang berlaku sebagai kontrol agar dapat meminimalisir kerusakan lingkungan maupun ganguan kesehatan sebagai akibat dari kegiatan tersebut.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah, ada perubahan tentang kewenanagan pemberian izin pertambangan. Berdasarkan Pasal 14 UU PEMDA, urusan pemerintahan dibagi sebagai berikut:

  1. Penyelenggaran urusan pemerintahan bidang kehutanan, kelautan, serta energi dan sumber daya mineral dibagi antara pmerintah pusat dan daerah provinsi,
  2. Urusan pemerintahan bidang kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan taman hutan raya kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota,
  3. Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan dengan pengelolaan minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat, dan
  4. Urusan pemerintahan bidang energi dan sumber daya mineral yang berkaitan langsung dengan panas bumi dalam daerah kabupaten/kota menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota.

Berdasarkan hal tersebut, kewenangan untuk menerbitkan izin usaha pertambangan MINERBA menjadi kewenangan pemerintah Provinsi dan bukan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sebagai contoh, IUP mineral bukan logam dan batuan di Kabupaten Sleman tidak lagi diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman melainkan diberikan oleh Pemerintah Daerah DI Yogyakarta (lebih khususnya Dinas PUP dan ESDM).

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY, kepengurusan dan penerbitan permohonan IUP bukan lagi berada pada kewenangan tingkat kabupaten, dalam hal ini SDAEM Kabupaten Sleman, melainkan sudah menjadi kewenangan Provinsi, yaitu DPU-ESDM Provinsi Yogyakarta. Dalam menerbitkan IUP DPU-ESDM hanya membutuhkan rekomendasi dari BKPRD (Badan Koordinasi Perencanaan Tata Ruang Daerah).

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY, tugas SDAEM Kabupaten Sleman untuk pertambangan hanya melakukan monitoring kegiatan usaha pertambangan ilegal di wilayahnya. Hasil monitoring kemudian diserahkan kepada DPU-ESDM Provinsi Yogyakarta. Bagi pertambangan yang memiliki IUP, jika melakukan pelanggaran-pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, maka SDAEM Kabupaten Sleman akan berkoordinasi dengan DPU-ESDM Provinsi Yogyakarta untuk memeriksa ketidaksesuaian pelaksanaan pertambangannya dengan dokumen lingkungan yang telah direkomendasikan kepada DPU-ESDM Provinsi Yogyakarta.

Berdasarkan hasil penelitian, kewenangan penerbitan IUP di Kabupaten Sleman sudah diambil alih oleh Pemerintah Provinsi DIY sehingga membuat Pemerintah Kabupaten Sleman sudah tidak berwenang lagi mengeluarkan IUP bagi pemohon. Dalam pengurusan IUP, ada beberapa lembaga terkait dengan proses pengurusan IUP yakni: BKRD Kabupaten Sleman untuk mengkonfirmasi tata ruang dan wilayah pertambangan di Kabupaten Sleman, Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman untuk penyusunan dokumen lingkungan, DPUP-ESDM Provinsi untuk Permohonan IUP dan rekomendasi tekhnis (SKPD ESDM DIY apabila penambangan di daratan), BKPRD KAB apabila penambangan dilakukan di sungai dalam kabupaten, Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWS SO) apabila penambangan dilakukan di Aliran Sungai Serayu Opak, dan SKPD Perhutanan dan Perkebunan (HUTBUN) apabila penambangan dilakukan di dalam Hutan dan Gerai Pelayanan Perizinan Terpadu Provinsi DIY dalam penerbitan IUP.

Banyaknya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) akan menjadikan pengurusan IUP menjadi lebih sulit dan lama dikarenakan kurangnya koordinasi sehingga menyebabkan ketidakpastian bagi pemohon walaupun sudah dibuat jangka waktu masing-masing untuk penerbitan IUP sebagaimana yang ditegaskan dalam Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 46 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam, Mineral Bukan Logam dan Batuan.

Jumlah pemegang IUP setelah berlakunya UU PEMDA ini di DIY sekitar 47 orang dan 27 diantaranya sudah dicabut oleh DPUP-ESDM Provinsi DIY dengan alasan izin yang berlaku telah habis dan IUP bertabrakan dengan kawasan hutan (Overlapping). Pemerintah seakan-akan telah kembali kepada era sentralisasi dimana wewenang pemerintah sedikit demi sedikit diambil alih oleh pemerintah pusat, mulai dari penetapan WIUP dan sampai pada saat pemberian IUP yang harus memakan waktu yang lama dan banyaknya rekomendasi dari SKPD terkait.

Langkah pengendalian kerusakan lingkungan sebagai akibat pertambangan pasir di Kabupaten Sleman meliputi:

1. Pencegahan

  1. Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup (KBKL),
  2. Konservasi Mineral,
  3. Tata Ruang,
  4. Rekomendasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD),
  5. Pembuatan Settling Pond (Kolam Pengendapan),

Penanggulangan:

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Kepala Dinas SDAEM DIY,, saat ini lembaga pemerintah yang terkait dalam melakukan langkah-langkah penanggulangan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir bagi Pemegang IUP adalah SDAEM Kabupaten Sleman, DPUESDM Provinsi DIY dan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Sleman yang saling berkoordinasi. Badan Lingkungan Hidup akan mengetahui adanya kerusakan lingkungan apabila ada laporan dari masyarakat, LSM dan/atau laporan monitoring dari SDAEM Kabupaten Sleman dan/atau DPU-ESDM Provinsi DIY. Berdasarkan laporan tersebut kemudian akan segera dilakukan verifikasi mengenai kebenaran laporan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir. Hasil dari verifikasi tersebut akan dilaporkan kepada DPU-ESDM Provinsi DIY dan selanjutnya sanksi akan diberikan sesuai dengan tingkat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan sebagai akibat penambangan pasir.

Pemulihan :

  1. Reklamasi,
  2. Kegiatan Pasca Tambang.

Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan pasca tambang bagi pemegang IUP di Kabupaten Sleman khususnya pertambangan pasir dilakukan dengan tiga (3) cara, yaitu :

  1. Pengelolaan lapisan olah (Top Soil), yakni bertujuan untuk mengembalikan tanah kesuburan sebagai media tumbuh tanaman-tanaman yang akan ditanam di sekitar area pertambangan. Hal ini dilakukan guna mengembalikan daya serap air pada lapisan tanah dan mencegah terjadinya longsor.
  2. Revegetasi. Revegetasi merupakan pembelian bibit tanaman jenis tertentu dan di tanam di sekitar area bekas penambangan. Targetnya adalah menyiapkan tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi di area bekas pertambangan dan dapat mengembalikan daya serap air di sekitar area bekas penambangan pasir.
  3. Pemeliharaan. Pemeliharaan merupakan kegiatan perawatan dan pemantauan tanaman baik yang sudah ada sebelum dilakukannya kegiatan pertambangan ataupun tanaman yang sengaja ditanam dalam melakukan kegiatan pasca tambang guna mengembalikan tingkat kesuburan tanah dan daya serap air.

Berdasarkan hasil penelitian, hingga saat ini belum pernah ada bagi Pemegang IUP yang melakukan kegiatan pertambangan pasir yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup khususnya di Kabupaten Sleman. Pelaksanaan IUP sebagai upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan pasir di Kabupaten Sleman sudah berjalan cukup baik. Pemilik IUP kegiatan pertambangan pasir selalu mendapat pengawasan dari BLH Kabupaten Sleman, Dinas SDAEM Kabupaten Sleman, dan DPUP-ESDM Provinsi DIY. Disamping itu pengawasan tersebut di dukung oleh adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan LSM.

Namun untuk mengantisipasi dan menangani kasus-kasus kerusakan lingkungan tersebut, pemerintah sudah membuat aturan-aturan dan prosedur pengendalian dan penanganan kasus kerusakan lingkungan hidup sebagai upaya perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan yang banyak terjadi malah disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir ilegal yang banyak dilakukan di Lereng Merapi. Keberadaan Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah, membuat pemerintah lebih ketat dalam melakukan penertiban kegiatan penambangan pasir di DIY. Jika masih melakukan kegiatan penambangan ilegal, apalagi mengakibatkan kerusakan lingkungan maka akan segera ditindak oleh pemerintah dan akan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan yang berlaku.

B . Hambatan yang Dihadapi dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 t entang Mengenai Hukum Lingkungan Berkaitan Dengan Tindakan Perusakan Dan Pencemaran Lingkungan Studi Penambangan Pasir Ilegal Kabupaten Sleman

Industri pertambangan merupakan salah satu industri yang diandalkan pemerintah Indonesia untuk mendatangkan devisa. Selain mendatangkan devisa industri pertambangan juga menyedot lapangan kerja dan bagi Kabupaten dan Kota merupakan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD). Industri pertambangan selain mendatangkan devisa dan menyedot lapangan kerja juga rawan terhadap pengrusakan lingkungan. Banyak kegiatan penambangan yang mengundang sorotan masyarakat sekitarnya karena pengrusakan lingkungan, apalagi penambangan tanpa izin yang selain merusak lingkungan juga membahayakan jiwa penambang karena keterbatasan pengetahuan si penambang dan juga karena tidak adanya pengawasan dari dinas instansi terkait.

Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang mengenai pengaturan hukum lingkungan berkaitan dengan tindakan perusakan dan pencemaran lingkungan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung/ tidak langsung terhadap sifat fisik dan atau hayatinya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan berkelanjutan.

Salah satu indikator kerusakan lingkungan adalah erosi. Erosi adalah proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan.

Penambangan galian C (khususnya pasir) yang terjadi di lereng Gunung Merapi sangat sulit dihentikan. Pasalnya, para penambang menganggap bahwa pasir yang mereka ambil dari sungai merupakan berkah akibat adanya erupsi Gunung Merapi dan mereka menganggap pasir tersebut tak ada yang memilikinya, sehingga mereka menambang dalam jumlah yang sangat banyak . Penambangan pasir di wilayah lereng Gunung Merapi terjadi secara legal (resmi) dan illegal (penambangan liar). Padahal selama ini, penambangan galian C cenderung menimbulkan kerusakan lingkungan karena penambangan pasir dilakukan ditempat yang tidak sesuai. Pada artikel ini, penulis akan membahas tentang aktivitas penambangan pasir yang ada di lereng Gunung Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), tepatnya di daerah Kecamatan Cangkringan (sepanjang kali kuning dan kali gendol).

Tercatat sejak 2015 hingga 2017, kepolisian sudah melakukan operasi tangkap tangan sebanyak 32 kali terhadap pelaku penambangan liar di seluruh wilayah DIY. Rata-rata pelaku hanya dihukum penjara selama dua sampai empat bulan. Hukuman ini tentu jauh dari yang tertera pada pasal 158 Undang-Undang No. 4/2009 tentang Pertambangan Minerba. Pasal tersebut berbunyi, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa IUP, IPR dan IUPK dipidana dengan penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp10 miliar.

Dari data yang dimiliki Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (DPUP ESDM) DIY, OTT penambang liar terbanyak terjadi pada 2015 dengan jumlah operasi sebanyak 14, lalu pada 2016 dan 2017 masing-masing sembilan OTT. Salah satu contoh kasus pada tahun 2015 terjadi di Desa Merdikorejo, Kecamatan Tempel, Sleman. Pada kasus tersebut ditangkap dua orang, yakni Kepala Desa Merdikerjo Bambang Purasto dan Harrymanto Adli. Bambang dihukum dua bulan penjara dan denda Rp10 juta (subsider satu bulan), sedangkan Adli dihukum tiga bulan penjara, denda Rp5 juta, subsider satu bulan.

Contoh kasus lain terjadi pada tahun 2016, lokasinya juga ada di Desa Merdikerjo, hanya berada di dusun berbeda. Okky, sang pelaku dihukum empat bulan penjara. Sementara kasus-kasus lain masih dalam proses sidang. Tuntutan jaksa juga rata-rata hukuman penjara dua bulan.

Kepala Seksi Geologi dan Sumber Daya Mineral DPU-ESDM DIY enggan melontarkan pernyataan ketika ditanya apakah hukuman yang diterima pelaku sudah cukup lama atau tidak. Dengan diplomatis ia menjawab, putusan yang diterima pelaku sudah melalui proses hukum sebagaimana adanya. Sejak Pemda DIY menjalin kerja sama dengan kepolisian pada 2015 lalu guna menggelar operasi penindakan hukum kegiatan penambang liar, efeknya sudah mulai terlihat. “Itu sebagai shock therapy. Dari tahun ke tahun pelakunya sudah berkurang.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jogja Halik Sandera punya pandangan berbeda untuk hal ini. Menurutnya, hukuman dalam waktu bulanan tidak akan menimbulkan efek jera sama sekali. Para pelaku yang selama ini diciduk, sambungnya, rata-rata juga masih pelaksana lapangan, sedangkan aktor utama masih bebas berkeliaran. Ia menyatakan, hakim yang menjatuhkan vonis belum memiliki perspektif lingkungan hidup. “Lama hukuman tergantung pada tuntutan jaksa, yang kemudian berlanjut pada pemahaman hakim terhadap pertambangan terhadap lingkungan dan masyarakat, sehingga hakim harus punya perspektif lingkungan hidup

Sanksi terhadap pemegang IUP yang menimbulkan kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman dapat berupa:

Dalam ketentuan Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Tentang mengenai pengaturan hukum lingkungan mengenai sanksi pidana diatur di dalam ketentuan Pasal-Pasal sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengaibatkan dilampauinya Baku Mutu Udara Ambien, Baku Mutu Air, Baku Mutu Air Laut, atau Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga (3) tahun dan paling lama sepuluh (10) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya bagi kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat empat (4) tahun dan paling lama dua belas (12) tahun dan denda paling sedikit Rp.4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp.12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
  3. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat lima (5) tahun dan paling lama lima belas (15) tahun dan denda paling sedikit Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
  1. Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya Baku Mutu Udara Ambien, Baku Mutu Air, Baku Mutu Air Laut, atau Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup, dipidana penjara paling singkat satu (1) tahun dan paling lama tiga (3) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
  2. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang-orang luka dan/atau bahaya bagi kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat dua (2) tahun dan paling lama enam (6) tahun dan denda paling sedikit Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp.6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
  3. Apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat tiga (3) tahun dan paling lama sembilan (9) tahun dan denda paling sedikit Rp.3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 9.000.000.000,00 (sembilan milar rupiah).

Berdasarkan hasil penelitian, kegiatan pertambangan pasir di Kabupaten Sleman bagi pemilik IUP belum pernah terjadi kasus kerusakan lingkungan yang sampai diberi sanksi pidana oleh pemerintah di Kabupaten Sleman. Hal itu dikarenakan para pemegang IUP yang melakukan kegiatan pertambangan pasir di Kabupaten Sleman disiplin mentaati dan melaksanakan semua kewajibannya, yaitu antara lain:

  1. Menyampaikan laporan triwulan dan laporan tahunan kegiatan pertambangannya dan menyerahkan data hasil kegiatan pertambangan pasir yang dicapai kepada DPUPESDM Provinsi,
  2. Melakukan pengelolaan dan pemantauan lingkungan akibat kegiatan pertambangan pasir yang memiliki IUP,
  3. Melakukan kegiatan reklamasi dan pasca tambang di sekitar area pertambangan saat jangka waktu IUP berakhir .

Namun sanksi pidana paling banyak diberikan kepada penambang ilegal yang melakukan kegiatan penambangan pasir di Kabupaten Sleman yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Sanksi tersebut diberikan dengan cara menyegel kawasan kegiatan pertambangannya, lalu menyita alat berat yang dipakai untuk operasional penggarukan pasir dan pemilik ataupun pihak-pihak lainnya yang terlibat akan dilaporkan kepada pihak yang berwajib dan berwenang untuk di proses secara hukum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 85 Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 3 Tahun 2015 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku pencemaran/kerusakan yang mengabaikan perintah untuk melakukan penanggulangan pencemaran/kerusakan dan/atau pemulihan lingkungan dapat dikenai sanksi administratif berupa :

  1. Teguran tertulis;
  2. Paksaan Pemerintah;
  3. Pembekuan izin; dan/atau pencabutan izin.

Berdasarkan hasil penelitian, sanksi administrasi belum pernah diterapkan kepada pelaku pertambangan pasir yang telah memiliki IUP. Hal tersebut dikarenakan masyarakat maupun LSM juga ikut berpartisipasi aktif dalam memonitoring dan melaporkan aktifitas penambangan pasiryang potensial mengakibatkan kerusakan lingkungan. Selain itu, BLH Sleman dan SDAEM Sleman juga ikut mengawasi jalannya kegiatan penambangan pasir yang ada di Kabupaten Sleman.Apabila kegiatan pertambangan pasir tidak sesuai dengan laporan yang dilakukan secara berkala oleh pelaku pertambangan kepada BLH Kabupaten Sleman dan SDAEM Kabupaten Sleman dengan aktifitas nyata yang dilakukannya, makahal tersebut akan segera dilaporkan kepada DPUP-ESDM Provinsi. Jika terbukti telah terjadi pelanggaran kerusakan lingkungan hidup, maka akan diberikan sanksi berupa peringatan tertulis sebanyak dua kali kepada pelaku penambangan pasir, apabila hal ini diabaikan dan tidak dilaksanakan, maka selanjutnya akan dilakukan penyegelan kegiatan usaha pertambangannya dan disertai dengan pencabutan IUP.

Ada beberapa kendala yang dihadapi pemerintah dalam melakukan upaya pengendalian kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir di Kabupaten Sleman yakni, sebagai berikut:

  1. Keterbatasan APBD dari pemerintah daerah sering menjadi kendala dalam melaksanakan reklamasi sebagai tindakan pemulihan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
  2. Jumlah personil dan ahli yang terbatas dari Dinas SDAEM Kabupaten Sleman dan DPU-ESDM Provinsi dalam melakukan pengawas an pada permasalahan kerusakan lingkungan di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Terbatasnya jumlah personil dan dana yang dimiliki oleh Badan Lingkungan Hidup provinsi maupun kabupaten/kota dan Dinas SDAEM Kabupaten Sleman serta DPUP-ESDM Provinsi telah menghambat kinerja kedua lembaga tersebut untuk melakukan pengawasan dan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran yang terjadi.

Berdasarkan hasil penelitian, dalam kasus kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir yang memiliki IUP belum pernah ada di Kabupaten Sleman. Namun untuk mengantisipasi hal tersebut, jumlah personil yang terbatas menjadi faktor utama kedua lembaga tersebut jarang bahkan hampir tidak pernah melakukan peninjauan langsung ke lapangan untuk melakukan pengawasan. Hal ini dikarenakan jumlah personil tidak sebanding dengan jumlah yang harus diawasi. Baik Badan Lingkungan Hidup provinsi maupun kabupaten/kota dan Dinas SDAEM Kabupaten Sleman serta DPUP-ESDM Provinsi tidak hanya bertugas untuk mengawasi kegiatan Pertambangan Pasir, tetapi juga pada kegiatan lainnya. Dengan jumlah personil yang terbatas sulit bagi kedua lembaga tersebut rutin terjun ke lapangan untuk melakukan pengawasan. Selain itu juga adanya kekhawatiran timbulnya reaksi atau gejolak masyarakat apabila lembaga tersebut melakukan pengawasan. Hal ini seharusnya segera disikapi oleh pemerintah dengan menambah sumber daya manusia dan menambah anggaran. Lembaga-lembaga tersebut harus meningkatkan kinerjanya untuk melakukan pengawasan. Lembaga-lembaga tersebut diharapkan saling berkoordinasi untuk melakukan tugas dan fungsi pengawasan pada permasalahan-permasalahan kerusakan lingkungan yang akan ada dari kegiatan penambangan pasir walaupun dengan jumlah personil dan dana yang terbatas.

Berdasarkan hasil penelitian tentang responsi masyarakat serta persepsi masyarakat terhadap lingkungan, dapat maka dapat diketahui bahwa sebagian besar masyarakat paham mengenai lingkungan hidup secara umumnya dan juga paham mengenai pentingnya lingkungan hidup yang terpelihara secara lestari.

Adanya persepsi pengetahuan tentang lingkungan hidup tersebut dikarenakan masyarakat pedesaan akrab dengan lingkungannya terutama karena kebutuhan mereka akan lahan sebagai sumber kehidupan mereka yang sebagian besar petani/ buruh tani. Ironisnya eksploitasi sumberdaya alam tanpa dibarengi dengan pelestariannya akan menyebabkan rusaknya lingkungan sekitarnya. Sehingga persoalan lingkungan yang sangat mengganggu kelestarian alam yang berbias menjadi keresahan warga masyarakat sekitarnya.

Pengetahuan masyarakat secara umum tentang kegiatan penambangan pasir bahwa mereka dapat menerima penambangan pasir karena merupakan mata pencaharian atau pekerjaan bagi masyarakat penambang. Mereka melihat bahwa penambangan pasir memberikan manfaat sebagai pekerjaan pokok atau pekerjaan sampingan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pekerjaan tersebut memberikan hasil setiap hari bagi penambang pasir guna memenuhi kebutuhan hidup sehari hari.

Kegiatan penambangan pasir selain memberikan manfaat langsung dari aktifitas penambangan juga membuka peluang kerja bagi buruh baik sebagai tukang coker , jaga malam pencatat angkutan material pasir serta berdagang makanan. Peyerapan tenaga kerja yang paling banyak hádala tukang coker atau buruh perata pasir. Besarnya upah buruh coker Rp 10.000,- sampai dengan Rp. 12.000,- per truk dan setiap orang dapat memperoleh giliran 2 – 3 kali jika bekerja sebagai tukang coker saja. Sebagian penduduk ada yang bekerja sambilan sebagai tukang coker sepulang bekerja sebagai petani atau buruh tani. Tetapi secara umum kebanyakan profesi tukang coker ditangani kelompok pemuda.

Penambangan Pasir tidak hanya memberikan keuntungan dan manfaat tetapi juga menimbulkan permasalahan. Kegiatan penambangan pasir yang menggunakan alat berat yang berfungsi untuk mengeruk material yang berada di dataran maupun di dinding tebing menimbulkan permasalahan ekologis dan sosial bagi lingkungan sekitar. Dampak lingkungan dari kegiatan penambangan pasir di Desa Keningar di bedakan menjadi dampak fisik dan dampak sosial ekonomi.

Dampak fisik lingkungan dengan adanya kegiatan penambangan pasir di Desa Keningar adalah sebagai berikut:

  1. Tingginya tingkat erosi di daerah penambangan pasir dan juga didaerah sekitarnya.
  2. Adanya tebing-tebing bukit yang rawan longsor karena penambangan yang tidak memakai sistem berteras sehinggaa sudut lereng menjadi terjal dan mudah longsor.
  3. Berkurangnya debit air permukaan/ mata air
  4. Tingginya lalu lintas kendaraan di jalan desa membuat mudah rusaknya jalan.
  5. Terjadinya polusi udara.

Dampak sosial ekonomi yang terjadi dengan adanya kegiatan penambangan pasir, antara lain

  1. Pengurangan jumlah pengangguran karena sebagian masyarakat bekerja menjadi tenaga kerja di penambangan pasir, baik sebagai pengawas, buruh tambang, penjual makanan dan minuman
  2. Adanya pemasukan bagi pemilik tanah yang dijual atau disewakan untuk diambil pasirnya dengan harga tinggi. Tanah yang semula tidak menghasilkan menjadi bermanfaat karena dipakai untuk penambangan pasir.
  3. Banyaknya pendatang yang ikut menambang sehingga dapat menimbulkan konflik.
  4. Adanya ketakutan sebagian masyarakat karena penambangan pasir yang berpotensi longsor sehingga sewaktu-waktu bisa mengenai lahan dan pemukiman mereka, apalagi bila turun hujan

Kesimpulan

Berdasarkan uraian dan analisis pada bab-bab terdahulu, berikut disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini, yaitu:

  1. Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam kegiatan penambangan pasir secara illegal di Kabupaten Sleman belum dilaksanakan dengan baik. Hal itu dapat dilihat dari banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjalankan usaha kegiatan pertambangan terutama pertambangan pasir di Kabupaten Sleman, dan masih banyak kegiatan pertambangan dilakukan secara ilegal tanpa memiliki izin usaha pertambangan.
  2. Hambatan yang dihadapi dalam mengimplemantasikan UU tersebut adalah para penambang yang berkeyakinan bahwa pasir yang mereka ambil merupakan berkah akibat adanya erupsi Gunung Merapi dan tak ada yang memilikinya, sehingga mereka menambang dalam jumlah yang sangat banyak dan sesuka hatinya. Selain itu adanya keterbatasan APBD yang sering menjadi kendala dalam melaksanakan reklamasi sebagai tindakan pemulihan kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh Badan Lingkungan Hidup baik di tingkat provinsi dan kabupaten/kota serta jumlah personil dan ahli yang terbatas.

Saran

  1. Hendaknya Pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta mengeluarkan suatu peraturan yang memberikan sanksi yang berat kepada para penambang pasir ilegal supaya mereka menjadi jera
  2. Hendaknya Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman lewat Dinas SDAEM lebih intensif dalam melakukan pengawasan terhadap penambangan pasir di Kabupaten Sleman

References