Cigarettes is a major national issue, especially amongst University students. An estimated 3.3 million votary will die of lung related diseases. This study discusses the law against students in the University Environment. The analysis was carried out using descriptive conceptual dams from KTR policies applied from each tertiary institution. The participating factors were the commitment of the local government, binding law enforcement, written restrictions on a place, positive support from the education sector and the active role of campus organizations. In addition, this journal was submitted to discuss students' opinions about the smoking ban in the campus environment and the number of cigarettes spent on each expenditure as well as the psychological effects obtained after smoking.
Perguruan tinggi adalah tempat umum dalam kategori bidang pendidikan yang berkapasitas hingga lebih dari 20 ribu pelajar. Pelajar di lingkungan kampus memiliki aktivitas masing-masing yang berlimpah dan memiliki 2 kebiasaan yakni baik dan buruk. Misalnya merokok dalam lingkungan kampus merupakan kebiasaan buruk. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak setiap orang dan telah tercantum dalam Pasal 9 Ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Hak tersebut dimasukkan dalam hak untuk hidup untuk mempertahankan, meningkatkan taraf kehidupan serta hak untuk hidup tentram, aman, damai, bahagia dan sejahtera.
Peraturan tentang perlindungan kesehatan setiap orang selain bergantung kepada aturan hukum juga bersikeras bergantung pada konsistensi pemerintah dalam melakukan penegakan hukum sehingga peraturan semakin ditegakkan dan masyarakat merasakan aman, nyaman dan ketentraman hidup.
Rokok merupakan salah satu zat adiktif yang memiliki dampak negatif dan berbahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat. Berdasarkan PP No.19 Tahun 2003, dapat diketahui bahwa rokok adalah hasil olahan tembakau yang dibungkus, baik dalam bentuk cerutu maupun dalam bentuk lainnya yang di hasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum.[1] Setiap rokok mengandung lebih dari 4300 jenis bahan kimia, kurang lebih 400 bahan bersifat racun dan 40 bahan dapat menyebabkan kanker. Jumlah perokok berumur di atas 15 tahun di Indonesia sangat tinggi. Data Riskesdas 2018 menunjukan jumlah perokok berumur di atas 15 tahun sebanyak 33,8% dimana sekitar 27,7% perokok laki-laki dan 5,1% perokok perempuan.
Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) terdapat 1 kematian karena tembakau setiap 6 detik di seluruh dunia. Pada tahun 2005, tercatat terdapat 5,4 juta jiwa yang meninggal karena tembakau dan terjadi sebanyak 100 juta kematian akibat tembakau selama abad ke 20. Jika dibiarkan, maka pada tahun 2030 akan terjadi 8 juta kematian dan selama abad 21 diperkirakan akan terdapat sebanyak 1 milyar orang yang meninggal karena tembakau. Sebesar 80% dari kematian pada tahun 2030 tersebut diproyeksikan terjadi di negara berkembang.[2]
Merokok adalah suatu aktivitas dimana seseorang membakar tembakau lalu dihisap asapnya, baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Aktivitas merokok sudah menjadi kebiasaan yang sangat umum dan meluas di lingkungan masyarakat seperti di kampus. Sedemikian umumnya, jarang sekali orang mengakui merokok sebagai sebuah kebiasaan buruk. Banyak yang mengaku sangat sulit menghilangkan kebiasaan merokok. Banyak sekali alasan seseorang merokok, salah satu alasan utamanya yaitu agar diterima secara sosial atau terbilang gaul, melihat orang tuanya merokok, kebiasaan teman-teman di lingkungan, menghilangkan rasa jenuh, ketagihan dan untuk menghilangkan stress[3].
Seiring perkembangan zaman, gaya hidup semakin condong kepada teknologi, termasuk di dalamnya peralihan penggunaan rokok menjadi rokok elektrik. Rokok elektrik atau yang dikenal sebagai vaporizer adalah suatu alat sederhana yang berfungsi menyalurkan nikotin ke dalam tubuh manusia melalui penggunaan baterai.[4] Rokok elektrik pada awalnya dimaksudkan sebagai alternatif untuk berhenti merokok, tetapi akibat meningkatnya popularitas rokok elektrik ini, justru jumlah perokok semakin meningkat khususnya pada kalangan remaja sebagaimana dikatakan peneliti Lauren Dutra.[5]
Dalam hal ini, merokok merupakan salah satu fenomena sosial berupa kenakalan remaja yang sering dijumpai dan mendapatkan perhatian serius dalam kehidupan sehari-hari. Merokok tidak dilakukan hanya oleh orang tua melainkan perilaku merokok dilakukan oleh mahasiswa baru hingga mahasiswa lama. Perilaku merokok mahasiswa kebanyakan dilakukan secara terang-terangan sehingga asap yang dihasilkan akan menimbulkan hal-hal negatif. Perilaku merokok didefinisikan sebagai aktivitas seseorang yang berkaitan dengan perilaku merokoknya yang diukur melalui intensitasnya, tempat, waktu, serta fungsinya merokok dalam kehidupan sehari - hari.[6]
Faktor yang mempengaruhi melakukan merokok ada banyak sekali seperti kecanduan, kebiasaan orang tua, lingkungan yang mendukung. Di sisi lain saat pertama kali mengkonsumsi rokok, gejala-gejala yang mungkin terjadi adalah batuk-batuk, lidah terasa pahit dan pusing hingga mual. Namun, sebagian pemula mengabaikan perasaan tersebut sehingga berujung pada kebiasaan bahkan ketergantungan. Berikut adalah empat tahap dalam perilaku merokok sehingga menjadi perokok yaitu :[7]
Dari ke empat tahapan tersebut kebanyakan mahasiswa sudah mencapai tahap maintenance of smoking karena sudah sangat sulit untuk berhenti melakukan kebiasaan merokok. Sikap daripada mahasiswa hukum akan adanya larangan merokok terbagi menjadi dua yaitu pro dan kontra. Mahasiswa yang kontra terhadap larangan merokok tersebut pada umumnya adalah perokok yang sangat aktif sehingga tak mampu untuk berhenti dari kebiasaan merokoknya. Walaupun peraturan yang ditetapkan kampus tidak memperbolehkan, senyatanya kebiasaan merokok masih bisa dilakukan di waktu dan tempat tertentu karena kebiasaan tersebut cenderung telah menjadi candu. Hal tersebut disebabkan karena kandungan yang terdapat pada rokok. Sebaliknya, para mahasiswa yang pro pada umumnya akan terus mendukung kebijakan ini karena rokok dan kebiasaan merokok adalah kebiasaan yang buruk. Perokok aktif akan mempengaruhi juga perokok pasif karena asapnya yang menyebarkan penyakit pada mahasiswa lain. Bagi mahasiswa perokok yang merugikan bagi orang lain dan merusak lingkungan hidup sehat dapat dikenai sanksi, sebagaimana tertulis dalam Pasal 6 UU Kesehatan yang menyebutkan “Setiap orang berhakmendapatkanlingkungan yang sehatbagipencapaianderajatkesehatan”. [8]
Kawasan tanpa rokok (selanjutnya disebut “KTR”) merupakan suatu area atau ruangan yang di dalamnya dilarang kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi maupun penggunaan rokok. Dalam hal ini merujuk kepada Pasal 115 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang termasuk dalam KTR adalah sarana pelayanan kesehatan, tempat dimana proses belajar mengajar dilangsungkan, tempat bermain anak, rumah ibadah dan angkutan umum.[9]
Pengendalian terhadap para perokok yang menghasilkan asap rokok yang sangat berbahaya bagi kesehatan baik perokok aktif maupun perokok pasif merupakan salah satu solusi yang dapat diterapkan guna menghirup udara bersih tanpa paparan asap rokok atau biasa disebut penetapan KTR. Adapun tujuan dari penetapan KTR antara lain adalah :[10]
Penetapan peraturan tentang rokok juga terdapat pada beberapa negara lain seperti Inggris, Prancis, Kanada, Denmark, Swedia dan Amerika. Pada tahun 1962, negara Inggris mencetak jutaan perangko dalam mengkampanyekan gerakan anti-rokok dan pada saat bersamaan didirikan banyak klinik untuk membantu mereka yang ingin menghentikan kebiasaannya merokok. Selain itu Pemerintah Prancis pada masa lalu sangat memberantas kebiasaan merokok pada diri perokok dengan menghukumnya dengan penjara dan hukum cambuk. Sejak tahun 1992 hingga masa kini, mulai diberlakukan undang-undang larangan merokok di tempat-tempat umum. Sedangkan di kanada Undang-undang Kanada menegaskan larangan menjual rokok dan memproduksinya. Denmark, Swedia dan kelompoknya mengeluarkan peraturan tentang larangan merokok di tempat umum sehingga sangat aman untuk perokok pasif.[12]
Sikap seseorang terhadap larangan merokok tergantung pada seseorang. Seserang yang berkeyakinan baik akan suatu peraturan cenderung akan bersikap positif terhadap aturan tersebut, sehingga ia akan mematuhi aturan yang dianggapnya baik. Tetapi, keyakinan dan sikap juga dipengaruhi oleh kepribadian dari masing-masing orang. Beberapa orang mudah menerima suatu peraturan dan ada juga yang sebaliknya. Perokok berat misalnya, dari dalam diri orang tersebut dari awal sudah terkonstruksi bahwa ia tidak bisa jika tidak merokok, maka keberadaan aturan tentang KTR akan dianggapnya sebagai sebuah penyiksaan.
Salah satu alasan sulitnya penetapan KTR disebabkan rendahnya kesadaran masyarakat tentang bahaya merokok yang ditunjukkan terjadinya kelompok usia sekolah dasar yang mulai merokok. Dan didapati pada kelompok usia 15-24 tahun dan kelompok usia 75 tahun ke atas angka konsumsi rokok paling rendah. Hal tersebut berarti kebanyakan perokok adalah generasi muda atau usia produktif. Selanjutnya, jumlah rokok yang dikonsumsi lebih tinggi di daerah pedesaan dibandingkan daerah perkotaan.[13]
Kriterium : perilaku merokok
Prediktor
Adapun subjek penelitian dalam tulisan ini adalah Mahasiswa perokok di daerah Jakarta Barat yang berusia 18-22 tahun . Dalam penelitian ini melibatkan 50 mahasiswa , tetapi hanya 40 mahasiswa yang dapat di analisis . Pemilihan subjek penelitian berdasarkan kerelaan .
Dalam penelitian ini dilakukan teknik analisa data dengan cara pengisian angket agar dapat mengetahui variabel-variabel tertentu yang diinginkan dan yang dilakukan . Pengisian angket dan wawancara akan menyatakan langsung terhadap psikologis yang diungkapkan dalam hati dan pikiran pada subjek .
Berikut ini akan di sajikan hasil uji penelitian secara deskriptif seperti yang terlihat pada tabel dari informasi yang didapatkan secara pengisian angket dan wawancara .
No | Jumlah Rokok (Batang) | Uang yang dikeluarkan | Frekuensi |
1 | 3 | Rp. 7.000 | 10 |
2 | 5 | Rp. 12.500 | 3 |
3 | 7 | Rp. 15.000 | 2 |
4 | 9 | Rp. 18.000 | 1 |
5 | 10 | Rp. 20.000 | 9 |
6 | 12 | Rp. 25.000 | 5 |
7 | 20 | Rp. 40.000 | 2 |
8 | 24 | Rp. 45.000 | 8 |
Total | 90 | Rp. 267.500 | 40 |
Pada Table 1menggambarkan bahwa perokok banyak sekali menghabiskan uangnya demi melakukan kepuasan tersendiri dan tidak memikirkan bagaimana efek negatif yang dihasilkan dari kebiasaan yang dilakukannya. Bahkan tidak memikirkan kesehatan dirinya sendiri sehingga tidak memikirkan juga efek yang ditimbulkan terhadap lingkungan di sekitarnya.
Tabel. 2 Efek Merokok
Efek-efek | Persentase |
Nikmat | 26,87 |
Puas | 18,92 |
Tenang | 11,33 |
Biasa saja | 18,43 |
Santai | 3,24 |
Hangat | 1,28 |
Percaya diri | 1,98 |
Gaul | 2,40 |
Masalah hilang | 3,90 |
Ngantuk | 2,35 |
Pusing | 6,87 |
Pahit | 2,43 |
Berdasarkan Table 2 terlihat bahwa merokok bagi mahasiswa hukum memiliki kaitan erat dengan aspek psikologis terutama efek yang positif dan negatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa hukum merasakan kepuasan setelah merokok yang berkaitan dengan aspek-aspek emosional seseorang. Hal yang sangat menonjol adalah kenikmatan, kepuasan dan merasakan ketenangan. Kepuasan psikologis kemungkinan berhubungan erat dengan frekuensi merokok seseorang. Seseorang yang merokok lebih dari 4 batang per hari maka mereka sudah dikategorikan sebagai perokok. Mahasiswa hukum yang mengkonsumsi rokok sama dengan atau lebih besar dari 4 batang perhari lebih dari 75%. Hanya 15% mahasiswa hukum yang menyatakan tidak tentu atau kurang dari 4 barang perhari dalam mengkonsumsi rokok dengan alasan keterbatasan keuangannya. Hasil ini semakin memperkuat pandangan bahwa merokok bukan berkaitan dengan aspek rasional yaitu aspek negatif dari rokok, baik dari sisi ekonomis maupun kesehatan, namun lebih berkaitan kepuasan emosional seseorang. Adapun frekuensi kondisi konsumsi rokok terbanyak yang dilakukan saat saat tertentu.
Situasi konsumsi rokok terbanyak | Persentase |
Stress | 38,03 |
Kumpul dengan teman | 23,56 |
Habis makan | 27,65 |
Kedinginan | 4,54 |
Ada uang lebih | 3,63 |
Mendengarkan musik | 0,98 |
Jauh dari orang tua | 0,96 |
Jalan-jalan | 0,65 |
Situasi yang paling banyak mengungkapkan perilaku merokok seseorang yaitu ketika subjek berada dalam tekanan (stress) yaitu 38.03%; yang kedua adalah ketika setelah makan (27,65%). Mengonsumsi rokok ketika stress merupakan upaya-upaya yang dilakukan oleh subjek untuk menangani permasalahan yang bersifat emosional . Hal ini semakin memperkuat alasan mengapa para perokok merasakan suatu kenikmatan setelah merokok . Perilaku merokok dipandang sebagai upaya penyeimbang dalam kondisi stress. Kemungkinan besar yang terjadi mahasiswa telah masuk ke tahap bukan saja dalam becoming a smoker tetapi telah masuk dalam tahap maintenance of smoking . Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengatur diri ( self-regulating ). Merokok dilakukan untuk memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan , kenikmatkan yang tinggi bagi penggunanya . Mahasiwa hukum yang memiliki kebiasaan merokok rata-rata di terima dalam lingkungan sebayanya . Hampir 24% subjek menyatakan konsumsi terbanyak di lingkungannya yaitu saat sedang berkumpul dengan teman-temannya yakni saat mereka nongkrong di mall, begadang , piknik atau kumpul-kumpul saja . Selain itu kondisi yang memungkinkan adalah setelah makan . Subjek mengungkapkan bahwa ketika sudah makan mulut mereka akan terasa asam sekali sehingga memutuskan untuk mengkonsumsi rokok setelah selesai makan .
Pertama kali melakukan aktivitas merokok | Frekuensi |
SD | 2 |
SMP | 12 |
SMA | 18 |
Kuliah | 8 |
Berdasarkan Table 4 Pertama kali subjek melakukan merokok pada pijakan duduk pada Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemungkinan besar pada saat duduk di bangku SMA subjek memiliki rasa keingintahuan yang tinggi sehingga memulainya dan mencobanya sehingga sampai saat ini duduk di bangku kuliah. Namun perilaku merokok biasanya dimulai pada masa remaja meskipun proses menjadi perokok telah dimulai sejak masa kanak-kanak karena pengaruh yang di pengaruhinya. Masa-masa paling rawan rata-rata memang pada masa SMP menuju SMA karena termasuk tahap perkembangan remaja awal. Remaja awal merupakan periode yang paling kritis terhadap pengaruh teman sebayanya dan didukung dengan sikap dari orang tua yang permisif. Selanjutnya adalah faktor yang memulainya hingga menjadi perokok aktif.
Faktor yang memulai | Frekuensi |
Lihat Orang tua | 19 |
Diajak teman | 17 |
Ikut – ikutan | 4 |
Berdasarkan faktor yang mengawali perilaku merokok terbesar adalah melihat dari orang tuanya yang memiliki kebiasaan merokok. Faktor ini memang sangat sensitif karena apa yang dilakukan oleh orang tua kemungkinan besar akan di ikuti oleh sang anak. Namun tak hanya dari orang tua yang mempengaruhi melaikan diajak oleh teman-teman sebayanya sehingga memang memungkinkan kecanduan dalam merokok dari pergaulannya. Sebagian subjek menyatakan bahwa jika tidak merokok termasuk seseorang yang cupu “Culun Punya” alias tidak gaul atau tidak keren. Untuk memasuki atau dalam artian dikatakan keren dan gaul mengharuskan untuk memiliki perilaku perokok aktif. Selain itu ada yang melakukan merokok hanya ikut-ikutan saja dan bukan kebiasaan subjek. Subjek merokok hanya saat saat tertentu saja seperti saat stress. Sikap yang tertuai akibat larangan merokok pada mahasiswa. Subjek mendasarkan bahwa sebagai perokok pastinya akan tetap melakukan merokok karena sudah sangat kecanduan dengan tembakau, sehingga walaupun adanya larangan dari kampus pun tetap melakukannya di tempat-tempat tersembunyi seperti di kamar mandi maupun tempat lainnya. Disisi lain mahasiswa hukum juga mengetahui peraturan-peraturan yang tertuang dalam undang-undang untuk tidak melakukan kebiasaan merokok di tempat umum. Apalagi adanya tempat bebas rokok. Karena pendapatnya ini sangat melanggar hukum dan tertuang pada Pasal 199 Ayat (2) UU Kesehatan yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)”. Selain dalam UU Kesehatan, ketentuan dan sanksi terkait kawasan tanpa rokok juga diatur dalam peraturan daerah setempat. Sebagai contoh dalam Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 2 Tahun 2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara (“Perda DKI Jakarta 2/2005”). Namun, berbebeda dengan beberapa mahasiswa lain yang menjadikan hukum di negara ini harus ditegakkan apalagi dari subjek yaitu sebagai mahasiswa tentunya sudah terpelajar sebab subjek merasa tinggal menyempurnakan pembelajaran karena perannya identik dengan “Agent of change” yaitu agen perubahan untuk memperbaiki keburukan menjadi kebaikan. Kemungkinan dari subjek memikirkan hal yang positif agar dapat berhenti dari rokoknya namun masih pro dan kontra karena perbedaan pendapat. Namun, 95% dari subjek yang telah di wawancara dan menuliskan pendapatnya melalui pengisian angket mengetahui hukum yang ada karena subjek adalah mahasiswa hukum di universitas daerah Jakarta Barat. M.F. Indrati, Majalah Konsitusi September 2009 : Anggota DPD berhak menjadi ketua MPR. Jakarta: Media Mahkamah Konsitusi, 2009.
Merokok adalah aktivitas dimana seseorang membakar tembakau lalu menghisap asapnya baik menggunakan rokok maupun menggunakan pipa. Perilaku merokok merupakan salah satu fenomena sosial berupa kenakalan remaja yang sering dijumpai dan mendapatkan perhatian serius dalam kehidupan sehari-hari. Proses kebiasaan mulai dari kecil dan terceminkan dari orang tua atau dari lingkungan pergaulannya. Hukum menegaskan untuk tidak melakukan kebiasaan merokok di tempat umum karena adanya peraturan yang berlaku sehingga harus di patuhi. Larangan merokok merupakan bagian cara untuk mengurangi perokok kuat atau aktif menjadi perokok pasif sehingga dapat memancarkan lingkungan hidup yang sehat bebas asap rokok. Sikap yang tertuang berbagai sikap pro dan kontra karena kebiasaan buruk yang di lakukannya namun bisa berubah dalam jangka waktu yang lama.