Notarial Law
DOI: 10.21070/jihr.2018.4.45

Introducer Witness On Notary’s Deed Establishment: Forgotten Role in Indonesia Notarial Law


Saksi Pengenal Pada Pembuatan Akta Notaris: Suatu Peran yang Dilupakan dalam Hukum Notaris di Indonesia

Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Faculty of Law, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia

(*) Corresponding Author

introducer witness deed notary

Abstract

In Law Number 2 Year 2014 regarding the Amendment of UUJN (UUJN-P) Juncto Law Number 30 of  2004 concerning Notary (UUJN) mentioned that was possible if there is a sign witness or an introducer witness. However, in Notary Law is not yet be regulated explicitly about legal protection for introducer witness who signed in a notarial deed. The purpose of this study was to know the legal protection for the introducer witness who signed in a notarial deed. The Type of research used in this research is normative, with statue approach and the results will be presented descriptively with deductive logic. The result of research shows that legal protection for introducer witness is can’t be sued because he is responsible the formal truth about people to notary only .The benefit of this research is bring information to public about legal protection for the instroducer witness.

Pendahuluan

Di dalam hukum acara perdata dikenal lima alat bukti yaitu alat bukti surat, persangkaan, pengakuan, serta sumpah.[1]Salah satu alat bukti surat adalah akta otentik yang merupakan salah satu alat bukti yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti sempurna, dimana akta otentik harus diakui kebenarannya di ruang persidangan kecuali ada pihak lain yang dapat menyangkal kebenarannya. Selama akta otentik tersebut tidak bisa dibuktikan ketidakbenarannya, maka akta otentik harus dianggap benar serta sempurna sebagai alat bukti. Menurut ketentuan KUHPerdata pada pasal 1868 yang disebut akta otentik ialah akta yang dibuat serta diresmikan ke dalam sebuah bentuk yang diatur menurut undang-undang serta dilakukan di hadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, di tempat dimana akta itu dibuat.[2]

Pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam UUJN adalah Notaris.[3] Oleh karenanya Notaris memiliki kewajiban untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatan hukum yang ia lakukan dalam pembuatan hingga peresmian akta otentik. Termasuk jika suatu hari akta otentik tersebut dijadikan alat bukti di ruang pengadilan, notaris harus siap dipanggil dan memberikan keterangan secara jujur kepada pihak-pihak berwajib.

Di dalam hal pembuatan akta notaris, ada kewajiban notaris untuk menghadirkan minimal 2 (dua) orang saksi dan disebutkan pada bagian akhir akta notaris yang disebut saksi instrumentair.[4] Pada ruang lingkup notaris dikenal dengan dua macam saksi, yakni yang pertama adalah saksi pengenal dan yang kedua adalah saksi akta atau disebut dengan saksi instrumentair.[5] Di dalam UUJN juga menyebutkan bahwa dimungkinkan ada saksi kenal atau saksi pengenal.[6] Namun pada praktiknya saksi pengenal saat ini sudah jarang dijumpai. Tetapi selama saksi pengenal disebutkan di dalam undang-undang, itu berarti saksi pengenal sangat dimungkinkan ada dan diperbolehkan. Pengenalan penghadap melalui saksi pengenal ini bisa saja disalahgunakan apabila penghadap yang dibawa oleh saksi pengenal memberikan keterangan-keterangan palsu dalam pembuatan suatu akta dan dikemudian hari terjadi perselisihan. Akan tetapi undang-undang jabatan notaris belum mengatur secara tegas tentang adanya perlindungan hukum bagi saksi pengenal tersebut.

Metode Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif, dengan pendekatan melalui peraturan perundang-undangan (Statute Approach). Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (UUJN), KUHP dan KUHPerdata sebagai sumber hukum primer dan literatur, buku, serta jurnal sebagai bahan hukum sekunder. Dari semua bahan hukum yang telah terkumpul, baik bahan hukum primer maupun sekunder akan dianalisis secara deskriptif dengan logika deduktif.

Pembahasan

Kedudukan dan Fungsi Saksi Pengenal Terhadap Penghadap

Kedudukan dan fungsi saksi pengenal dengan saksi instrumentair. Saksi pengenal dalam lingkup notaris seperti memberikan perlindungan hukum untuk penghadap kepada notaris. Karena dalam undang-undang mewajibkan notaris harus mengenal para penghadap terlebih dahulu sebelum membuat sebuah akta.[7] Pada saat ini, penghadap pada umumnya menunjukkan KTP, Passpor atau SIM untuk menunjukkan identitasnya kepada notaris meskipun tidak tertulis di dalam undang-undang bahwa seseorang dapat diperkenalkan dengan surat-surat tersebut. Lalu bagaimana jika penghadap tidak bisa menunjukkan KTP, Passpor atau SIM sebagai identitasnya kepada notaris? Itulah sebabnya, undang-undang memberikan jalan kepada siapapun yang ingin membuat sebuah akta namun tidak memiliki identitas, yakni dengan cara memperkenalkan (bekendmaking) para penghadap oleh dua orang saksi, yang biasa disebut sebagai pengganti (surrogaat) dari pengenalan (bekendheid).

Cara mengenalkan penghadap yang tidak dikenal kepada notaris adalah dengan menghadapnya dua orang saksi kenal yang memenuhi syarat-syarat sesuai undang-undang untuk memberikan kesaksian di muka pengadilan sesuai ketentuan KUHPerdata, dengan pengertian bahwa kekeluarga sedarah atau semenda tidak menjadi alasan untuk pengecualian atau dengan kata lain saudara sedarah diperbolehkan menjadi saksi pengenal. Di dalam prakteknya, syarat administratif seorang saksi pengenal menurut undang-undang adalah memiliki usia 18 tahun atau sudah menikah serta dianggap cakap melakukan perbuatan hukum.

Seorang penghadap yang dapat menunjukkan KTP, Passpor atau SIMnya kepada notaris sebelum pembuatan akta dianggap telah dikenal oleh notaris melalui identitas-identitas tersebut. Notaris nantinya akan mencantumkan dalam akta, bahwa penghadap telah dikenal oleh notaris melalui KTP, Passpor atau SIM dengan nomornya. Penghadap dalam keadaan seperti ini sudah tidak perlu lagi memperkenalkan dirinya melalui saksi-saksi pengenal, karena notaris telah mengenal penghadap.[8] Dengan kata lain, dalam keadaan seperti ini saksi pengenal tidak perlu ada. Dalam sebuah akta akan berbeda bunyinya jika penghadap menghadap sendiri atau dikenalkan oleh saksi pengenal. Jika seorang penghadap memperkenalkan dirinya sendiri dengan identitas, akta tersebut akan berbunyi, “Penghadap dikenal oleh saya, Notaris” atau jika dikenalkan dengan saksi pengenal akan berbunyi, “Penghadap diperkenalkan kepada saya, Notaris oleh dua orang saksi pengenal yang menyebut dirinya ...”.

Menurut G.H.S Lumban Tobing, S.H dalam bukunya yang berjudul Peraturan Jabatan Notaris menyebutkan bahwa cara pengenalan ini kurang baik, akan tetapi mungkin setiap cara lainnya tidak akan lebih baik dari cara tersebut. Cara ini dikatakan kurang baik karena “geloofwaardigheid” atau “nilai untuk dipercayai” dari seorang pejabat umum pada dasarnya adalah hanya berdasarkan ketentuan undang-undang.[9]

Bentuk akta notaris dibagi dalam dua macam, hal ini juga berpengaruh pada prosedur saksi pengenal dalam mengenalkan penghadap. Perbedaan tersebut juga penting kaitannya dalam pembuktian terhadap isi akta. Untuk lebih jelasnya, peneliti menguraikan perbedaannya di dalam tabel sebagai berikut :

Jenis Akta Partij
Akta Sepihak Akta Dua Pihak
Akta Wasiat-Inisiatif yang membuat akta ada pada pewasiat Semua akta yang diluar akta sepihak dan akta relaas.
Akta HibahInisiatif yang membuat ada pada penghibah
Akta Kuasa-Inisiatif yang membuat ada pada pemberi kuasa.- Contohnya kuasa blangko, yang tanpa ada penerima kuasanya
Table 1.

Prosedur saksi pengenal dalam akta partij sepihak :

Gambar : Bagan Alur 1

Prosedur saksi pengenal dalam akta partij dua pihak dengan salah satu pihak memiliki identitas :

Gambar : Bagan Alur 2

Prosedur saksi pengenal dalam akta partij dua pihak dengan kedua belah pihak tidak memiliki identitas :

Gambar : Bagan Alur 3

Perlindungan Hukum Saksi Pengenal

Notaris sebagai pejabat yang memiliki wewenang untuk membuat akta otentik yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam rangka memberikan kepastian hukum, ketertiban hukum, serta perlindungan hukum bagi para pihak yang memiliki kepentingan.[10] Mengingat akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang kuat yang diatur dalam undang-undang.

Pada sebuah akta otentik selalu mengandung kekuatan bukti material dan merupakan alat bukti sempurna. Dalam akta otentik, kebenaran atas isi dari akta tersebut ditentukan dan dikemukakan oleh para pihak sedangkan notaris dalam hal ini hanya menuangkan dalam isi akta seperti apa yang ia lihat, dengar dan diketahui dari para pihak karenanya akta otentik dikatakan memiliki kekuatan pembuktian formal. Pengertian formal dalam hal ini yaitu kebenaran tanggal dari akta tersebut, kebenaran tanda tangan yang ada di dalam akta, identitas dari orang-orang yang menghadiri pembacaan akta tersebut, serta tempat dimana akta tersebut dibuat, telah sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh para pihak. Sedangkan kebenaran dari keterangan-keterangan itu sendiri hanya para pihak yang menerangkan tersebutlah yang tahu atas kebenarannya, dengan kata lain pihak-pihak yang tercantum dalam akta itulah yang terikat pada isi atau material dari akta otentik. Dengan demikian, berdasarkan analogi tersebut maka dapat dikatakan bahwa saksi pengenal memiliki tanggungjawab yang sama dengan notaris yang mengenal penghadap lewat identitas. Hanya saja yang membedakan adalah saksi pengenal mengenal penghadap lewat kesaksian yang ia lihat, dengar, dan ketahui sendiri tanpa mengacu pada dokumen apapun.Dengandemikianjika dikemudian hari terjadi permasalahan di muka hukum baik perdata maupun pidana terkait akta otentikdan mempermasalahkan tentang penghadap, maka saksi pengenal tidak dapat digugat karena saksi pengenal hanya bertanggungjawab sebatas formalitas mengenai pengenalan penghadap kepada notaris sebelum pembuatan akta.

Kesimpulan

Saksi pengenal hanya menyampaikan keterangan sesuai dengan apa yang ia ketahui tentang penghadap dan menyampaikannya kepada notaris. Apabila ada keterangan palsu yang disampaikan penghadap kepada notaris, maka itu menjadi tanggungjawab penghadap itu sendiri. Saksi pengenal hendaknya melindungi dirinya sendiri dengan meminta penghadap untuk membuat surat pernyataan bertanda tangan di atas materai yang berisi bahwa penghadap benar meminta saksi pengenal untuk mengenalkan penghadap kepada notaris pada waktu dan tempat tertentu, dengan demikian jika terjadi perkara hukum yang melibatkan saksi pengenal, ia dapat menunjukkan surat pernyataan tersebut untuk melindungi dirinya karena sejatinya di dalam UUJN Juncto UU Perubahan atas UUJN tidak diatur mengenai perlindungan saksi pengenal dalam pembuatan akta notaris. Saksi pengenal tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana maupun perdata apabila terjadi perkara yang timbul dikemudian hari akibat adanya keterangan palsu dari penghadap. Berdasarkan analogi tanggungjawab notaris dapat dikatakan bahwa saksi pengenal memiliki tanggungjawab yang sama dengan notaris yang mengenal penghadap lewat identitas.

References

  1. S. Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia. 1998.
  2. H. I. W. Utomo, “Penggunaan Surrogate Sebagai Pengganti Tanda Tangan Dalam Akta Notaris Dan Implikasinya Terhadap Kedudukan Akta,” J. Huk. Univ. Narotama, pp. 1–16, 2015.
  3. Habib Adjie, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia. 2009.
  4. H. M. N. Syaputri, F. Patittingi, and Nurfaidah Said, “Aspek Hukum Kewajiban Saksi instrumentair Untuk Merahasiakan Isi Akta Notaris,” Amanna Gappa, vol. 25, no. 2, pp. 25–37, 2017.
  5. Hanna Nathasya Rumia Hutapea, “Kedudukan Saksi Instrumenter Dalam Pembuatan Akta Notaris Dalam Hukum Nasional,” Premise Law J., vol. 11, pp. 1–14, 2016.
  6. Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 Juncto Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. .
  7. I. K. Sujanayasa, M. Prof. Dr. Ibrahim R, SH., and M. Dr. I Gusti Ketut Ariawan, SH., “Kedudukan Saksi Instrumentair Akta Notaris Dalam Kaitannya Dengan Pasal 16 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,” Acta Com., pp. 280–292, 2016.
  8. T. T. Kie, Studi Notariat dan Serba Serbi Praktek Notaris. 2011.
  9. G.H.S Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris. 1991.
  10. R. N. Utama, “Analisis Yuridis Tentang Pertanggungjawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris,” 2012.