Administrative Law
DOI: 10.21070/jihr.2020.6.645

The Legitimacy of Circular Letter in Handling COVID-19 Pandemic


Legitimasi Surat Edaran dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Universitas Negeri Surabaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Circular Discretion Legitimacy COVID-19 Administrative Law

Abstract

The purpose of this legal research is to analyze the relevance of the discretion of government officials during the COVID-19 pandemic with the concepts and legislation related to legal issues; as well as analyzing the existence of a Circular to legitimize the handling of COVID-19 with statutory regulations. This legal research is carried out by making an inventory of various primary and secondary legal materials, so as to obtain relevant and critical studies of the legal issues discussed. The results of this legal research are that the discretion made by government officials can be justified legally if it is relevant to several provisions contained in legislation for the realization of good emergency governance; and the existence of a circular letter is legally valid if it is in accordance with the laws and regulations and the General Principles of Good Governance, by understanding that a circular is not a product of rules that are in the order of national legislation. Thus, a circular does not have strong and binding legal legitimacy. Therefore, the researcher recommends the criteria and classification of the parameters of discretion in the form of a circular as outlined in the form of a Supreme Court Regulation. This should be done so that there is no abuse of authority in implementing discretionary power by government officials and general legal principles.

Pendahuluan

Tindakan yang dilakukan oleh pejabat administratur institusional harus berbasis pada legitimasi hukum yang kuat [1]. Hal ini berkaitan dengan hak serta tanggung jawab hukum dari pejabat tersebut yang berimplikasi pada penyelengaraan pemerintah yang etik dan konstruktif. Di sisi lain, basis hukum administrasi sebagai bentuk legitimasi akan memunculkan suatu kewenangan yang melekat pada diri pejabat administrasi negara [2]. Kewenangan tersebut dapat didapatkan melalui atribusi, delegasi, mandat. Atas dasar perolehan kewenangan tersebut, maka pejabat administrasi negara dapat melakukan penyelenggaraan pemerintahan berupa mengeluarkan produk berupa regeling, beschikking maupun beleidsregel [3]. Namun, hal tersebut wajib dilakukan secara bertanggung jawab. Maka dari itu, penggunaan wewenang dibatasi oleh beberapa prinsip [4], yaitu doelmatigheid (wajib memiliki orientasi utama dari penyelengaraan pemerintahan), rechtmatigheid (wajib mematuhi prinsip prinsip hukum umum), dan wetmatigheid (wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada).

Kebijakan yang diterbitkan oleh pemerintah, pada prinsipnya harus relevan dengan dinamika hukum yang dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang sedang terjadi, termasuk seperti hal nya pada masa pandemi Corona Virus Desease 2019 (selanjutnya disebut dengan COVID-19) [5]. Pada masa normal dan abnormal (seperti adanya perang, bencana alam, wabah atau pandemi), hukum harus tetap memberikan legitimasi guna mencerminkan perlindungan hukum terhadap segala aktivitas masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan instrumen hukum yang relevan guna mencapai keberlangsungan hukum yang berkehidupan oleh pejabat administrasi negara, yang salah satunya dapat dilakukan dengan melalui kebijakan diskresi. Opsi diskresi digunakan untuk menangani stagnasi legitimasi dalam hal penyelenggaraan pemerintahan guna menghadapi masalah yang berkembang, termasuk pandemi COVID-19.

Pilihan tindakan diskresi dalam masa darurat kesehatan (merujuk Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat) merupakan hal yang sangat wajar, mengingat tujuan etik dari pemerintah adalah 'menghadirkan negara' disetiap bagian hidup masyarakat. Dalam hal legitimasi penanganan COVID-19, tindakan diskresi harus tetap memperhatikan dan mencerminkan Asas Asas Umum Pemerintahan yang Baik (selanjutnya disebut dengan AUPB) yang telah tercantum dalam Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut dengan UUAP) dan beberapa ketentuan yang berada dalam UUAP itu sendiri. Oleh karena itu, tindakan diskresi dapat dilakukan dalam masa Pandemi COVID-19, yang juga suatu kebutuhan moral dan hukum dalam masa darurat.

Salah satu bentuk kebijakan diskresi yang dilakukan oleh pemerintahan adalah beleidsregel berupa Surat Edaran yang berkaitan dengan COVID-19 (selanjutnya disebut SE-COVID-19). Hal tersebut absah dilakukan oleh pejabat pemerintah mengingat akan kebutuhan pedoman sentral atas aktivitas segala unsur masyarakat. Di satu sisi, penyelenggaraan pemerintahan melalui diskresi beleidsregel merupakan refleksi dari penyelenggaraan kepentingan umum (bestuurszorg) [6]. Penerbitan beleidsregel seringkali dianggap sebagai bentuk jawaban atas kebenaran fakta yang berbuntut pada pengambilan keputusan oleh pejabat administratur negara. Berbagai fakta yang sedang terjadi harus dijadikan pertimbangan oleh pejabat pemerintah dalam menerbitkan SE COVID-19. Namun, hingga kini kehadiran SE COVID-19 dianggap tidak memikiki daya ikat, dengan dalih SE bukanlah produk aturan yang tidak tercantum dalam hierarki peraturan perundang-undangan nasional. Di sisi lain, marwah legitimasi SE COVID-19 seringkali dianggap ‘sepele’ karena tidak memiliki akibat hukum. Oleh karena itu, dalam penelitian hukum ini memuat dua isu hukum, yaitu (1) Bagaimana Diskresi Pejabat Pemerintah dalam Masa Pandemi COVID-19 ?; dan (2) Bagaimana Keberadaan Surat Edaran sebagai Legitimasi Penanganan COVID-19 ?

Metode

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum. Adapun penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan hukum) atau prinsip hukum [7]. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah conceptual approach dan statue approach. Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer, dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder, dalam bentuk publikasi hukum termasuk buku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan literatur hukum lainnya. Dengan dua klasifikasi bahan hukum di atas, peneliti melakukan inventarisasi dan elaborasi atas peraturan perundang-undangan dan konsep yang bertalian dengan isu hukum yang akan dikaji.

Hasil dan Pembahasan

Diskresi Pejabat Pemerintah dalam Masa Pandemi COVID-19

Basis dari karakter Hukum Administrasi Negara (selanjutnya disebut dengan HAN) bersifat dinamis [8]. Dikarenakan, dimensi HAN menjangkau berbagai kebijakan dan layanan publik yang diselenggarakan oleh otorita negara dalam arti luas. Di sisi lain, kepribadian HAN yang dinamis dipengaruhi oleh kemajuan dimensi legalitas tindakan administrasi institusional yang semakin pesat [9], dan tindakan tersebut mesti harus relevan dengan keadaan normal maupun abnormal. Maka dari itu, seperangkat norma yang digunakan oleh pemerintah sebagai sarana pengawasan yang dibuat oleh pemerintah terhadap masyarakat dan untuk masyarakat tersebut diberlakukan pada dua dimensi, yaitu HAN Khusus dan HAN Darurat [10].

Aspek HAN khusus mendorong strategi kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah harus memperhatikan tiga aspek, yaitu payung hukum, produk hukum, dan perlindungan [11]. Pada aspek payung hukum, pemerintah telah menerbitkan paket regulasi, yaitu Keputusan Presiden (Keppres) No. 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid 19, dan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Covid 19 Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem Keuangan [12]. Selanjutnya, dalam faset produk hukum, berbagai lembaga Kementerian serta pemerintahan daerah telah diterbitkan berbagai produk hukum, seperti halnya surat edaran, juklak, juknis, dan lain sebagainya. Mayoritas substansi dari berbagai produk hukum tersebut adalah memberikan himbauan atau pedoman kepada Masyarakat guna tetap menjaga gaya hidup berkelindan dengan protokol kesehatan. Kemudian, dalam dimensi perlindungan hukum, langkah strategis yang diambil pemerintah melalui berbagai kebijakan dan pembentukan produk hukum dan produk aturan wajib selaras dalam kerangka konstitusional dari masyarakat, yakni mendapatkan hak perlindungan hukum [13]. Prinsip perlindungan hukum ini, bukan hanya kepada masyarakat semata, namun kepada stakeholder yang berperan untuk menangani pandemi COVID-19. Sedangkan, dalam perspektif HAN Darurat, situasi seperti ini mendorong terbentuknya unprecedented policy [14], yakni kebijakan yang tidak diprediksi sebelumnya dan belum pernah dilakukan yang diperuntukkan untuk menangani suatu problematika yang bersifat darurat. Seharusnya, kebijakan tersebut tidak perlu memiliki dimensi birokrasi yang kuat. Maksudnya, kebijakan tersebut tidak memerlukan persyaratan administrasi yang berbelit-belit. Namun, kebijakan tersebut wajib mempertimbangkan dimensi moralitas yang tumbuh dan berkembang di lingkungan masyarakat. Hal ini dikarenakan dengan moralitas itulah akan membentuk integritas yang kokoh untuk bersama-sama melaksanakan kebijakan agar dapat memutus mata rantai COVID-19 [15]. Meskipun demikian, harus dipahami bahwa penyelengaraan kebijakan penanganan COVID-19 dapat didasarkan atas kewenangan diskresi yang melekat pada pejabat administratur negara. Kewenangan diskresi pejabat administratur negara bukan dilakukan secara absolut [16]. Kewenangan tersebut harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB. Pada masa pandemi COVID-19 seperti ini, opsi diskresi merupakan dimensi solutif menjadi pemerintah untuk menjalankan amanat tujuan dari UUAP. Pasal 3 UUAP memberikan dorongan kepada pemerintah untuk terus menciptakan penyelenggaraan administrasi pemerintah dalam masa abnormal dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan dan prinsip prinsip hukum umum. Pemerintah tidak boleh untuk berdiam diam diri perihal dinamika administrasi negara dan publik dalam masa pandemi COVID-19. Kemudian, Pasal 22 UUAP yang memberikan ruang lingkup pelaksanaan diskresi untuk memberikan plihan hukum guna melancarkan penyelenggaraan pemerintah, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum atas kondisi ketidakpastian hukum, menanggulani stagnasi institusi negara maupun daerah guna faset kemanfaatan dan kepentingan umum.

Di sisi lain, penggunaan diskresi harus selaras dengan beberapa syarat yang tercantum dalam Pasal 24 UUAP. Pertama, pelaksanaan diskresi harus sesuai dengan tujuan diskresi dalam Pasal 22 UUAP. Kedua, kebijakan diskresi tidak berbenturan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maknanya, pelaksanaan diskresi oleh pejabat administratur negara harus tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang memberikan pelimpahan kewenangan kepada pejabat tersebut. Ketiga, kebijakan diskresi selaras dengan AUPB. Keempat, berbasis dengan alasan-alasan objektif sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Hal inilah yang menyebabkan pada kondisi darurat seperti halnya pandemi COVID-19, pelaksanaan diskresi boleh tidak selaras dengan prosedur administratif yang termaktub dalam peraturan perundang-undangan. Di sisi lain, dalam masa HAN darurat diperlukan penanganan yang cepat dan tepat oleh pemangku kepentingan terkait. Kelima, kebijakan diskresi tidak memunculkan conflict of interest. Keenam, tindakan diskresi dilakukan dengan prinsip good faith.

Ketentuan di atas dapat digunakan sebagai referensi oleh pejabat yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan kebijakan sebagai bentuk kecepatan penanganan COVID-19. Selain menjaga konsistensi atas tujuan utama dari suatu kebijakan, kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah melalui diskresi harus memperhatikan AUPB sebagai pemandu atas aktualisasi dari kebijakan pemerintah. Posisi AUPB yang menjadi pedoman pelaksanaan juga difungsikan sebagai kontrol atas resiko penyalahgunaan kewenangan dalam melakukan dan atau menetapkan keputusan maupun tindakan oleh pejabat pemerintahan, tak terkecuali tindakan diskresi pejabat pemerintah. Diskresi lahir atas otorita dari pejabat institusi administrasi negara yang mencerminkan reaksi responsif guna mewujudkan karakter hukum yang berkemanfaatan. Pada pelaksanaannya, wewenang diskresi tidak boleh dijadikan dalih untuk menghilangkan perbedaan pandangan di lingkungan masyarakat. Dalam hal menghadapi COVID-19, pejabat institusional negara dapat melakukan tindakan diskresi, mengingat peraturan perundang-undangan yang ada dirasa belum cukup mengatur berkenaan penanganan COVID-19. Penerbitan produk hukum melalui diskresi dalam masa darurat seperti saat ini hendaknya tetap memperhatikan dan mencerminkan beberapa kaidah tata pengelolaan yang baik, atau dapat disebut dengan 'Good Emergency Governance'. Good emergency governance dapat diciptakan dengan memperhatikan beberapa hal. Pertama, prinsip deklarasi. Segala perkembangan dari situasi dan kondisi dalam masa darurat COVID-19 harus diumumkan secara luas melalui berbagai media kepada masyarakat agar tidak terjadi ketidakpastian informasi yang berhembus dilingkungan masyarakat. Hal tersebut menjadi sangat fundamental manakala berimplikasi pada segala aktivitas masyarakat. Kedua, prinsip transparansi. Setiap langkah kebijakan dalam penanganan COVID-19 hendaknya memberikan suatu kepercayaan kepada masyarakat melalui keterbukaan atas proses dan pelaksanaan dalam hal implementasi dari kebijakan pemerintah. Prinsip transparansi bukan hanya pada dimensi nominal semata, namun juga pada aspek data faktual yang berkaitan erat dengan masa darurat [17]. Ketiga, prinsip proporsional. Berbagai sumber daya yang digunakan dalam penanganan COVID-19 diharapkan dapat seimbang dengan output atau dapat berdampak positif untuk memutus mata rantai pandemi COVID-19. Keempat, non diskriminasi. Pemberian bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak harus dilakukan secara merata, mengingat COVID-19 merupakan pandemi yang 'menghantui' seluruh lapisan masyarakat. Kelima, prinsp akuntabilitas. Segala implementasi dari kebijakan pemerintah dalam penanganan COVID-19 dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Keenam, motivasi. Pemerintah hendaknya memberikan motivasi melalui media apapun dengan substansi yang memberikan dorongan moril dan psikis kepada masyarakat. Hal ini dilakukan agar masyarakat tidak terlampau pada rasa ketakutan akan COVID-19. Disisi lain, motivasi ini sangat penting guna menjaga konsistensi atas kebersamaan masyarakat untuk tetap patuh pada protokol kesehatan hingga menguatkan solidaritas antar sesama anggota masyarakat.Penggunaan diskresi dalam masa pandemi COVID-19 dapat dibenarkan secara hukum, moral, dan konstitusional, mengingat kedudukan dari asas Salus Populi Suprema Lex Esto sebagai induk dari hukum [18]. Diskresi pada masa pandemi COVID-19 dapat dicontohkan dengan diterbitkannya Perppu Nomor 1 Tahun 2020 dan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 oleh Presiden. Tentu, dua peraturan tersebut menjadi payung hukum dalam menanggulangi beberapa aspek dalam masa pandemi ini. Di sisi lain, diskresi dapat dilakukan apabila terdapat kekosongan hukum [19]. Diskresi tersebut akan dijadikan sebagai bentuk legitimasi tindakan pemerintah atau pejabat institusional negara guna percepatan penanganan COVID-19.

Keberadaan Surat Edaran sebagai Legitimasi Penanganan COVID-19

Dalam penanganan COVID-19, diperlukan suatu interpretasi oleh pejabat pengambil kebijakan yang memiliki kewenangan untuk dapat menerbitkan surat edaran maupun Juklak atau Juknis. SE COVID-19 merupakan jalan pintas yang diposisikan sebagai ‘legitimasi yang semu’ berkenaan dengan himbauan serta pedoman penanggulangan COVID-19. Hal tersebut patut dimaklumi, mengingat tidak dimungkinkan pembuatan produk hukum yang sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan yang lumrahnya dapat memakan waktu cukup lama. Disebut sebagai legitimasi hukum yang semu, karena daya mengikat dari SE COVID-19 masih menjadi problem tersendiri.

Surat Edaran adalah salah satu bentuk kebijakan diskresi yang digunakan sebagai bentuk legitimasi. Hadirnya beleidsregel berupa SE adalah kiat penyeimbangan kepentingan serta penentuan fakta yang dilakukan oleh kekuatan otorita administrasi. Pantulan norma peraturan perundang-undangan akan menjadi balutan yang memiliki legitimasi manakala diterbitkan dalam bentuk beleidsregel [20]. Di Belanda, beleidsregel dapat diterbitkan tanpa adanya dasar hukum dari peraturan tertulis, dengan dalih bahwa badan administratif akan melaksanakan wewenang dengan sebaik-baiknya (asas kepercayaan). Beleidsregel musti dicorakkan dalam bentuk tertulis, dan ditentukan oleh suatu keputusan. Di sisi lain, otorita untuk menerbitkan beleidsregel dapat diperoleh dari hasil delegasi [21].Kemudian, Bagaimana daya mengikatnya ? Peraturan kebijakan berupa SE tidak mengikat secara umum, namun pada umumnya peraturan kebijakan dianggap sebagai aturan umum yang mengikatkan eksternal bagi segala pihak yang terlibat pada muatan materi yang ada pada SE. Harus dimengerti, bahwa eksistensi SE dapat dikaji dalam domain pembentukan norma hukum administrasi negara. Hakikat nya, SE merupakan produk hukum yang dikategorikan dalam norma hukum administrasi negara otonom, karena SE tersebut diciptakan oleh pejabat administrator negara yang memiliki kewenangan (jabatan) yang melekat pada dirinya.Sekalipun diterbitkan oleh daerah melalui pejabat fungsional seperti halnya Gubernur atau Bupati atau Walikota, SE COVID-19 tidak dapat memberikan perintah atau larangan, namun hanya bersifat himbauan. Namun, keberadaan SE sangat mendukung kebijakan pemerintah pusat, khususnya dalam aspek teknis. Misalnya, SE Mendagri No 440/2622/SJ yang mendorong setiap daerah untuk membentuk gugus tugas COVID-19 guna percepatan penanganan dari adanya pandemi ini. Hal ini merupakan suatu urgensi yang mutlak, mengingat gugus tugas akan menjadi muara dari strategi maupun skema medis maupun non medis yang dipilih oleh daerah sebagai bentuk penanganan COVID-19 [22].Implementasi dari SE COVID-19 tersebut dalam hal penanganan pandemi COVID-19 oleh daerah tentunya bergantung pada kondisi dalam berbagai dimensi di masing-masing daerah. Perkara inilah yang mendorong daerah dapat melakukan interpretasi faktual dari norma umum peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 [23]. Patut dimengerti, kendala tiap-tiap daerah sangatlah berbeda, misalnya pemberian bantuan sosial yang tidak merata, masyarakat beraktivitas dengan tidak memperhatikan protokol kesehatan, realokasi anggaran yang tidak kunjung tuntas, kebijakan yang naik turun karena bersandar pada kondisi faktual, dan lain sebagainya [24]. Oleh karena itu, penerbitan SE COVID-19 diaktualisasikan dengan mempertimbangkan kesiapan masing-masing daerah. Hal tersebut berkeanaan dengan fasilitas, transportasi, sarana infrastruktur, anggaran, dan sumber daya manusia, khususnya tenaga medis, NERS, dokter, dan relawan yang berjuang secara sosial maupun medis. Di sisi lain, pemerintah daerah harus memperlihatkan aksi reaktif dengan menggerakkan ekonomi kreatif warga, terus melanjutkan sosialisasi penggunaan protokol kesehatan dalam aktivitas setiap hari, pengaktifkan lumbung pangan secara swadaya, dan lain sebagainya.

Namun, harus dimaklumi bahwa keberadaan SE dalam tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia memang tidak tercantum. Bahkan, dalam Penjelasan Pasal 8 Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, SE bukanlah suatu bentuk peraturan yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, dalam hierarki hukum nasional, SE tidak dikenal sebagai produk hukum. Namun, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 80 Tahun 2012 Tentang Pedoman Tata Naskah Dinas Instansi Pemerintah memberikan penguraian bahwa SE adalah naskah dinas yang digolongkan sebagai produk tata naskah dengan materi muatan tentang pemberitahuan berkenaan dengan hal-hal definit yang sangat mendesak dan memiliki urgensi khusus. Perihal tata naskah dinas di lingkungan pemerintah daerah, eksistensi SE telah tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2009 Tentang Tata Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintah Daerah. Tentu, setiap pemerintah daerah memiliki format tata naskah dinas yang berlainan sesuai dengan keperluan lingkungan pemerintah masing-masing sebagai pemberian legitimasi atas himbauan resmi dari pemerintah kepada pihak yang dituju. Di sisi lain, penetapan COVID-19 sebagai darurat kesehatan [25], tentunya memberikan implikasi bahwa unsur ‘keadaan sangat mendesak’ dalam pembuatan SE telah terpenuhi. Lalu, apakah SE yang berkaitan dengan penanganan COVID-19 yang notabene merupakan ‘keadaan mendesak’ dapat diujikan kepada Mahkamah Agung ? Jika merujuk pada UUAP, hal tersebut telah tercatat pada Pasal 87 huruf a, e, dan f UUAP yang menyatakan bahwa dengan berlakunya UUAP ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus diartikan sebagai penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual dan keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum serta berlaku bagi masyarakat umum. Praktisnya, SE yang memiliki materi muatan norma regeling dan beschikking dapat di ujikan kepada Mahkamah Agung. Di sisi lain, basis fungsional dari SE hanyalah surat yang bersifat mengikat secara intern dan memiliki materi muatan pemberitahuan berupa pedoman teknis pengaplikasian atas norma umum peraturan perundang-undangan [26] Fungsi dari SE COVID-19 adalah tertib formil administrasi untuk mewujudkan dimensi informatif yang fungsional dalam penanggulangan pandemi. Di sisi lain, SE menjadi 'pegangan' dari aparat otorita (Gugus Tugas COVID-19) dalam mengimplementasikan kewenangan yang dimilikinya. Sekalipun tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, harus dimengerti bahwa SE COVID-19 memiliki daya pengatur terkait penggunaan suatu wewenang oleh suatu pihak. Oleh karena itu, SE acap kali dimaklumi sebagai bagian dari peraturan kebijakan atau peraturan kebijaksanaan (beleidsregel/policy rule) [27]. Maksudnya, SE COVID-19 yang diterbitkan dalam masa pandemi COVID-19 tetaplah bermakna suatu aturan, namun keberlakuan dan akibat hukumnya tidak seperti halnya peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan SE COVID-19 merupakan 'alat' untuk menginterpretasi norma umum dari peraturan perundang-undangan dan menetapkan kebijakan faktual yang relevan guna penanganan COVID-19. SE COVID-19 sebagai peraturan kebijaksanaan tentunya termasuk dalam norma kewenangan (administrative authority), bukan norma pengaturan [28]. Eksistensi SE COVID-19 dapat dilihat dari tiga aspek, yakni dari subjek, objek, dan kewenangan. Dalam dimensi subjek, SE COVID-19 ialah corak dari tindakan diskresi tertulis yang dilakukan oleh aparatur administrasi institusional. Selanjutnya, objek di dalam SE COVID-19 hanya bersifat informatif dan panduan atas peristiwa faktual (pandemi COVID-19) yang sedang terjadi dengan berdasarkan atas norma umum peraturan perundang-undangan. Dengan ini, SE COVID-19 tidak memilih desain hierarki top-bottom seperti halnya hierarki peraturan perundang-undangan. Akan tetapi, SE COVID-19 memiliki corak pendekatan bottom-up. Alasannya, pejabat administratur negara yang memiliki wewenang melakukan tindakan diskresi dengan menyesuaikan keadaan faktual yang sedang terjadi [29]. Sehingga, diharapkan asas kemanfaatan dan kesejahteraan masyarakat bukan hanya menjadi asa, namun dapat benar-benar diciptakan [30]. Kemudian, sekalipun dalam perspektif kewenangan pejabat administratur negara tidak memiliki kewenangan guna membentuk suatu peraturan perundang-undangan, namun seringkali SE COVID-19 dapat mengikat secara laten kepada masyarakat. Mengapa demikian ? Karena pejabat administratur negara menggunakan SE COVID-19 sebagai panduan dasar operasional atas kewenangan yang mereka miliki. Sekalipun dalam situasi serta kondisi darurat kesehatan, atau dapat dikatakan sebagai keadaan yang tidak normal, namun penyelenggaraan pemerintahan termasuk penerbitan surat edaran harus tetap memperhatikan AUPB sebagai aksioma utama pasa masa pandemi COVID-19. Oleh karena itu, eksistensi SE COVID-19 daerah dapat dikaji melalui Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Pertama, kepastian hukum. Terbitnya SE COVID-19 patut mempertimbangkan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berangkaian dengan faset teknis yang dilegitimasi oleh SE COVID-19 tersebut. SE COVID-19 tidak diperkenankan bertentangan dengan norma-norma yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Hal di atas mesti diperhatikan secara seksama karena SE COVID-19 adalah tindak lanjut dari norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Layak dipastikan pula bahwa SE COVID-19 memiliki dasar hukum atas wewenang dari pihak yang telah menerbitkan SE tersebut. Kedua, kemanfaatan. Keberadaan SE COVID-19 sebagai pedoman kiat dalam penanggulangan COVID-19 harus memberikan ekses positif kepada masyarakat. Maksudnya, kehadiran SE COVID-19 ini memudahkan dan memberikan gambaran masyarakat agar dapat memahami dan melaksankan suatu tata pedoman teknis yang sistematis dari pemerintah pusat guna penanggulangan COVID-19, khususnya dalam hal penggunaan protokol kesehatan. Ketiga, ketidakberpihakan. Terbitnya SE COVID-19 harus bersifat logis dan rasional serta tidak diskriminatif. Keempat, kecermatan. Penyusunan beberapa poin himbauan yang terkandung dalam SE COVID-19 hendaknya dilakukan secara cermat dan tidak memiliki nomenklatur maupun frasa yang kabur atau abstrak. Dikarenakan, penyusunan SE COVID-19 digunakan untuk memudahkan implementasi dari norma umum dari peraturan perundang-undangan. Kelima, tidak menyalahgunakan kewenangan. Materi muatan SE COVID-19 tidak diperkenankan untuk melahirkan suatu kewenangan baru, melampaui kewenangan, atau mencampuradukkan kewenangan dari para pihak yang dituju. Keenam, keterbukaan. Aksesbilitas atas keberadaan SE COVID-19 harus lasuh dijangkau oleh masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan mempublikasi SE COVID-19 dan atau informasi yang benar terkait SE COVID-19 tersebut di dunia virtual (internet) maupun aktual. Di sisi lain, institusi administrasi pemerintah juga mesti didesak untuk giat mensosialisasikan eksistensi SE COVID-19 tersebut agar masyarakat memperoleh informasi yang jujur dan benar. Ketujuh, kepentingan umum. Eksistensi SE COVID-19 harus memiliki materi muatan yang aspiratif, solutif, dan akomodatif dalam penanganan COVID-19 guna menakhlikkan kemanfaatan umum. Kedelapan, pelayanan yang baik. SE COVID-19 diharapkan menjadi fondasi moral untuk menciptakan pelaksanaan penanganan COVID-19 yang sesuai standar kesehatan nasional dan internasional dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Apabila meninjau dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 54 Tahun 2009 Tentang Tata Naskah Dinas Di Lingkungan Pemerintah Daerah., penyusunan SE COVID-19 dapat memperhatikan dengan beberapa asas. Pertama, efisiensi efektivitas. Secara formil, mayoritas eksistensi SE COVID-19 tidak memiliki muatan materi yang bertele-tele, sehingga kadangkala hanya tertulis satu hingga dua halaman semata. Tentu hal tersebut berbeda dengan produk hukum seperti peraturan daerah lainnya (seperti Peraturan Bupati atau Peraturan Walikota) yang memiliki norma perintah dan larangan dalam bentuk beberapa pasal. Kedua, pembakuan. Pembuatan SE COVID-19 harus menggunakan kata dan kalimat yang baku untuk menjaga marwah dari SE tersebut. Di sisi lain, penggunaan kalimat baku dalam SE COVID-19 harus dilakukan mengingat SE COVID-19 merupakan pemberitahuan atau komunikasi dari institusi resmi negara atau daerah. Ketiga, akuntabilitas. SE tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan (secara internal maupun eksternal) keabsahannya (subjek yang membuat) serta pelaksanaan dari materi muatan SE COVID-19 tersebut. Keempat, keterkaitan. Kehadiran SE COVID-19 harus selaras (saling berkaitan) dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dari pembuatan SE COVID-19 itu sendiri. Hal ini dikarenakan titik tolak SE COVID-19 ialah menjelaskan suatu hal yang tidak mampu dijelaskan dalam norma peraturan perundang-undangan. Kelima, kecepatan dan ketepatan. Terbitnya SE COVID-19 patut dilakukan dalam momen yang berpadanan dengan materi muatan dari SE tersbeut. Namun, akurasi momen yang menjadi pertimbangan penerbitan SE COVID-19 harus dilakukan secara tepat, yakni tidak menimbulkan kekaburan frasa dalam materi muatan. Hal ini harus diperhatikan dengan cermat, mengingat materi muatan SE COVID-19 berangkaian dengan faset teknis, khusus nya dalam pengendalian dan penanganan COVID-19. Keenam, azas keamanan. Penyusunan SE COVID-19 harus memperhatikan pula dimensi keamanan dari subjek pelaksana materi muatan SE COVID-19 tersebut. Selain beberapa poin di atas, penyusunan SE COVID-19 harus memperhatikan beberapa prinsip. Pertama, prinsip ketelitian. Penyusunan SE COVID-19 harus dilakukan secara teliti dan rinci. Nilai-nilai yuridis dan moral harus tetap menyelimuti substansi SE. Jangan sampai, penerbitan SE COVID-19 justru akan membuat keadaan itu stagnan, bahkan kacau. Kedua, prinsip kejelasan. Penyusunan SE COVID-19 harus menghindari dari nomenklatur yang abstrak, sehingga dapat membuat ketidakpastian pemahaman dari subjek pelaksana SE COVID-19. Ketiga, prinsip singkat padat dan jelas. SE COVID-19 dapat dibuat hanya satu hingga dua lembar semata. Keempat, prinsip logis dan meyakinkan. Substansi yang menjadi materi muatan SE COVID-19 dapat dilakukan secara komprehensif oleh para pelaksana. Lumrahnya, substansi SE COVID-19 berisi himbauan untuk melakukan sesuatu yang dapat dilakukan dalam tempo waktu sesegera mungkin. Meski hanya sekedar himbauan, tidak sedikit pula masyarakat yang mematuhi SE COVID-19 tersebut sebagai bentuk tanggung jawab moril. Mengapa demikian ? Karena mutu etis manusia adalah berperilaku dengan baik serta taat atas aturan maupun himbauan yang berlaku demi terciptanya kesejahteraan sosial. Di sisi lain, himbauan yang direfleksikan dalam bentuk SE COVID-19 memiliki tujuan positif, yakni mencegah penyebaran pandemi COVID-19. Sehingga keberadaan SE COVID-19 dapat berlaku mengikat secara cara umum, tergantung pada tanggung jawab moril setiap subjek hukum. Namun, kewenangan menerbitkan SE COVID-19 dengan dalih diskresi harus tetap diawasi [31]. Menanggapi hal tersebut, peneliti merekomendasikan kriteria dan klasifikasi atas parameter dari diskresi dalam bentuk SE dituangkan dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung.

Kesimpulan

Sifat dinamis dari HAN mendorong terwujudnya implementasi HAN Darurat dan HAN Khusus. Maka dari itu, perlu beberapa upaya yang tidak biasa yang harus diambil oleh pejabat pemerintah yang berwenang, salah satunya dengan melakukan tindakan diskresi. Diskresi yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam masa pandemi COVID-19 harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang ada, khsuusnya UUAP. Hal ini menjadi sangat penting, mengingat demi terwujudnya good emergency governance dalam masa Pandemi COVID-19. Kemudian, SE bukanlah sebuah produk hukum yang termasuk dalam peraturan perundang-undangan dalam Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011. Hal ini dikarenakan SE COVID-19 bukanlah beschikking, sehingga materi muatannya bukan berupa norma. Materi muatan dari SE COVID-19 hanyalah berupa himbauan atau pemberitahuan. Di sisi lain, SE COVID-19 memuat pedoman yang diterbitkan dalam keadaan mendesak dan mencakup segala dimensi yang patut diimplementasikan sesuai dengan acuan, yakni norma umum peraturan undang-undangan. Apabila himbauan ini tidak ditaati, maka tidak menimbulkan akibat hukum, mengingat materi muatan SE COVID-19 bukanlah sebuah norma. Namun, tanggung jawab moril dari masyarakat mendorong masyarakat untuk mentaati himbauan tersebut demi menjaga mutu etik dari warga negara yang baik. Oleh karena itu, substansi dari SE COVID-19 harus memperhatikan beberapa asas dan prinsip, serta tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

References

  1. E. N. Cheung, “Considerations for Closing the Moral and Legal Gap in Public Utility Regulation,” Journal of the National Association of Administrative Law Judiciary, vol. 40, no. 1, pp. 60–84, 2020.
  2. D. Berke, “Reworking the Revolution: Treasury Rulemaking & Administrative Law,” Michigan Journal of Environmental & Administrative Law, vol. 7, no. 2, pp. 353–420, 2020.
  3. R. HR, Hukum Administrasi Negara: Edisi Revisi. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2018.
  4. S. P. Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994.
  5. N. Ivanka, “Large-scale Social Restrictions: What’s Next?,” The Indonesian Journal of International Clinical Legal Education, vol. 2, no. 2, pp. 201–214, 2020, doi: https://doi.org/10.15294/ijicle.v2i2.38324.
  6. C. K. Takwani, Lectures on Administrative Law, III. New Delhi: Eastern Book Co, 2004.
  7. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum: Edisi Revisi, 13th ed. Jakarta: KENCANA, 2017.
  8. B. Emerson, “The Claims of Official Reason: Administrative Guidance on Social Inclusion,” Yale Law Journal, vol. 128, no. 8, pp. 2125–2216, 2019.
  9. S. B. Jacobs, “The Statutory Separation of Powers,” Yale Law Journal, vol. 129, no. 8, pp. 380–444, 2019.
  10. F. B. Bastos and A. De Ruijter, “Break or Bend in Case of Emergency?: Rule of Law and State of Emergency in European Public Health Administration,” European Journal of Risk Regulation, vol. 10, no. 4, pp. 610–634, Dec. 2019, doi: 10.1017/err.2019.71.
  11. P. Daly, “The Signal and the Noise in Administrative Law,” University of New Brunswick Law Journal, vol. 68, no. 3, pp. 68–86, 2017, doi: http://dx.doi.org/10.2139/ssrn.2874310.
  12. F. P. Disantara, “The Large Scale Social Restrictions Policy For Handling The COVID-19 Pandemic,” Jurnal Pembaharuan Hukum, vol. 7, no. 2, pp. 128–141, 2020, doi: http://dx.doi.org/10.26532/jph.v7i2.9429.
  13. K. Liddell, J. M. Skopek, S. Palmer, S. Martin, J. Anderson, and A. Sagar, “Who Gets the Ventilator? Important Legal Rights in a Pandemic,” Journal of Medical Ethics, vol. 46, no. 7, pp. 421–426, Jul. 2020, doi: 10.1136/medethics-2020-106332.
  14. J. N. Oates, “A Primer on Emergency Rulemaking,” The Florida Bar Journal, vol. 92, no. 4, p. 32, 2018.
  15. B. Ackerman, “The Emergency Constitution,” Journal of Constitutional Law, vol. 1, no. Special Edition, pp. 9–63, 2020.
  16. R. F. Mahmoud, “An Evaluation Of The Judicial Control Of Administrative / Legislative Discretion In Nigeria,” Nnamdi Azikiwe University Journal of International Law and Jurisprudence, vol. 11, no. 1, pp. 149–160, 2020.
  17. J. Bell, The Anatomy of Administrative Law, 1st ed. Oxford: Hart Publishing, 2020.
  18. R. Epstein, The Dubious Morality of Modern Administrative Law. Maryland: Rowman & Littlefield, 2020.
  19. I. P. Massey, Administrative Law. Delhi: Eastern Book Company, 2020.
  20. R. L. Glicksman and E. Hammond, “The Administrative Law of Regulatory Slop and Strategy,” Duke Law Journal, vol. 68, pp. 1652–1712, 2019, doi: 10.2139/ssrn.3396610.
  21. E. H. Stiglitz, “The Limits of Judicial Control and the Nondelegation Doctrine,” The Journal of Law, Economics, and Organization, vol. 34, no. 1, pp. 27–53, Mar. 2018, doi: 10.1093/jleo/ewy002.
  22. F. P. Disantara, “Aspek Imunitas Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019,” Istinbath : Jurnal Hukum, vol. 17, no. 1, pp. 65–82, 2020, doi: https://doi.org/10.32332/istinbath.v17i1.2049.
  23. E. D. Bernick, “Faithful Execution: Where Administrative Law Meets The Constitution,” Georgetown Law Journal, vol. 108, no. 1, pp. 3–71, 2019.
  24. R. D. M. Kumala, “Legal Analysis of Government Policy on Large Scale Social Restrictions in Handling Covid-19,” The Indonesian Journal of International Clinical Legal Education, vol. 2, no. 2, pp. 181–200, 2020, doi: https://doi.org/10.15294/ijicle.v2i2.38326.
  25. F. P. Disantara and D. E. Prasetio, “Nalar Hagemonik Perppu COVID-19,” Gresnews.com, 2020. http://www.gresnews.com/berita/opini/117983-nalar-hagemonik-perppu-covid-19/ (accessed Apr. 01, 2020).
  26. J. M. Beermann, Emanuel Law Outlines for Administrative Law, 5th ed. New York: Wolters Kluwer Law & Business, 2020.
  27. S. G. Koven, The Case Against Bureaucratic Discretion, 1st ed. Cham: Springer International Publishing, 2019. doi: 10.1007/978-3-030-05779-4.
  28. J. A. Grant, “REASON AND AUTHORITY IN ADMINISTRATIVE LAW,” The Cambridge Law Journal, vol. 76, no. 3, pp. 507–536, Nov. 2017, doi: 10.1017/S0008197317000599.
  29. F. P. Disantara, “The Validity of Rector's Circular Letter on the Covid-19 Pandemic,” UNIFIKASI : Jurnal Ilmu Hukum, vol. 7, no. 1, p. 126, May 2020, doi: 10.25134/unifikasi.v7i1.2765.
  30. J. A. Pojanowski, “Neoclassical Administrative Law,” Harvard Law Review, vol. 133, p. 852, 2019.
  31. V. I. W. Nalle, “The Scope of Discretion in Government Administration Law: Constitutional or Unconstitutional?,” Hasanuddin Law Review, vol. 4, no. 1, p. 1, Apr. 2018, doi: 10.20956/halrev.v4i1.1316.