Notary has the authority to certify the electronic transaction (cyber notary) according to the Elucidation of Article 15 paragraph (3) of Law Number 2 of 2014 (Law 2/2014). Thus, the authority has been the milestone for the concept of cyber notary in Indonesia. Although the enactment of Law 2/2014 presented a new concept in Notary in Indonesia, but it does not give a wide chance to the application of cyber notary itself. One of the roots that causes the obstacles are the absence of definite law in regulating cyber notary. Law 2/2014 mentioned cyber notary but did not give a normative definition on it. Therefore, the concept of cyber notary is limited to conduct the certification of electronic transaction. Several challenges on performing the authorities and obligations of notary could be found in the context of the implementation of cyber notary, as follows: 1) Notary is bounded to the form and procedure in drawing up authentic deeds set by Article 38 Law 2/2014; 2 ) The appearers shall be known to Notary or introduced to him/her; 3 ) Reading and signing of deeds have to done in specific procedure; and 4) Drawing up deeds in the form of Minutes of Deed and keep the same as a part of Notarial Protocols. This article was classified as legal normative research and meant to analyze the concept of regulation on cyber notary in Indonesia by using statute and conceptual approach.
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) mengamanatkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Konsep mengenai negara hukum ini sebelumnya hanya dicantumkan dalam Penjelasan UUD 1945. Namun pada Amandemen Keempat di tahun 2002, pernyataan secara tegas Indonesia sebagai negara hukum dimasukkan ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Konsep negara hukum utamanya menekankan bahwa yang terutama dalam negara adalah hukum. Hukum menjadi panglima tertinggi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.
Penerapan negara hukum di Indonesia dapat diartikan bahwa negara memberikan jaminan kepastian hukum terhadap setiap perbuatan, peristiwa, serta hubungan hukum (hak dan kewajiban) yang timbul dan diemban oleh setiap anggota masyarakat. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).[1] Oleh sebab itu, kepastian hukum yang dimaksud harus diwujudnyatakan melalui setiap peraturan perundang-undangan yang ada dan berlaku di Indonesia.
Salah satu penerapan kepastian hukum dalam rangka menjamin perlindungan hukum terhadap hak anggota masyarakat adalah pengaturan terkait alat bukti. Dalam hukum perdata Indonesia, diakui 5 (lima) alat bukti yang sah, yaitu:[2] 1) bukti tertulis; 2) bukti saksi; 3) persangkaan; 4) pengakuan; dan 5) sumpah. Alat bukti tertulis terbagi menjadi 2 (dua), yakni akta autentik dan akta bawah tangan. Akta autentik didefinisikan sebagai suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.[2] Berdasarkan pengertian tersebut, maka akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang tidak cakap atau tidak berwenang atau jika bentuk akta tersebut cacat, maka akta tersebut tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil sebagai akta autentik, sehingga nilai kekuatan pembuktiannya sebagai akta bawah tangan. Akta autentik adalah alasan dan landasan yang mendasari pentingnya keberadaan profesi pejabat umum yang berwenang membuatnya. Dalam hal ini, pejabat umum yang dimaksud adalah Notaris.
Profesi Notaris berperan sangat penting dalam mendorong terwujudnya kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kewenangan strategis yang dimiliki oleh Notaris dalam ranah hukum perdata, yakni membuktikan dan mempertahankan suatu hak.[2] Mengingat signifikasi profesi Notaris, maka peran, fungsi dan keberadaan Notaris diatur dalam peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya dimaksudkan untuk kepastian hukum, namun juga perlindungan hukum bagi Notaris dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Pengaturan mengenai jabatan Notaris termaktub dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN 30/2004) jo. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU JN 2/2014). Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU JN 2/2014, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau berdasarkan Undang-Undang lainnya.
Kewenangan Notaris diatur secara khusus dalam Pasal 15 UU JN 2/2014. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU JN 2/2014, Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Kewenangan lain dari Notaris yang lebih rinci juga diatur dalam Pasal 15 ayat (2) UU JN 2/2014.
Berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, serta maraknya digitalisasi menyebabkan komunikasi dan perolehan informasi di antara individu menjadi lebih mudah dan lebih cepat. Tidak sedikit komunikasi dan interaksi manual atau tatap muka langsung menjadi berkurang. Notaris dalam menjalankan profesi dan tugas jabatannya juga turut terkena dampak dari arus globalisasi ini. Tantangan yang dihadapi dalam era revolusi era revolusi 4.0 salah satunya adalah cyber-crime atau kejahatan siber yang dapat mengganggu keamanan nasional dan dunia. Notaris mengemban tugas untuk secara aktif membantu mewujudkan kepastian hukum dan keamanan negara, yakni mencegah dan memberantas tindak pidana pendanaan terorisme dan pencucian uang. Dalam hal ini, Notaris diwajibkan untuk melakukan wajib lapor sehubungan dengan penerapan prinsip mengenali pemilik manfaat dari korporasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana terorisme.[3]
Selain tambahan kewajiban bagi Notaris dalam rangka mencegah tindak pidana pencucian uang dan pendaan terorisme, Notaris juga diberikan tambahan kewenangan dalam ranah sertifikasi atau otentikasi suatu transaksi online. Pemberian kewenangan dari Pemerintah kepada Notaris untuk mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary) tercantum dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU JN 2/2014. Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN 2/2014 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan,antara lain kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat akta ikrar wakaf, dan”hipotek pesawat terbang.”
Edmon Makarim pada suatu Seminar Nasional yang diadakan di Bandung,[4] menjelaskan bahwa kata “mensertifikasi” dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UUJN 2/2014 bukan berarti mencetak sertifikat, tetapi certified the issue. Notaris sebagai pihak ketiga yang netral, melakukan verifikasi terhadap para pihak yang menghadap, sehingga mereka tidak bisa menapik atau menyanggahnya.
Transaksi yang dilakukan secara elektronik merupakan suatu perikatan yang”dilakukan oleh pihak-pihak dengan menggunakan cara saling bertukar informasi”guna melakukan perdagangan melalui media elektronik (komputer).[5] Transaksi secara elektronik, yang biasa dikenal dengan istilah online contract, sesungguhnya adalah perikatan atau hubungan hukum yang dilakukan dengan cara”elektronik dan memadukan jaringan kerja (networking) dari sistem informasi yang”berbasiskan komputer (computer based information system), ditambah dengan“sistem komunikasi yang berdasarkan atas jaringan dan jasa telekomunikasi”(telecommunication based) yang selanjutnya ditunjang oleh keberadaan jaringan komputer global internet (network of network).[5]”Hadirnya metode“transaksi secara elektronik ini tentunya harus diimbangi oleh peraturan-peraturan”yang dapat menjamin kepastian hukum bagi unsur-unsur yang ada dalam transaksi yang dilakukan secara elektronik, sehingga para pihak dapat terlindungi hak-haknya. Sebagai salah satu upaya Pemerintah dalam memberikan kepastian hukum terhadap transaksi yang dilakukan secara elektronik, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE 11/2008). UU ITE 11/2008 kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE 19/2016).
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU ITE 19/2016, transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Sedangkan sertifikat elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik yang dikeluarkan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9 UU ITE 19/2016. Sehubungan dengan sertifikasi elektronik, Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia pada 27 Agustus 2018 menetapkan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (Permenkominfo 11/2018). Dalam aturan ini, ditentukan bahwa atas permohonan dari pemohon atas penerbitan sertifikat elektronik, penyelenggara sertifikasi elektronik dapat menunjuk Notaris sebagai otoritas pendaftaran. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 25 jo. Pasal 27 huruf c Permenkominfo 11/2018. Pasal 30 Permenkominfo 11/2018 tersebut mengatur lebih lanjut bahwa dalam hal pemeriksaan yang dilakukan oleh Notaris dinyatakan memenuhi persyaratan, maka Notaris meneruskan permohonan kepada penyelenggara sertifikasi elektronik untuk menerbitkan sertifikat elektronik. Di sinilah peran penting cyber notary dalam membantu mewujudkan kepastian hukum, yaitu melakukan verifikasi pemenuhan persyaratan terhadap suatu transaksi elektronik sebelum penerbitan sertifikat elektronik.
Kewenangan Notaris untuk mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary) menimbulkan polemik di masyarakat, khususnya di kalangan Notaris. Hal ini didukung pula oleh pendapat Edmon Makarim, yang menyatakan bahwa konsep cyber notary tampaknya di Indonesia masih dalam perdebatan dan dirasakan sebagai suatu wacana saja, belum dirasakan sebagai kebutuhan. Walaupun teknologi memungkinan peranan Notaris secara online dan remote, namun secara hukum hal tersebut seakan belum dapat dilakukan karena paradigma yang melandasi UU Notaris dibangun dengan mekanisme konvensional.[6] Dari pengaturan UU JN 2/2014 dan UU ITE 19/2016, serta peraturan pelaksanaannya, tidak ditemukan definisi cyber notary. Karena belum ada pengertian secara definitif mengenai cyber notary, maka muncul perbedaan pendapat di antara para pakar.
Herlien Budiono berpendapat bahwa pada hampir setiap kantor Notaris telah digunakan personal computer (PC) dan alat bantu elektronik lainnya. Otomatisasi dan rasionalisasi dengan menggunakan perangkat modern, baik dalam bentuk hardware maupun software tidak saja menghemat biaya personil, tetapi juga diharapkan dapat menghasilkan “produk” akta yang lebih cepat dan akurat. Namun, perubahan yang terjadi di dalam penggunaan perangkat modern pada kantor Notaris tersebut belum diikuti dengan perubahan tata cara pembuatan akta Notaris, di antaranya, pelaksanaan pembuatan akta yang dilakukan, baik di hadapan maupun oleh Notaris dengan dihadiri oleh (para) penghadap yang harus membubuhkan tanda tangannya demikian pula para saksi dan Notarisnya.[7] Sedangkan menurut Emma Nurita, cyber notary merupakan konsep yang memanfaatkan kemajuan teknologi dalam menjalankan tugas dan kewenangan Notaris. Digitalisasi dokumen merupakan tantangan bagi Notaris, terutama berkaitan dengan otentikasi dan legalisasi dokumen.[8]
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat dikatakan bahwa UU JN 2/2014 memberikan suatu kewenangan tambahan bagi Notaris, yakni mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik tanpa penjelasan lebih rinci bentuk konkret kewenangan tersebut. Di sisi lain, Permenkominfo 11/2018 sebagai peraturan di bawah UU ITE justru menunjuk Notaris sebagai salah satu pihak yang dapat melakukan pemeriksaan terhadap permohonan sertifikat elektronik. Ketidakjelasan pengaturan mengenai cyber notary menyebabkan kegelisahan dan kebingungan Notaris dalam melaksanakan kewenangan mensertifikasi transaksi elektronik. Oleh karena itu, pengkajian mendalam mengenai konsep pengaturan cyber notary perlu dilakukan.
Artikel ini menggunakan penelitian hukum normatif. Berkaitan dengan penelitian hukum normatif, maka yang menjadi objek penelitian berupa ketentuan-ketentuan hukum yang relevan, untuk memecahkan isu hukum dalam artikel ini. Tujuanya untuk menguji kualitas norma hukum sebagai objek penelitian dengan mendasarkan pada unsur esensial serta tujuan utama dari hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian.
Untuk memecahkan isu hukum dalam artikel ini, digunakan bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan non hukum. Keseluruhan bahan hukum ini dirangkai dan dijadikan penunjang dalam menemukan jawaban atas isu hukum yang akan dipecahkan. Bahan hukum primer, sekunder dan bahan non hukum diperoleh melalui studi kepustakaan. Bahan pustaka terkumpul kemudian dipilah secara selektif, sehingga memperoleh bahan-bahan yang menyangkut tentang isu yang diteliti.
Pendekatan yang digunakan dalam artikel ini adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Dengan pendekatan undang-undang, maka ditelaah semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan isu hukum yang diangkat. Hasil dari telaah tersebut membantu untuk menganalisis kesesuaian dan konsistensi hukum dalam menjamin kepastian hukum di masyarakat. Digunakan juga pendekatan konseptual dengan cara mengumpulkan pandangan-pandangan serta doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum untuk melengkapi hasil penelitian.
Dalam menganalisis hasil penelitian, jenis penelitian hukum digunakan sangat menentukan sifat analisisnya. Jika sasaran dalam penelitian menguji kualitas substansinya norma hukum, maka analisisnya bersifat kualitatif. Sedangkan jika sasaran dalam penelitian untuk menguji apakah suatu norma hukum efektif atau tidak dalam penerapannya dalam masyarakat, sifat analisisnya adalah kuantitatif.[9] Oleh karena sasaran dalam penelitian ini adalah untuk menguji kualitas substansi atau norma hukum, maka sifat analisis yang tepat untuk digunakan adalah kualitatif, yang artinya rumusan pembenaran didasarkan pada kualitas dari pendapat-pendapat para ahli hukum, doktrin, teori, maupun dari rumusan norma hukum itu sendiri.[9]
Pengaruh teknologi yang sedemikian rupa juga turut membentuk budaya baru dalam politik, ekonomi, sosial, dan tak terkecuali hukum. Peran Notaris sangat diharapkan dapat mengakomodir perkembangan teknologi dalam era industri 4.0 ini. Pada Seminar Nasional “Strategi Peningkatan Kualitas Calon Notaris di Era 4.0” yang diselenggarakan di Kampus UPH Karawaci, Habib Adjie mengungkapkan bahwa kelak bisa saja terdapat Notaris virtual. Notaris yang akan datang melakukan prakteknya akan jauh lebih modern, tidak perlu sering tatap muka, semuanya akan tertampung di big data.[10]Notaris dituntut untuk bisa dan mampu menggunakan konsep cyber notary agar tercipta suatu pelayanan jasa yang cepat, tepat dan efesien, sehingga mampu mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.[8]
Kewenangan yang menjadi titik tolak konsep cyber notary di Indonesia terdapat pada Pasal 15 ayat (3) UU JN 2/2014, yang berbunyi: “Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”. Dalam Penjelasan pasal tersebut, disebutkan bahwa:
“Yang dimaksud dengan “kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan”, antara lain, kewenangan mensertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik (cyber notary), membuat Akta ikrar wakaf, dan hipotek pesawat terbang.”
UU JN 30/2004 tidak mengatur mengenai cyber notary. UU JN 2/2014 menyebutkan mengenai cyber notary, namun tidak memberikan definisi yang normatif, sehingga dengan dicantumkannya Penjelasan Pasal 15 ayat (3) UU JN 2/2014 tersebut, maka secara limitatif yang dikategorikan sebagai cyber notary adalah ihwal sertifikasi transaksi yang dilakukan secara elektronik.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, sertifikasi adalah penyertifikatan.[11] Transaksi elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan komputer, dan/atau media elektronik lainnya.[12] Secara gramatikal, sertifikasi transaksi secara elektronik memiliki arti bahwa Notaris melakukan pencatatan atas suatu kegiatan atau transaksi yang dilakukan secara elektronik dan terdapat output hasil pencatatan tersebut berupa suatu sertifikat atau dokumen.
Secara sederhana, cyber notary dapat diartikan sebagai pelaksanaan tugas atau kewenangan jabatan Notaris secara elektronik atau dengan memanfaatkan teknologi informasi. Istilah cyber notary juga sering digunakan untuk merujuk pada kewenangan Notaris yang diaplikasikan dalam transaksi elektronik. Artikel ini berfokus pada pembahasan kewenangan serta beberapa kewajiban Notaris dalam kaitannya dengan penggunaan teknologi informasi (cyber notary).
Notaris sebagai pejabat umum diberikan kewenangan oleh undang-undang yang salah satunya adalah membuat akta autentik. Pemberian kewenangan ini disebutkan dalam definisi Notaris pada Pasal 1 angka 1 UU JN 2/2014. Kewenangan membuat akta autentik ditegaskan kembali dalam Pasal 15 ayat (1) UU JN yang menyebutkan bahwa:
“Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan Akta, semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain satau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.”
Sudah tentu ruhdari penuangan suatu peristiwa hukum, perbuatan hukum, atau keadaan seseorang atau beberapa orang yang berkepentingan dalam suatu kertas yang berisikan tulisan, kemudian diberikan tanda tangan, dan meterai, adalah untuk memberikan jaminan, perlindungan bahkan suatu pegangan untuk menjadi alat bukti apabila suatu saat para pihak bersengketa. Penuangan peristiwa, perbuatan maupun keadaan ke dalam suatu tulisan ini dapat dibuat hanya di antara para pihak yang bekepentingan maupun dengan melibatkan seorang pejabat umum. Bila para pihak menghadap ke Notaris sebagai pejabat umum, kemudian memintanya untuk membuatkan akta bagi mereka, tentunya ada harapan terhadap Notaris tersebut. Salah satunya adalah harapan bahwa akta yang dihasilkan adalah akta autentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Penjelasan Umum UU JN 2/2014 menyatakan bahwa:
“Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai perbuatan, perjanjian, penetapan, dan peristiwa hukum yang dibuat di hadapan atau oleh Notaris.”
Pentingnya akta autentik pun termaktub dalam KUH Perdata, utamanya Pasal 1868 dan 1870 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1868 KUH Perdata:
“Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.”
Pasal 1870 KUH Perdata:
“Bagi para pihak yang berkepentingan beserta para ahli warisnya ataupun bagi orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka, suatu akta autentik memberikan suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya.”
UU JN 2/2014 memberikan definisi tersendiri terhadap akta autentik yang dibuat Notaris, yakni akta Notaris. Definisi ini ditemukan dalam Pasal 1 angka 7 UU JN 2/2014, yang berbunyi:
“Akta Notaris yang selanjutnya disebut Akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini”.
Walaupun tidak ada suatu keseragaman atau blangko akta, seperti halnya blangko Akta PPAT, Akta Notaris memiliki keunikan tersendiri. Dikatakan unik karena untuk jenis akta yang sama, boleh ada perbedaan pengaturan dan penyusunan klausula-klausula sesuai kesepakatan para pihak (asas konsensualisme). Notaris dalam hal ini berperan mengakomodir kepentingan para pihak dan tiap akta yang dihasilkan merupakan “tailor-made” yang membedakannya dengan akta lain.
Keberagaman ini dilatarbelakangi asas kebebasan berkontrak yang diamanatkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Walaupun para pihak bebas dalam membuat perjanjian atau kontrak, namun mereka dibatasi oleh ketentuan dalam Pasal 1337 KUH Perdata, yang mengatur pada pokoknya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Sebagaimana pembatasan dalam kebebasan berkontrak, dalam melakukan drafting akta, Notaris juga diberikan pembatasan yakni akta tersebut harus terdapat awal, badan dan akhir akta, sebagaimana amanat dalam Pasal 38 UU JN 2/2014. Apabila akta Notaris dibuat dengan melanggar ketentuan tersebut, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Bahkan dalam Pasal 50 ayat (5) UU JN 2/2014 ditegaskan bahwa tidak terpenuhinya Pasal 38 ayat (4) huruf d, dapat menjadi alasan bagi pihak yang menderita kerugian untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.
Suatu langkah awal dalam mengakomodasi dinamika teknologi dalam pembuatan akta autentik oleh Notaris terdapat pada akta RUPS. Pasal 77 UU PT 40/2007 memberikan terobosan baru dalam penyelenggaraan RUPS. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“(1)Selain penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76, RUPS dapat juga dilakukan melalui media telekonferensi, video konferensi, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUPS saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat.
(2)Persyaratan kuorum dan persyaratan pengambilan keputusan adalah persyaratan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini dan/atau sebagaimana diatur dalam anggaran dasar Perseroan.
(3)Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan keikutsertaan peserta RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)Setiap penyelenggaraan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuatkan risalah rapat yang disetujui dan ditandatangani oleh semua peserta RUPS.”
Selanjutnya Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT 40/2007 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “disetujui dan ditandatangani” adalah disetujui dan ditandatangani secara fisik atau secara elektronik. Ketentuan Pasal 77 UU PT 40/2007 memang merupakan suatu kemajuan sekaligus langkah nyata pemanfaatan teknologi dalam suatu kegiatan badan hukum (perseroan terbatas) yang sangat mungkin melibatkan Notaris didalamnya. Sayangnya, dalam UU PT 40/2007 tidak ditemukan perintah pembentukan aturan teknis pelaksanaan penyelenggaraan RUPS secara elektronik ataue-RUPS.
Akta risalah RUPS yang dilaksanakan melalui media elektronik khususnya video conference dapat disebut sebagai akta autentik apabila menggunakan asas perundang-undangan lexspecialis derogate legigenerali, di mana yang menjadi lexgenerali adalah Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN 2/2014, sedangkan lexspecialis-nya adalah Pasal 77 ayat (1) jo. Penjelasan Pasal 77 ayat (4) UU PT 40/2007.[13] Selanjutnya, bila mengaitkan ketentuan Pasal 46 UU JN 30/2004 dengan Pasal 77 ayat (4) UU PT 40/2007, maka dapat ditarik pemahaman bahwa:
Dengan demikian, secara de facto, dapat dikatakan bahwa cyber notary yang diterapkan untuk membuat akta Notaris tidaklah mengurangi keautentikan akta asalkan dapat memenuhi ketentuan perjumpaan face-to-face agar Notaris dapat berhadapan dengan penghadap yang bersangkutan (termasuk para saksi), serta tanda tangan yang dibubuhkan dalam akta haruslah memenuhi ketentuan tanda tangan elektronik sesuai ketetapan peraturan perundang-undangan.
Kekuatan pembuktian akta RUPS yang dilakukan secara telekonferensi apabila telah dilakukan dengan mekanisme yang sesuai ketentuan perundang-undangan adalah akta berita acara RUPS dan akta pernyataan keputusan rapat (akta PKR) memiliki kekuatan pembuktian yang melekat padanya adalah sempurna (volledigbewijskracht) dan mengikat (bindendebewijskracht) sebagaimana ketentuan Pasal 1870 KUH Perdata.[14]
Dalam Seminar Nasional yang diselenggarakan Pengurus Daerah Kabupaten Bandung Barat dan Pengurus Wilayah Jawa Barat Ikatan Notaris Indonesia di Bandung Barat, Aulia Taufani memaparkan bahwa praktik saat ini, para Notaris di Indonesia cukup terbiasa dengan penggunaan teknologi. Beberapa kebiasaan penggunaan informasi teknologi di kalangan Notaris berdasarkan UU JN dan peraturan lainnya saat ini:[4]
Pasal 46 UU JN 30/2004 dikaitkan dengan Pasal 77 UU PT 40/2007 | |
Perseroan Terbatas | Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 4 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Perseroan Terbatas. |
Koperasi | Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 14 Tahun 2019 tentang Pengesahan Koperasi |
Yayasan | Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Yayasan jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Anggaran Dasar serta Penyampaian Pemberitahuan Perubahan Anggaran Dasar dan Perubahan Data Yayasan |
Perkumpulan | Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan jo. Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 10 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengesahan Badan Hukum dan Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar Perkumpulan |
CV, Firma , Persekutuan Perdata | Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pendaftaran Persekutuan Komanditer, Persekutuan Firma, dan Persekutuan Perdata. |
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia | |
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 58/POJK.04/2017 tentang Penyampaian Pernyataan Pendaftaran atau Pengajuan Aksi Korporasi secara Elektronik |
Nilai autentik suatu akta seharusnya tidak hanya bergantung pada bentuknya yang ditentukan oleh undang-undang, melainkan juga pada pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta tersebut. Maksud dan tujuan dari para pihak melibatkan Notaris sebagai third party dalam perbuatan hukum yang mereka lakukan, tentunya adalah memperoleh pelayanan, bantuan, pendapat hukum, yang sifatnya mandiri, tidak berpihak dan memberikan suatu jaminan perlindungan hukum atas perbuatan hukum yang mereka lakukan. Hal ini memang merupakan salah satu kewajiban seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UU JN 2/2014 yang berbunyi: “Dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum”. Sejalan dengan hal tersebut, Herlien Budiono berpendapat bahwa:
“Fungsi Notaris tidak sebatas membuat akta autentik tetapi dengan dasar dan alasan filosofis, sosiologis dan yuridis, maka Notaris dapat mendeteksi kemungkinan iktikad buruk dan akibat yang tidak diinginkan serta melindungi pihak-pihak lemah kedudukan sosial ekonomi dan yuridis dengan demikian melindungi pihak ketiga yang beriktikad baik. Notaris menjamin kecakapan serta kewenangan dari para pihak untuk melakukan tindakan hukum di dalam akta yang dibuatnya.”[15]
Akta Notaris merupakan perjanjian di antara para pihak (para penghadap) yang mengikat mereka yang membuatnya, sehingga syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi. Syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata meliputi: 1) syarat subjektif, yaitu syarat yang berkaitan dengan subjek yang membuat perjanjian, yang terdiri dari kesepakatan para pihak dan kecakapan bertindak untuk melakukan suatu perbuatan hukum; dan 2) syarat objektif, yaitu syarat yang berkaitan dengan perjanjian itu sendiri atau berkaitan dengan objek dari perjanjian, yang terdiri dari suatu hal tertentu dan sebab yang halal.
Syarat sahnya perjanjian memiliki akibat hukum tertantu manakala tidak dipenuhi. Akibat hukum jika syarat subjektif tidak terpenuhi dalam sebuah perjanjian adalah perjanjian dapat dibatalkan sepanjang ada permintaan dari orang tertentu, misalnya orang tua yang membatalkan perjanjian yang dibuat oleh anaknya yang masih di bawah umur. Sedangkan, bila syarat objektif tidak terpenuhi dalam suatu perjanjian maka perjanjian tersebut adalah batal demi hukum atau tanpa perlu adanya permintaan dari para pihak, perjanjian sejak awal dianggap tidak pernah ada dan tidak mengikat.
Kewajiban mengenal penghadap yang dimaksudkan adalah pengenalan dari identitas yang diserahkan atau ditunjukkan oleh penghadap maupun para penghadap kepada Notaris. Identitas penghadap yang mendatangi Notaris ini penting berkaitan erat dengan pemenuhan syarat subjektif dalam keabsahan suatu perjanjian, khususnya syarat kecakapan. Dengan dokumen atau surat yang diserahkan penghadap, maka Notaris mampu menilai apakah syarat kecakapan terpenuhi atau tidak dalam suatu perbuatan hukum.
Sehubungan dengan penyerahan dokumen atau surat, dalam Pasal 16 ayat (1) huruf c UU JN 2/2014, diatur bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib melekatkan surat dan dokumen serta sidik jari penghadap pada minuta akta. Umumnya untuk mengidentifikasi kecapakan penghadap atau para penghadap, Notaris akan meminta identitas dan bukti kewenangannya. Identitas dapat dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (KTP-el) untuk Warga Negara Indonesia[16], paspor, izin tinggal terbatas maupun izin tinggal tetap untuk Warga Negara Asing (WNA), akta lahir (untuk beberapa perbuatan hukum khusus seperti dalam pewarisan), akta nikah, kartu keluarga, NPWP (baik pribadi maupun badan hukum), dan dokumen pendukung lainnya. Untuk kewenangan bertindak dapat dibuktikan dengan anggaran dasar badan hukum (bila bertindak dalam jabatannya mewakili badan hukum terkait), kuasa (bila bertindak atas pemberi kuasa), surat keterangan waris (bertindak sebagai ahli waris), dan dokumen pendukung lainnya.
Penghadap yang datang menghadap ke Notaris adalah orang yang dapat bertindak atas nama dirinya sendiri ataupun bertindak atas nama suatu badan hukum. Dalam Pasal 39 UU JN 2/2014, diatur bahwa:
“(1)Penghadap harus memenuhi syarat sebagai berikut:
(2)Penghadap harus dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2 (dua) orang saksi pengenal yang berumur paling rendah 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah dan cakap melakukan perbuatan hukum atau diperkenalkan oleh 2 (dua) penghadap lainnya.
(3)Pengenalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan secara tegas dalam Akta.”
Apabila terdapat pelanggaran terhadap ketentuan dalam Pasal 39 UU JN 2/2014, maka akan mengakibatkan akta hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 41 UU JN 2/2014.
Sehubungan dengan cyber notary, ketentuan Pasal 39 UU JN 2/2014 belum membuka kesempatan untuk terlaksananya pengenalan penghadap secara elektronik atau melalui perangkat elektronik. Dalam rangka mendukung terlaksananya cyber notary, maka perlu melibatkan pihak ketiga yang membantu Notaris mengidentifikasi dan melakukan verifikasi kebenaran identitas penghadap. Pihak ketiga (third party) adalah pihak yang diberikan hak akses data kependudukan berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 102 Tahun 2019 tentang Pemberian Hak Akses dan Pemanfaatan Data Kependudukan. Terkait hak akses, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai apakah pemberian hak akses tersebut dapat diberikan kepada Notaris. Hal ini karena pada pokoknya bukan merupakan kewenangan dari Notaris untuk mengecek kebenaran materiil dari para penghadap. Notaris hanya memiliki kewajiban untuk mengecek kebenaran formil dari identitas yang diserahkan.
Dalam rangka menyongsong cyber notary pada masa yang akan datang, bila kehadiran fisik dapat digantikan dengan kehadiran virtual, maka pengenalan fisik juga dapat digantikan dengan pengenalan virtual. Karena pengenalan yang dimaksudkan adalah pengenalan identitas yang menunjukkan kecakapan serta kewenangan bertindak orang tersebut, maka dibutuhkan pihak ketiga yang membantu Notaris untuk melakukan verifikasi kebenaran materiil dokumen yang diserahkan, contohnya KTP-el. Tidak hanya melakukan verifikasi, harapannya pihak ketiga juga memberikan sidik jari sesuai yang tertera pada KTP-el kepada Notaris sesuai perintah UU JN bahwa Notaris wajib melekatkan sidik jari pada minuta akta. Dengan demikian, tentu akan meminimalisir adanya dokumen identitas palsu.
Salah satu kewajiban yang diamanatkan kepada Notaris dalam Pasal 16 ayat (1) huruf m jo. Pasal 16 ayat (7) UU JN 2/2014 adalah mengenai kewajiban pembacaan akta. Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN 2/2014 mengatur bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN 2/2014 berbunyi: “Bahwa Notaris harus hadir secara fisik dan menandatangani Akta di hadapan penghadap dan saksi.” Namun demikian, diatur pula pengecualian terhadap pembacaan akta. Hal tersebut terdapat dalam Pasal 16 ayat (7) UU JN 2/2014 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pembacaan Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf m tidak wajib dilakukan, jika penghadap menghendaki agar Akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tersebut dinyatakan dalam penutup Akta serta pada setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris.”
Pelanggaran terhadap Pasal 16 ayat (1) huruf m dan Pasal 16 ayat (7) UU JN 2/2014, menyebabkan akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
Tidak hanya pada Pasal 16 UU JN 2/2014, ketentuan pembacaan akta juga diulang dalam Pasal 38 ayat (4) UU JN 2/2014, Pasal 40 ayat (1) UU JN 2/2014, Pasal 44 UU JN 2/2014 dan Pasal 45 UU JN 30/2004. Berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU JN 2/2014, pada pokoknya segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. Bila penghadap memiliki kepentingan hanya pada bagian tertentu dari akta, hanya bagian akta tertentu tersebut yang dibacakan kepadanya serta pada bagian tertentu tersebut penghadap membubuhkan paraf dan tanda tangan.[17]
Pengertian “tanda tangan” dapat didefinisikan sebagai suatu susunan (huruf) tanda berupa tulisan dari yang menandatangani, dengan mana orang yang membuat pernyataan/keterangan tersebut dapat diindividualisasikan. Pembubuhan tanda tangan secara tradisional mempunyai beberapa fungsi, di antaranya, sebagai identifikasi dan pernyataan kehendak. Dengan membubuhkan tanda tangan di bawah suatu pernyataan berarti bahwa penanda tangan mengidentifikasi dirinya selain memberi kesempatan kepada pihak lainnya untuk melakukan verifikasi. Di samping hal tersebut, penanda tangan menyatakan kehendaknya bahwa dirinya terikat pada pernyataan yang telah dibuatnya.[7]
Pasal 44 ayat (1) UU JN 2/2014 tidak mengatur mengenai 2 (dua) hal penting, yakni apakah pembacaan akta boleh melalui media elektronik, dan apakah penandatanganannya juga boleh dilakukan secara elektronik. Sebaliknya, Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN 2/2014 menegaskan keharusan bertemu fisik antara Notaris, penghadap dan saksi. Saat berlangsung tatap muka langsung (fisik) tersebut, dilakukanlah pembacaan akta oleh Notaris dan dilanjutkan dengan penandatanganan di atas kertas (akta) oleh penghadap, saksi, dan Notaris. Dengan kata lain, ketentuan ini belum mendukung Notaris untuk memanfaatkan teknologi informasi dalam pelaksanaan kewenangannya.
UU ITE 11/2008 jo. UU ITE 19/2016 merupakan payung hukum yang utama dalam memberikan rasa aman, keadilan dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara sistem elektronik dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi. Tanda tangan elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas informasi elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan informasi elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.[12] Tanda tangan elektronik berfungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi atas: a) identitas penanda tangan; dan b) keutuhan dan keautentikan informasi elektronik. Tanda tangan elektronik pada informasi elektronik paling sedikit: a) dibuat menggunakan Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan b) mencantumkan waktu penandatanganan.[18]
Tanda tangan elektronik tersertifikasi dapat diperoleh dengan menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia. PP 82/2012 melibatkan jabatan Notaris dalam mengajukan permohonan sertifikasi elektronik dan profesional yang membentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan. Senada dengan PP 82/2012, dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 11 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Elektronik (Permenkominfo 11/2018), secara khusus dalam Pasal 25, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 30, juga mengatur bahwa pada pokoknya Notaris dapat ditunjuk sebagai otoritas pendaftaran dalam suatu permohonan penerbitan sertifikat elektronik. Selain dapat ditunjuk sebagai otoritas pendaftaran, Notaris juga melakukan pemeriksaan berupa verifikasi kebenaran identitas dan pengecekan kelengkapan dokumen. Namun, pemeriksaan yang berupa verifikasi kebenaran identitas dan pengecekan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Permenkominfo 11/2018 memiliki kompleksitas tersendiri. Dalam Pasal 33 Permenkominfo 11/2018 dikenal ada 2 level verifikasi identitas, yakni level 3 untuk verifikasi identitas secara tatap muka langsung menggunakan kartu identitas pemohon, dan level 4 untuk verifikasi identitas menggunakan sarana elektronik dengan memanfaatkan data administrasi kependudukan.
PP 82/2012 kemudian dicabut dan digantikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PP 71/2019). Dalam PP 71/2019, sama sekali tidak disebutkan mengenai Notaris. Notaris tidak disebutkan sebagai pihak yang dapat menyampaikan permohonan sertifikasi elektronik, dan Notaris juga dikeluarkan dari profesional yang turut membentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan. Dikeluarkannya beberapa profesi yang turut membentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan tersebut memang sudah tepat. Hal ini mengingat bahwa seyogianya profesional yang tergabung dalam Lembaga Sertifikasi Keandalan adalah para profesional yang memiliki latar belakang pendidikan maupun keahlian dalam bidang teknologi informasi selama kurun waktu tertentu. Adapun para profesional lain yang hendak bergabung dalam Lembaga Sertifikasi Keandalan ke depan, dapat diberikan suatu pendidikan dan pelatihan (diklat) khusus untuk memperoleh sertifikasi khusus sehingga dapat memperlengkapi diri dengan keilmuan dan keahlian bidang teknologi informasi.
Perbandingan antara PP 82/2012 dengan PP 71/2019 tertuang dalam tabel sebagai berikut:
PP 82/2012 | PP 71/2019 |
Permohonan Sertifikasi Elektronik | |
Penjelasan Pasal 59 ayat (5) Peraturan Menteri memuat antara lain pengaturan mengenai tata cara mengajukan permohonan sertifikasi elektronik yang dapat disampaikan melalui Notaris . | Penjelasan Pasal 51 ayat (6) Peraturan Menteri memuat antara lain pengaturan mengenai tata cara mengajukan permohonan sertifikasi elektronik yang disampaikan melalui penyelenggara sertifikasi elektronik atau otoritas pendaftaran (registration authority) yang ditunjuk oleh penyelenggara sertifikasi elektronik. |
Profesional yang Membentuk Lembaga Sertifikasi Keandalan | |
Pasal 69 ayat (3) Profesional lain yang dapat turut serta dalam pembentukan Lembaga Sertifikasi Keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi profesi : akuntan ; konsultan manajemen bidang Teknologi Informasi ; penilai ; Notaris ; dan profesi dalam lingkup Teknologi Informasi yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri. | Pasal 73 ayat (4) Profesional yang membentuk lembaga sertifikasi keandalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit meliputi profesi:Konsultan Teknologi Informasi;Auditor Teknologi Informasi; danKonsultan hukum bidang Teknologi Informasi. |
Dalam hal dokumen elektronik yang dibuat oleh seorang Notaris dalam penerapan cyber notary, tanda tangan elektronik yang tersertifikasi dapat digunakan sebagai alat autentikasi karena tanda tangan elektronik tersertifikasi memenuhi fungsi autentikasi, sehingga identitas penanda tangan dan integritas dokumen yang ditandatangani dapat dipastikan kebenarannya. Proses autentikasi yang dilakukan oleh Notaris terhadap para pihak dapat dimudahkan dengan menggunakan teknologi informasi. Hal ini dikarenakan agar suatu tanda tangan elektronik dapat memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah, maka tanda tangan elektronik tersebut harus memenuhi 6 (enam) persyaratan formil sebagaimana yang diatur pada Pasal 11 ayat (1) UU ITE 19/2016. Berbeda halnya dengan tanda tangan manual yang dielektronikkan melalui proses pemindaian atau scan, akan sangat sulit untuk memastikan keautentikan dari tanda tangan tersebut karena tanda tangan manual yang dipindai memiliki kemungkinan yang sangat besar untuk diidentifikasi sebagai tanda tangan palsu karena dapat dengan mudah ditampik oleh pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, kekuatan hukum tanda tangan yang di-scan sangat rendah karena sulit untuk memenuhi fungsi autentikasinya serta kekuatan nilai pembuktiannya relatif lemah.
Argumentasi dari pihak kontra terhadap pembacaan dan penandatanganan elektronik adalah kekhawatiran Notaris dapat menjalankan kewenangannya di luar wilayah jabatannya. Pelanggaran akan ketentuan ini akan berakibat pada akta yang dibuat tersebut, di mana akta yang bersangkutan hanya memiliki kekuatan akta bawah tangan. Namun, kekhawatiran akan hal ini dapat diatasi dengan pemanfaatan Internet Protocol address (IP address). IP address merupakan alamat logika yang diberikan ke semua perangkat jaringan yang menggunakan protokol TCP/IP. Kombinasi angka-angka IP address menunjukkan alamat dari komputer tersebut pada jaringan internet berbasis TCP/IP. IP address dapat juga dianalogikan seperti sebuah alamat rumah. Ketika sebuah datagram dikirim, informasi alamat inilah yang menjadi acuan datagram agar dapat sampai dan diterima di perangkat yang dituju.
Untuk menghindari penyalahgunaan wewenang di luar wilayah jabatan Notaris, maka perlu pengaturan bahwa perangkat komputer yang digunakan oleh Notaris yang menjalankan jabatannya perlu menginformasikan atau mendaftarkan IP address-nya di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Selain itu, setiap akta elektronik yang dibuat perlu mencantumkan IP address dimaksud. Dengan demikian, pihak yang berwenang dapat melakukan pemeriksaan terkait praktik cyber notary yang dilakukan oleh seorang Notaris terkait apakah sudah sesuai dengan wilayah jabatannya.
Pasal 1 angka 8 UU JN 2/2014 memberikan definisi pada minuta akta sebagai asli akta yang mencantumkan tanda tangan para penghadap, saksi, dan Notaris, yang disimpan sebagai bagian dari protokol Notaris. Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b UU JN 2/2014 diatur bahwa dalam menjalankan jabatannya, Notaris wajib membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris.
Kewajiban menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 ayat (1) huruf b UU JN 2/2014 tidak berlaku, dalam hal Notaris mengeluarkan akta in originali.[17] Penjelasan Pasal 16 ayat (2) UU JN 2/2014 memberikan pengertian terhadap akta in originali, yakni akta yang dibuat oleh Notaris dengan menyerahkan aslinya kepada pihak yang bersangkutan, sehingga asli akta tidak disimpan dalam protokol Notaris, melainkan diserahkan kepada para pihak yang menghadap Notaris dan meminta untuk dibuatkan akta. Adapun akta yang dapat dibuat dalam bentuk akta in originali adalah:[17]
a.Akta pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun;
b.Akta penawaran pembayaran tunai;
c.Akta protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d.Akta kuasa;
e.Akta keterangan kepemilikan; dan
f.Akta lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan definisi dari minuta akta dan akta in originali, ditemukan kesamaan penyebutan penggunaan kata “asli”. Yang memiliki arti tulen, murni, bukan salinan.[11] Perbedaan keduanya adalah pada minuta akta disimpan oleh Notaris, sedangkan akta in originali diserahkan kepada penghadap. Berdasarkan penafsiran gramatikal, maka minuta akta dan akta in original merupakan akta yang murni dibuat oleh Notaris sendiri dan dituangkan dalam bentuk tulisan pada lembaran kertas. Kumpulan lembaran kertas yang membentuk suatu akta akan dijahit oleh Notaris, bahkan akta-akta tersebut (minuta akta) akan dikumpulkan dan dijilid menjadi satu buku sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf g UU JN 2/2014.[17]
Pembahasan pengaturan mengenai minuta akta tidak akan terlepas dari protokol Notaris. Protokol Notaris adalah kumpulan dokumen yang merupakan arsip negara yang harus disimpan dan dipelihara oleh Notaris sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[17] Penjelasan Pasal 62 UU JN 30/2004 menyebutkan bahwa salah satu dari protokol Notaris adalah minuta akta. Selain minuta akta, seluruh protokol Notaris lainnya adalah berupa buku. Buku adalah lembar kertas yang berjilid, berisi tulisan atau kosong.[11] Dengan demikian, kewajiban Notaris dalam membuat minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris, sebagaimana diatur dalam UU JN, harus ditafsirkan bahwa minuta akta dan seluruh protokol Notaris lainnya adalah dibuat dalam bentuk tertulis pada lembar kertas, baik yang dijahit dalam bentuk akta maupun telah dijilid dalam bentuk buku. Dengan kata lain, bentuknya adalah berupa dokumen fisik/kertas dan terlihat langsung secara fisik.
UU JN belum memberikan kemungkinan pembuatan minuta akta dan protokol Notaris lainnya dalam bentuk lainnya. Terlepas dari UU JN, penting untuk disinggung perihal kearsipan karena protokol Notaris disebut sebagai arsip negara. Dalam rangka mewujudkan perlindungan kepentingan negara dan hak-hak keperdataan rakyat, lembaga kearsipan bekerja sama dengan lembaga negara terkait dan pemerintahan daerah melakukan pembinaan kearsipan terhadap lembaga swasta dan masyarakat yang melaksanakan kepentingan publik. Lembaga yang melaksanakan kepentingan publik antara lain lembaga pendidikan swasta, rumah sakit swasta, dan kantor Notaris.[21]
Salah satu upaya yang dilakukan dalam pembinaan kearsipan adalah pembinaan difokuskan pada penerapan sistem pengelolaan arsip yang dapat menjamin terkelolanya arsip secara utuh, autentik, dan terpercaya, baik secara manual maupun elektronik.[22] Bahkan dalam Peraturan Kepala Arsip Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Autentikasi Arsip Elektronik, telah diberikan definisi terhadap arsip elektronik, yang merupakan arsip yang diciptakan (dibuat atau diterima dan disimpan) dalam format elektronik.
Dalam rangka mewujudkan cyber notary, terkhusus yang terkait dengan kewajiban Notaris dalam membuat minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris, tampaknya sulit dilakukan selama belum ada perubahan terhadap pengaturan dalam UU JN. Terlebih lagi, ketentuan Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE 11/2008 yang mengatur bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah, namun tidak berlaku untuk surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta. Pasal tersebut tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dalam UU ITE 19/2016. Namun, dapat ditafsirkan bahwa surat dan dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, tetap harus dibuat dalam bentuk akta notaril ataupun akta yang dibuat pejabat pembuat akta. Dengan kata lain, informasi dan/atau dokumen tersebut harus tertuang di atas kertas, yang kemudian ditandatangani pula secara langsung oleh para pihak, saksi, Notaris atau pejabat pembuat akta.
Tanpa adanya suatu landasan hukum yang jelas dan pasti, tidak mungkin Notaris berani membuat minuta akta dalam bentuk yang lain daripada yang ditentuan dalam UU JN. Bukan hal yang mustahil bahwa adanya arsip elektronik dan perkembangan teknologi yang pesat, akan mendorong suatu masa, yakni masa alih media dari arsip fisik (konvensional) dipindai dan disimpan dalam bentuk arsip elektronik pada setiap kantor Notaris. Pengalihan ini tentunya membutuhkan penelitian lebih lanjut misalnya dari segi pembuktian, yakni apakah arsip elektronik akan disetarakan dengan alat bukti tertulis. Dari segi keamanan penyimpanan arsip, perlu ditinjau lebih lanjut mengenai penyimpanannya, yakni apakah akan disimpan Notaris sendiri, atau diunggah dalam database khusus yang akan dikelola Negara mengingat protokol Notaris merupakan arsip negara. Pemikiran ini selaras dengan pemikiran bahwa akta dan surat yang dibuat oleh Notaris sebagai dokumen resmi bersifat autentik memerlukan pengamanan baik terhadap akta itu sendiri maupun terhadap isinya untuk mencegah penyalahgunaan secara tidak bertanggung jawab.[17]
Terlepas dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, alih media dalam bentuk arsip elektronik membawa beberapa dampak positif, seperti menjadi back up files dalam hal terjadi kebakaran, kebanjiran dan bencana lain pada kantor Notaris. Dengan arsip elektronik, juga tidak perlu ada kekhawatiran akan dokumen fisik yang dimakan rayap karena pergantian waktu dan cuaca. Para Notaris juga akan menghemat biaya-biaya seperti biaya untuk pembelian lemari untuk menyimpan berkas dan biaya perawatan dokumen lainnya.
UU JN 2/2014 menghadirkan konsep cyber notary namun belum memberikan peluang yang luas terhadap penerapan cyber notary. Terhadap kewenangan Notaris dalam membuat akta autentik misalnya, Notaris dibatasi oleh bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh UU JN, seperti Pasal 38 UU JN 2/2014. Walaupun Pasal 77 UU PT 40/2007 jo. Pasal 46 UU JN 30/2004 memungkinkan pembuatan akta risalah RUPS melalui media elektronik, namun belum terdapat aturan teknis penyelenggaraan e-RUPS. Di sisi lain, kewajiban Notaris dalam mengenal penghadap sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 UU JN 2/2014, juga belum membuka kesempatan untuk terlaksananya pengenalan secara elektronik atau melalui perangkat elektronik. Kewajiban Notaris dalam membacakan akta dan menandatangani akta juga belum diakomodir dalam UU JN boleh dilakukan secara elektronik. Sebaliknya, dalam Penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf m UU JN 2/2014 menegaskan keharusan bertemu fisik antara Notaris, penghadap dan saksi. Kewajiban lain yang belum didukung UU JN dan UU ITE untuk terlaksananya cyber notary adalah kewajiban Notaris dalam membuat minuta akta dan menyimpannya sebagai bagian dari protokol Notaris. UU JN belum memberikan kemungkinan pembuatan minuta akta dan protokol Notaris lainnya dalam bentuk lainnya. Terlebih lagi, Pasal 5 ayat (4) huruf b UU ITE 11/2008 telah mengatur sekaligus melimitasi bahwa surat dan dokumen yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta, tetap harus dibuat dalam bentuk akta notaril ataupun akta yang dibuat pejabat pembuat akta.
Indonesia masih membutuhkan usaha serta dukungan dari berbagai pemangku kepentingan, terutama pembuat kebijakan, Notaris dan masyarakat. Kepastian hukum baru dapat tercapai bila sudah ada landasan yuridis yang mengatur dengan jelas terkait cyber notary. Dimulai dengan merumuskan definisi cyber notary, kewenangan dan tanggung jawab Notaris dalam cyber notary, hingga pihak-pihak yang membantu, mengawasi bahkan pihak yang memberikan sanksi serta rumusan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran dalam cyber notary. Sedangkan dari sisi Notaris, perlu juga dikaji kesiapan para Notaris Indonesia dalam menyongsong cyber notary.