The Sendi customary community is a community that has procedures for implementing customary law through the customary justice system. Not only that, the Sendi customary community also has a distinctive legal code and customary apparatus; so that its existence needs to be maintained in the face of the era of legal modernization. This research is an empirical legal research; by using secondary data types obtained from various searches for journal articles, books, and information through online news online; relating to the substance of the research. The purpose of this research is to describe the structure of Sendi's customary court in maintaining the existence of customary law; as well as describing the strategy of legal pluralism in Sendi's customary court to face modernization of law era. This empirical legal research focuses on the structure of Sendi's customary court with an approach of legal pluralism. The results of the study confirm that a legal pluralism strategy is needed to maintain the existence of the Sendi traditional court in the era of legal modernization; and integration efforts are needed between the law and the customary apparatus of Sendi with the law and the national or state apparatus.
Masyarakat hukum adat merupakan sekelompok masyarakat yang menempati wilayah tertentu serta mempraktikkan pranata-pranata hukum yang bersifat khas dan hanya berlaku di wilayah serta untuk masyarakat tertentu saja [1]. Secara ekslusif, hukum adat menempatkan diri sebagai ‘hukum lokal’ yang tumbuh, berkembang, serta dilaksanakan oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang bertujuan untuk mewujudkan tertib sosial serta menjaga entitas tata perilaku, ajaran, serta nilai filosofis masyarakat [2]. Dengan demikian, maka masyarakat hukum adat menggunakan hukum adat bukan semata-mata hanya merupakan ‘warisan’ dari leluhur, tetapi merupakan upaya masyarakat hukum adat untuk menjaga adat, tata nilai, serta ajaran luhur dari para pendahulu untuk tetap eksis dan dilaksanakan oleh generasi penerus [3]. Oleh karena itu, masyarakat hukum adat menempatkan hukum adat sebagai ‘sarana’ untuk menjaga nilai-nilai adat supaya tetap lestari dan dapat dilaksanakan selaras dengan perkembangan zaman [4]. Salah satu masyarakat adat yang masih eksis dalam menjalankan norma serta praktik hukum adat adalah masyarakat adat Sendi di Kecamatan Pacet, Kabupaten Mojokerto. Masyarakat adat Sendi merupakan masyarakat adat yang masih menjalankan nilai serta praktik peradilan adat [5]. Bahkan, dalam menjalankan praktik peradilan adat, masyarakat adat Sendi memiliki aparatur adat sendiri yang bertugas melaksanakan penegakan hukum serta memberikan pembinaan hukum sejak dini [6]. Meski telah menjalankan praktik peradilan adat secara turun temurun, namun masyarakat adat Sendi belum mendapatkan status legitimasi sebagai desa adat karena terganjal persyaratan administratif. Hal tersebut dikarenakan jumlah penduduk masyarakat adat Sendi hanya terdapat 668 jiwa atau 323 kepala keluarga [7]. Sehingga, praktik peradilan adat khas Sendi berpotensi tidak lagi dijadikan sebagai pilihan utama masyarakat adat Sendi dalam menyelesaikan berbagai permasalahan adat. Hal ini disebabkan perkembangan internasional yang membawa aspek teknologi dan informasi berimplikasi pada kuantitas dan kualitas hukum; atau yang lumrah disebut modernisasi hukum [8]. Hal ini juga diperparah dengan adanya konflik antara masyarakat adat dengan institusi negara maupun swasta dalam kepemilikan status lahan dan wilayah yang berpotensi untuk mengikis eksistensi masyarakat adat. Fenomena tersebut dapat dibuktikan dengan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tahun 2019 yang mencatat sebanyak 51 anggota masyarakat adat telah menjadi korban kriminalisasi akibat kasus sengketa wilayah industrilisasi [9]. Bahkan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sekitar 313.000 hektar wilayah adat tumpang tindih dengan berbagai izin konsesi Hak Guna Usaha; yang tersebar pada 307 komunitas masyarakat adat [10]. Berbagai temuan di atas menggambarkan modernisasi hukum dapat mengancam eksistensi dari masyarakat hukum adat, khususnya masyarakat hukum adat Sendi. Penelitian mengenai masyarakat adat Sendi sejatinya telah dilakukan sejumlah tiga kali oleh peneliti lain. Penelitian pertama dilakukan oleh Ahmad Heru Romadhon, Isnin Harianti, Nabilah Rohyana, dan Melisa Agustina (2018) tentang Dinamika Pranata Pemerintahan Desa Adat dalam Dimensi Hukum Tata Negara. Penelitian ini menjelaskan bahwa masyarakat Sendi memiliki karakteristik pemerintahan yang khas serta berbeda dengan desa-desa yang lain [6]. Oleh karena itu, syarat admiinistratif tentang pembentukan desa dalam UU Desa perlu direvisi untuk memberikan legitimasi pada masyarakat adat Sendi menjadi desa adat. Penelitian kedua dilakukan oleh Indra Nufal Riza, Isnin Harianti, Suyatno, dan M. Zamroni (2018) tentang Aspek Hukum Terhadap Penyelesaian Sengketa Batas Wilayah Desa Sendi Di Kabupaten Mojokerto. Hasil penelitian ini menegaskan bahwa salah satu solusi yang tepat bagi masyarakat Sendi adalah pemberian status desa adat sembari adanya mediasi yang difasilitasi oleh pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah) terhadap kasus sengketa wilayah antara masyarakat adat Sendi dengan pihak Perhutani [11]. Selanjutnya, penelitian ketiga yang dilakukan oleh Alif Fadzilatus Siti Arofah (2020) tentang Kesadaran Kolektif dan Upaya Menuntut Pengakuan Desa Adat: Kasus Masyarakat Adat Sendi di Mojokerto, Jawa Timur. Penelitian ketiga mendeskripsikan adanya kesadaran kolektif masyarakat adat Sendi melalui Forum Perjuangan Rakyat yang bertujuan agar masyarakat Sendi memiliki legitimasi sebagai desa adat [12]. Ketiga penelitian diatas berbeda dengan penelitian yang berjudul Strategi Pluralisme Hukum Peradilan Adat Sendi dalam Menghadapi Modernisasi Hukum; karena penelitian tersebut membahas tentang struktur peradilan adat Sendi serta upaya integrasi peradilan adat Sendi terhadap sistem hukum nasional dengan strategi pluralisme hukum. Selain itu, perbedaan lain antara penelitian yang penulis lakukan dengan ketiga penelitian sebelumnya terletak pada orientasi penelitian; penelitian yang penulis lakukan berupaya mempertahankan eksistensi peradilan adat Sendi dengan adanya proses integrasi antara peradilan adat Sendi dengan peradilan nasional. Sedangkan ketiga penelitian sebelumnya, lebih berorientasi pada pengakuan masyarakat adat Sendi dengan pemberian status legitimasi berupa desa adat. Oleh karena itu, dalam penelitian ini terdapat dua rumusan masalah, yaitu ‘bagaimana’ struktur peradilan adat Sendi dalam menjaga eksistensi hukum adat; dan ‘bagaimana’ strategi pluralisme hukum dalam peradilan adat Sendi untuk menghadapi modernisasi hukum. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan struktur peradilan adat Sendi dalam menjaga eksistensi hukum adat; serta mendeskripsikan strategi pluralisme hukum dalam peradilan adat Sendi untuk menghadapi era ‘modernisasi hukum’.
Penelitian berjudul Strategi Pluralisme Hukum Peradilan Adat Sendi dalam Era Modernisasi Hukummerupakan penelitian hukum empiris; yaitu penelitian yang digunakan untuk meneliti efektivitasnya bekerjanya hukum di dalam masyarakat [13]. Kemudian, Penelitian inimenggunakan jenis data sekunder; berupa bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai penelusuran peraturan perundang-undangan, artikel jurnal, buku, dan infomasi melalui berita online secara daring; yang berkaitan dengan substansi penelitian. Oleh karena itu, dalam tahap pengumpulan data, metode yang digunakan adalah literature review; yang berorientasi pada data sekunder untuk dapat mengidentifikasi teori, data, analisa/penelitian terdahulu, dan argumentasi akademik yang relevan dengan substansi yang diteliti Selain itu, dalam teknis analisis data, dilakukan tiga langkah analisis data [14]. Pertama, tahap reduksi data. Pada tahap ini, data yang didapatkan dari literatur dipilih serta diseleksi untuk disesuaikan dengan topik penelitian penulis. Selain itu, tahap ini juga bertujuan untuk memisahkan bagian-bagian dari suatu literatur yang dianggap penting dan yang dianggap tidak penting terkait pembahasan dalam penelitian maupun. Kedua, tahap model data. Dalam tahap ini, data yang diperoleh melalui tahap reduksi data kemudian disusun secara sistematis serta disajikan dalam bentuk deskripsi. Ketiga, tahap verifikasi kesimpulan. Pada tahap ini, ditarik suatu kesimpulan dari tahap model data. Dalam tahap ini juga, ditelaah secara preskriptif terkait langkah-langkah integrasi peradilan adat Sendi dengan sistem hukum nasional agar dapat terbentuk. Pada tahap ini, dilakukan pula check dan re-check terhadap kesimpulan yang sudah dirumuskan untuk memastikan bahwa proses awal berupa reduksi data, kemudian dilanjutkan dengan model data, serta verifikasi kesimpulan telah dilaksanakan secara presisi dan optimal.
1. Modernisasi Hukum dan Peradilan Adat Sendi
Hukum adat sebagai sarana dan instrumen untuk menegakkan nilai-nilai adat supaya tetap eksis dan lestari ternyata menghadapi berbagai hambatan dan tantangan dalam pelaksanaannya [15]. Setidaknya, terdapat dua hambatan dan tantangan dalam pemberlakuan hukum adat pada masyarakat. Pertama, semakin besarnya peran negara dalam kehidupan bermasyarakat membuat seolah-olah negara tampil dengan ‘hukum formal’ yang wajib ditaati dan dilaksanakan oleh masyarakat. Kedua, adanya fenomena globalisasi yang berdampak pada semua aspek kehidupan manusia dalam hal ini tidak terkecuali pula pada aspek hukum sehingga menghasilkan suatu fenomena baru bernama modernisasi hukum.Menurut Satjipto Rahardjo [16], modernisasi hukum merupakan ‘gejala’ yang diawali dengan adanya perkembangan teknologi yang masif yang diikuti dengan aspek digitalisasi pada segala lini aspek kehidupan manusia yang menjadi bersifat pasti dan mekanis, tak terkecuali juga dalam bidang hukum. Di era modernisasi hukum, hukum yang semestinya merupakan kristalisasi dari asas dan nilai moral masyarakat kemudian berubah menjadi sesuatu yang formal, pasti, tekstual, serta adanya pemaksaan dari aparatur negara [17]. Oleh karena itu, modernisasi hukum menyebabkan adanya dikotomi antara hukum negara dan hukum non negara [18]. Hukum negara disebut sebagai ‘hukum resmi’ [19]; sedangkan hukum non negara (termasuk hukum adat) sebagai ‘hukum tidak resmi’ [20]. Substansi ‘hukum resmi’ yang dibuat oleh negara terkadang menegesampingkan serta bertentangan dengan norma-norma hukum adat serta kebiasaan yang telah dipraktikkan secara kontinu oleh masyarakat [21], tak terkecuali praktik peradilan adat yang dilakukan oleh masyarakat Sendi.
Praktik peradilan adat yang dilakukan oleh masyarakat Sendi sejatinya merupakan salah satu bentuk dan upaya untuk menjaga nilai-nilai serta norma-norma adat agar tetap dilaksanakan oleh generasi penerus. Aturan tertulis yang digunakan dalam proses peradilan adat masyarakat Sendi adalah Kitab Kutaramanawa Dharmasastra yang merupakan kitab undang-undang tertinggi zaman Majapahit [22]. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat Sendi sejatinya merupakan masyarakat yang leluhur mereka memiliki hubungan darah dengan Kerajaan Majapahit [12]. Kitab Kutaramanawa memiliki karakteristik yang berbeda dengan kitab undang-undang nasional Indonesia [23]. Setidaknya terdapat dua perbedaan pokok antara kitab Kutaramanawa dengan kitab undang-undang nasional Indonesia [24]. Pertama, kitab Kutaramanawa tidak memisahkan antara aspek hukum privat maupun hukum publik; sehingga dalam kitab Kutaramanawa seluruh norma kemasyarakatan yang mengatur tingkah laku masyarakat diatur menjadi satu. Kedua, kitab Kutaramanawa dalam praktik peradilan adat Sendi dilaksanakan secara lentur dan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat; sehingga kitab Kutaramanawa tidak terkesan membatasi penegak hukum maupun pihak kasepuhan dalam menentukan suatu hukuman yang sesuai dalam kasus tertentu. Selain berpedoman pada kitab tersebut, masyarkat adat Sendi juga melaksanakan praktik peradilan adat yang memiliki aparatur lokal sebagai instrumen hukum prinsipil; diantaranya: (a) Kasepuhan, diisi oleh para sesepuh desa yang berfungsi melakukan pembinaan sekaligus menjatuhkan putusan terkait suatu permasalahan adat Sendi. Saat ini, pembinaan hukum melalui kasepuhan dilaksanakan selama sebulan sekali di balai pertemuan desa yang disebut paseban yang mayoritas dihadiri para generasi muda masyarakat Sendi untuk mendengarkan petuah, nasihat, serta pemahaman akan kitab Kutaramanawa yang relevansinya disesuaikan dengan perkembangan zaman. Selain itu, terkait dengan putusan pengadilan adat yang berkaitan dengan aspek ritual masyarakat Sendi, biasanya kasepuhan juga meminta pendapat dari pamengku; (b) Pamengku, yang berfungsi sebagai pembinaan spiritual dan mental terkait dengan norma-norma agama serta memberikan pendapat atas permasalahan yang terjadi dalam sidang adat yang berkaitan dengan ritual serta tata upacara; (c) Cakra Buwana, yang berfungsi sebagai ‘polisi adat’; yaitu menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat adat, termasuk mencari bukti-bukti serta mengklarifikasi suatu permasalahan adat untuk kemudian diajukan ke Jaksa Adat; serta (d) Jaksa Adat, melakukan penuntutan atas terjadinya sengketa adat. [25]. . Dalam hal ini, jaksa melanjutkan pemeriksaan dari Cakra Buana untuk kemudian mencari norma hukum adat apa yang telah dilanggar serta bertentangan dengan nilai-nilai adat masyarakat Sendi. Hasil penuntutan akan suatu masalah adat Sendi selanjutnya disampaikan oleh Jaksa Adat kepada kasepuhan di sidang adat Sendi. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa peradilan adat Sendi memiliki aparatur serta lembaga-lembaga adat tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan adat merekaBahkan, beberapa kasus pelanggaran adat di masyarakat Sendi telah berhasil diputus dalam kurun waktu 2012-2020 antara lain: (i) kasus pencurian satu tandan pisang yang diputus oleh pengadilan adat Sendi dengan ganti rugi berupa pengembalian dua tandan pisang (pada tahun 2013); kasus perselingkuhan yang kemudian oleh pengadilan adat Sendi diberi hukuman berupa diarak keliling desa yang dilanjutkan pengusiran dari wilayah masyarakat Sendi kepada para pelaku perselingkuhan (pada tahun 2015); kasus penyebaran ideologi radikal yang oleh pengadilan adat Sendi diberi hukuman pengusiran dari desa (pada tahun 2018) [26]. Selain itu, praktik peradilan adat Sendi dengan menggunakan aparatur adat lokal setidaknya memiliki dua aspek positf. Pertama, dapat meningkatkan eksistensi serta nilai-nilai adat masyarakat Sendi untuk terus mengikuti perkembangan zaman. Selain itu, proses ppembinaan akan hukum adat serta nilai-nilai dan norma masyarakat Sendi yang dilakukan oleh kasepuhan terhadap para pemuda juga dapat memberikan andil akan pemahaman pemuda Sendi terkait norma serta nilai-nilai adat yang berkembang. Hal ini merupakan salah satu cara dan upaya untuk menjaga agar nlai, norma, serta peradilan adat Sendi tetap eksis serta dapat mudah dipahami generasi muda [27]. Kedua, dilaksanakannya peradilan adat sendi dengan aparatur lokal atau khas masyarakat adat Sendi membuat proses penyelesaian sengketa menjadi lebih cepat, tepat, serta hemat biaya [27]. Fenomena di atas dapat terjadi karena peradilan adat Sendi diejawentahkan dalam nilai serta norma masyarakat Sendi yang bersifat turun temurun. Selain itu, sanksi atau putusan peradilan adat Sendi juga terkadang memberikan hukuman sosial berupa perasaan malu maupun dikucilkan oleh masyarakat. Dalam hal ini, misalnya terjadi pada kasus perselingkuhan antarwarga di mana pelaku perselingkuhan tersebut diarak keliling wilayah Sendi baru kemudian diberi sanksi berupa pengusiran dari wilayah Sendi. Selain itu, proses peradilan adat Sendi juga berasaskan akan kekeluargaan. Baik tersangka maupun penuntut umum (Jaksa Adat) tidak memiliki niat serta upaya untuk sekadar memenangkan proses peradilan, tetapi semua pihak memiliki komitmen untuk menegakkan nilai, norma, serta moralitas masyarakat Sendi. Bukan hanya demikian, pada segi biaya peradilan adat Sendi juga akan lebih ‘murah’; dibandingkan ketika melakukan persidangan di pengadilan umum dengan aparatur negara baik itu polisi, jaksa, panitera, maupun sebagainya. Mahalnya biaya berperkara peradilan umum sangat kontras ketika justru hasil dari putusan pengadilan tidak mencerminkan nilai dan hakikat keadilan itu sendiri [28]. Dalam hal ini, Satjipto Rahardjo pernah berujar bahwa modernisasi hukum ironisnya semakin menjauhkan nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat [29]. Bahkan proses peradilan umum rata-rata hanya menjalankan trial without justice[30]. Oleh karena itu, menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi hukum hanya menempatkan hukum sebagai the art of interpretation [31]. Penyelesaian sengketa dengan menggunakan lembaga-lembaga adat sebagaimana dilakukan oleh masyarakat adat Sendi sejatinya merupakan hal yang menarik. Hal tersebut dikarenakan dalam era modernisasi hukum, penegakan serta pembinaan hukum biasanya dilaksanakan oleh aparatur negara yang tidak memahami nilai-nilai kebiasaan atau adat yang berkembang [32]; serta tidak memahami living law masyarakat yang bersangkutan [33]. Siapapun yang mampu melakukan ‘seni berinterpretasi’ yang baik, maka dapat dipastikan akan memenangkan suatu kasus di pengadilan; sekalipun yang bersangkutan secara norma dan moral dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, praktik peradilan adat Sendi yang tidak hanya semata-mata menekankan prosedur formal dalam proses peradilan layak untuk dijaga eksistensinya; bahkan perlu untuk diintegrasikan dengan sistem hukum dan peradilan nasional agar peradilan adat Sendi memiliki kedudukan yang setara dengan peradilan negara pada umumnya.
2. Strategi Pluralisme Hukum dalam Mengint egrasikan Peradilan Adat Sendi dalam Sistem Hukum Nasional
Integrasi peradilan adat Sendi terhadap peradilan dan sistem hukum nasional sejatinya perlu digalakkan. Dorongan tersebut setidaknya dilandasi oleh dua argumentasi. Pertama, terkait dengan eksistensi peradilan adat Sendi itu sendiri. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa fenomena modernisasi hukum telah membuat termarginalisasinya masyarakat hukum adat; khususnya adalah masyarakat adat Sendi yang memiliki peradilan adat yang khas. Apabila tidak ada upaya integrasi terkait sistem peradilan adat Sendi dengan sistem peradilan nasional, maka ke depannya eksistensi peradilan adat Sendi dapat terganggu; bahkan menjadi hilang karena tidak memiliki legitimasi sekuat peradilan nasional dan hukum negara. Kedua, integrasi antara peradilan adat Sendi dengan peradilan nasional sejatinya bertujuan untuk mengkolaborasikan aparatur penegak hukum serta sistem peradilan baik yang terdapat dalam peradilan adat Sendi maupun yang terdapat dalam sistem peradilan nasional. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat adat Sendi selalu menitikberatkan pada proses peradilan adat dan sebisa mungkin meminimalisasi ‘kontak’ dengan aparatur penegak hukum maupun peradilan nasional. Namun persepsi masyarakat adat Sendi yang mencoba menghindari hukum nasional dalam kehidupan bermasyarakatnya dapat pula menimbulkan permasalahan kelak di kemudian hari. Misalnya, ketika terjadi kasus pencurian di masyarakat adat Sendi; dan telah diputuskan berdasarkan pada aturan dan mekanisme adat Sendi. Akan tetapi, pihak aparatur hukum negara ingin melakukan investigasi dan berupaya melanjutkan permasalahan tersebut di jalur hukum formal negara. Tentu fenomena tersebut dapat dimungkinkan terjadinya benturan antara hukum adat dan hukum negara. Hal ini sebagaimana yang digambarkan oleh Ter Haar, bahwa meskipun hukum itu merupakan hukum keputusan (judge made law), namun ketika terjadi perbedaan proses dan hasil putusan antara hukum negara dengan hukum adat yang berada di masyarakat; maka hukum negara menjadi lebih superior dibandingkan dengan hukum adat [34]. Dalam hal ini, ketika hukum adat berbenturan dengan hukum nasional maka hukum nasional layaknya menjadi harimau yang dapat menerkam kambing yang diibaratkan sebagai hukum adat [19]. Oleh karena itu, berdasarkan dua argumentasi tersebut, maka integrasi antara peradilan adat Sendi dengan sistem peradilan nasional termasuk aparatur hukumnya penting untuk dilakukan. Integrasi antara sistem peradilan dan apparat lokal adat Sendi dengan sistem peradilan nasional beserta aparatur hukumnya sejatinya dapat dilaksanakan secara optimal dengan mengedepankan strategi pluralisme hukum [35]. Pluralisme hukum sebagaimana dikemukakan oleh Werner Menski dalam konsepnya yang disebut sebagai Triangular Concept of Legal Pluralism menegaskan bahwa dalam suatu masyarakat terdapat tiga norma yang berlaku secara bersamaan tumbuh, berkembang, dan dilaksanakan secara bersama-sama oleh masyarakat [36]. Tiga norma tersebut yaitu: norma agama (termasuk juga norma etis), norma-norma sosial, dan aturan-aturan yang dibuat oleh negara [37]. Pluralisme hukum menekankan bahwa hukum itu tidak tunggal, melainkan bahwa hukum itu bersifat bifurkatis, artinya bercabang-cabang sesuai dengan kebutuhan dalam masyarakat namun dalam percabangan tersebut tetap memiliki titik temu [38]. Berikut bentuk dari Triangular Concept of Legal Pluralism:
Gambar 1. Tiga norma utama yang berlaku dalam pluralisme hukum [36].
Pluralisme hukum secara umum bertujuan untuk secara optimal menjalin interaksi di antara tiga komponen utama (the holy grail of all law) yaitu komponen norma etika (termasuk norma agama), norma sosial, dan aturan yang dibuat oleh negara [39]. Jika dikaitkan dengan strategi pluralisme hukum di masyarakat adat Sendi, maka yang lebih dioptimalkan adalah bukan hanya integrasi antara norma adat dan norma hukum nasional semata; melainkan termasuk juga integrasi antara aparatur hukum adat dengan aparatur hukum nasional. Dengan demikian, strategi pluralisme hukum yang relevan untuk diterapkan di masyarakat adat Sendi bukan hanya sekadar mengintegrasikan norma adat Sendi dan hukum nasional saja, tetapi termasuk juga mengintegrasikan aparatur hukum adat Sendi dengan aparatur hukum nasional. Strategi pluralisme hukum diharapkan dapat menjaga relevansi antara modernisasi hukum yang dicirikan dengan semakin besarnya dominasi serta peran hukum negara serta nilai-nilai moral masyarakat [21]. Selain itu, pendekatan pluralisme hukum juga dapat meneguhkan adanya ketahanan budaya (cultural resilience) yang ada di masyarakat [40]. Ketahanan budaya ini menjadi sesuatu yang urgen di tengah adanya gelombang globalisasi serta revolusi industri; yang kemudian menampakkan suatu fenomena modernisasi hukum. Dengan adanya fenomena modernisasi hukum, hukum telah tereduksi menjadi fenomena tekstual yang minim nilai-nilai moral. Hukum kemudian hanya ditonjolkan sebatas dokumen legal-formal yang bersifat tertulis dan tak jarang hanya berisi suatu prosedur serta paksaan untuk berbuat sesuatu tanpa mengintegrasikan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dalam hal ini, tidak salah jika kemudian terjadi fenomena modernisasi membangun hukum yang muncul dengan karakter barat; yang beroreintasi pada kepastian hukum, namun di satu sisi celakanya modernisasi hukum justru telah menghancurkan tatanan hukum masyarakat yang telah dilaksanakan secara turun temurun dan bersifat cair. Hukum di masyarakat yang bersifat cair (melee) salah satunya dipengaruhi oleh watak serta kultur masyarakat yang bersifat komunal serta mengedepankan nilai-nilai kekeluargaan [41]. Sifat komunal serta nilai-nilai kekeluargaan dalam praktik berhukum secara modern sudah jarang ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Dalam praktik hukum modern, kemenangan akan suatu sengketa seakan menjadi ‘harga mati’ dalam suatu sengketa hukum [42]. Hal ini berdampak pada besarnya peran pengacara dan aparatur hukum lainnya yang lebih menonjolkan upaya berhukum di pengadilan (in court); padahal praktik berhukum tidak hanya dapat dilaksanakan di dalam pengadilan, tetapi termasuk juga praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan (out court) yang lebih menampilkan nilai-nilai kemanusiaan. Dalam hal ini, apa yang dikatakan oleh Marc Galanter bahwa, ‘justice in many rooms’ layak menjadi perhatian bersama serta dapat mengoptimalkan peran penyelesaian sengketa di luar pengadilan [43]. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan akan menjadi lebih efektif apabila didukung oleh suatu sistem serta aparatur sosial-kemasyarakatan yang bersifat lokal. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada masyarakat adat Sendi dengan peradilan adatnya. Pada masyarakat adat Sendi, praktik peradilan adat tidak dilaksanakan seformal dan seketat peradilan nasional atau negara yang mengedepankan rule and procedures. Peradilan adat Sendi meski memiliki beberapa tahapan serta mekanisme, namun dalam pelaksanaannya pendekatan yang bersifat preventif, restitutif, serta edukatif menjadi pendekatan yang dilaksanakan dan dijunjung tinggi oleh masyarakat adat Sendi. Dengan demikian, meski tetap melaksanakan ketentuan formal dalam peradilan adat Sendi, namun aparatur adat Sendi tidak menganggap prosedur adalah segalanya hingga menganggap ketaatan terhadap prosedur dianggap sebagai ketaatan terhadap hukum. Aparatur adat Sendi justru berpikir sebaliknya bahwa yang harus diutamakan adalah pendekatan yang bersifat humanis serta mengedepankan aspek keadilan substansial yang dibingkai dalam prosedur formal khas peradilan adat Sendi. Oleh karena itu, masyarakat serta aparatur adat Sendi melihat prosedur sebagai ‘bingkai’ yang harus dilaksanakan untuk menjaga nilai-nilai moral di masyarakat, bukan sebagai beban yang harus dijalankan bahkan sampai prosedur tersebut mengeliminasi aspek kemanusiaan serta keadilan substansial pada masyarakat adat Sendi. Praktik berhukum khas masyarakat adat Sendi tersebut sejatinya menjadi salah satu faktor untuk merekonstruksi praktik peradilan adat Sendi dengan pendekatan pluralisme hukum. Pendekatan pluralisme hukum dilakukan supaya peradilan adat Sendi juga didudukkan sebagai bagian dari tempat masyarakat adat Sendi untuk mencari keadilan. Dalam pencarian keadilan, masyarakat adat Sendi memang menggunakan sarana peradilan adat, tetapi peradilan adat tersebut dilaksanakan dengan norma, aparatur, serta prosedur yang khas masyarakat adat Sendi sehingga masyarakat adat Sendi tidak terkesan asing dengan praktik peradilan yang dijalankan. Familiarnya masyarakat adat Sendi dengan aparatur, peradilan adat, hingga hukum adat membuat masyarakat adat Sendi menjadi lebih taat serta menghormati setiap proses pembinaan hingga penegakan hukum di masyarakat adat Sendi. Oleh karena itu, supaya proses proses pembinaan serta penegakan hukum pada masyarakat Sendi dapat berjalan secara optimal serta memiliki validitas yang tidak berbeda jauh dengan hukum negara, maka perlu dilakukan suatu pendekatan pluralisme hukum serta integrasi peradilan adat Sendi dengan sistem peradilan nasional. Integrasi antara hukum adat Sendi termasuk aparaturnya dengan sistem peradilan nasional serta aparatur nasional dapat dilakukan dalam dua ranah, yaitu ranah pembinaan hukum dan tahap penegakan hukum. Dalam pembinaan hukum, strategi pluralisme hukum dapat diformulasikan ketika terjadi perkumpulan masyarakat adat Sendi di paseban yang biasanya diisi dengan adanya petuah-petuah dari kasepuhan terhadap generasi muda maka perlu juga dilibatkan aparat penegak hukum seperti misalnya dari unsur kepolisian. Hal ini perlu dilakukan untuk menjamin supaya terjadi sinkronisasi nilai-nilai antara hukum adat dan hukum nasional. Di sisi lain, perlu dilakukan secara rutin sekaligus sebagai bentuk upaya aparatur hukum negara untuk melakukan ‘jemput bola’ terhadap kearifan lokal masyarakat Sendi dengan praktik hukum adatnya. Pada aspek penegakan hukum, perlu diintegrasikan antara proses dan pelaksanaan putusan; baik dalam sistem peradilan adat sendi dan sistem peradilan nasional. Aktualisasi formulasi tersebut dapat dilaksanakan dengan membagi kewenangan antara peradilan adat Sendi dan peradilan nasional; termasuk juga menentukan posisi titik integrasinya. Contohnya, ketika terjadi kasus kecil seperti pencurian skala kecil, sengketa privat antar-masyarakat, maupun permasalahan yang berkaitan dengan ritual; lebih baik diserahkan pada peradilan adat Sendi. Ketika yang terjadi adalah kasus yang berskala menengah hingga besar, misalnya pencuriann kendaraan, peredaran obat-obat terlarang, dan terpapar ideologi radikal; maka perlu dilakukan penegakan hukum dengan sistem integrasi. Maksudnya, pelaku kejahatan mempertanggungjawabkan kesalahannya secara dua kali sekaligus, yaitu dari sanksi hukum adat untuk kemudian dijadikan rujukan oleh aparat kepolisian untuk mempertanggungjawabkannya dalam proses peradilan nasional. Perlu inventarisasi ajaran serta kodifikasi kitab undang-undang Kutaramanawa yang menjadi pegangan masyarakat Sendi dalam melaksanakan praktik peradilan adat. Termasuk juga mengadministrasikan putusan peradilan adat Sendi agar dapat dijadikan laporan dan bahan pertimbangan terhadap aparat penegak hukum nasional seperti kepolisian, jaksa, dan hakim; untuk sekaligus ikut menggali nilai-nilai yang hidup di masyarakat adat Sendi. Oleh karena itu, maka integrasi antara hukum dan aparatur adat Sendi dengan hukum dan aparatur hukum nasional perlu digalakkan untuk mengintegrasikan antara praktik hukum adat dan hukum nasional dengan strategi pluralisme hukum.
Masyarakat adat Sendi merupakan masyarakat yang masih menerapkan hukum adat serta memiliki aparatur hukum adat tersendiri. Aparatur hukum adat Sendi terdiri atas: Kasepuhan, Pamengku, Jaksa Adat, dan Cakra Buana. Masing-masing aparatur hukum adat Sendi tersebut memiliki tugas masing-masing, baik dalam pembinaan hukum maupun dalam penegakan hukum. Dengan demikian, maka peradilan adat Sendi memiliki mekanisme dan struktur peradilan adat tersendiri sehingga sangat relevan untuk dijaga eksistensinya dalam menghadapi era modernisasi hukum. Integrasi antara hukum dan aparatur peradilan adat Sendi dengan peradilan dan aparatur hukum nasional dengan strategi pluralisme hukum menjadi urgen untuk dilakukan. Integrasi dapat dilakukan dalam aspek pembinaan dan penegakan hukum. Integrasi dalam aspek pembinaan hukum dilakukan ketika terjadi perkumpulan masyarakat adat Sendi di paseban yang biasanya diisi dengan adanya petuah-petuah dari Kasepuhan terhadap generasi muda maka perlu juga dilibatkan aparat penegak hukum seperti misalnya dari unsur kepolisian. Integrasi dalam aspek penegakan hukum dilakukan dengan membagi kewenangan antara peradilan adat Sendi dan peradilan nasional; termasuk juga menentukan titik integrasinya. Oleh karena itu, integrasi peradilan adat Sendi dengan peradilan dan aparatur hukum nasional diperlukan untuk menjaga eksistensi masyarakat adat Sendi dari pengaruh modernisasi hukum.