Human Rights
DOI: 10.21070/jihr.2020.7.704

A Constitutional Dilemma: Local Elections amid of the Covid-19 Pandemic


Dilema Konstitusional: Pilkada di Tengah Pandemi Covid-19

Universitas Airlangga
Indonesia
Human Rights Law Studies, Faculty of Law Universitas Airlangga
Indonesia
Human Rights Law Studies, Faculty of Law Universitas Airlangga
Indonesia

(*) Corresponding Author

regional election covid-19 pandemic constitutional dillema

Abstract

On December 9, 2020, regional elections will be held simultaneously in 270 electoral districts across Indonesia. However, during this period the elections will be held amid the Covid-19 pandemic. This decision raised problems because the Government seemed to clash the protection of the right to health and the right to life due to the pandemic with political rights in the name of democracy. This clash ultimately created a constitutional dilemma. Elections has the potential to create election clusters considering the number of Covid-19 spread and transmission in Indonesia is still high and has not shown a significant decline. The General Election Commission (KPU) stated that the elections would implement health protocols. Nevertheless, holding elections is not just a matter of thorough preparation, but it is high risk, and also expensive. There will be a possible low voter turnout which could affect the legitimacy of the elections results. Facing this constitutional dilemma, an alternative to postponing elections through representative democracy can be an option. If it continues to be held, at least the Government must consider the safety of citizens first by controlling the Covid-19 pandemic, which clearly the mandate of constitutional rights as non-derogable rights, rights that cannot be reduced.

Introduction

Pandemi Covid-19 (Corona Virus Disease 2019) mengubah kehidupan manusia. Penyebarannya cepat dan terjadi di berbagai negara menyebabkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020.[1] Status pandemi tersebut diumumkan setelah Covid-19 menginfeksi 125.000 orang dan merenggut lebih dari 4.500 nyawa di seluruh dunia.[2]

Setelah dua kali menerbitkan Keputusan Presiden di bulan Maret 2020, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (PP No. 21 Tahun 2020), serta pelaksanaannya melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 (Permenkes No. 9 Tahun 2020). Dalam pasal 13 Permenkes pembatasan dilakukan dengan peliburan sekolah dan tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum, pembatasan kegiatan sosial dan budaya, pembatasan moda transportasi, dan pembatasan kegiatan lainnya khusus terkait aspek pertahanan dan keamanan.[3] Berbagai kebijakan dilakukan di pusat maupun daerah dalam menangani pandemi, dengan total alokasi pendanaan mencapai Rp. 801,86 triliun, yang terdiri dari dana untuk menangani pandemi dari APBN sebesar Rp. 695,2 triliun, APBD Rp. 78,2 triliun, dan dana desa Rp28,46 triliun.[4] Bahkan, seminggu jelang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daeah (PILKADA), data resmi pemerintah memperlihatkan jumlah tertinggi konfirmasi positif pasien per harinya, yakni 8.369 orang (total konfirmasi positif: 557.877), dengan jumlah meninggal 156 orang (total meninggal: 17.355), sejak awal diumumkan pandemi ini di Maret 2020.[5] Data ini pun sesungguhnya belum terintegrasi keseluruhan, tidak update, dan bahkan tidak lengkap mengingat keterbatasan pemerintah dalam melakukan tracing (pelacakan) dan testing (test masal PCR test/swab).[6]

Selain itu, dalam praktiknya penegakan aturan PSBB dapat dikatakan jauh dari kata ideal. Bahkan, kesehatan masyarakat dan penegakan protokol kesehatan sering kali dijadikan dalih dalam penggerusan demokrasi. Aksi-aksi protes masyarakat semasa pandemi kerap direpresi dan dibubarkan dengan dalih menimbulkan kerumunan, contohnya seperti aksi unjuk rasa saat peringatan hari tani di Solo yang dibubarkan dan diikuti oleh penangkapan segenap peserta aksi dengan dalih tidak berizin dan menimbulkan kerumunan.[7] Namun di sisi lain, atas nama demokrasi pula Pemerintah bersikeras untuk tetap melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak di 270 Kota/Kabupaten pada tanggal 9 Desember 2020. Keputusan tersebut tentu menimbulkan polemik, selain berpotensi menimbulkan kerumunan, Pilkada periode ini dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 yang hingga saat ini belum menunjukkan penurunan angka penularan yang signifikan. Langkah tersebut cukup mengkhawatirkan, sebab setidaknya 17 wilayah pemilihan Pilkada 2020 ditetapkan sebagai Zona Merah Covid-19.[8] Padahal ketika negara berstatus Zona Merah pada saat pandemi, tindakan yang seharusnya diambil Pemerintah adalah membatasi seluruh kegiatan masyarakat kecuali terdapat keperluan yang sangat mendesak serta melakukan peningkatan kualitas penanganan dan fasilitas kesehatan.[9]

Sebelumnya, penundaan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 pernah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Perppu 2/2020). Melalui peraturan tersebut disisipkan satu pasal yakni Pasal 201A yang menegaskan bahwa pemungutan suara serentak ditunda akibat bencana non-alam, termasuk pandemi Covid-19, dan dapat dilaksanakan pada bulan Desember 2020 jika pandemi berakhir. Namun terdapat pengecualian terhadap ketentuan tersebut yakni Pilkada dapat tetap diselenggarakan meskipun pandemi belum berakhir jika terdapat persetujuan bersama antara KPU, Pemerintah, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dalam hal ini, Perppu 2/2020 merupakan salah satu pijakan hukum yang digunakan dalam pengambilan keputusan penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi.

Adapun keputusan tersebut juga didasarkan atas beberapa pertimbangan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Timur berdalih bahwa[10] pertama, terdapat dukungan dari Kementerian Dalam Negeri untuk menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 melalui Surat Edaran Nomor 273/487/SJ tentang Penegasan dan Penjelasan Terkait Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Tahun 2020 serta Surat Ketua Gugus Tugas Nomor B-196/KA GUGAS/PD.01.02/05/2020 yang dikeluarkan oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana selaku Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Kedua, sebanyak 47 negara di dunia tetap melaksanakan pemilihan umum pada tahun 2020 di tengah pandemi yang sebagian besar dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan standar dan sebagian menggunakan model lain seperti mekanisme e-voting. Ketiga, dalam keadaanketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19, penyelenggaraan ketatanegaraan harus tetap berlanjut. Keempat, melalui Hasil Uji Publik yang dilakukan oleh KPU, perwakilan partai politik telah sepakat atas jadwal pelaksanaan Pilkada dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Namun, argumen-argumen diatas menimbulkan pro kontra tersendiri mengingat seperti mekanisme Pilkada pada periode-periode sebelumnya, Pilkada 2020 menerapkan mekanisme pemilihan langsung. Padahal risiko penularan Covid-19 lebih mudah terjadi pada kondisi dan situasi closed spaces (ruang tertutup), crowded places (kerumunan), dan close-contact setting (kontak dekat).[11] Bahkan menurut Dicky Budiman, pakar epidemiologi dari Griffith University, Pilkada berpotensi membuat situasi pengendalian pandemi di Indonesia semakin buruk dan semakin tidak terkendali.[12] Memang, pada Pilkada periode ini diselenggarakan dengan penerapan mekanisme protokol kesehatan sebagai langkah menghindari kenaikan angka penyebaran dan penularan Covid-19 sembari tetap melaksanakan amanat demokrasi. Meskipun demikian, masyarakat masih dibayang-bayangi akan risiko penularan Covid-19 yang juga akan berpotensi pada penurunan angka partisipasi masyarakat pada Pilkada 2020.

Akibatnya, permasalahan diatas menyebabkan suatu dilema konstitusional (constitutional dilemma). Sebab, Pemerintah seakan mencoba untuk membenturkan hak-hak konstitusional yakni perlindungan hak kesehatan dan hak hidup masyarakat di tengah pandemi dengan mempertahankan hak politik dalam penyelenggaraan Pilkada demi menjalankan amanat demokrasi, menjaga stabilitas politik, dan keberlanjutan ketatanegaraan. Melalui dalih penerapan protokol-protokol kesehatan dalam penyelenggaraan Pilkada, tidak dapat dipungkiri bahwa pada masa pandemi Covid-19 kedua hak tersebut akan sulit untuk dipertahankan secara bersamaan sehingga harus menderogasi perlindungan terhadap salah satu hak yang dimaksud. Oleh karena itu, pada pembahasan ini dikaji argumentasi hukum terkait urgensi dari penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 yang melahirkan constitutional dilemma, terutama antara hak pilih yang berhadap dengan hak hidup dan hak atas kesehatan.

Materials and Methods

Penelitian ini memfokuskan pada analisis nalar hukum pertimbangan dibalik kebijakan Pilkada serentak masa pandemi. Penelitian ini berjenis penelitian hukum dan bertipe normatif-empiris. Dalam mengkaji isu hukum di penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan masalah statute approach, conceptual approach, dan memanfaatkan pendekatan interdisipliner dalam hukum (interdisciplinary studies of law), yang tak semata memanfaatkan analisis atas norma, melainkan pula disiplin ilmu non-hukum untuk memahami konteks Pemilu Indonesia secara keseluruhan, sistem politik yang melingkupi dan desakan kebijakan melanjutkan Pilkada serentak. Penelitian hukum ini menggunakan bahan hukum primer dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan juga menggunakan bahan hukum sekunder dalam bentuk buku-buku bacaan, jurnal, dan juga publikasi lain yang dapat mendukung argumentasi hukum peneliti. Bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan inventarisasi peraturan perundang-undangan dan bahan bacaan lain yang terkait dengan isu hukum yang akan dikaji.

Results and Discussion

Pilkada dalam Pusaran Sistem Politik Kartel

Disain ketatanegaraan mengalami banyak perubahan pasca jatuhnya rezim otoritarian Soeharto. Hal ini disebabkan desakan publik untuk mengakhiri otoritarianisme dalam sistem politik Indonesia. Salah satu perubahan itu terkait dengan penyelenggaraan Pemilu.

Perubahan dilakukan secara bertahap, dari proses pemilihan langsung, hingga meliberalisasi sistem kepartaian maupun pemilu itu sendiri. Pemilu, diupayakan politik hukum regulasinya dalam rangka memangkas bekerjanya oligarki kekuasaan yang selama ini memanfaatkan pemilu sebagai instrumen politik melegitimasi jalannya kuasa politik-ekonomi.

Tantangannya adalah memperkuat sistem presidensiil, dengan mekanisme politik ketatanegaraan yang berupaya mendekonstruksi relasi kuasa dominan dan menyeimbangkannya dalam model yang lebih menguatkan pola relasi politik kewargaan. Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung adalah salah satu kunci perubahan besar dalam konteks Indonesia.[13] Hal demikian pula diikuti dengan Pemilihan Kepala Daerah yang pula secara langsung nan serentak.

Masalahnya, proses demokratisasi politik melalui instrumentasi hukum pemilu yang telah mengalami sejumlah perubahan kenyataannya tidak banyak mengubah kontestasi politik kartel, yang bekerja di dalam sistem ketatanegaraan itu sendiri. Oligarki kekuasaan politik-ekonomi rupanya secara rapi bermanuver melalui instrumentasi hukum untuk merawat relasi kuasanya. Sehingga, dalam perkembangannya, pemilu lagi-lagi memperlihatkan pesta elit. Pesta elit yang sekadar melahirkan proses dan sirkulasi kuasa elit dominan, yang memang tak lagi tersentralisasi layaknya masa rezim otoritarian Soeharto, melainkan elit-elit politik ekonomi yang bekerja di sejumlah lapisan, di pusat dan daerah, berkompetisi sekaligus merawat relasi kuasanya (bahkan dengan oposisi), dengan partai dan instrumen pemilunya.[14]. Sebagaimana kita saksikan dengan Pemilu 2014 dan 2019, partai-partai begitu mendominasi, memiliki daya tawar mempengaruhi pemerintahan, dan bahkan uniknya bisa menjadi arena tukar menukar kepentingan di istana atau kabinet. Lazimnya, partai politik lebih leluasa mengarahkan dukungan kepada kandidat tertentu di pilpres, yang dianggap selaras dengan kepentingan politik. Hal demikianlah sebagai bentuk politik transaksional yang jamak terjadi dalam sistem Pemilu yang bekerja, atau dikenal juga sebagai ‘pork barrel politics’ (kerap diterjemahkan dengan ‘politik dagang sapi’.

Apalagi, ketentuan yang mempertahankan ambang batas dalam pemilihan presiden (presidential threshold)[14] serta beratnya syarat kepesertaan pemilu, menjadi penanda bahwa instrumentasi hukum pemilu dikunci kembali masuk dalam perangkap oligarki politik yang demikian mudah menangguk keuntungan dari sistem pemilu saat ini.

Sebagaimana banyak diketahui bahwa aturan presidential threshold akan melahirkan proses politik yang demikian pragmatis dan transaksional di antara partai-partai politiknya. Syarat ambang batas tersebut pencalonan presiden/wakil presiden 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional menyebabkan tidak ada satu pun partai hasil Pemilu 2014 dan 2019 dapat mengusung calon presiden/wakil presiden sendiri. Pengalaman pemilu 2014 dan 2019, hanya melahirkan dua pasang calon presiden/wakil presiden. Realitas politik yang saling berhadap-hadapan (head to head) tersebut dari sudut pandang realisme politik, justru menebalkan praktik koalisi politik pragmatisme. Bila dibandingkan dengan konteks politik pemilu di Amerika Serikat, tentu berbeda situasi dan karakternya, terutama dikaitkan dengan absennya pertarungan politik yang lebih ideologis. Indonesia, praktek pemilu yang ‘head to head’, justru lebih menampilkan karakter ‘politik keroyokan’ (gang politics), daripada karakter ‘politik ideologis’ (ideological politics).[15]

Bahaya lain, yang sangat mungkin terjadi akibat ‘politik keroyokan’ adalah dimungkinkannya partai-partai yang kesulitan mendapatkan koalisi tidak lagi berkemampuan mengusung calon presiden/wakil presiden. Dilema tentunya buat partai politik yang prosentase perolehan suara dan atau kursinya sedikit. Abstain, tentu bukan pilihan. Menjadi oposisi pun tak berdaya dalam sistem politik. Karena, dalam ketentuan pasal 235 (5) UU Pemilu, “Dalam hal partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tidak mengajukan bakal pasangan calon, partai politik bersangkutan dikenai sanksi tidak mengikuti pemilu berikutnya.”

Dalam konteks inilah, maka sangat dimungkinkan dengan ‘politik keroyokan’ justru melahirkan kartel politik peserta pemilu, atau disebut pula ‘koalisi kartel’[16] atau ‘cartelized party system’[17]. Alih-alih untuk memperkuat sistem presidensial, justru sebaliknya dengan argumen hukum putusan Mahkamah Konstitusi, bahwa kedudukan kelembagaan kepresidenan yang kuat dan bertahan dalam sistem demikian adalah lebih terkait dengan sejauh mana presiden/wakil presiden terpilih dapat mengakomodasi kepentingan koalisi kartel tersebut, dan kebijakan-kebijakan yang ramah dengan kuasa kartel (cartel friendly policies).

Tak terhindarkan, dan pula menjadi bukti, bahwa karakter ‘politik keroyokan’ (gang politics), tanpa ‘politik ideologis’ menunjukkan konstelasi yang mudah berubah di dalam kontestasi Pilkada. Aliran dukungan tak lagi memperlihatkan aliansi yang ‘head to head’ di level nasional, melainkan kembali mengulang praktik pragmatisme dalam menata sirkulasi politik elit dengan perjumpaan kepentingan tertentu.

Masalah berikutnya, yang pula menjadi alasan tetap diupayakan penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi adalah soal ekonomi politik Pilkada itu sendiri yang pula dipengaruhi oleh daya dukung kuasa pemilik modal. Hal demikian, justru dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD yang menyatakan hampir 92 persen calon kepala daerah yang tersebar di seluruh Indonesia dibiayai oleh cukong.[18] Ia pula menyatakan bahwa rata-rata setelah terpilih para calon kepala daerah ini akan memberi timbal balik berupa kebijakan yang menguntungkan para cukong tersebut. Pilkada, dalam konteks demikian memperjumpakan dua kepentingan kartel, baik kartel politik maupun kartel ekonomi/pemodal.

Penyelenggaraan Pilkada di tengah Pandemi: sebuah Urgensi Demokrasi

Pemaknaan demokrasi kerap kali lekat dengan paham kerakyatan. Hubungan antara pemerintah dengan rakyat dalam menjalankan fungsi negara menjadi sorotan utama dalam pengartian demokrasi. Duverger dalam bukunya les Regimes Politiques berpendapat bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana rakyat memiliki hak dan kedudukan yang sama untuk memerintah dan diperintah.[19] Adapun konsep demokrasi yang populer pada negara hukum modern saat ini adalah demokrasi konstitusional (constitutional democracy). Demokrasi konstitusional mengedepankan pembatasan kewenangan terhadap Pemerintah agar menghindari penyalahgunaan kekuasaan, tindakan sewenang-sewenang (abuse of power), dan tirani mayoritas. Oleh sebab itu, demokrasi konstitusional selalu diikuti dengan pembagian kekuasaan kepada beberapa lembaga atau badan yang kemudian menjadi akar terbentuknya suatu negara hukum (rechtstaat)[20].Berbicara mengenai negara hukum, salah satu unsur penting yang melandasinya adalah penjaminan dan perlindungan hak asasi manusia melalui peraturan perundang-undangan. Sehingga demokrasi konstitusional hanya dapat dicapai sepenuhnya ketika terdapat pembatasan kekuasaan dan penjaminan hak asasi manusia.

Figure 1.

Menurut Sri Soemantri, penerapan nilai-nilai demokrasi diatas dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan pemilihan umum (demokrasi elektoral).[20] Secara sederhana, sistem pemilihan umum merupakan sistem yang digunakan sebagai rekruitmen politik melalui pemberian suara, perhitungan suara, dan pembagian kursi di parlemen.[21] Sehingga pemilihan umum dapat dipandang sebagai pintu pertama dari pelaksanaan proses demokrasi karena menjembatani kehendak rakyat yang akan direpresentasikan oleh pemangku kekuasaan terpilih. Adapun dalam penyelenggaraan pemilihan umum secara langsung diperlukan partisipasi masyarakat sebagai bentuk legitimasi. Legitimasi yang dimaksud merupakan wujud dari persetujuan rakyat yang dicerminkan melalui hasil pemilihan. Maka dari itu, suara masyakarat memiliki peranan penting dalam pemilihan umum secara langsung untuk mendukung proses demokrasi, meskipun masih sebatas prosedural, belum substansial.[22]

Hingga saat ini, pemberian suara yang dilakukan dalam pemilihan umum secara langsung masih dianggap sebagai sistem yang paling legitimate dalam mencerminkan pelaksanaan demokrasi. Dalam hal pemilihan umum pada tingkat daerah (Pilkada), penyelenggaraan Pilkada secara langsung merupakan bentuk pelaksanaan otonomi daerah sebagai wujud desentralisasi dan cerminan sirkulasi pergantian kekuasaan yang teratur pada tingkat daerah.[22] Melalui Pilkada diharapkan dapat terpilih Kepala Daerah yang lebih berkualitas, legitimate, peka terhadap kepentingan rakyat, aspiratif, dan akuntabel.[22] Mengingat pelaksanaan Pilkada akan berdampak politis terhadap penyelenggaraan tata pemerintahan pada tingkat daerah, tidak dapat dipungkiri bahwa Pilkada secara langsung memang memiliki urgensi tersendiri dalam menjamin perwujudan demokrasi pada tingkat daerah.

Jika melihat ketentuan pada Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) disebutkan bahwa Kepala Daerah dipilih secara demokratis. Ketentuan tersebut tidak secara eksplisit menerangkan bahwa demokratis harus dicapai melalui Pilkada. Sehingga secara kontekstual, Pilkada bukan merupakan pilihan mutlak mengingat perwujudan demokrasi tidak serta-merta hanya dapat diwujudkan melalui pemilihan umum secara langsung. Demokrasi perwakilan atau demokrasi representatif kerap kali menjadi alternatif akan perwujudan demokrasi. Semisal, penunjukkan Kepala Daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Namun di sisi lain, demokrasi perwakilan memiliki konsekuensi tersendiri karena dianggap menimbulkan jarak antara kedaulatan rakyat dengan pemerintah yang dibentuk berdasarkan kedaulatan tersebut.[23] Jarak yang muncul salah satunya disebabkan oleh ancaman transparansi terhadap pemilihan pemangku kekuasaan di tingkat daerah. Sehingga tanpa adanya jaminan partisipasi masyarakat melalui Pilkada secara langsung, dapat berpotensi mengebiri kedaulatan rakyat yang menjadi bagian penting dalam perwujudan demokrasi. Namun yang perlu ditekankan adalah pandangan tersebut dapat sejalan jika diterapkan ketika negara dalam keadaan normal. Bagaimana jika negara sedang dalam keadaan luar biasa? Putusan Mahkamah Konstituti Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa demokrasi perwakilan adalah suatu hal yang dimungkinkan dalam Pilkada. Frasa “dipilih secara demokratis” tidak selalu diartikan sebagai pemilihan secara langsung namun juga dapat dipilih melalui DPRD. Hal tersebut disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, kondisi setiap daerah yang bersangkutan, hingga kehendak masyarakat.[13] Sehingga demokrasi perwakilan masih dapat dijadikan sebagai opsi ketika diterapkan dalam keadaan luar biasa seperti situasi darurat kesehatan.

Adapun penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 dilatarbelakangi oleh urgensi perwujudan demokrasi pada tingkat daerah. Berdasarkan hal tersebut, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia memberikan dukungan penuh atas penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 meskipun negara masih dalam situasi darurat kesehatan. Pasalnya, keputusan tersebut ditengarai oleh beberapa urgensi, antara lain:[24]

  1. Merupakan keputusan bersama antara pemerintah, DPR dan penyelenggara pemilihan umum. Sesuai dengan ketentuan dalam Perppu 2/2020, ketika terdapat kesepakatan diantara ketiga lembaga yang dimaksud, maka Pilkada dapat dilaksanakan.
  2. Wujud kedewasaan bangsa Indonesia dalam demokrasi serta menjadikan Pilkada sebagai momentum untuk meraih kesempatan dalam memerangi pandemi Covid-19 melalui terpilihnya Kepala Daerah yang dipercaya publik karena terbukti mampu menangani pandemi Covid-19 di daerahnya.
  3. Mengurangi praktik kepemimpinan pemerintah daerah yang terlalu banyak dipimpin oleh pejabat sementara atau pelaksana tugas (Plt) karena memiliki kewenangan terbatas sehingga menghambat perputaran roda pemerintahan daerah.
  4. Memacu perekonomian di tengah krisis Covid-19 melalui kebijakan-kebijakan yang diusulkan oleh Kepala Derah periode selanjutnya.

Urgensi-urgensi tersebut justru menimbulkan polemik. Sebab dalam keadaan luar biasa seperti pandemi Covid-19, urgensi-urgensi tersebut dapat mengancam hak kesehatan bahkan hak hidup masyarakat. Pun, akan kontradiktif jika memutuskan untuk melanjutkan penyelenggaraan Pilkada dengan mengatasnamakan demokrasi. Mengingat untuk dapat mencapai demokrasi konstitusional sepenuhnya harus dapat memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia, tidak hanya hak politik tetapi juga termasuk hak kesehatan dan hak hidup.

Pun, dalam melakukan penjaminan hak kesehatan dan hak hidup masyarakat bukan berarti harus menghilangkan sepenuhnya hak politik atas Pilkada. Melihat situasi dan kondisi darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19 saat ini, langkah yang lebih tepat untuk diambil adalah penundaan atas penyelenggaraan Pilkada dengan artian pembatasan hak politik sementara, bukan peniadaan, demi menjamin hak kesehatan dan hak hidup masyarakat akibat keadaan darurat kesehatan.

Tantangan Penyelenggaraan Pilkada di Tengah Pandemi

Berbeda dari periode Pilkada sebelumnya karena Pilkada serentak 2020 akan diadakan di tengah pandemi maka terdapat tantangan-tantangan tersendiri. Terdapat 2 (dua) hal yang menimbulkan kekhawatiran pada penyelenggaraannya yakni situasi darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19 dan penurunan partisipasi masyakarat dalam Pilkada. Pertama, berdasarkan data-data yang telah dijabarkan sebelumnya, bahwa angka penyebaran dan penularan Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan penurunan signifikan sejak Maret 2020.[25] Adapun penyelenggaraan Pilkada serentak di tengah pandemi dapat berpotensi meningkatkan risiko penyebaran dan penularan Covid-19 karena tidak menutup kemungkinan akan diselenggarakan dalam kondisi closed spaces (ruang tertutup), crowded places (kerumunan), dan close-contact setting (kontak dekat).[11] Beberapa pakar epidemiolog bahkan telah menyarankan Pemerintah untuk melakukan penundaan atas penyelenggaraan Pilkada untuk menghindari risiko penularan Covid-19.[26]

Per tanggal 17 November 2020, lebih dari 30 negara di dunia memutuskan untuk menunda pemilihan umum demi menghindari angka penyebaran dan penularan Covid-19.[27] Namun, beberapa negara di dunia seperti Korea Selatan, Polandia, Singapura, memutuskan untuk melanjutkan pemilihan umum di tengah ancaman pandemi Covid-19. Pada Desember 2020, Indonesia pun memutuskan untuk melanjutkan Pilkada serentak di 270 wilayah pemilihan. Hal tersebut cukup mengkhawatirkan, sebab data-data pernyebaran dan penularan Covid-19 setelah pemilihan umum dari beberapa negara di dunia cenderung menunjukkan kenaikan yang cukup signifikan meskipun telah menerapkan protokol kesehatan, mail-in voting, hingga sosialisasi publik.[28].

Figure 2.Data penyebaran dan penularan Covid-19 setelah pemilihan umum.

Figure 2 diatas menunjukkan bahwa mayoritas dari negara-negara yang memutuskan untuk melanjutkan pemilihan umum cenderung menimbulkan kenaikan pada angka penularan Covid-19 yang cukup signifikan.[28] Hanya Korea Selatan yang menunjukkan penurunan penularan Covid-19 setelah penyelenggaraan pemilihan umum. “Its an efficient system, but its not foolproof.Menurut Kim Woo-joo, profesor penyakit menular dari Rumah Sakit Guro Korea University, pemberlakuan protokol kesehatan yang ketat pada saat pemilihan umum di Korea Selatan masih menyisakan kekhawatiran pasca pelaksanaan. Oleh karena itu akan sangat riskan jika hanya berpatokan pada data dari Korea Selatan sebagai dasar dari pengambilan keputusan penyelenggaraan Pilkada di Indonesia mengingat sebagian besar negara-negara yang melanjutkan proses pemilihan umum berujung pada kenaikan angka penularan Covid-19.

Figure 3.Data penyebaran dan penularan Covid-19 setelah pemilihan umum termasuk peranan faktor lainnya

Sedangkan Figure 3 diatas menunjukkan bahwa peningkatan angka penyebaran dan penularan Covid-19 setelah pemilihan umum namun juga disertai dengan beberapa faktor lain seperti pelaksanaan demonstrasi dan kasus penularan yang terlambat dilaporkan.[28] Dari kedua gambar diatas dapat disimpulkan bahwa mayoritas negara-negara yang memutuskan untuk melanjutkan pemilihan umum justru mengalami kenaikan kasus penyebaran dan penularan Covid-19 yang dapat mengancam situasi darurat kesehatan pada level yang lebih buruk.

Meskipun demikian, Pemerintah tetap bersikeras untuk melanjutkan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19. Fernanda Buril, peneliti di International Foundation for Electoral Systems (IFES) berpendapat bahwa risiko penularan pada saat pemilihan umum masih dapat diminimalisir jika Pemerintah menerapkan secara ketat protokol kesehatan seperti social distancing, penggunaan masker, sirkulasi udara yang memadai, sterilisasi berkala, dan lain-lain.[28] Namun faktanya, pelanggaran protokol kesehatan oleh masyarakat masih sering terjadi. Lebih-lebih pada saat pelaksanaan Pilkada dimana pergerakan dan kerumunan orang dipastikan akan sering terjadi.[29]

Hal tersebut nyata terjadi, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatatkan 375 pelanggaran protokol kesehatan yang terjadi pada kurun 6-15 Oktober 2020. Angka pelanggaran bertambah 138 kasus bila dibandingkan dengan pengawasan pada kurun waktu sebelumnya, yaitu pada 26 September hingga 5 Oktober yang tercatat 237 kasus.[30] Selain itu, hingga bulan November KPU mencatatkan bahwa terdapat 70 calon kepala daerah yang positif Covid-19, dan 3 di antaranya meninggal dunia.[31]

Tantangan lainnya adalah penerapan protokol kesehatan saat Pilkada akan menyebabkan pembengkakan anggaran. Indonesia telah menganggarkan biaya sebesar 20,4 triliun rupiah untuk penyelenggaraan Pilkada. Bahkan, 4,77 triliun rupiah diserap dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).[32] Hal tersebut justru menimbulkan kontra sebab penggunaan APBN seharusnya dapat difokuskan terhadap hal-hal ihwal dalam keadaan darurat kesehatan yang saat ini dialami Indonesia, utamanya dalam penanganan Covid-19.

Disamping itu, penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 93 menyatakan bahwa “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Jika pelaksanaan Pilkada tetap dilanjutkan maka berpotensi menimbulkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat akibat penularan Covid-19. Namun, apakah dengan ini DPR, Pemerintah dan KPU dapat diminta pertanggungjawaban atas penyelenggaraan Pilkada jika terbukti menimbulkan kondisi kedaruratan kesehatan masyarakat seperti yang dimaksud dalam Pasal 93? Lalu siapa yang dapat melakukan pertanggungjawaban ketika angka penyebaran dan penularan Covid-19 meningkat pasca Pilkada?

Kedua, penurunan partisipasi masyakarat dalam Pilkada. Meskipun pada umumnya partisipasi masyarakat dalam Pilkada meliputi beberapa jenis kegiatan seperti aktif dalam persiapan pemilihan umum, turut serta dalam kampanye, penyebaran informasi pemilihan umum, dan sebagainya, namun pada pembahasan ini partisipasi masyarakat yang dimaksud akan difokuskan pada pemberian suara (casting vote). Sebelumnya telah disinggung secara singkat bahwa suara masyarakat merupakan suatu bentuk legitimasi atas hasil pemilihan umum. Kekhawatiran masyarakat akan penularan Covid-19 akibat keputusan Pemerintah untuk menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi berpeluang pada rendahnya jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Padahal hal tersebut merupakan salah satu parameter penentu tingkat keberhasilan suatu Pilkada. Akibatnya, legitimasi hasil Pilkada dapat dipertanyakan karena berdampak pada manifestasi legitimasi demokrasi di daerah.[22]

Constitutional Dilemma dalam Konsep, Hukum, dan Praktik Penyelenggaraan Pilkada di Tengah Pandemi

A constitutional dilemma typically involves two elements: a choice between two separate goods (or evils) protected by fundamental rights; a fundamental loss of a good protected by a fundamental right no matter what the decision involves.[33]Menurut Zucca, suatu dilema konstitusional merupakan keadaan dimana terdapat pilihan antara dua hak fundamental, tetapi ketika salah satu hak tersebut diprioritaskan maka akan terdapat kerugian fundamental akibat hilangnya perlindungan atas hak fundamental lainnya. Namun, Zucca memberikan catatan penting terhadap berlakunya keadaan constitutional dilemma yakni perbandingan hak fundamental atau hak konstitusional yang dimaksud harus memiliki kekuatan dan kedudukan yang sama (equal strength/same ground)[33],Semisal, dua hak yang disandingkan merupakan non-derogable rights. Demikian pula sebaliknya, dua hak yang disandingkan merupakan derogable rights. Dengan kata lain, perbandingan hak konstitusional yang dimaksud harus apple to apple untuk dapat dikatakan sebagai constitutional dilemma.

Non-derogable rights merupakan hak yang tidak dapat dicabut, dikurangi maupun dilanggar dalam keadaan apapun, termasuk keadaan darurat.[34] Contoh dari Non-derograble rights antara lain adalah hak hidup, hak bebas dari penyiksaan dan perbudakan, hingga hak persamaan di depan hukum.[34] Non-derogable rights sendiri juga terdapat dalam UUD NRI 1945 yang pada Pasal 28I ayat (1) dijelaskan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadap hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.[35] Sedangkan derogable rights merupakan hak yang dapat dikesampingkan maupun dikurangi.[36] Contoh dari Derogable rights antara lain adalah hak kebebasan bergerak, hak kebebasan berekspresi, hak untuk menyampaikan pendapat hingga hak pilih dalam politik.

Fenomena constitutional dilemma akan rawan terjadi ketika negara dalam keadaan darurat, meskipun tidak menutup kemungkinan dapat terjadi dalam keadaan normal. Oleh karena itu, nalar penyelesaian constitutional dilemma pada keadaan darurat akan berbeda dengan keadaan normal. Cicero melalui bukunya The De Legibus menyatakan bahwa dalam status keadaan darurat, Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan apapun agar dapat menyelamatkan masyarakat dari ancaman yang timbul dari keadaan darurat tersebut. Bahkan, Cicero berpendapat bahwa prosedur paksaan terhadap masyarakat dapat diterapkan dalam keadaan luar biasa dengan mengesampingkan hukum yang telah berlaku dalam keadaan normal. Meskipun demikian, hukum yang berlaku dalam keadaan normal juga harus dapat dijamin keberlakuannya demi menjaga ketertiban hukum secara keseluruhan.[37] Sehingga dari penjelasan tersebut kita dapat memahami bahwa dalam keadaan darurat, Pemerintah dapat membuat kebijakan-kebijakan extraordinary termasuk menderogasi sebagian hak asasi masyarakatnya. Hal tersebut sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rigths(ICCPR) yang memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan tertentu sepanjang tidak bertentangan dengan kewajiban-kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi pada saat negara dalam status keadaan darurat, termasuk kedaruratan kesehatan, yang mana dapat berdampak terhadap pengurangan (penderogasian) hak, bukan peniadaan.

Pada kasus pandemi Covid-19 yang nyata-nyata telah menimbulkan bahaya kesehatan karena meregang banyak korban, sebelum Presiden Joko Widodo menetapkan Covid-19 sebagai kedaruratan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2020 pada 31 Maret 2020 lalu, jumlah kasus Covid-19 di seluruh dunia pada bulan Maret telah melampaui 720.000 kasus dan menewaskan lebih dari 33.000 nyawa.[38] Tak hanya itu, penularannya yang sangat mudah menyebabkan hajat hidup masyarakat terganggu. Adapun berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 03 Tahun 2016 tentang Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana, Keadaan Darurat Bencana diartikan sebagai suatu keadaan yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan sekelompok orang/masyarakat yang memerlukan tindakan penanganan segera dan memadai.[39] Maka dari itu pandemi Covid-19 dapat diklasifikasikan sebagai keadaan darurat, sehingga penderogasian hak demi penanganan keadaan darurat merupakan sebuah pemakluman.

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 di tengah pandemi Covid-19 merupakan contoh nyata fenomena dilema konstitusional. Pada satu sisi penyelenggaraan Pilkada merupakan bentuk penyaluran hak politik dan cerminan demokrasi, di sisi lain harus berhadapan dengan perlindungan hak kesehatan masyarakat saat pandemi. Meskipun demikian, Penulis beranggapan bahwa hak atas kesehatan harus lebih dipertimbangkan mengingat Indonesia saat ini berada dalam keadaan darurat kesehatan. Walaupun hak kesehatan tidak tercantum dalam hak-hak Non-derogable pada konstitusi, namun keberadaannya sangat berkaitan dengan hak untuk hidup. Hak hidup pun seharusnya tidak diartikan secara sempit, karena hak untuk hidup juga menyangkut segala hak untuk bebas dari segala tindakan dan kelalaian yang berpotensi menyebabkan kematian yang tidak wajar. Maka karena itu hak atas kesehatan tidak dapat dipisahkan dalam penegakan hak untuk hidup, utamanya apabila dihadapkan dalam bahaya Covid-19 yang nyata-nyata meregang belasan ribu nyawa di Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan prinsip indivisibility dan prinsip inalienability dalam hak asasi manusia.

Prinsip indivisibility, bahwa suatu hak tidak dapat dipisahkan dengan hak yang lainnya sehingga tidak ada hak yang lebih utama dari pada hak yang lainnya.[40] Hak atas kesehatan merupakan hak yang tidak dapat dipisahkan dengan hak-hak lainnya, termasuk hak politik. Kedudukan dari masing-masing hak tersebut pun juga sama (tidak ada yang lebih unggul). Tegaknya hak atas kesehatan tentu akan secara langsung berdampak pada pemenuhan hak politik seseorang, contohnya ketika pandemi Covid-19 ditangani dengan baik maka hak seseorang untuk bisa memilih ataupun dipilih dalam Pilkada dapat terpenuhi karena tidak ada kekhawatiran akan bahaya kesehatan yang akan menimpanya ketika ia berpartisipasi.

Prinsip inalienability, bahwa hak asasi manusia tidak dapat dipindah, dirampas, dan ditukar dengan hal tertentu agar hak tersebut dapat diperkecualikan,[40] termasukhak atas kesehatan ataupun hak politik. Sehingga dengan melihat prinsip tersebut pemenuhan suatu hak tidak boleh memperkecualikan keberadaan hak yang lain, baik itu dalam memenuhi hak kesehatan ataupun hak politik.

Disamping itu, United Nations (UN) menyatakan bahwa terdapat hak asasi yang menjadi garda terdepan dalam penanggulangan Covid-19, antara lain hak atas kesehatan dan hak untuk hidup.[41] UN menambahkan bahwa setiap negara mengalami tantangan dalam pembatasan-pembatasan hak, seperti penundaan Pilkada yang dimaksudkan sebagai pembatasan hak kebebasan bergerak, bukan pembatasan hak politik. UN menegaskan bahwa pembatasan hak harus dilakukan dengan proporsional dan tidak diskriminatif serta bertujuan menyelesaikan keadaan darurat kesehatan, yang tak lain adalah pandemi Covid-19.[41] Sehingga kebijakan Pemerintah terutama yang berkaitan dengan pembatasan hak selama keadaan darurat kesehatan Covid-19 ini haruslah bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan Covid-19. Meski demikian, bukan berarti hak politik dapat semata-mata ditinggalkan atau ditiadakan, dan harus tetap dipenuhi secara proporsional dan tidak diskriminatif. Sehingga dalam menyelesaikan persoalan constitutional dilemma akibat penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi yang dapat mempertaruhkan hak kesehatan dan hak hidup masyarakat, melakukan penundaan atas penyelenggaraannya adalah pilihan yang rasional dan seimbang.

Menengahi Constitutional Dilemma atas Penyelenggaraan Pilkada di Tengah Pandemi

Pembenturan hak atas kesehatan dan hak politik menimbulkan persoalan dilema konstitusional. Namun, bukan berarti tidak terdapat solusi atas persoalan tersebut. Adapun Penulis memberikan beberapa rekomendasi teknis atas keputusan penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang diharapkan dapat menjadi acuan dalam menyeimbangkan perlindungan hak atas kesehatan dan hak politik masyarakat.

Berdasarkan Guidelines and Recommendations fot Electoral Activities During the Covid-19 Pandemic yang dibuat oleh International Foundation fot Electoral System (IFES) terdapat beberapa alternatif dalam menanggapi permasalahan pemilihan umum di tengah pandemi, antara lain adalah dengan penundaan ataupun penyelenggaraan kegiatan pemilu secara jarak jauh.[42] Sehingga dalam hal ini kita dapat memahami penderogasian hak politik untuk memenuhi hak kesehatan dapat dilakukan melalui beberapa hal, antara lain adalah penundaan penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 hingga pandemi Covid-19 berakhir atau menunjukkan penurunan yang signifikan, ataupun tetap dilangsungkan namun dengan penyesuaian yang dilakukan demi tegaknya Pilkada yang aman dan sehat. Namun dari setiap opsi tersebut juga terdapat permasalahan-permasalahan yang patut dikaji.

Pertama, dalam opsi penundaan Pilkada serentak, terdapat permasalahan yang tak lain adalah ketidakpastian waktu pandemi Covid-19 ini berakhir. Permasalahan tersebut pun berpotensi membawa permasalahan-permasalahan praktis lain, yakni kekosongan jabatan kepala daerah hingga Pilkada dapat diselenggarakan. Kekosongan jabatan kepala daerah tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pengisian jabatan oleh Penjabat (Pj). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang, yang mana dalam Pasal 201 ayat (11) menjelaskan untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati dan Walikota.[43] Namun dalam melaksanakan tugasnya, Penjabat memiliki kewenangan yang terbatas, karena berdasarkan Pasal 14 ayat (7) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat pemerintahan yang memperoleh kewenangan melalui mandat tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada status hukum pada aspek organisasi kepegawaian, dan alokasi anggaran.[44] Apabila permasalahan tersebut dikaitkan dengan tidak pastinya masa pandemi Covid-19 ini berakhir, maka roda pemerintahan di daerah yang mengalami kekosongan jabatan kepala daerah tersebut akan mengalami banyak hambatan. Tetapi yang perlu ditekankan adalah, ketika negara keadaan tak normal seperti dilanda pandemi Covid-19, opsi dalam pelantikan Penjabat (Pj), Pelaksana tugas (Plt), Penjabat sementara (Pjs), Pelaksana harian (plh) merupakan hal yang wajar.

Kedua, apabila Pilkada tetap dilangsungkan di tengah Pandemi, tentu akan memerlukan banyak penyesuaian untuk memastikan Pilkada yang aman dan sehat. Namun di sisi lain opsi ini juga menimbulkan suatu persoalan. Dari pihak penyelenggara, penyesuaian sistem Pilkada di tengah pandemi tentu akan membebani anggaran karena dibutuhkannya peralatan-peralatan tambahan untuk kesehatan ataupun prosedur-prosedur protokol kesehatan untuk menjamin terciptanya Pilkada yang aman dan sehat. Selain itu penyelenggaran Pilkada juga dituntut untuk dapat membuat sistem yang memastikan setiap orang bisa memberikan suaranya termasuk pasien Covid-19 yang sedang dikarantina. Karena pada dasarnya tolak ukur keberhasilan dari suatu pemilihan dapat diukur melalui jumlah atau persentase pemilih yang menggunakan hak pilihnya di Tempat Pemungutan Suara (TPS).[22] Hal tersebut tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pihak penyelenggara untuk dapat meyakinkan masyarakat bahwa mereka bisa menggunakan hak pilihnya dengan aman dan bebas dari ancaman-ancaman kesehatan. Kerena itu dalam penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi Covid 19 ini sangat memerlukan inovasi ataupun strategi untuk dapat memaksimalkan partisipasi dan mengatasi ketakutan masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya.

Strategi pertama yang dapat dilakukan antara lain adalah strategi jemput bola. Strategi ini sebenarnya sudah sering dilakukan pada pemilu-pemilu sebelumnya di Indonesia, yang mana strategi ini dipergunakan petugas TPS untuk dapat menjangkau pemilih yang sedang dirawat di rumah sakit dan juga untuk dapat menjangkau tahanan di kepolisian sektor atau resor.[22] Strategi ini dapat diadaptasi dalam Pilkada serentak 2020 ini untuk dapat menjangkau setiap pemilih yang takut untuk datang ke TPS karena khawatir akan bahaya kesehatan, utamanya bagi kelompok rentan seperti lansia dan juga pemilih berkebutuhan khusus.

Strategi kedua yang dapat dilakukan antara lain adalah dengan advancevoting. Advance voting dalam hal ini diartikan sebagai bentuk pelayanan kepada pemilih yang karena suatu hal tidak dapat hadir memberikan suara di TPS pada hari pemungutan suara. Strategi ini dapat dilakukan dengan cara pemungutan suara sebelum tanggal pemungutan suara dan juga mengirimkan surat suara yang sudah dicoblos melalui kantor pos (mail voting) kepada Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).[22] Dalam sejarahnya mail voting atau mail-in ballot pertama kali diterapkan pada tahun 1977 di Montery County, California.[45] Sehingga strategi mail-in ballot tersebut sudah bukanlah hal yang baru di dalam dunia pemilihan umum. Strategi tersebut dapat diterapkan untuk bisa menjangkau para pemilih yang sedang terjangkit Covid-19 dan sedang dikarantina.

Strategi jemput bola sendiri sudah diterapkan oleh KPU melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), yang mana dalam Pasal 73 ayat (1) dijelaskan bahwa bagi pemilih yang sedang menjalani Isolasi Mandiri karena Covid-19 dan dipastikan tidak dapat mendatangi TPS untuk memberikan hak pilihnya, KPPS dapat melayani hak pilihnya dengan cara mendatangi Pemilih tersebut dengan persetujuan Saksi dan Panwaslu Kelurahan/Desa atau Pengawas TPS, dengan mengutamakan kerahasiaan Pemilih.[10] Meskipun strategi jemput bola sudah diterapkan di Indonesia, sayangnya strategi mail-in ballot belum diakomodir. Hal tersebut tentu sangat disayangkan karena apabila strategi jemput bola diterapkan untuk menjangkau pemilih yang menjalani isolasi mandiri, hal tersebut akan membahayakan panitia yang melakukan kontak dengan pemilih tersebut ataupun pemilih itu sendiri. Meskipun berdasarkan Pasal 73 ayat 5 huruf c Peraturan KPU No. 6 Tahun 2020 KPPS yang mendatangi pemilih menggunakan alat pelindung diri lengkap, namun tetap perlu diwaspadai apakah alat pelindung diri lengkap tersebut sudah terkontaminasi atau tidak. Maka karena itu seharusnya pemungutan suara pada orang yang positif Covid-19 tidak dilakukan dengan kontak langsung, melainkan dapat diakomodir dengan menerapkan strategi mail-in ballot, sehingga risiko penularan dari kontak fisik dapat terhindarkan.

Conclusions

Berbasis pada opsi-opsi diantara pilihan dilematis, sebenarnya tetap melangsungkan Pilkada dalam keadaan pandemi yang belum terkendali membutuhkan tidak sekadar soal banyak persiapan yang matang, melainkan berisiko tinggi, dan juga berbiaya mahal. Pun, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi berpotensi menurunkan angka partisipasi masyarakat yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi legitimasi hasil pemilihan umum. Penyelenggaraannya pun juga dipastikan membutuhkan tenaga dan pembiayaan ekstra, yang seharusnya publik dan pula pemerintah dapat menfokuskan pada penanganan pandemi.

Resiko terbesarnya justru adalah bila terjadi klaster Pilkada dan mengakibatkan semakin meningginya akan konfirmasi positif, meningkatnya angka kematian yang disebabkannya, serta semakin terbatasnya ketersediaan layanan rumah sakit secara lebih memadahi, termasuk soal rentannya tenaga medis terpapar Covid di tengah membengkaknya angka-angka konfirmasi positif tersebut. Dalam konteks demikian, terjadinya cluster Pilkada, atau meningkatnya jumlah konfirmasi positif, angka pasien Covid-19 meninggal dan tidak lagi layanan kesehatan memadai menampung lonjakan angka-angka tersebut, jelas merupakan bentuk kesengajaan Pemerintah karena abai atas standar dan gagal mewujudkan perlindungan dan keselamatan warga yang utama. Oleh sebab itu, bila hal demikian terjadi, maka publik berhak menuntut pertanggungjawaban pemerintah dan harus bisa dipertanggungjawabkan secara hukum atas bukan saja gagalnya menangani dan mengendalikan pandemi, melainkan menghilangkan hak hidup warga negara.

Menghadapi dilema konstitusional demikian seharusnya Pemerintah lebih mempertimbangkan keselamatan warga terlebih dahulu, dengan setidaknya mampu mengendalikan pandemi Covid-19, dan ini jelas mandat hak konstitusional yang memiliki kategori non-derogable rights, hak yang sama sekali tak boleh dikurangi. Demokrasi konstitusional bukan semata dikerdilkan soal hak pilih, melainkan perlindungan hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budaya secara menyeluruh untuk tujuan kesejahteraan sosial.

References

  1. WHO Director-General’s Opening Remarks at the Media Briefing on Covid-19. [Online]. Available: https://www.who.int/director-general/speeches/detail/who-director-general-s-opening-remarks-at-the-media-briefing-on-covid-19—11-march-2020.
  2. T.E.M.P.O.C.O., “WHO Tetapkan Covid-19 Sebagai Pandemi,” Apa Maksudnya?,”, XXXX, [Online]. Available: https://dunia.tempo.co/read/1318511/who-tetapkan-covid-19-sebagai-pandemi-apa-maksudnya/full&view=ok,
  3. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
  4. C. N. N. Indonesia, BPKP: Total Dana Penanganan Corona Rp800 T Di 2020. 2020. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20200929155714-532-552319/bpkp-total-dana-penanganan-corona-rp800-t-di-2020.
  5. Satgas Penanganan Covid-19. [Online]. Available: https://www.covid19.go.id/.
  6. T.E.M.P.O., Simpang Siur Data Covid-19 Berlanjut. 2020. [Online]. Available: https://koran.tempo.co/read/berita-utama/460384/simpang-siur-data-covid-19-berlanjut?#.
  7. T. Setiadi, “Saat Demo Dibubarkan Dan Konser Dangdut Dibiarkan,” Kompas, 2020, [Online]. Available: https://regional.kompas.com/read/2020/09/25/05195661/saat-demo-dibubarkan-dan-konser-dangdut-dibiarkan?page=all.
  8. C. N. N. Indonesia, 17 Daerah Pilkada 2020 Masuk Zona Merah Corona. 2020. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201125155035-32-574388/17-daerah-pilkada-2020-masuk-zona-merah-corona.
  9. C. Shen and Y. Bar-Yam, Color Zone Pandemic Response Version 2. XXXX.
  10. Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Serentak Lanjutan dalam Kondisi Bencana Non-Alam Corona Virus Disease 2019 (Covid-19.
  11. W. H. Organization, Interim Guidance: Critical Preparedness, Readiness and Response Actions for COVID-19. XXXX.
  12. L. A. Azanella, “Epidemiolog: Pilkada Serentak Potensial Lahirkan Banyak Klaster Baru,” Kompas, XXXX.
  13. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97/PUU-XI/2013.
  14. D. Slater, “Party Cartelization, Indonesian-Style: Presidential Power-Sharing and The Contingency of Democratic Opposition,” Journal of East Asian Studies, vol. 18, no. 1, 2018.
  15. H. P. Wiratraman, Pemilu Dan Neo-Otoritarianisme. Prosiding Konferensi Nasional Hukum Tata Negara Ke-5: Tantangan Menjaga Daulat Rakyat Dalam Pemilihan Umum, Batusangkar. 2018.
  16. M. Nurhasim, “Ambang Batas Pencalonan Dan Kecenderungan Koalisi,” Kompas, 2018, [Online]. Available: https://kompas.id/baca/opini/2018/11/08/ambang-batas-pencalonan-dan-kecenderungan-koalisi/.
  17. K. Ambardi, The Making of the Indonesian Multiparty System: A Cartelized Party System and Its Origin. Ohio State University, 2008.
  18. C. N. N. Indonesia, Mahfud MD Sebut 92 Persen Calon Kepala Daerah Dibiayai Cukong. 2020. [Online]. Available: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200911163316-32-545445/mahfud-md-sebut-92-persen-calon-kepala-daerah-dibiayai-cukong.
  19. K. Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi. Bandung: Eresco, 1987.
  20. N. Huda and I. Nasef, Penataan Demokrasi Dan Pemilu Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2017.
  21. G. Kartiko, “Sistem Pemilu Dalam Perspektif Demokrasi Di Indonesia,” Jurnal Konstitusi, vol. 11, no. 1, 2009.
  22. M. S. Arif, “Meningkatkan Angka Partisipasi Sebagai Upaya Menjamin Legitimasi Hasil Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Ditengah Pandemi Covid-19,” Jurnal Tata Kelola Pemilu Indonesia, vol. 2, no. 1, 2020.
  23. J. Asshiddiqie, “Partai Politik Dan Pemilihan Umum Sebagai Instrumen Demokrasi,” Jurnal Konstitusi, vol. 3, no. 4, 2006.
  24. S. Mashabi, “Kemendagri Sebut Ada Lima Urgensi Pelaksanaan Pilkada Di Tengah Pandemi Covid-19,” Kompas, Sep. 2020, [Online]. Available: https://nasional.kompas.com/read/2020/09/30/16263931/kemendagri-sebut-ada-lima-urgensi-pelaksanaan-pilkada-di-tengah-pandemi.
  25. Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Komite. “Peta Sebaran Covid-19 Di Indonesia. 2020.
  26. F. C. Farisa, “Epidemiolog: Protokol Kesehatan Sulit Dipatuhi, Bijaknya Pilkada Ditunda,” Kompas, 2020.
  27. I. F. for E. Systems, Elections Postponed Due to COVID-19 - As of November 17, 2020. 2020. [Online]. Available: https://www.ifes.org/sites/default/files/elections_postponed_due_to_covid-19.pdf.
  28. L. Maizland, “How Countries Are Holding Elections During the COVID-19 Pandemic,” in Council on Foreign Relations, [Online]. Available: https://www.cfr.org/backgrounder/how-countries-are-holding-elections-during-covid-19-pandemic.
  29. “Pakar Epidemiologi Tak Yakin Protokol Kesehatan Dipatuhi Di Pilkada,” in SINDOnews, 2020.
  30. Kompas, Pelanggaran Protokol Kesehatan Saat Kampanye Pilkada Meningkat. 2020. [Online]. Available: https://www.kompas.com/tren/read/2020/03/30/071734165/update-virus-corona-di-dunia-30-maret-2020-720117-terinfeksi-149082-sembuh?page=all.
  31. C. N. N. Indonesia, 70 Calon Pilkada 2020 Positif Corona, 3 Orang Meninggal. 2020.
  32. H. A. A. Hikam, “Anggaran Pilkada 2020 Rp 20,4 T, APBN Bantu Rp 4,77 T,” detikFinance, 2020.
  33. L. Zucca, “Conflict’s of Fundamental Rights as Constitutional Dilemmas,” in Conflicts Between Fundamental Rights, E. Brems, Ed. Portland: Intersentia, 2008.
  34. S. Joseph and A. McBeth, Research Handbook on International Human Rights Law. United Kingdom: Edward Elgar Publishing, 2010.
  35. UUD NKRI 1945 Pasal 28 I.
  36. L. M. Hammer, The International Human Right to Freedom of Conscience: Some Suggestions for Its Development and Application. United States: Routledge, 2010.
  37. T. Poole, Reason of State. United Kingdom: Cambridge University Press, 2015.
  38. Kompas, Update Virus Corona Di Dunia 30 Maret 2020: 720.117 Terinfeksi, 149.082 Sembuh. XXXX.
  39. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangna Bencana Nomor 03 Tahun 2016 tentang Sistem Komando Penanganan Darurat Bencana.
  40. H. P. Wiratraman, “Konstitusionalisme Dan Hak Asasi Manusia,” Jurnal Ilmu Hukum Yuridika, vol. 20, no. 1, 2005.
  41. A. Guterres, We Are All in This Together: Human Rights and COVID-19 Response and Recovery. [Online]. Available: https://www.un.org/en/un-coronavirus-communications-team/we-are-all-together-human-rights-and-covid-19-response-and.
  42. I. F. for E. Systems, Guidelines and Recommendations for Electoral Activities During the COVID-19 Pandemic. 2020. [Online]. Available: https://www.ifes.org/sites/default/files/guidelines_and_recommendations_for_electoral_activities_during_the_covid-19_pandemic_march_2020.pdf.
  43. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur.
  44. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
  45. D. B. Magleby, “Participation in Mail Ballot Election,” The Western Political Quarterly, vol. 40, no. 1, 1987