Environmental Law
DOI: 10.21070/jihr.2021.8.719

The Government of Indonesia's Accountability Against Forest Degradation Due to Deforestation Based on the Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change


Tanggunggugat Pemerintah Indonesia Terhadap Degradasi Hutan Akibat Deforestasi Berdasarkan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change

Law Study Program, Faculty of Business, Law and Social Sciences, University of Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo
Indonesia
https://orcid.org/0000-0002-6373-1199

(*) Corresponding Author

State accountability The climate crisis T the Paris Agreement

Abstract

This study aims to describe and explain the form of Indonesia's responsibility for climate change due to deforestation based on the Paris Agreement. As a form of contribution to climate problems, the Government has adopted the Paris Agreement with the instrument Law Number. 16 of 2016. However, the commitment to contribute to reducing greenhouse gas emissions has encountered problems in its implementation. On this basis, this study discusses the state's responsibility for climate change due to deforestation. The main emphasis will be on the forestry sector. This problem is the biggest obstacle in Indonesia's commitment to meet the greenhouse gas emission reduction target. This research method uses normative or doctrinal, the data collection process is carried out by reviewing literature that is relevant to the problems written by the author. The result of this research is that regulations on how to overcome the climate crisis in Indonesia are seen as not being able to implement changes in substance with the ultimate goal of reducing emissions as desired. The issue of effectiveness, especially the problem of legal requirements, is still a principle constraint, even some administrative arrangements contain decisions that contradict the declared responsibilities. In line with that, it is proposed the importance of strong guidelines, implementation of the law and balance of responsibilities through the environmental strategy that is carried out.

Pendahuluan

Luas kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia dalam setiap tahun terus mengalami peningkatan yang sangat dinamis. Menelisik angka yang disampaikan oleh Forest Wacht Indonesia, laju deforestasi akibat degradasi hutan di Indonesia pada periode 1985-1995 tidak kurang menyentuh angka 1,6 juta-1,8 juta Ha per tahun. KLHK menyatakan bahwa selama periode Reformasi sampai saat ini deforestasi semakin menurun, pada tahun 2016-2017 berada pada angka 0,48 juta Ha.

Dalam beberapa tahun terakhir KLHK melakukan update data dan dipublikasikan sesuai dengan definisi deforestasi yang disebutkan dalam Permen KLHK nomor 70 tahun 2017. Data resmi menyatakan dalam periode 2013-2014 deforestasi hutan turun ke angka 0,4 juta Ha per tahun setelah dalam periode sebelumnya berada pada angka 0,73 Ha per tahun.

Kerusakan hutan yang terjadi akibat deforestasi tentu berdampak kurang baik pada peranan ekologis, social-ekonomi dan kultur hutan. Termasuk juga terganggunya jasa hutan, hilangnya biodiversitas dan sumberdaya genetika. Tekanan yang disebabkan semakin bertambahnya penduduk dan konservsi hutan untuk kepentingan pembangunan telah memicu percepatan degradasi hutan tersebut telah memicu penurunan kualitas oksigen, penyebab banjir besar, kekeringan dan tanah longsor. Permasalahan mengenai pengrusakan hutan berdampak buruk bagi kehidupan manusia dalam skala nasional maupun internasional, untuk menghentikan laju deforestasi membutuhkan langkah serius agar terhindar dari dampak besar akibat degradasi hutan.[1]

Deforestasi, degradasi hutan dan perubahan iklim telah menjadi isu lingkungan yang menjadi sorotan berbagai pihak dalam beberapa tahun terakhir, dan diramalkan akan terus menjadi perbincangan kedepannya karena problem yang kompleks. Rusaknya fungsi hutan dengan termasuk didalamnya komponen biofisik dianggap turut menyumbangkan dalam kejadian pemanasan global yang melanda dunia yang merupakan variasi dari perubahan iklim. Seperti diketahui bahwasannya pemanasan global akan memiliki berbagai dampak negative yang mengancam kehidupan umat manusia.[2] Meningkatnya emisi gas rumah kaca yang menjadi salah satu penyumbang global warming merupakan suatu fenomena yang hampir mustahil untuk dapat diselesaikan dalam zaman modern seperti sekarang ini yang bersifat konsumtif. Punahnya beberapa makhluk hidup, munculnya badai, bencana banjir dan longsor dan hilangnya keanekaragaman hayati ditambah lagi dengan degradasi hutan menjadi ancaman nyata yang menakutkan sehingga memaksa umat manusia berpikir keras untuk menahan pemanasan global. Semua negara baik yang maju maupun berkempang, lembaga internasional serta berbagai gerakan social sipil terlibat dalam upaya penanggulangan ini.

Dampak dari perubahan iklim semakin terasa dibanyak negara termasuk kedalamya Indonesia. Sehingga menyebabkan peningkatan suhu udara di Indonesia dan curah hujan yang semakin tinggi.[3] Maka dengan demikian hendaknya setiap negara perlu untuk memberikan perhatian lebih terhadap isu permasalahan perubahan iklim guna mencari solusi yang tepat. Langkah terukur baik dalam mitigasi maupun adaptasi adalah suatu hal yang harus dipertimbangkan sebagaimana yang diusulkan oleh World Bank.[4] Hal ini sejalan dengan upaya negara-negara didunia untuk menyatukan visi bersama sehingga terbentuk suatu komitmen yang tertuang dalam PARIS AGREEMENT TO THE UNITED NATIONS FRAMEWORK CONVENTION ON CLIMATE CHANGE.

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut melalui Undang-undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perubahan Iklim). Dengan demikian maka Indonesia berkomitmen besar untuk berkontribusi dalam pengurangan emisi sekitar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi kurang lebih 41% jika terdapat kerja sama Internasional hingga tahun 2030.[5] Salah satu perubahan iklim ekstrim di Indonesia adalah terjadi musim kemarau panjang dan curah hujan tinggi mengakibatkan ribuan Ha sawah gagal panen pada tahun 2019 dan kebakaran hutan yang semakin sulit terkendali serta dampak lain dari perubahan iklim yang terjadi di beberapa kota di Indonesia.

Bahwasannya diakibatkan oleh perubahan iklim yang berdampak pada lingkungan dan makhluk hidup yang menetap tinggal didalamnya sudah barang tentu sepatutnya menjadi tanggung gugat negara dalam menangani hal tersebut. Tangungg gugat negara ini akan berkenaan dengan pengambilan keputusan dan kebijakan baik instrument hokum internasional maupun hokum nasional dalam batasan dan fokus pada UU No. 16 Tahun 2016 Tentang Persetujuan Paris.

Metode Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan yaitu dengan menganalisa temuan-temuan didalam penelitian berdasarkan fakta yang ada di peraturan, buku, jurnal ilmiah. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis deduktif ialah proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan ini mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.

Hasil dan Pembahasan

Ratifikasi Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change Sebagai Upaya Pengendalian Perubahan Iklim Akibat Degradasi Hutan

Negara Indonesia berada dalam urutan ke-3 penyumbang emisi GRK setelah US dan Tiongkok. Emisi GRK Indonesia diramalkan akan mengalami peningkatan sebesar 2% per tahun yang menyentuh angka 2.5 miliar ton pada tahun 2020 dan di tahun 2030 akan mencapai 3.3 milar ton dengan tingkat pertumbuhan saat ini 41 persen diakibatkan oleh deforestasi dan perusakan lahan gambut. Disisi lain, posisi ke-3 juga diduduki oleh Indonesia sebagai negara penghasil karbondiokasida (CO2) terbesar di seluruh dunia. Sebanyak 60%-70% emisi GRK diakibatkan dari aktivitas penebangan hutan dan alih fungsi lahan.

Indonesia menjadi salah satu sebagai subjek hukum dunia, dan pemain utama dalam memutuskan bergerak maju yakni dengan meratifikasi Persetujuan Paris yang merupakan sesuatu yang sangat utama dalam penentuan aksi riil mitigasi dan adaptasi perubahan iklim serta mengakomodasi keperluan Insonesia atas Persetujuan Paris. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan negara yang aktif dalam forum perjanjan iklim dunia. Tidak lain karena kondisi geografi yang rapuh terhadap efek dari perubahan iklim.[5] Tindakan Indonesia yang secara cepat meratifikasi Perjanjian Paris tanpa menunggu negara lain bertindak serupa, dengan alasan Pemerintah menghendaki peranan kontributif untuk pengambilan kebijakan yang terkait dengan gambaran nyata Perjanjian Paris. Sehingga Indonesia menjadi pemain inti Perjanjian Paris dan kepentingan Indonesia dapat terrealisasikan.

Merujuk pada NDC yang telah diajukan oleh Pemerintah Indonesia, target ini ditetapkan dalam model tingkat emisi asolut yang rendah, dari 2.881 MtCO2e (megaton setara CO2) pada INDC menjadi 2.869 MtCO2e pada NDC. Meski begitu, harapan capaian penguruangan emisi Indonesia tidak berubah pada 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan bantuan dunia. Meksi target sudah mengalami perubahan, namun juru kampanye hutan Greenpeace Asia Tenggara Yuyun Indradi meragukan bahwa Indonesia belum cukup bersungguh-sungguh dalam pengembangan rencana aksi iklim dan langkah Pemerintah dalam menindak pelaku pembakaran hutan[6] yang didomonasi oleh korporasi. Hal ini akan berdampak pada posisi Indonesia dalam memberikan sumbangsih yang lebih dalam aksi global untuk membatasi batasan kenaikan suhu dibawah 2 derajat C atau tak lebih dari 1.5 derajat diatas tingkat pra-industrial.

Kepentingan Indonesia dalam persetujuan Paris dapat dilihat dari pengaturan pemanfaatan lahan gambut guna pemenuhan kebutuhan makan masyarakat. Keuntungan pemerintah atas pola tersebut, dapat terlihat dengan adanya target 100.000 Ha lahan gambut yang sudah terbakar di Kalimantan yang akan dimanfaatkan sebagai lahan hortikultura. Hal tersebut akan diatur dalam (PP) Nomor 71/2014. Lahan gambut yang telah habis terbakar dan malfungsi, akan dibangun kembali oleh otoritas yang ditunjuk Pemerintah. Instansi yang bertanggung jawab dalam urusan pemulihan ulang lahan gambut tersebut yaitu Badan Restorasi Gambut (BRG).

Kebijakan Indonesia Dalam Upaya Adaptasi Perubahan Iklim Berdasarkan Persetujuan Paris

Guna meraih amanat Persetujuan Paris, komitmen nasional terhadap upaya dunia sebagaiman tercantu dalam Komitmen yang dituangkan Secara Nasional NDC, seluruh pihak bekerja dan menyampaikan upaya terbesarnya dan mempresentasikan kemajuan dalam jangka panjang, diidentifikasi dengan komitmen yang ditetapkan (pengentasan), dan sokongan moneter, mekanis dan pembangunan kapasiti bagi negara berkembang oleh negara maju.

Nationally Determined Contribution N.D.C ialah kontribusi semua negara pihak terhadap Perjanjian Paris. Indonesia telah menyampaikan NDC kepada Sekretaris UNFCCC sebelum pelaksanaan COP.22 Marocco pada tahun 2016, sebagai elaborasi dari NDC dan sekaligus menggantikan INDC yang disampaikan kepada Sekretarit UNFCCC sebelum COP.21 Paris.

Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement melalui pengaturan UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim), dan telah diundangkan pada tanggal 25 Oktober 2016.

Pengesahan Persetujuan Paris ini didorong juga oleh amanat Pasal 28 A UUD 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Ini menendakan bahwasannya Pemerintah nasional dengan dunia internasional lainnya agar tetap mendukung agar segenap manusia dapat hidup dalam level kehidupan yang baik. Selain itu dalam Pasal 28 H UUD 1945 butir (1) dinyatakan bahwa Setiap orang berhak hidup berkecukupan, bertempat tinggal, dan memperoleh iklim penghidupan baik dan sehat serta berhak memperoleh dan mendapatkan layanan akses kesehatan. Penegasan ini ialah salah satu bentuk usaha Pemerintah dalam mengoptimalkan kepada setiap warganya demi iklim kehidupan yang layak. Perubahan iklim memiliki ukuran dalam pandangan nasional dan global yang keduanya terakomodir dalam komitmen Indonesia. Untuk skema global mengenai peningkatan peran global menitikberatkan peran kerjasama internasional dalam mengatasi problem dunia yang mengancam manusia termasuk krisi iklim.

Kontribusi secara luas Indonesia mencakup sudut pengentasan dan transformasi. Sesuai dengan pengaturan Persetujuan Paris, NDC Indonesia harus dijajaki secara intermiten dan dilakukan perubahan tergantung situasi. Dalam kerangka waktu utama, target NDC Indonesia adalah meminimalkan emisi sebesar 29% secara mandiri dan sampai dengan 41% jika ada suport internasional dari hal yang berulang pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi, limbah, prosedur industry dan penggunaan barang serta sector tani.

Dengan mengesahkan Persetujuan Paris dan menjalankan seluruh komitmen dan pengaturan yang terkait didalamnya, Indonesia akan mendapatkan manfaat antara lain:

  1. Peningkatan pertahanan wilayah Indonesia yang rapuh dari efek krisis iklim.
  2. Peningkatan pengakuan mengenai kontribusi Indonesia dalam upaya mengurangi emisi dari berbagai sector dan kontribusi masyarakat adat dalam pengendalian perobahan iklim.
  3. Menjadi pihak yang berperan aktif dan mempunyai hak suara dalam mengambil keputusan terkait Persetujuan Paris, termasuk dalam pengembangan modal, proses dan ploting pelaksanaan Persetujuan Paris.
  4. Mudah untuk mengakses sumber moneter, inovasi, peningkatan kemampuan guna aksi penyelamatan iklim.

Komitmen NDC Indonesia untuk masa jabatan kedepan ditetapkan berdasarkan acuan pengamatan kualitas kerja dan harus menghasilkan alur yang menunjukkan peningkatan dari periode yang lalu. NDC menggambarkan 5 kelas wilayh dan sejauh mana komitmen mereka dalam penurunan emisi GRK 29% dari hal yang sama pada tahun 2030, khususnya sector hutan 17.2%, energi 11%, sector tani 0.32%, industry 0.10%, dan buangan (0.38%). Mengenai transformasi, beban Indonesia meliputi meningkatkan perluasan fleksibilitas fiskal, ketahanan sosial dan mata pencaharian, serta keserbagunaan lingkungan serta pembentukan untuk kekuatamn iklim.

Tanggung gugat Pemerintah Indonesia Terhadap Perubahan Iklim Akibat Degradasi Hutan Berdasarkan Paris Agreement 2015

Sebagai Negara yang terlibat dalam UNFCCC 1992, Kyoto Protocol 1997 dan Perjanjian Paris 2015, Indonesia telah memutuskan untuk ambil bagian dalam penanganan efek darurat dari problem iklim dunia dengan memoderasi pelepasan Gas Rumah Kaca sebesar 26% secara mandiri & 41% dengan uluran tangan dunia. Tanggungjawab ini telah baku sebagai kesadaran Indonesia untuk diwujudkan pada tahun 2020 sebagai hasil pertemuan CoP 15 di Denmark. Selanjutnya pada CoP 21 di Paris Pemerintah berkomitmen dalam pengurangan emisi sebesar 29% pada tahun 2030, atau 41% dengan bantuan dunia.

Pertemuan para pihak di tahun 2015 dalam naungan UNFCC ini, merupakan agenda krusial bagi para pihak UNFCCC dengan alasan bahwa selain penyelesaian yang dilakukan oleh Durban Stage yang dimulai pada CoP 17 di Afrika Selatan, yang juga melahirkan Perjanjian Paris yang membatasi bagi para pihak dalam Perjanjian dirasa penting karena masyarakat global kompak setuju dengan upaya bersama untuk mengendalikan ekspansi laju kenaikan suhu global di bawah 2 derajat C.

Persetujuan Paris dalam naungan UNFCCC memiliki prinsip dalam pelaksanaan tujuan dalam pengendalian perubahan iklim yang disertai dengan pertimbangan dari negara yang terlibat baik negara maju maupun negara berkembang seperti Indonesia,[7] 1. Menyatakan bahwa semua pihak harus melindungi ekosistem iklim baik untuk generasi sekarang maupun yang akan datang dengen menyesuaikan tanggungjawab masing-masing negara karena negara maju dan berkembang berbeda dalam kemampuan pelaksanaannya. 2. Bentuan dana untuk negara berkembang dalam upaya adaptasi perubahan iklim yang terjadi. 3. ialah para pihak harus menyatakan untuk turut ambil bagian dalam mencegah dan mengantisipasi penyebab terjadinya perubahan iklim. 4. Para pihak berhak dan berkewajiban untuk melakukan pembangunan berkelanjutan dinegaranya. 5. Para pihak didorong untuk berkerja bersama dalam mensuport ekonomi global yang mengacu pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk mengatasi krisis iklim.

Sejalan dengan prinsip yang mana Persetujuan Paris sebagai aturan pelaksana yang berdasar pada prinsip keadilan, dimana tanggungjawab bersama berbeda disesuaikan dengan kemampuan negara-negara pihak dengan pertimbangan situasi nasional. Merujuk pada kondisi nasional sebagai negara berkembang Indonesia berhak mendapatkan pendanaan dan transfer teknologi. Perjanjian Paris juga memuat kepentingan semua pihak dalam upaya menanganai dan mengatasi krisis iklim sehingga didalamnya terdapat ketentuan yang harus dijalankan oleh pihak di masing-masing negara.

Tanggungjawab Indonesia merujuk pada instrument yang termuat dalam Perjanjian Paris Pasal 2 ayat 1 ialah peningkatan implementasi yang bertujuan untuk penanganan nacaman negatif dari perubahan iklim secara global dalam lingkup pembangunan berkelanjutan, menahan kenaikan suhu global dibawah 2 derajat celcius. Persetujuan Paris diperlukan untuk peningkatan kemampuan adaptasi dari efek negatif yang ditimbulkan akibat krisis iklim serta melakukan pembangunan rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan suatu negara.

Merujuk pada tanggungjawab Indonesia sebagai pihak yang terikat secara hukum dengan Persetujuan Paris, termaktub dalam Pasal dan Prinsip yang temuat dalam Persetujuan Paris ialah prinsip keadilan dan pembangunan berkelanjutan, prinsip keadilan yang dinaksud segala bentuk pembangunan, pengelolaan sumber daya dan pemanfaatan hutan harus memperhatikan kondisi di masa depan. Seperti yang terjadi di hutan Papua sepanjang 2 dekade terakhir tutupan hutan Papua dan Papua Barat telah menyusut sebesar 663.443 Ha. Sebesar 71 persen selama periode 2011-2019. Rata-rata deforestasi di Papua sebesar 34 ribu Ha pertahun dan berpuncak pada tahun 2015 yang mencapai 89 ribu Ha pertahun. Hal ini tentu bertentangan dengan apa yang sudah diratifikasi oleh Indonesia yakni Persetujuan Paris yang mewajibkan negara melakukan upaya pembangunan berkelanjutan.

Merujuk pada deforestasi yang terjadi di berbagai daerah yang kaya hutan, sebagai contoh di Papua dan Papua Barat. Dalam 10 tahun terkahir Pemerintah RI meluncurkan progres untuk mengubah 1.2 juta Ha hutan guna pembukaan lahan perkebunan sawit dan pertanian. Proyek-proyek tersebut menjadi ancaman atas kesediaan sumber makanan masyarakat setempat, semisal sagu dan buah-buahan.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kawasan hutan tropis terbesar ke-3 di dunia setelah Brazil dan Republikc Demokratic Kongo, pandangan dunia terhadap keberadaan wilayah hutan Indonesia sebagai instrument moderasi utama dalam rangka perundingan kebijakan iklim. namun, sebagaimana diakui oleh Pemerintah Indonesia dalam Nationally Determined Contribution ke-1 2016, pada tahun 2005 emisi GRK nasional mengalami peningkatan.

Pencapaian dalam peminimalisiran emisi rumah kaca yang dikukuhkan oleh Indonesia ini menjadi kontradiktif ketika faktanya bahwa deforestasi dan degradasi hutan merupakan ancaman serius bagi kawasan hutan Indonesia. bahkan menurut Greenpeace terdapat 4,9 jt Ha hutan Indonesia berpotensi hilang dari kawasan moratorium kerana kacaunya konsesi. Selain itu, kontradiksi kebijakan iklim dengan kebijakan teranyar seperti revisi UU Minerba dan UU Ciptaker yang memberpolehkan mengeksploitasi lahan gambut, alih fungsi hutan untuk food estate, beberapa hal tersebut menunjukkan komitmen mengatasi krisis iklim Indonesia belum termanifestasi dengan baik dalam kebijakan lintas sektor yang sejalan. Meski banyak intrument dan kebijakan yang disusun berkaitan dengan cover dan penjagaan hutan di Indonesia, namun pada faktanya Indonesia belum punya strategi kebijakan iklim jangka panjang terkait kebijakan krisis iklim dan ada informasi yang menunjukkan laju deforestasi dan penurunan kualitas hutan di Indonesia.[8] Demikian pula dalam masalah energi, ketika otoritas publik tidak dapat memberikan strategi energi yang bergantung pada sumber bahan bakar batubara, kesungguhan kewajiban untuk mencapai target penurunan debit akan terus dibenahi.

Pemantapan tanggung jawab Indonesia sebagaimana tertuang dalam NDC Indonesia menarik untuk dikonsentrasikan terlepas dari penegasan dan penegasan bahwa perubahan lingkungan karena kenaikan suhu bumi merupakan bahaya nyata yang tidak dapat disangkal bagi umat manusia dan planet bumi, juga menunjukkan upaya dan aspirasi yang telah, sedang dan akan diselesaikan oleh Pemerintah dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan.

Komitmen Indonesia dalam Persoalan Deforestasi Guna Mengendalikan Krisis Iklim

Pemerintah dalam mengendalikan laju perubahan iklim perihal keseriusannya patut dipertanyakan. Pasalnya komitmen yang tertuang dalam NDC 2016 lau belum menunjukkan adanya roadmap yang konkrit. Dalam hal ini pembangunan infrastruktur hijau dengan menggunakan energi baru dan terbarukan demi mewujudkan konsumsi rendah karbon dan mengurangi dampak gas rumah kaca.

NDC Indonesia yang pertama menjanjikan pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan usaha mandiri dan 41% dengan bantuan dunia dengan memopertimbangkan target pembangunan. Komitmen ini berlaku oada tahun 2020 sampai 2030 dengan perhitungan dari basis garis seperti pada tahun 2010. Pengurangan emisi GRK terbesar akan didapat pada sektor kehutanan.

Skema utama Pemerintah dalam menanggulangi emisi rumah kaca ialah melalui REDD+ atau disebut dalam terjemahan dengan langkah-langkah yang dibentuk dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh deforestasi dan degradasi hutan. Namun fakta menunjukkan tren kenaikan kasus degradasi hutan setiap tahun mengalami peningkatan. Pemerintah dinilai belum sepenuhnya serius dalam menangani permasalahan ini.

Pada 2 dekade terdahulu, muncul pembahasan bahwasannya masa kehidupan sekarang telah memasuki apa yang disebut dengan anthropocene, salah satu mode yang menyebutkan bahwa alur geologi dewasa ini sebagian besar oleh umat manusia yang dominan. Bahasan ini semakin memperkuat campur tangan manusia terhadap keberlangsungan bumi, sehingga dipercaya bahwa perubahan lingkungan disebabkan oleh perilaku manusia yang membawa perubahan di biosfer sejak naiknya ekonomi dan industri maju menggunakan bahan pengisi karbon yang memicu perubahan tersebut.

Terlepas dari diskusi tersebut, secara eksperimental beberapa Daerah diIndonesia benar-benar tak berdaya melawan pengaruh krisis iklim terutama dibidang kekuatan pangan, kesejahteraan, air, hortikultura dan perikanan, serta kehutanan dan laut. Kajian kelemahanmemberitahukan bahwa daerah yang kuat secara finansial seperti Jawa, Bali, Sumatera, dan Papua sangat tidak berdaya menghadapi risiko tersebut diatas. Bank Pembangunan Asia meramalkan bahwa diakhir masa ini merupakan suatu tantangan besar yang dihadapi manusia terhadap krisis iklim. Negara di Asia-Pasifik yang paling rentan terkena dampak perubahan iklim yang meninggikan resiko terjebak dalam kemiskinan jika mitigasi dan adaptasi tidak dilaksanakan seserius dan sesegera mungkin. Guna meminimalisir dampak krisis iklim, penulis menggarisbawahi bahwasannya sangat penting untuk melaksanakan berbagai komitmen yang tertuang pada Persetujuan Paris. Komitmen dapat mencakup investas public dan swasta yang pada intinya menekankan pada dekarbonisasi ekonomi kawasan Asia dengan cepat, sekaligus langkah adaptasi untuk memebrikan perlindungan terhadap populasi yang rentan dikawasan.

Upaya pengentasan dan adaptasi lingkungan juga harus diarusutamakan ke dalam metodologi perbaikan tingkat regional skala penuh dan upaya tingkat micro yang mengatur di semua bidang, serta pengembangan inovasi berkelanjutan dan upaya tenaga ramah lingkungan untuk kerangka kerja dan transportasi metropolitan. Bahwa wilayah Asia dan Pasifik memiliki batas dan dampak untuk mencari jalan pengembangan yang mendukung, mengurangi emisi di seluruh dunia, dan meningkatkan adaptasi.

Pengakuan masyarakat Indonesia akan bahaya prubahan iklim bagi insan manusia dan planet bumi karena naikkny suhu dunia tergambar dari dukungan Indonesia untuk terlibat dalam sistem perubahan iklim. Akhirnya Indonesia mengikatkan diri dan mengukuhkan Perjanjian Paris melalui UU Nomr. 16 Tahun 2016. Melalui ratifkas, maka Indonesia mendeklarasikan dan menegaskan kembali prinsip hukum internasional saat ini, memahami hak dan komitmen untuk melakukan sesuatu sesuai dengan perjanjian tersebut.

Kesimpulan

Persetujuan Paris adalah kesepakatan damai yang membatasi secara hukum dan dengan cara ini Pertemuan wajib memenuhi tujuan yang dinyatakan dalam tanggung jawab NDC mereka. Bagi Indonesia, kewajiban ikut serta dalam merawat dampak perubahan lingkungan tercermin dalam imasuknya Indonesia & terlibat dalam sistem perubahan lingkungan, termasuk Perjanjian Paris. penghalang untuk memenuhi tanggung jawab fokus penurunan emisi GRK di Indonesia. Berbagai pedoman dan pendekatan yang diidentifikasi dengan sector krhutanan belum memiliki pilihan untuk mengubah secara signifikan upaya untuk mengurangi pelepasan rumah kaca sesuai dengan bentuk di NDC 2016, dengan alasan bahwa informasi menunjukkan laju dan pola deforestasi dan penurunan kualitas hutan di Indonesia akan terus berkontribusi sangat besar terhadap emisi. Hal ini dikarenakan belum memadainya undang-undang dan pendekatan yang ada, meliputi pedoman, persyaratan hukum dan wilayah citra diri sehingga belum terlihat kerjasama dalam melaksanakan tanggung jawab. Di bidang energi, pengaturan energi publik saling bertentangan dan tidak sepenuhnya mendukung upaya untuk memenuhi tanggung jawab yang dibuat oleh Rezim Indonesia dalam mencapai target Kesepakatan Paris.

References

  1. A. Arif, “Analisis Yuridis Pengrusakan Hutan (Deforestasi) Dan Degradasi Hutan Terhadap Lingkungan,” Jurisprudentie, vol. 3, 2016.
  2. B. Siswoko, “Pembangunan, Deforestasi dan Perubahan Iklim,” J. Manaj. Hutan Trop., vol. 14, no. 2, pp. 89–96, 2008.
  3. Julismin, “Dampak dan Perubahan Ilkim di Indonesia,” J. Gegorafi, vol. 5, no. 1, p. 44, 2013.
  4. D. Hoornweg, CITIES and Climate Change. .
  5. D. Windyswara, “Alasan Pemerintah Indonesia Meratifikasi Paris Climate Agreement Tahun 2016,” eJournal Ilmu Hub. Int., vol. 7, no. 1, pp. 69–90, 2019, [Online]. Available: http://unfccc.int/kyoto_protocol/items/2830.php.
  6. M. W. Pratama, “Kepatuhan Indonesia Terhadap Perjanjian Internasional Mengenai Isu Lingkungan Hidup yang Berdampak Pada Perubahan Iklim, Studi Kasus: Deforestasi Jambi dan Riau,” vol. 6, pp. 545–556, 2020.
  7. N. Masripatin et al., Perubahan Iklim, Perjanjian Paris dan Nationally Determined Contribution. 2016.
  8. R. F. Syah, “Analisa kebijakan sektor lingkungan: Permasalahan implementasi kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Indonesia,” J. Gov., vol. 2 (1), no. 1, pp. 1–17, 2017.