This research was carried out due to frequent accusations that doctors performed malpractice. Accusations of errors in medical treatment are often found in the field. The objectives of this research are to: 1) examine and analyze forms of legal protection for doctors/ dentists in providing medical services who carry out independent practices as well as those working in hospitals, 2) review and analyze legal liabilities of doctors/ dentists in carrying out medical profession that leads patients to death. This research applies statute and conceptual approaches that is equipped with a case approach. The analysis results of the research indicated that the State provides legal protection for a doctor/ dentist through Article 27 paragraph (1) of Law No. 36 of 2009 concerning Health, Article 50 point (a) Law No. 29 of 2004 concerning Medical Practice, Article 24 paragraph (1) Government Regulation No.32 of 1996 concerning Health Workers, and Article 57 points (a) Law No. 36 of 2014 concerning Health Workers. Moreover, besides the above positive laws, legal protection for doctors/ dentists who work in hospitals also applies Article 46 of Law No. 44 2009 about hospitals and respondeat superior doctrine.
Ketika hukum didominasi oleh politik kekuasaan, sangat jarang masyarakat berani melakukan upaya hukum memperjuangkan hak-haknya. Tapi kini dengan menguatnya supremasi sipil dan kian membaiknya kesadaran hukum warga negara, masyarakat kian berani memperjuangkan hak-haknya melalui jalur hukum, sehingga praktis membuat kehidupan berbangsa dan bernegara kita kian dinamis. Kini, banyak terdengar pemberitaan di media masa, masyarakat melawan kebijakan pemerintah melalui jalur-jalur konstitusional. Potret tersebut memberikan gambaran mendasar kondisi sosial masyarakat kita dalam berbangsa dan bernegara, yang mulai sadar akan hak-haknya yang seharusnya dijamin oleh negara.
Saat ini tak satu pun profesi, jabatan dan pekerjaan di Indonesia yang tidak luput dari sorotan hukum, dan tak luput dari penindakan, sehingga setiap proses dari pekerjaan dituntut untuk memenuhi standar profesionalisme untuk menghasilkan hal yang berkualitas, sehingga masyarakat tidak dirugikan.Demikian juga dengan profesi dokter, perawat dan dunia usaha di bidang perumahsakitan.
Pelayanan kesehatan yang baik adalah bagian dari tujuan pembangunan nasional, karena pelayanan kesehatan merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus diperhatikan dan didapat oleh setiap orang tanpa ada pengecualian.Indonesia sebagai negara hukum lebih condong pada pemaknaan rechtstaat yang memiliki 4 (empat) elemen penting yakni: 1. Perlindungan Hak Asasi Manusia; 2. Pembagian Kekuasaan; 3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang; dan 4. Peradilan Tata Usaha Negara.
Dewasa ini banyak terjadi mengenai tuduhan dokter melakukan malpraktek.Tuduhan kesalahan tindakan medis ini sering dijumpai di lapangan.Misalnya bulan Desember 2017 RS Siti Khotijah, Sidoarjo telah terjadi pembiaran terhadap pasien dimana keluarga merasa ibunya tidak diperiksa sama sekali oleh seorang dokter saraf sehingga ibu tersebut meninggal dunia.Hal semacam ini memungkinkan dapat berkembang menjadi sengketa medis bilamana pasien telah berkonsultasi dengan keluarganya atau melalui kerabatnya.Jumlah sengketa medis menunjukkan kecenderungan meningkat dari waktu ke waktu karena peningkatan kesadaran hak untuk perawatan kesehatan nasional, keraguan akan malpraktik, ketidak-percayaan terhadap dokter, dan tidak adanya langkah-langkah rasional untuk menangani sengketa medis.
Profesi dokter/ dokter gigi perlu mendapatkan jaminan perlindungan hukum dalam rangka memberikan kepastian hukum dalam melakukan upaya kesehatan kepada pasien, dimana peraturan perundang-undangan yang memberikan dasar perlindungan hukum bagi dokter antara lain : Pasal 50 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431), Pasal 24 ayat (1) jo Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 serta Pasal 57 point (a) Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan jo Pasal 24 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637) mengenai perlindungan hukum diberikan kepada tenaga kesehatan yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar profesi tenaga kesehatan
Dokter dalam melakukan pelayanan medis selalu berpedoman pada standar profesi dan Standar Prosedur Operasional (SPO).Dokter yang telah berpegang pada kedua hal tersebut diatas berhak mendapatkan perlindungan hukum.Oleh karena itu seorang dokter apabila melaksanakan praktek kedokterannya harus memenuhi Informed Consent dan Rekam Medik sebagai alat bukti yang dapat membebaskan dokter dari segala tuntutan hukum.Selain itu juga beberapa hal yang menjadi alasan penghapusan hukuman terhadap dokter yaitu: Resiko Pengobatan, Kecelakaan Medik, Contribution Negligence, Respectable Minority Volenti non fit iniura atau asumption of risk, serta Res Ipsa Loquitur [1].
Informed Consent merupakan kewajiban yang harus dipenuhi seorang dokter dalam menjalankan profesinya. Informed Consent bermakna bahwa suatu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya setelah mendapat informasi tindakan medis yang akan dilakukan terhadap diri pasien beserta segala resikonya. Selain Informed Consent, dokter juga berkewajiban membuat Rekam Medik dalam setiap kegiatan pelayanan kesehatan terhadap pasien. Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran menyatakan bahwa Rekam Medik merupakan berkas yang berisi catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada pasien. Rekam medis dibuat dengan berbagai manfaat yaitu untuk pengobatan pasien, peningkatan kualitas pelayanan, penelitian, pembiayaan, dan statistik kesehatan serta pembuktian masalah hukum, disiplin, dan kode etik [2].
Penyebab sengketa medis ini bisa timbul dari ketidak-puasan pasien atas tindakan medis yang dilakukan oleh dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan.Ketidak-puasan tersebut dapat semakin memanas dikarenakan adanya dugaan kelalaian dan kesalahan (perbuatan melanggar/malpraktek medis) dalam tindakan medis sehingga pasien mendapat kerugian dari aspek kesehatan.Beragam permasalahan dibidang kesehatan membuat kedudukan hukum menjadi penting. Hukum dijadikan sebagai alat untuk mengatur dan menyelesaikan sengketa medis.
Tipe penelitian ini bersifat yuridis normatif.Hukum normatifdimaksudkan untuk menelaah ketentuan-ketentuan hukum positif, dan perangkat hukum positif yang diteliti secara normatif akan digunakan sebagai sumber bahan hukum. Penelitian Hukum harus dilakukan pada tataran Kenormatifan hukum. Morris L Cohenyang sependapat dengan Peter Machmud Marzuki menyatakan “Legal Research is the process of finding the law that governs activities in human society” [3].
Pendekatan Masalah yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conseptual approach) dilengkapi dengan pendekatan kasus (case approach). Menurut Marzuki [3] mengatakanStatute Approach adalah Pendekatan Perundang-Undangan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.Conseptual Approach pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan para ahli. Perlu mencari Ratio Legis dan dasar ontologi lahirnya Undang-Undang, sehingga peneliti mampu memahami kandungan filosofis yang ada di belakang Undang-Undang, dan menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofi antara Undang-Undang dengan isu yang dihadapi
Peraturan Perundang-Undangan khususnyaUndang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan (Lembaran negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); dan berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembahasan.Bahan Hukum Primer disamping perundang-undangan yang memiliki otoritas adalah putusan pengadilan. Putusan pengadilan merupakan konkreatisasi dari perundang-undangan. Putusan pengadilan inilah sebenarnya yang merupakan Law in action [3].
Menurut pasal 53 ayat (1) UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa pelayanan kesehatan terdiri atas: pelayanan kesehatan perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan lebih ditujukan untuk kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan/ mengembalikan penderita ke dalam kehidupan sosialnya). Sedang pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk promotif (pemeliharaan dan peningkatkan kesehatan) dan preventif( pencegahan penyakit) [4].
Pada pelayanan kesehatan ada yang namanya tindakan medis, yaitu salah satu kegiatan bagian dari pelayanan kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan untuk mencapai penyembuhan penyakit maupun pemulihan kesehatan yang dilakukan berdasarkan standart profesi maupun standart prosedur operasional tindakan medis tersebut. Guna melaksanakan pelayanan kesehatan maka diperlukan tenaga kesehatan/profesi kesehatan,yang dibagi dalam 2 (dua) yaiu Kuratif-Rehabilitatif dan Promotif-Preventif.
Pada pelayanan kesehatan baik yang dilakukan secara perorangan/ mandiri maupun berkelompok, praktek kedokteran harus dilaksanakan berdasarkan Pancasila dan didasarkan pada : 1.Nilai Ilmiah, yaitu praktik kedokteran berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh, baik dalam pendidikan maupun pengalaman serta etika profesi; 2.Asas manfaat, yaitu penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat keseharian masyarakat; 3.Asas Keadilan yaitu penyelenggaraan praktik kedokteran yang memberikan pelayanan secara adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau dengan tetap memberikan pelayanan yang bermutu; 4.Asas Kemanusiaan, yaitu penyelenggaraan praktik kedokteran yang memberikan perlakuan yang sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, ras, gender, status, sosial, ekonomi, dan pandangan politik; 5.Asas Keseimbangan, yaitupenyelenggaraan praktik kedokteran yang tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat; 6.Asas Perlindungan dan Keselamatan, yaitu penyelenggaraan praktik kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien. Walaupun seseorang Dokter tidak dapat menjamin kesembuhan pasien, namun setiap Dokter senantiasa berupaya untuk meringankan penderitaan pasien [5].
Dokter/ dokter gigi yang ingin melakukan Praktik Kedokteran dalam rangka pelayanan kesehatan, sebelumnya wajib memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) berdasarkan pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran dan pasal 44 Undang-Undang No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Yang mengeluarkan STR adalah Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), yaitu suatu badan otonom yang berdiri sendiri,terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi, bersifat independen, tidak dibawah IDI/ PDGI, berkedudukan di ibukota Negara dan bertanggung jawab kepada presiden. Syarat-syarat untuk mendapatkan STR dokter/ dokter gigi seperti tercantum dalam pasal 29 ayat (3).
Setelah mempunyai STR, seorang dokter/ dokter gigi juga wajib memiliki Surat Ijin Praktek dalam melakukan tindakan medis sebagai mana diatur dalam pasal 36 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran. Tempat praktek yang dimaksud sebenarnya dibagi 2, yaitu : tempat praktek mandiri/ perorangan/ tanpa badan hukum dan tempat praktek yang berbadan hukum [6] .Tempat praktek mandiri/ perorangan harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
Seorang dokter/ dokter gigi didalam menyelenggarakan praktek kedokterannya wajib menyimpan Rahasia Kedokteran pasiennya.Rahasia Kedokteran menurut pemenkes No. 36/ Menkes/ PER/ III/ 2012 adalah data dan informasi tentang kesehatan seseorang yang diperoleh tenaga kesehatan pada waktu menjalankan pekerjaan atau profesinya. Rahasia Kedokteran sendiri mencakup data dan informasi menegenai :
Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien, memnuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Seorang dokter/ dokter gigi didalam menyelenggarakan praktek kedokterannya wajib mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.Dimana standart pelayanan tersebut diatur didalam permenkes No.1438/ Menkes/ PER/ IX/ 2010 tentang Standar Pelayanan Kedokteran.Standar Pelayanan Kedokteran itu sendiri terdiri dari Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) dan Standar Prosedur Operasional (SPO).PNPK tersebut merupakan standar pelayanan kedokteran yang bersifat Nasional dan dibuat oleh organisasi profesi serta disahkan oleh Menteri Kesehatan.
Seorang dokter/ dokter gigi juga wajib menggunakan SPO didalam setiap melakukan tindakan medisnya.SPO sebenarnya dibagi dua jenis, SPO Medis dan SPO Non Medis.SPO Medis biasanya berupa perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan tindakan medis tertentu.Jadi di Indonesia, hukum mengatakan bahwa tugas dan pekerjaan dokter/ dokter gigi diatur oleh pemerintah, baik mengenai kedudukan dokter sebagai individu sosial dalam masyarakat maupun mengenai hak dan kewajibannya sebagai dokter dalam melaksanakan tugas pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Selama dokter/ dokter gigi tersebut melaksanakan tugas pelayanan kesehatan secara mandiri sesuai dengan standar profesi maupun standar pelayanan medis maka dokter tersebut akan memperoleh perlindungan hukum oleh negara sesuai yang tercantum dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia [5]:
Selain berpraktik mandiri, dokter/ dokter gigi juga bisa berpraktik di Rumah Sakit.Rumah Sakit (RS) adalah suatu tempat untuk pasien berobat dan dokter untuk melayani pasien dalam hal pengobatan dan pemulihan kesehatan. Definisi Rumah Sakit menurut Bab I Pasal I Anggaran Dasar Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSAHI) adalah: “Bahwa Rumah Sakit adalah suatu sarana dalam mata rantai sistem kesehatan nasional yang mengemban tugas pelayanan kesehatan untuk seluruh masyarakat”. Menurut buku “Etika Rumah Sakit” RSUD Dr. Cipto Mangunkusumo, memberi pengertian Rumah Sakit sebagai suatu sarana yang merupakan bagian dari sistem pelayanan kesehatan yang menjalankan rawat inap, rawat jalan, dan rehabilitasi berikut segala penunjangnya.
Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, Rumah Sakit dikategorikan dalam Rumah Sakit Umum (RSU) dan Rumah Sakit Khusus (RSK), berdasarkan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor: 340/MENKES/PER/III/2010 Tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Rumah Sakit Umum (RSU) diklasifikasikan menjadi 4 (empat) macam yaitu: 1. Rumah Sakit Umum Kelas A; 2. Rumah Sakit Umum Kelas B; 3. Rumah Sakit Umum kelas C; Rumah Sakit Umum Kelas D. Pengklasifikasian tersebut ditetapkan berdasarkan pelayanan, Sumber Daya Manusia (SDM), Peralatan, Sarana dan Prasarana; dan Administrasi dan Manajemen.
Rumah Sakit dalam hubungannya sebagai suatu sistem sosial merupakan organisasi yang mempunyai kemandirian untuk melakukan perbuatan hukum. Oleh sebab itu dalam hukum Rumah Sakit dianggap sebagai subyek hukum dalam kualifikasi Rechtpersoon. Sebenarnya hubungan dokter dengan pasien terjadi saat pertama kali pasien datang ke dokter untuk mencari solusi permasalahan kesehatannya yang lebih dikenal dengan Transaksi Terapeutik, baik pasien tersebut datang ke praktek mandiri maupun pasien yang ke RS.Karena Transaksi Terapeutik ini merupakan hubungan perikatan/ hubungan hukum yang terjadi antar subyek hukum, maka melekat padanya di masing-masing subyek hukumitu hak dan kewajibannya. Bila Transaksi Terapeutik tersebut terjadi di RS maka RS walaupun sebagai badan hukum juga merupakan subyek hukum.Dengan demikian Rumah Sakit mempunyai hak dan kewajiban hukum atas tindakan yang dilakukan oleh para karyawannya. Kewajiban RS harus terpenuhi agar RS juga memperoleh perlindungan hukum dari negara [7].
Pada Transaksi Terapeutik, kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter dalam menentukan cara penyembuhan, kini berubah menjadi sederajat dengan dokter. Perubahan posisi ini berkaitan dengan kemajuan ilmu pengetahuan di bidang pelayanan kesehatan. Dengan demikian, dokter/ dokter gigi tidak dapat lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pasien dalam memilih cara pengobatan dengan operasi atau tidak.Dalam Transaksi Terapeutik, Rumah Sakitsebagai subjek hukum dapat berhubungan dengan dokter, tenaga medis lainnya maupun pasien dalam pelayanan kesehatan
Para dokter/ dokter gigi yang berintegrasi di Rumah Sakit adalah untuk melakukan jasa pelayanan kesehatan. Upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan dokter di Rumah Sakit pada prinsipnya karena ada suatu hubungan kerja, yang didasarkan pada kontrak. Dengan kontrak, tenaga medis menjadi anggota staf rumah sakit [8]. Kendati demikian, dengan kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran dan dengan semakin banyaknya spesialisasi dari para dokter/ dokter gigi maka tidak tertutup kemungkinan bagi para dokter/ dokter gigi yang bukan staf medis dari RS yang bersangkutan dalam melakukan upaya pelayanan kesehatan pada RS tersebut.
Karena itu, para dokter yang melakukan pelayanan kesehatan di RS dapat dibedakan menjadi dua yaitu dokter yang berstatus sebagai karyawan (employee) dan dokter tamu (independent contractor) [9].Para dokter yang menjadi anggota staf rumah sakit dalam menjalankan atau melakukan tugasnya di rumah sakit harus mentaati perintah rumah sakit. Di samping itu, mereka juga dalam melakukan tugas di rumah sakit adalah atas nama rumah sakit.Sedangkan, bagi dokter tamu (independent contractor) dalam melakukan tugas pelayanan medisnya, ia tidak terikat pada rumah sakit, Ia bekerja tidak di bawah pengawasan atau perintah rumah sakit.
Kontrak kerja antara rumah sakit dan dokter untuk melakukan pelayanan medis di rumah sakit merupakan perjanjian untuk melakukan jasa (Pasal 1601 KUHPerdata). Dalam arti bahwa pihak yang satu menghendaki dari pihak yang lain untuk melakukan suatu pelayanan jasa.Dalam hal ini rumah sakit menghendaki dari dokter untuk melakukan jasa pelayanan kesehatan.
Hubungan RS – pasien pada mulanya hanya merupakan hubungan di dalam perawatan. Dalam arti bahwa RS hanya memberikan suatu perawatan yang baik dan wajar dengan menyediakan kamar dan tempat tidur [9].Pada saat sekarang fungsi RS disamping dalam upaya perawatan, juga pelayanan kesehatan. Hubungan dalam perawatan seperti, RS menyediakan sarana-sarana perawatan, sedangkan hubungan dalam pelayanan kesehatan di mana tenaga medis yang ada di RS berupaya untuk menyembuhkan penyakit pasien.
Sehubungan dengan itu, hubungan hukum antara RS-pasien dapat dibedakan menjadi : perjanjian perawatan dan perjanjian pelayanan kesehatan. Perjanjian perawatan di mana terdapat kesepakatan antara RS dengan pasien bahwa RS menyediakan kamar perawatan dan tenaga perawatan untuk melakukan tindakan perawatan, sedangkan perjanjian pelayanan kesehatan misalnay tindakan medis di mana terdapat kesepakatan bahwa tenaga medis di RS akan berupaya secara maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medisnya [10].Oleh karena hubungan antara RS dan pasien merupakan hubungan hukum maka timbul hak dan kewajiban antara kedua belah pihak. Hak pasien dapat dibedakan antara hak-hak yang timbul dari hubungan antara pasien dan RS dan kewajiban yang timbul dari kewajiban RS berdasarkan ketentuan-ketentuan di dalam pelayanan kesehatan.
Hubungan antara dokter/ dokter gigi dan pasien berawal dari kedatangan pasien kepada dokter/ dokter gigi. Pasien datang kepada dokter/ dokter gigi dengan menginformasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan sakitnya (penyakitnya). Apabila diperlukan suatu tindakan medismaka dokter/ dokter gigi pun wajib memberikan informasi / penjelasan kepada pasien.Informasi/penjelasan dokter/ dokter gigi kepada pasien menurut Leenen dapat berupa penjelasan perihal : a. Diagnosis; b. Terapi, dengan kemungkinan alternatif terapi; c. Tentang cara kerja dan pengalaman, d. Risiko; e. Kemungkinan perasaan sakit atau perasaan lain; f. Keuntungan terapi; g. Prognosa [11].
Pasien berdasarkan informasi/penjelasan dokter/ dokter gigi tersebut menyampaikan kehendaknya, menyetujui atau menolak. Persetujuan dari pasien untuk dilakukan suatu tindakan medis karena ia telah memperoleh informasi/penjelasan dari dokter/ dokter gigi yang disebut : Informed Consent / Persetujuan Tindakan Medis. Persetujuan Tindakan Medis yang diberikan pasien biasanya didapatkan secara tertulis maupun tidak tertulis, hanya yang tertulis biasanya terdapat didalam Rekam Medis. Persetujuan tindakan medis ini harus diperoleh dokter/ dokter gigi sebelum melakukan tindakan medis, baik itu dokter/ dokter gigi yang berpraktek mandiri maupun yang berpraktek di RS.
Umumnya perikatan yang timbul dari transaksi terapeutik termasuk golongan Inspanningsverbintenis yaitu perikatan yang prestasinya berupa upaya penyembuhan, bukan kesembuhan. Jadi kalau ternyata tidak sembuh setelah memperoleh pelayanan kesehatan, ia tidak dapat menuntut ganti rugi kepada dokter/ dokter gigi. Pasien dapat menuntut ganti rugi kepada dokter/ dokter gigi jika ternyata dokter/ dokter gigi tidak atau kurang berupaya dalam pelayanan kesehatan atau tidak sesuai dengan standar profesi medik [5].
Pada hakekatnya transaksi terapeutik (penyembuhan) bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia yaitu hak dasar sosial dan hak dasar individu. Hak dasar sosial ini adalah hak atas pemeliharaan kesehatan (The right of Health Care). Dari hak inilah timbulah hak atas pelayanan kesehatan. Sedangkan hak dasar individu berkaitan dengan hak untuk menentukan nasib sendiri (The Right of Selfdetermination).
Dengan kedua hak dasar tersebut maka dokter/ dokter gigi dan pasien dapat bersama-sama menentukan terapi yang paling tepat yang akan digunakan. Sebab dalam hubungan antara dokter/ dokter gigi dan pasien, kedudukan pasien sederajat dengan dokter.Jadi, dengan terpenuhinya kewajiban-kewajiban RS dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan, terpenuhinya kewajiban-kewajiban dokter/ dokter gigi dalam melakukan tindakan medis, maka secara otomatis perlindungan hukum akan didapatkan oleh RS sebagai subyek hukum beserta dokter/ dokter gigi yang bekerja di RS tersebut.
Di dalam Transaksi Terapeutik, hubungan yang terjadi antara dokter/ dokter gigi dengan pasien (bila terjadi di praktek mandiri) beserta RS (bila terjadi di RS) merupakan hubungan hukum yang melekat pada masing-masing subyek hukum akan hak dan kewajibannya. Dari hak dan kewajiban tersebut timbullah tanggung jawab atau pertanggung jawaban. Karena tanggung jawab ini muncul dari hubungan hukum pelayanan kesehatan,maka tanggung jawab/ pertanggung jawaban dibagi menjadi tiga yaitu 1. Tanggung jawab etik; 2.Tanggung jawab disiplin; dan 3.Tanggung jawab hukum [12].
Sebagai seorang profesional, seorang dokter dalam menjalankan tugasnya terikat pada suatu kode etik kedokteran, yang menjadipengontrol terhadap tingkah lakunya yaitu didasarkan pada Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), melalui Skep.PBIDI No.111/ PB/ A.4/ 02/ 2013. KODEKI mengatur kewajiban umum sebagai seorang dokter (pasal 1-pasal 13), kewajiban dokter terhadap pasien (pasal 14-pasal17), kewajiban dokter terhadap teman sejawat (pasal 18-pasal 19), dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri (pasal 20-pasal 21).
Pada pelayanan kesehatan, masalah etika profesi telah lama diusahakan agar benar-benar dapat berkembang dan melekat pada setiap sikap dan tindakan seorang dokter/ dokter gigi. Hal ini disebabkan karena kode etik dalam kehidupan hukum sangat memegang peranandalam banyak hal yang berhubungan dengan hukum kesehatan, yang menunjukkan bahwa kode etik memberi makna yang positif bagi perkembangan hukum, misalnya mengenai tindakan seorang dokter/ dokter gigi mengeluarkan “Surat Keterangan Dokter” untuk kepentingan persidangan.
Penentu seorang dokter/ dokter gigi melanggar etika profesi kedokteran adalah MKEK, yaitu suatu badan otonom Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang bertanggung jawab mengkoordinasi internal organisasi dalam pengembangan kebijakan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penerapan etika kedokteran, yang dibentuk secara khusus di tingkat pusat, wilayah dan cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi, pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam tingkatannya masing-masing.
Pertanggung jawaban etik seorang dokter/ dokter gigi timbul apabila pasien/ keluarga pasien mengadukan permasalahan yang menurut pasien/ keluarga pasien terjadi malpraktek kepada MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia).Dari MKDKI masalah tersebut ditentukan, apakah ada pelanggaran etik dalam kasus tersebut.Apabila ada pelanggaran etika kedokteran maka kasus tersebut diserahkan ke MKEK.Di MKEK eksekusi sanksi etik yang telah diputuskan majelis pemeriksa divisi kemahkamahan bisa berupa pembinaan etika (pendidikan, pelatihan atau bimbingan) terhadap dokter/ dokter gigi.MKEK sendiri selain menjatuhkan sanksi etik juga bertugas memberi rekomendasi pemulihan hak-hak dokter yang telah menjalani sanksi etik ataupun bila seorang dokter/ dokter gigi tidak terbukti melakukan pelanggaran etik sesuai dengan ketentuan yang berlaku [3]
Penentu terjadinya pelanggaran disiplin seorang dokter/ dokter gigi adalah MKDKI lewat pengaduan dari pasien atau keluarga pasien yang merasa terjadi malpraktek. Dimana MKDKI menjatuhkan sanksi pelanggaran disiplin profesional seorang dokter/ dokter gigi melalui pembuktian di persidangan MKDKI, sebagai mana diatur dalam Perkonsil No.3 Tahun 2011 tentang Organisasi dan Tata Kerja MKDKI, Sedangkan kasus yang disidangkan melanggar apa tidak, MKDKI menggunakan dasar Perkonsil No.4 Tahun 2011 tentang Disiplin Profesional Dokter Dan Dokter Gigi.
Apabila dalam persidangan di MKDKI ternyata seorang dokter/ dokter gigi terbukti melakukan pelanggaran disiplin profesi atas kasus malpraktek yang dilaporkan, maka pertanggung jawaban disiplin yang akan diterima oleh dokter tersebut, seperti dimuat dalam pasal 69 UU No.29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran antara lain :
Tanggung jawab hukum sendiri dalam pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: a. Tanggung jawab administrasi; b. Tanggung jawab perdata; c. Tanggung jawab pidana.
Implikasi hukum administrasi dalam hubungan hukum RS-pasien adalah menyangkut kebijakan-kebijakan (policy) atau ketentuan-ketentuan yang merupakan syarat administrasi pelayanan kesehatan yang harus dipenuhi dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang bermutu. Pelanggaran terhadap kebijakan atau ketentuan hukum administrasi dapat berakibat sanksi hukum administrasi yang dapat berupa pencabutan izin RS atau pencabutan status badan hukum bagi RS, sedangkan bagi dokter/ dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya dapat berupa teguran lisan atau tertulis, pencabutan surat ijin praktek, penundaan gaji berkala atau kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi.
Pertanggung jawaban perdata timbul berdasarkan pada dua dasar hukum, yaitu :Pertama, berdasarkan pada wanprestasi (Contractual liability) sebagaimana diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata. Kedua, berdasarkan perbuatan melanggar hukum (Onrechmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata [13].
Perbuatan Melawan Hukum (PMH) bisa terjadi di ranah hukum pidana, maupun hukum perdata. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, hukum pidana menganut asas “Tiada pidana tanpa kesalahan”.Dalam perkembangannya, ilmu pengetahuan hukum pidana maupun yurisprudensi, telah mengakui adanya alasan penghapusan pidana yang tidak tertulis. Hal ini merupakan perkembangan baru yang diajarkan oleh ilmu hukum yurisprudensi. Perkembangan ini merupakan ketentuan hukum yang hidup, oleh karenanya dapat dikualifikasi sebagai suatu alasan penghapusan pidana yang tidak tertulis. Perkembangan pertama yang mengakui adanya alasan penghapus pidana yang tidak tertulis terjadi sejak adanya pengakuan Hoge Raad pada tahun 1916 tentang afwezigheid van alleschuld (Avas), yang berarti tiada pidana tanpa kesalahan, atau yang terkenal dengan adagium geen straf zonder schuld [14] .Kesimpulannya, setiap subyek hukum yang melakukan suatu perbuatan hukum, melekat pula konsekuensi hukum padanya. Apabila subyek hukum melakukan tindakan dalam ranah administrasi, maka melekat pula konsekuensi administratif, begitupula apabila subyek hukum melakukan tindakan keperdataan, melekat konsekuensi dalam ranah hukum perdata, serta apabila subyek hukum melakukan suatu tindakan pidana, maka juga melekat konsekuensi pidana padanya. Perlu untuk dipahami agar tidak terjadi suatu kekeliruan adalah dalam menentukan konsekuensi yang akan diterima oleh subyek hukum tersebut, perlunya pengklasifikasian ranah hukum yang sedang terjadi dalam tindakan tersebut.
Pertanggung jawaban hukum atas kesalahan maupun kelalaian dokter yang menyebabkan meninggalnya pasien harus dilihat dari tiga aspek hukum, yaitu aspek hukum administrasi, aspek hukum perdata, maupun aspek hukum pidana. Kalau dari aspek hukum administrasi, apakah STR maupun SIP dokter/ dokter gigi masih berlaku? Bagaimana dengan ijin operasional Rumah sakitnya? Bagaimana dengan Rincian Kewenangan Klinik dokter/ dokter gigi yang melakukan tindakan medis yang menyebabkan pasien meninggal dunia? Kalau dilihat dari aspek hukum perdata, apakah meninggalnya pasien tersebut disebabkan adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum di dalam transaksi terapeutik oleh dokter/ dokter gigi? Kalau dilihat dari aspek hukum pidana, meninggalnya pasien akibat dari tindakan medis dokter/ dokter gigi yang salah atau lebih dikenal dengan malpraktek dalam kehidupan masyarakat bisa dikatagorikan ke dalam perbuatan melawan hukum, baik karena kesengajaan (intensional) misalnya tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat darurat atau aborsi tanpa indikasi, karena kecerobohan (recklessnes) misalnya melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan medis tanpa Inform Consent, maupun karena kealpaan (negligence) misalnya tertinggalnya alat operasi di dalam rongga tubuh pasien [15].
Payung Hukum terhadap Dokter dalam menjalankan praktik kedokteran dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan adalah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran jo Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Dokter tidak dapat lepas dari ketentuan-ketentuan sebagaimana telah diatur dalam Undang-Undang tersebut. Kedua Undang-Undang tersebut mengatur mengenai sanksi pidana didalamnya sebagaimana diuraikan Table 1
No | Undang-Undang No 29 Th 2004 Tentang Praktik Kedokteran | Undang-Undang No 36 Th 2009Tentang Kesehatan |
1 | Pasal 75 ayat (1): Setiap Dokter atau Dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). | Pasal 190 ayat (1):Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (Dua Ratus Juta Rupiah);Pasal 190 ayat (2):Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Milyar Rupiah). |
2 | Pasal 76:Setiap Dokter atau Dokter Gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). | Pasal 191:Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah); |
3 | Pasal 77:Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah). | Pasal 192:Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dala Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliyar Rupiah). |
4 | Pasal 78:Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dala Pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (Seratus Lima Puluh Juta Rupiah). | Pasal 193:Setiap orang yang dengan sengaja melakukan bedah plastik dan rekonstruksi untuk tujuan mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliyar Rupiah). |
5 | Pasal 79:Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang:Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dala Pasal 41 ayat (1);Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dala Pasal 46 ayat (1); atauDengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, b, c, d, dan e. | Pasal 194:Setiap orang yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliyar Rupiah). |
6 | Pasal 80 ayat (1):Setiap orang yang dengan sengaja mempekerjakan dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 (dala hal memperkerjakan dokter atau dokter gigi tanpa surat izin praktik di sarana pelayanan kesehatan) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (Tiga Ratus Juta Rupiah). | Pasal 195:Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan darah dengan dalih apapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah). |
7 | Pasal 196:Setip orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliyar Rupiah). | |
8 | Pasal 197:Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (Satu Miliyar Lima Ratus Ribu Rupiah) | |
9 | Pasal 198:Setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). | |
10 | Pasal 199 ayat (1):Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau memasukkan rokok kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tidak mencantumkan peringatan kesehatan berbentuk gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 dipidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah);Pasal 199 ayat (2):Setiap orang yang dengan sengaja melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 115 dipidana denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (Lima Puluh Juta Rupiah). | |
11 | Pasal 200:Setiap orang yang dengan sengaja menghalangi program pemberian air susu ibu eksklusif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah). |
Berdasarkan Table 1 tampaklah bahwa dokter/ dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokterannya tidak serta merta dapat dimintai pertanggung jawaban pidana apabila pasien yang ditanganinya meninggal dunia, sepanjang dokter/ dokter gigi tersebut melakukan tindakan medis mengacu pada Standar Operasional Prosedur dan Standar Profesi Kedokteran yang ada dan sesuai ajaran kesalahan (schuld) bahwa dalam hukum pidana terdiri dari unsur kesengajaan (dolus) atau kealpaan/ kelalaian (culpa) seperti pasal 359, 360 KUHP baik itu dilakukan dengan sengaja atau kelalaian dapat di pidana, tapi dalam Undang-Undang diatas, aturannya bersifat lex specialist derogat lex general dan semua ketentuan pidananya harus dengan unsur kesengajaan.
Meminta pertanggung jawaban hukum pidana dokter/ dokter gigiatas tindakan kedokteran yang diduga mengandung kesalahan maupun kelalaian bukanlah merupakan suatu hal yang tidak mudah, terutama dari proses pembuktiannya, tapi tidak menggugurkan guggatan pidananya. Kesalahan medis hanya dapat dibuktikan melalui audit medis sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit: “Dalam penyelenggaraan Rumah Sakit dilakukan audit, audit sebagaimana dimaksud dapat berupa audit kinerja dan audit medis”. (Vide: Peraturan Konsil Kedokteran Nomor 4 Tahun 2011 Tentang Disiplin Profesional Dokter).
Apabila dalam audit medis tersebut membuktikan bahwa dokter/ dokter gigi telah salah menerapkan disiplin ilmu kedokteran kepada pasien yang menyebabkan pasien tersebut pasien tersebut meninggal dunia, maka hukum positif yang berlaku di Indonesia yang melindungi kepentingan hukum masyarakat, dapat meminta pertanggung jawaban hukum (administrasi, perdata, maupun pidana).
Pertanggung jawaban pidana di Indonesia menganut model dualistik, artinya untuk adanya pidana tidak cukup hanya apabila telah terjadi perbuatan pidana, tetapi dipersyaratkan juga adanya kesalahan atau pertanggungjawab pidana. Menurut Moeljatno, perbuatan pidana harus memenuhi unsur : 1. Adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan dalam Undang-Undang, hal ini merupakan syarat formil, terkait dengan berlakunya pasal 1 (1) KUHP dan 2. Bersifat melawan hukum, hal ini merupakan syarat materiil, terkait dengan ikutnya ajaran sifat melawan hukum materiil. Dokter yang melakukan kelalaian praktik harus dibuktikan terlebih dahulu bukan saja mengenai adanya pasien yang meninggal dunia (actus reus) tetapi juga harus dibuktikan bahwa dokter dalam menjalankan profesinya ada unsur kesengajaan maupun kelalaian didalamnya (mens rea).
Dokter/ dokter gigi dalam melakukan praktik kedokteran dapat dilakukan secara mandiri maupun lewat institusi pelayanan kesehatan seperti Rumah Sakit maupun puskesmas, klinik swasta. Dokter/ dokter gigi dalam melakukan praktik pelayanan kesehatan diselenggarakan berdasarkan pada Standar Profesi Medis (SPM), Stardar Prosedur Operasional dan kesepakatan antara dokter/ dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan (promotif), pengobatan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabiitatif) yang semuanya harus didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien. Sebelumnya seorang dokter/ dokter gigi dalam melakukan praktik kedokteran harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan Surat Izin Praktik (SIP). Perihal Standar ProsedurOperasional Fasilitas Pelayanan Kesehatan harus dilakukan berdasarkan Permenkes Nomor 1438/MENKES/PER/IX/2010 Tentang Standar Pelayanan kedokteran menyebut dengan istilah Standar Prosedur Operasional (SPO).Selama dokter tersebut menjalankan pelayanan kesehatan sesuai dengan kewenangannya, standart profesi kedokterannya, standart pelayanan medisnya serta melengkapi semua persyaratan secara administrasi sebagai seorang tenaga kesehatan yang profesional, maka dokter/ dokter tersebut akan memperoleh perlindungan hukum dari negara.
Perlindungan hukum terhadap seorang dokter/ dokter gigi dalam memberikan tindakan medis yang berpraktek mandiri akan diterima apabila kewajiban yang melekat dalam diri seorang profesi dokter/ dokter gigi dipenuhi. Hal ini dibuktikan oleh negara melalui pasal 27 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, pasal 50 point (a) UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, pasal 24 ayat (1)Peraturan Pemerintah No.32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan dan pasal 57 point (a) UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Sedang perlindungan hukum bagi dokter/ dokter gigi yang bekerja di RS, selain hukum positif diatas juga berlaku pasal 46 UU No. 44 2009 tentang RS dan berlaku doktrine Respondeat Superior.
Journal, 4(2), 175-188.
Rusdiantoro, R. (2018). Tanggung Jawab Rumah Sakit dan Tenaga Medis Rumah Sakit Dalam Tindak Pidana Malpraktek (Studi Kasus Malpraktek Terhadap Habibi Di RSUD Nyai Ageng Pinatih) (Doctoral dissertation, University of Muhammadiyah Malang).
Soekanto, S., & Mamudji, S. (2001). Penelitian hukum normatif: Suatu tinjauan singkat. RajaGrafindo Persada.
Soekanto, S., Herkutanto, & Surjaman, T. (1987). Pengantar Hukum Kesehatan. Remadja Karya.
Soekidjo, N. (2010). , Jakarta: Rineka Cipta Karya.
Supriadi, W. C. (2001). Hukum kedokteran. Jakarta: Mandar Maju.
Wahyudi, S. (2011). Tanggung Jawab Rumah Sakit terhadap Kerugian Akibat Kelalaian Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Jurnal Dinamika Hukum, 11(3), 505-521.
Wiriadinata, W. (2014). Dokter, Pasien dan Malpraktik. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 26(1), 43-54.