This study discusses the existence of Islamic norms in the Constitutional Court decisions. This study uses a case approach by examining the Constitutional Court decision no. 22 / PUU-XV / 2017. Data obtained from primary, secondary and tertiary data relating to legal issues in this paper. The main problem in this research is the consideration and decision of the Constitutional Court on the case decision No. 22 / PUU-XV / 2017 concerning marriage which is quite highlighted by the Indonesian people. What was tested in the a quo decision was article 7 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage with article 27 paragraph (1) of the 1945 Constitution as a touchstone. In the a quo decision the petitioners argued that article 7 paragraph (1) was an article that was discriminatory for women. On the a quo decision, the panel of judges granted part of the petition's petition. the legal consequence of the Constitutional Court decision No. 22 / PUU-XV / 2017 is the emergence of Law No. 16 of 2019, amendments to Law No. 1 of 1974 concerning marriage
Mahkamah konstitusi atau MK ialah lembaga kehakiman di Indonesia berdasarkan UUD 1945 selain Mahkamah Agung (MA). Sebagai lembaga kehakiman MK memiliki fungsi untuk menyelenggarakan peradilan dengan menegakkan hukum yang berkeadilan. MK dan MA memiliki kedudukan yang sederajat dalam konstitusi, meskipun pokok yang di uji berbeda. MK lebih dikenal dengan sebutan court of law yang artinya lembaga pengadilan hukum, sedangkan MA ialah pengadilan keadilan atau court of justice[1]. MK terbentuk setelah amandemen ketiga UUD 1945 pada tahun 2003. Sebagai the guardian of constitution, MK memiliki tujuan untuk menjamin ditegakkanya konstitusi selaku hukum tertinggi di Indonesia[2].
Putusan-putusan MK sering kali menjadi pembicaraan public, seperti putusan MK No.46/PUU-XIV/2016 terkait perkara LGBT, putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 dan yang baru-baru ini adalah putusan No.22/PUU-XV/2017 tentang batas usia minimal perkawinan dalam Undang-Undang perkawinan. Dari ketiga putusan yang penulis sebutkan, penulis hanya akan mengkaji putusan No.22/PUU-XV/2017. Batasan tentang usia perkawinan memang sering diperdebatkan oleh para ahli. Perkara pada putusan No.22/PUU-XV/2017, diajukan oleh tiga orang pemohon yang semuanya adalah perempuan. pada putusan perkara a quo para pemohon menyebutkan bahwa pasal 7 ayat (1) UU perkawinan sepanjang frasa 16 tahun yang merupakan batas usia minimal bagi perempuan untuk melangsungkan pernikahan, telah bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) UUD1945 yang isinya menjelaskan tentang kedudukan yang sama didepan hukum. dalam putusan a quo, tentunya hakim memiliki banyak pertimbangan hukum didalamnya.
Berdasarkan sensus penduduk, hampir 90% masyarakat Indonesia beragama islam. seperti yang kita pahami hukum islam berbeda dari hukum pada umumnya. Hukum pada umumnya dibuat oleh manusia, sedangkan hukum islam dibuat oleh Allah SWT, yang selanjutnya diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dalam hukum islam, tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia lain, tapi juga mengatur hubungan dengan dirinya sendiri, tuhan, dan alam sekitarnya. hukum islam merupakan salah satu sumber dari beberapa aturan yang di terapkan di Indonesia salah satunya adalah Undang-Undang perkawinan.
Putusan MK No.22/PUU-XV/2017 tentang perubahan umur untuk mempelai perempuan berdampak pada perubahan Undang-Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana sebelumnya usia perkawinan untuk mempelai perempuan minimal 16 tahun, namun setelah disahkannya UU no 16 Tahun 2019 perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia minimal bagi mempelai perempuan berubah menjadi 19 tahun. Secara umum putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 mendapat dukungan positif dalam kalangan masyarakat. Undang-Undang perkawinan merupakan aturan yang salah satu sumbernya adalah hukum islam. hal inilah yang menimbulkan pertanyaan bagi penulis. sebagai aturan yang salah satu sumbernya dari hukum islam, apakah hakim konstitusi juga mempertimbangkan norma islam dalam putusan No. 22/PUU/XV/2017. Itulah pokok kajian yang penulis angkat dalam penelitian ini yang mana penulis akan mengkaji terkait pertimbangan hukum hakim pada putusan No.22/PUU-XV/2017 dan putusan a quo yang ditinjau dari syariat pernikahan dalam islam dengan pendapat imam syafi’I sebagai sumber literasi.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normative yang menggunakan pendekatan kasus (case approach) dimana datanya diperoleh dari data primer, sekunder dan tersier yang sesuai dengan isu hukum. teknik analisa pada penelitian ini menekankan pada metode deduktif sebagai pegangan utama dan metode Induktif sebagai metode penunjang. Analisa bahan hukum memiliki tujuan untuk menguji kualitas data. Dalam penelitian ini, penulis akan mengumpulkan bahan hukum primer dan sekunder terkait isu hukum yang diangkat penulis kemudian dianalisa secara deskriptif, sistematis dan analitis untuk menjawab isu hukum dalam rumusan masalah. Pada penelitian ini penulis akan menggunakan penalaran deduktif, yaitu dari umum ke khusus, penggunaan deduktif dengan premis mayor dan premis minor, menganalisa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder barulah setelah itu menemukan kesimpulan yang bersifat khusus.
Perkara ini diajukan untuk pertama kali pada 20 april 2017 yang diterima dan terdaftar di kepaniteraan MK dengan akta penerimaan berkas permohonan 38/PAN.MK/2017, selanjutnya dicatat di buku regristasi perkara konstitusi dengan No.22/PUU-XV/2017 pada tanggal 18 mei 2017, yang selanjutnya telah diperbaiki dan diterima pada 6 juni2017. Substansi permohonan dalam perkara ini adalah pengujian konstitusionalitas pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan (yang pada pokonya menjelaskan terkait batas usia minimal untuk melangsungkan pernikahan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki) terhadap pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berisikan tentang kedudukan yang sama didepan hukum dan negara maupun pemerintah wajib menjunjung hukum tanpa ada pengecualian . Para pemohon mendalilkan bahwa ketidaksamaan batasan usia pada UU perkawinan itu merupakan ketidaksamaan didepan hukum Karena usia 16 tahun bagi perempuan masih tergolong dalam usia anak sebagaimana telah dijelaskan pada UU perlindungan anak, sedangkan usia laki-laki 19 dimana usia tersebut sudah memasuki usia dewasa..
Permohonan ini diajukan oleh tiga orang perempuan warga Indonesia yang bernama Endang Wasrinah, Rasminah dan Maryanti yang selanjutnya akan penulis sebut sebagai para pemohon. alasan diajukannya permohonan ini karena Undang-Undang pernikahan masih dianggap diskriminatif terhadap perempuan. para pemohon juga merasa bahwa negara masih lalai dalam memberikan perlindungan pada perempuan dari praktek pernikahan anak. Kerugian yang didalihkan dalam permohonan tersebut adalah kerugian dalam hak kesehatan, hak pendidikan dan hak untuk tumbuh dan berkembangan.
Pada putusan No. 22/PUU-XV/2017, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon, menyatakan pasal 7 ayat (1) sepanjang frasa 16 tahun Undang-Undang No 1 tahun1974 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan pada perkara tersebut mengakibatkan munculnya UU no 16 tahun 2019 perubahan atas UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan (UU perkawinan), yang isinya terdapat dua poin utama. Yang pertama adalah perubahan batas usia minimal menikah bagi perempuan yang sebelumnya 16 tahun berubah menjadi 19 tahun. Yang kedua ialah terkait dispensasi kawin, bahwasannya seseorang boleh melaksanakan pernikahan dibawah batas usia minimal yang telah ditentukan oleh UU perkawinan dengan alasan mendesak.
Pada setiap putusan hakim selalu memuat pertimbangan hukum yang dipakai hakim dalam memutus perkara. Dalam putusan No.22/PUU-XV/2017, pertimbangan hukum yang dipakai majelis hakim tidak hanya berdasarkan atas teks UUD RI 1945, melainkan juga berbagai sumber hukum dan keilmuan yang relevan. Dalam rangka menegaskan kedudukan dan kewenangannya dalam menangani perkara, Majelis menggunakan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, pasal 10 ayat (1) Undang-undang MK, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dari ketentuan tersebut, difahami bahwa MK melalui hakim-hakimnya berwenang untuk mengadili perkara pengujian Undang-Undang yang putusannya bersifat final.
Pertimbangan hukum legal standing pemohon, pertimbangan hukum ini menggunakan ketentuan pasal 51 ayat (1) dan (2) UU MK. mengenai hak/kewenangan konstitusional yang dirugiakan harus sesuai dengan 5 syarat dalam putusan No 006/PUU-III/2005, sebagai mana telah penulis sebutkan dalam kajian teori di BAB II. para pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP), pemohon I dinikahkan pada usia 14 tahun yang masih dalam kategori anak dengan seorang lelaki duda yang berusia 37tahun karena alasana ekonomi keluarga. pernikahan tersebut mengakibatkan pemohon I putus sekolah dikelas 2 SMP, pemohon I juga tidak dapat mencari pekerjaan yang layak karena pendidikan yang rendah, tidak hanya dalam aspek pendidikan, pemohon I juga dirugikan dalam aspek kesehatan yaitu menderita infeksi/iritasi pada organ reproduksi.
pemohon II dipaksa menikah oleh ayahnya pada usia 14tahun dengan seorang laki-laki yang berusia 33 tahun. Alasan pernikahan nya adalah ekonomi keluarga dimana orang tua pemohon II memiliki hutang kepada calon suaminya, pernikahan tersebut mengakibatkan pemohon II tidak dapat menyelesaikan pendidikan dasarnya dan mengalami keguguran sebanyak 2 kali karena ketidak siap untuk mengandung. Dari sedikit uraian tentang pemohon II, penulis berpendapat bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pemohon II termasuk dalam unsur keterpaksaan, bahwa pemohon II dipaksa menikah oleh ayahnya dengan tujuan untuk melunasi hutang keluarganya terhadap calon suaminya. Bila ditarik garis, hal tersebut merupakan jenis perlakuan eksploitasi secara ekonomi yang dilakukan ayah pemohon II. hal ini sesuai dengan penjelasan pasal 13 UU perlindungan anak. Tidak hanya itu penulis juga berpendapat bahwa penyebab kerugian yang dialami oleh pemohon II bukan karena UU perkawinan, melainkan karena keadaan keluarga pemohon sendiri. Bahkan bila pada saat itu batas usia minimal bukan 16 tahun. Pemohon akan tetap melangsungkan perkawinan tersebut, karena yang mendasari perkawinan pemohon II adalah hutang ayahnya.
pemohon III dinikahkan pada usia 13tahun dengan laki-laki yang berusia 25 tahun, alasan pernikahan karena keterbatasan ekonomi keluarga. Pernikahan tersebut mengakibatkan pemohon III tidak bisa melanjutkan pendidikannya di tingkat yang lebih tinggi karena harus mengurus rumah tangga. Bila dilihat dari beberapa keterangan diatas, terdapat beberapa kesamaan antar pemohon yaitu para pemohon sama-sama menikah lantaran kehendak orang tua (paksaan), sama-sama kurang dala segi ekonomi, dan pernikahan bukan didasarkan pada suka sama suka.
Berdasarkan keterangan para pemohon diatas dalam menjelaskan kedudukan hukumnya, maka hak/kewenangan konstitusional yang dilanggar adalah hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, serta hak untuk tumbuh dan berkembang yang dijamin pemenuhan dan perlindungannya oleh UUD1945. Bahwa kerugian hak/kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan actual yang mana terdapat sebab akibat terkait hak/kewenangan konstitusional dengan Undang-Undang yang dimohonkan. Dengan dikabulkannya permohonan pemohon ada kemungkinan kerugian terkait hak/kewenangan konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi. Dengan demikian MK berpendapat bahwa para pemohon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut. uraian terkait legal standing pemohon memang memenuhi semua unsur yang terdapat dalam pasak 51 ayat 1 dan 2 UU MK, karena inilah para pemohon memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan di MK.
Bahwa pada putusan No.22/PUU-XV/2017 majelis hakim juga memakai pertimbangan yuridis (Perundang-Undangan), antara lain:
Perundang-undangan | Substansi |
Pasal 28B ayat (1) dan (2) UUD1945 | (1)Tentang hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.(2) hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan hak untuk mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi |
Pasal 28C ayat (1) UUD1945 | (1)hak setiap orang untuk mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, hak pendidikan dan hak untuk meperoleh ilmu pengetahuan, seni dan budaya. |
Pasal 28D ayat (1) UUD1945 | (1)Hak setiap orang atas jaminan,perlindungan, dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan sama didepan hukum. |
Pasal 31 ayat (2) UUD1945 | (2) setiap warga Indonesia wajib mengikuti pendidikan dasar. |
Pasal 1 angka (3) UU No 39/1999 tentang HAM | Pengertian diskriminasi |
Pasal 13 (1) dan (2) dan UU No.23/2002 diubah dengan UU No.35/2014 tentang perlindungan anak | Perlindungan anak dari perlakuan: diskriminasi, ekspoitasi dari segi ekonomi ataupun seksual, penelantaran,kekejaman, kekerasan, penganiyayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah yang lainnya.Bagi orang tua ataupun wali yang melakukan perbuatan sebagaimana dalam pasal 1, maka akan dikenakan hukuman yang berat. |
pasal 26 ayat (1) UU No.23/2002 diubah dengan UU No.35/2014 tentang perlindungan anak | Kewajiban dan tanggung jawab orang tua untuk mencegah perkawinan pada usia anak. |
Bila melihat dari pertimbangan yuridis diatas dapat kita lihat bahwa majelis hakim menggunakan HAM dan hak anak sebagai dasar pertimbangannya. Bila dibandingkan dengan putusan sebelumnya (No.30-74/PUU-XII/2014) hal ini sangat bertolak belakang karena pada putusan sebelumnya hakim lebih banyak mempertimbangkan norma agama didalamnya.
Dalam putusan No.22/PUU-XV/2017 majelis hakim memang mempertimbangkan norma agama, dan Kompilasi Hukum Islam. namun tidak menjadikannya sebagai dasar pertimbangan hukum, hanya sekedar mempertimbangkan. Pertimbangan terkait norma agama terdapat pada pada poin [3.10.1], yang menyebutkan bahwa dalam hukum islam tidak mengatur batas usia minimal untuk perkawinan, dalam hukum islam hanya menyebutkan bahwa seseorang boleh melangsungkan perkawinan bila sudah baligh, berakal sehat, dan mampu membedakan baik dan buruk sehingga bisa memberikan persetujuan untuk menikah sebagaimana telah ditentukan dalam pasal 16 KHI. Dalam islam menikah adalah ikatan sacral dan salah satu peruntah Allah SWT. Asas-asas dalam pernikahan antara lain kesukarelaan, persetujuan kedua mempelai, hubungan suami isteri untuk selama-lamanya. Kerena itulah tidak dikenal batasan usia dalam islam dengan tujuan untuk mencegah kemudharatan yang lebih besar.
Perkawinan merupakan hak setiap orang yang wajib dijamin dan dilindungi oleh negara, perkawinan termasuk dalam hak asasi naluriah kemanusiaan yang melekat dan suatu kodrat bagi setiap manusia. Perkawinan termasuk dalam perisriwa penting dan alami dari kehidupan manusia yang meliputi kebutuhan biologis, melahirkan dan kasih sayang. Dalam prespektif agama islam, perkawinan dianjurkan bagi siapapun yang sudah dewasa dan memiliki kemampuan dalam berkeluarga karena menikah itu untuk menenangkan hati, jiwa dan raga. Dalam islam khususnya kaum muda untuk segera melangsungkan pernikahan. sebagaimana dijelaskan dalam hadist Rasulullah yang diceritakan oleh Abdullah Bin Mas’ud, dalam hadist tersebut menjelaskan bahwa para pemuda yang telah mampu, maka segerahlah menikah. Agar membuat mata lebih tertunduk dan lebih menjaga kemaluan, namun bila belum mampu maka berpuasalah.
Dalam pertimbangan yang dimuat pada perkara No. 22/PUU-XV/2017 hanya sedikit membahas terkait aspek kesehahatan. Dalam putusan pada poin [3.10.1] terdapat pernyataan yang mengatakan bahwa dengan berkembangnya ilmu teknologi bisa saja batas usia minimal pernikahan yang ideal bukannlah 18 tahun, tapi bisa lebih rendah atau lebih tinggi dari 18 tahun. Penulis setuju dengan ini, nyatanya di era ini yang semua informasi bisa didapatkan dengan mudah, bahkan untuk anak yang belum dewasa, seperti situs porno dan sebagainnya. Disebutkan oleh riset kesehatan Indonesia bahwa anak perempuan berusia 15-19 tahun telah melakukan seks pranikah[4], bila dilihat dari pernyataan tersebut, membuktikan bahwa di jaman sekarang anak bisa lebih cepat dewasa karena berkembangnya ilmu teknologi dalam bidang ITE. Namun bila dilihat dari aspek kesehatan tidak seperti itu. Kesehatan tubuh manusia tidak terpengaruh dari perkembangan jaman, nyatanya tubuh anak akan tetap menjadi tubuh anak bila masih dalam usia anak sekalipun anak tersebut secara psikologis sudah siap untuk kawin.
Dr. Fransisca Handy mengatakan bahwa setidaknya terdapat lima konsekuensi kesehatan dari kehamilan dibawah usia 18 tahun antara lain: (1) kesehatan mental ibu; (2) penyakit menular; (3) gangguan kehamilan; (4) masalah persalinan; (5) kesehatan bayi yang dilahirkan. dalam dunia medis perempuan yang masih berusia 16 tahun sangat rentan terhadap resiko gangguan kesehatan ketika menjalani pernikahan, baik dalam konteks hubungan seksual suami istri maupun pada proses kehamilan dan melahirkan.[5] Berdasarkan Laporan Kajian Usia Anak di Indonesia, perempuan yang menikah dan melahirkan pada usia anak memiliki resiko kematian bayi lebih besar, dan juga punya peluang meninggal dua kali lipat sebelum bayi berusia 1 tahun, dibandingkan dengan perempuan yang melahirkan diatas usia 20 tahun. Tidak hanya itu perempuan yang menikah pada usia anak rentan terjadinya pendarahan, keguguran, hamil anggur, hamil premature, kesehatan reproduksi dan seksualitasnya[6].
Majelis hakim juga melakukan Pertimbangan hukum terkait konvensi yang diratifikasi Indonesia. Pasal 16 ayat (1) Konvensi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang No.7 tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Conventionon The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women).
Menyimak dari pertimbangan yang dikemukakan tersebut, terlihat bahwa majelis hakim bersandar pada pertimbangan terkait nilai-nilai hak asasi manusi, hal ini dapat dilihat dari pertimbangan hukum yang dipakai majelis hakim kebanyakan bersumber dari nilai-nilai hak asasi manusi, seperti UU HAM, UU perlindungan anak dan pasal-pasal yang dipakai hakim dalam UUD 1945 juga terkait hak asasi manusia. Menurut penulis sendiri memang tidak salah bila hakim mengedepankan nilai-nilai hak asasi manusia sebagai dasar pertimbangannya. Namun bila dilihat dari semua isi pertimbangan hakim, majelis hanya melihat dari sisi kerugian yang dialami pemohon. padahal tidak semua perkawinan anak dikarenakan paksaan orang tua.
Terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi terjadinya pernikahan anak. Sardi dalam jurnalnya yang berjudul sosioatri-sosiologi menyebutkan terdapat beberapa aspek penyebab terjadinya perkawinan dalam usia anak antara lain
Argumentasi atau alasan yang akan dipakai untuk memperkuat atau menolak suatu pendapat harus dimiliki hakim sebelum sampai pada amar putusan. Argumentasi yang dipakai hakim ialah argumentasi hukum yang merupakan alasan berupa uraian penjelasan yang jelas dan logis untuk menolak atau memperkuat suatu pendapat. Menurut N.E Algra argumentasi yang merupakan dasar dari penemuan hukum hakim dalam putusan terdiri dari: (1) argumentasi yuridis, (2) argumentasi Yurisprudensi, (3) argumentasi hukum kebiasaan/adat (ushul fiqih, fiqih, dan kaidah ushul fiqih dll), (4) Argumentasi moral, (5) argumentasi sosiologis, (6) Argumentasi penafsiran atau interpretasi[8]. Selanjutnya penulis akan menguraikan argumentasi hukum hakim pada putusan No. 22/PUU-XV/2017 ditinaju dari pendapat N.E Algra.
Argumentasi yuridis merupakan argumentasi yang disasarkan pada peraturan perundang-Undangan, hukum islam dan kompilasi hukum islam (KHI). Pada putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 sudah memuat argumentassi yuridis, hal ini dapat dilihat dari argumentasi majelis hakim terkait perbedaan usia bagi laki-laki dan perempuan pada pasal 7 ayat (1) UU no 1/1974, yang mana pasal tersebut merupakan kebijakan diskriminatif atas dasar jenis kelamin, yang sejalan dengan pengertian diskriminatif pada UU pasal 1 ayat (3) HAM. Majelis hakim berpendapat bahwa kebijakan dalam pasal tersebut sudah tidak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan Indonesia yang ditandai dengan perubahan UUD 1945. Majelis hakim juga menjelaskan bahwa usia 16 bagi perempuan pada pasal 7 ayat (1) UU no 1/1974 tidak sinkron dengan UU perlindungan anak. Hal tersebut mengakibatkan tidak terpenuhinnya hak-hak perempuan yang terdapat pasal 28B ayat 1 dan 2, 28C ayat 1, 28D ayat 2 dan 31 ayat 2 UUD 1945. Menurut penulis sendiri pasal 7 ayat 1 UU No 1974 tidak bisa disebut sebagia norma yang jelas-jelas diskriminatif, bila melihat dari sisi social nyatanya laki-laki memiliki tanggung jawab yang lebih dari pada perempuan dan laki-laki (suami) memiliki kewajiban untuk membingbing perempuan (istri) dalam rumah tangganya, sehingga suami dituntunt untuk lebih dewasa dala segala hal. Bagi penulis wajar bila umur laki-laki lebih tua dari perempuan dalam pernikahan.
Dalam putusan MK No. 22/PUU-XV/2017 majelis hakim menggunakan argumentasi yurisprudensi terkait kebijakan hukum terbuka dalam hal ini MK melihat putusan No 49/PUU-XV/2011, putusan No. 37-39/PUU-VII/2010, putusan No. 15/PUU-V/2007. Dari melihat putusan-putusan tersebut majelis berpendepat bahwa kebijakan hukum terbuka terkait penentuan batas usia merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang yang sewaktu-waktu dapat dirubah sesuai dengan kebutuhan dalam perkembangan masyarakat. Dalam hal ini penulis setuju. Karena bila MK yang menentukan maka akan sulit bagi pembentuk Undang-Undang untuk mengubah batas usia minimum untuk selanjutnya.
Dalam putusan A quo majelis menggunakan argumentasi sosiologis, majelis menyebutkan bahwa angka perkawinan anak terus naik dari tahun ketahun berdasarkan data BPS 2017, persebaran perkawinan anak berada diatas 10% merata pada seluruh provinsi di Indonesia. Persebaran perkawinan diatas 25% berada pada di 23 privinsi dari 34 provinsi di Indonesia. Majelis juga berpendapat bila keadaan dibiarkan seperti ini maka Indonesia akan mengalami darurat perkawinan Anak. Penulis sendiri melihat bahwa di Indonesia perkawinan Anak memang hal yang sering di jumpai. salah satu penyebabnya adalah masih adanya daerah yang memakai adat terkait pernikahan dini, dan factor lainnya adalah keadaan finansial keluarga. Factor terkait finansial keluargalah penyebab perkawinan yang dialami para pemohon.
Pada pertimbangan putusan No.22/PUU-XV/2017 majelis hakim menggunakan metode penafsiran hukum sistematis dan gramatikal. Penafsiran gramatikal (obyektif) merupakan penafsiran secara Bahasa. Penafsiran gramatikal memiliki arti penting karena Bahasa merupakan sarana bagi hukum untuk menyampaikan kepada subjek hukum[9]. penafsiran gramatikal merupakan penafsiran yang paling sederhana dan hampir selalu digunakan dalam menafsirkan undang-undang karena Undang-Undang sendiri tidak bisa lepas dari Bahasa. Dalam putusan No. 22/PUU-XV/2017 majelis menafsirkan frasa “diskriminasi” dalam pasal 28B ayat (2) adalah memperlakukan setiap manusia atau warga negara secara berbeda atas dasar perbedaan warnakulit, agama, suku, bahasa, keyakinan politik dan jenis kelamin. Metode penafsiran yang kedua adalah metode Penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis yang mengkaitkan peraturan satu dengan peraturan yang lainnya. Dalam penafsiran sistematis hakim melihat hukum sebagai satu kesatuan system peraturan.[9] Majelis hakim menggunakan penafsiran sistematis dengan tidak hanya melihat batu uji pemohon yakni pasal 27 ayat (1) UUD 1945, tetapi juga keseluruhan pasal dalam UUD 1945 yang terkait dengan hak asasi manusia dan hak anak, yakni pasal 28B ayat (1) dan (2), 28C ayat (1), 28D ayat (1) dan pasal 31 ayat (2) UUD 1945.
Melihat dari pendapat N.E Algra, argument moral dan argument hukum adat kebiasaan tidak ada dalam putusan No.22/PUU-XV/2017. Namun majelis mepertimbangkan poin 3.13.2 yang terdapat pada putusan No. 30-74/PUU-XII/2014.
Berdasarkan fakta-fakta hukum yang telah penulis kemukakan diatas, majelis hakim berpendapat bahwa batas usia minimal dalam UU pernikahan merupakan kebijakan hukum terbuka, pada saat dibuatnya norma hukum pada pasal 7 ayat 1 UU No.1/1974 pada masanya tidak serta-merta bertentangan dengan UUD1945. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa norma tersebut merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai masalah dalam pernikahan. Majelis tetap berpendirian bahwa open legal policy merupakan kewenangan bagi pembuat Undang-Undang. Majelis hakim juga berpendapat perlunya perubahan pada batas usia minimal pernikahan didasarkan pada fakta semakin meningkatnya pernikahan anak yang mengakibatkan kesulitan bagi negara dalam mewujudkan kesepakatan agenda pembangunan Universal yang tertuang dalam dokumen Trans forming Our World the 2030 Agenda for Sustainable Development Goals (SDGs). Majelis juga berpendapat bahwa pernikahan anak merupakan bentuk pelanggaran hak anak yang dapat menimbulkan kemudharatan. Bahwa menyesuaikan kebijakan usia pernikahan juga didasarkan fakta bahwa Indonesia tergabung dalam konvensi The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Merupakan Perjanjian Internasional Untuk Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan tersebut telah diratifikasi Indonesia pada tahun 1984 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita(Conventionon The Elimination of All Forms of DiscrimanationAgains Women)
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh majelis hakim, berkesimpulan bahwa pasal 7 ayat (1) UU no 1 tahun 1974 merupakan diskriminatif atas dasar jenis kelamin yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak anak perempuan yang merupakan bagian dari HAM yang telah dijamin oleh UUD1945.
Konsep dewasa dalam hukum islam adalah ketika seseorang sudah baligh, yang ditandai dengan keluar air mani bagi laki-laki dan haid bagi perempuan. Dalam islam batas minimal usia untuk menikah memang tidak disebutkan dengan gamblang, namun dalam syariat islam lazimnya seseorang boleh menikah apabila sudah baligh dan ditandai dengan sehat akal, dan cakap bertindak hukum. Menurut hukum islam pernikahan atau perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dalam bahtera rumah tangga dan untuk melanjutkan keturunan. Pernikahan memiliki arti penting bagi kehidupan manusia. Dengan pernikahan ikatan halal dua orang berlainan jenis (laki-laki dan perempuan) akan terjalin dan menjadi suatu keluarga. Secara tekstual hukum islam memang tidak menyebutkan batas minimal usia untuk bisa melangsungkan pernikah. Para ulama mazhab memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam menentukan usia minimal dalam pernikahan[10] Dalam penelitian ini penulis akan mengambil pendapat dari imam Syafi’i.
Menurut imam Syafi’I batasan usia untuk menikah sebenarnya tidak ada dalam hukum islam, seseorang boleh menikah dilihat dari kedewasaanya, sedangkan kedewasaan seseorang dilihat pada saat dia telah baligh. Menurut imam Syafi’i baligh bagi perempuan ditandai dengan dengan haid atau sudah berusia 15 tahun, yang artinya sekalipuan perempuan tersebut belum haid sampai usia 15 tahun perempuan tersebut sudah bisa dikatakan dewasa. Dan bagi laki-laki ditandai dengan keluarnya air mania atau sudah berusia 15 tahun. Yang mendasari pendapat tersebut ialah Rasulullah yang ikut jihad (perang) pada usia 15 tahun. Pada usia itu juga rasulullah dikenakan hukuman had (denda). Yang artinya pada usia 15 tahun seseorang sudah boleh melangsungkan pernikahan, untuk menambah kedewasaan seseorang harus dewasa dalam mengurus dirinya maupun dewasa dalam mengurus suami dan rumah tangganya[11]. Yang mendasari pendapat tersebut ialah firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 6 yaitu:
Artinya :
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin . Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas ( pandai memelihara harta ), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya . Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan ( janganlah kamu ) tergesa-gesa ( membelanjakannya ) sebelum mereka dewasa . Barangsiapa (di antara pemelihara itu ) mampu , maka hendaklah ia menahan diri ( dari memakan harta anak yatim itu ) dan barangsiapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut . Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka , maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi ( tentang penyerahan itu ) bagi mereka . Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas ( atas persaksian itu )”
Ayat diatas menjelaskan bahwa untuk bisa melangsungkan pernikahan bagi laki-laki maupun perempuan harus sudah baligh dan memiliki suatu kemampuan. Apabila seseorang tersebut sudah baligh tapi tidak memiliki kemampuan secara materi maka dianjurkan baginya untuk berpuasa terlebih dahulu, hal ini sesuai dengan hadist Nabi SAW:
Artinya :
“Dari Abdulah putra Mas’ud , ia berkata : Bersabda RasulullahSAW “Hai pemuda , apabila diantara kalian mempunyai kemampuan untuk menikah,maka menikahlah . Karena menikah itu untuk menutup mata dan dapat menjaga kemaluan dan barang siapa tidak kuasa , hendaklah ia berpuasa , karena puasa akan menjadi perisai baginya
Dari pendapat Imam Syafi’I diatas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa batas usia minimum untuk menikah adalah 15 tahun bagi laki-laki maupun perempuan.
Islam merupakan agama yang berkomitmen kuat terhadap tegaknya hak asasi manusia dikalangan masyarakat. Satu-satunya tujuan Syariat islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (manfaat) kemanusiaan Universal, dan menolak segala bentuk kemafsadatan (kerusakan)[12]. Hal ini tentunya yang diinginkan semua umat islam didunia. Bagi umat islam pernikahan merupakan bentuk ibadah kepada Allah SWT. Islam mensyariatkan agar mencari pasangan sesuai yang dia suka tanpa ada paksaan di dalamnya. Dalam islam juga tidak menentukan batas usia minimal untuk menikah. Dalam islam hanya menjelaskan bahwa seseorang boleh melangsungkan pernikahan apabila sudah baligh, berakal, cakap hukum, dan bisa membedakan mana yang baik dan buruk[4]. Menurut imam Syafi’I batas usia minimal untuk menikah adalah 15 tahun bagi perempun maupun laki-laki namun imam syafi’I juga menambahkan bahwa untuk bisa melangsungkan pernikahan baik bagi laki-laki dan perempuan perlu memiliki kemampuan secara materi dalam mengurus dirinya dan rumah tangganya, bila belum memiliki kemampuan maka dianjurkan baginya untuk berpuasa terlebih dahulu[11]. Menurut imam syafi’I pernikahan dikatakan sah apabila memenuhi 5 (lima) unsur antara lain: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qobul. Pendapat imam syafi’I inilah yang kemudian dijadikan hukum sebagaimana termuat dalam Kompilasi hukum islam.
Karya AbuAmmar yang berjudul “al-Zawajal-Mubakkir fi Mizan al-Syari’ah (Pernikahan Dini dalam TimbanganSyariat), menjelaskan alasan diperbolehkannya pernikahan anak dalam 4 bagian antara lain: alasanteologis yang mengacu pada pada teks al-qur’an Q.S. al-Thalaq:ayat 4, “perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid. Di sini ada penafsiran ‘iddah perempuan anak kecil, merupakan dalil bolehnya perempuan anak kecil dinikahi bahkan digauli oleh suaminya. Alasan moral, social dan budaya, dimana pernikahan anak akan meminimalisir perbuatan asusila dan perbuatan menyimpang dikalangan remaja. Alasankesehatan, berdasarkan penelitian, kanker payudara dan kanker Rahim lebih sedikit terjadi pada perempuan yang mengalami kehamilan dan persalinan di usia muda. Alasanideologis, menyatakan bahwa pernikahan anak dapat meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Meskipun terdapat clausul yang memperbolehkan pernikahan anak. Menurut Abu Ammar tidak berarti pernikahan anak diperbolehkan secara mutlak[13]. kelompok yang setuju dengan adanya pernikahan anak, didasarkan pada dalil-dali tekstual ayat dan hadist, sedangkan pandangan yang tidak menyetujui pernikahan anak lebih banyak menggunakan kaidah logika, riwayat historis dan ijtihad klasik sebagai argumentasi.
Dari uraian karya Abu Ammar tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pernikahan anak tidak hanya memberikan dampak negative, namun terdapat dampak positif pula. Bila dibandingkan memang dampak negative pernikahan anak lebih besar apalagi dalam aspek kesehatan. Penulis berpendapat, baik dan buruknya suatu pernikahan anak tidak lepas dari latar belakang dilangsungkannya pernikahan tersebut. Seperti halnya pernikahan anak yang dilakukan bukan karena kesepakatan kedua mempelai, melainkan paksaan dari salah satu orang tua mempelai dengan alasan ekonomi, hal ini tentunya mengandung kemudharatan lebih besar, berbeda dengan pernikahan anak yang dilakukan atas dasar suka sama suka dan telah sepakat tanpa ada paksaan, dalam segi kesiapan pun berbeda, anak yang sudah siap menikah akan lebih bahagia menjalani pernikahannya karena tidak ada unsur keterpaksaan.
Sebelumnya penulis akan menjelaskan sedikit tentang pernikahan anak yang dimaksud dalam hukum nasional dan pernikahan anak yang dimaksud dalam hukum islam. dalam hukum nasional pernikahan anak adalah seseorang yang melangsungkan pernikahan dalam usia anak sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang perlindungan anak. Sedangkan pernikahan anak yang dimaksud dalam hukum islam adalah mereka yang melangsungkan pernikahan dalam usia anak yang belum memasuki masa aqil baligh (dewasa). penulis menjelaskan hal ini agar tidak menimbulkan kerancuan bagi pembaca. Maka bila dalam hukum nasional seseorang menikah pada usia 16 tahun itu masih dalam kategori anak, namun dalam islam telah memasuki pernikaan yang cukup usia yang artinya sudah dewasa.
Menikah bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis yang yang bersifat seksual. Namun pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia dan diridhoi oleh allah SWT. Pernikahan akan berjalan dengan baik apabila kedua mempelai telah memiliki tiga kemampuan yaitu kemampuan biologis, ekonomis (terkait mengatur harta-hartanya, dan psikis (terkait mental dan kesiapan dalam membinah rumah tangga). Apabila ketiga kemampuan tersebut telah dimiliki maka akan terciptalah hubungan saling tolong menolong dalam memenuhi hak dan kewajibannya, dan dapat menerima kekurangan satu sama lain[7]. Imam syafi’I juga berpendapat bahwa perkawinan bagi yang sudah dewasa hukumnya makruh apabila yang bersangkutan belum mampu untuk memenuhi kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami istri[7].
Putusan MK no.22/PUU-XV/2017 yang menyatakan bahwa sepanjang frasa 16 tahun bagi perempuan dalam pasal 7 ayat (1) UU no 1/1974 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan dan mengikat secara hukum. dalam putusan tersebut majelis sendiri tidak menentukan batas usia minimalnya, majelis juga tidak menentukan terkait harus menambah atau mengurai frasa 16 tahun tersebut. Namun dampak dari putusan a quo mengkibatkan berubahnya frasa 16 tahun menjadi 19 tahun sebagai mana tertuang dalam UU no 16 tahun 2019 perubahan atas UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan.. Putusan MK tersebut menuai berbagai macam respon. Majelis Ulama Indonesia (MUI) merupakan salah satu pihak yang merespon mewakili umat islam, wakil ketua MUI Zainut Tauhid Saadi sehari setelah putusan tersebut dibacakan menjelaskan bahwa putusan MK tersebut bisa menjadi polemic baru atau sebuah masalah baru, wakil ketua MUI menyatakan bahwa UU pernikahan memiliki sejarah yang sangat tinggi dan ikatan emosional dengan umat islam, sehingga menghimbau kepada semua pihak untuk bersifat arif dan berhati-hati jika berniat untuk mengubahnya[4]. Wakil ketua MUI memang tidak terlalu setuju dengan perubahan batas usia minimal untuk menikah bagi perempuan karena bisa menimbulkan polemic.
Dalam memutus perkara No. 22/PUU-XV/2017 majelis hakim memang mempertimbangkan syari’at pernikahan dalam islam yang terdapat pada Kompilasi Hukum Islam. hal ini dapat dilihat pada poin [3.10.1]. namun tidak menjadikannya sebagai dasar pertimbangan dalam memutus perkara a quo. Dalam poin tersebut majelis berpendapat bahwa beberapa agama di Indonesia tidak menentukan batas minimal usia dalam pernikahan, salah satu contohnya adalah agama islam. dalam agama islam hanya menyebutkan bahwa seseorang dapat melangsungkan pernikahan apabila sudah baligh, berakal dan bisa membedakan antara baik dan buruk. bila melihat isi dari pertimbangan yang disampaikan oleh majelis hakim, penulis dapat menyimpulkan bahwa dasar pertimbangan majelis hakim adalah Hak Asasi Manusia dan Hak Anak dalam UUD 1945, karena karena majelis berpendapat bahwa fokus dalam perkara yang diajukan pemohon adalah ketidaksamaan batasan usia yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak perempuan secara penuh sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
putusan MK No 22/PUU-XV/2017 mengakibatkan munculnya UU No 16 tahun 2019 perubahan atas UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam perubahan UU tersebut memiliki poin utama yaitu perubahan usia minimal untuk perempun dalam melangsungkan pernikahan yang awalnya 16 tahun berubah menjadi 19, dimana usia 19 tahun disamakan dengan usia minimal laki-laki agar tidak terjadi diskriminasi dalam UU perkawinan terkait umur. frasa 16 tahun pada pasal 7 ayat 1 berubah menjadi frasa 19 tahun. Yang artinya seseorang tidak bisa melangsungkan pernikahan bila belum mencapai usia 19 tahun sekalipun orang tersebut sudah baligh dan secara materi dapat mengurus dirinya dan rumah tangganya. Hal ini tidak sesuai dengan syariat pernikahan menurut pendapat imam syafi’i, karena dalam pendapat imam syafi’I pernikahan dapat dilangsungkan dalam usia 15 tahun, tidak harus menunggu sampai usia 19 tahun. Tentunya selama orang tersebut sudah baligh, berakal dan bisa membedakan yang baik dan buruk.