Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v4i1.872

The Legal Construction of Land Bank Regulations to Realize Fair Management of State Land Assets in Indonesia


Konstruksi Hukum Peraturan Bank Tanah untuk Mewujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara yang Adil di Indonesia

Faculty of Law, Brawijaya University
Indonesia
http://orcid.org/0000-0001-9330-3438

(*) Corresponding Author

The Legal Construction Land Bank Fair Management of State Land Assets

Abstract

The fact that the amount of land is fixed while the need for physical development is increasing as the increase in population, leads to inevitable social conflict. Social conflict is caused by the conflict of interest between the government and the people. The people tend to be reluctant to let go of the land they owned for the development of infrastructure in public interest with the pretext that the price set by the government is too low. As an agency for which its primary task is to reserve land for the government that is obtained before the need arises, a land bank appears to be able to be considered one of the alternatives for land procurement without conflict that can be applied in Indonesia as a solution in overcoming the land crisis for development. Through the normative legal research method, this research aims to analyzes the land bank’s concept in finding a legal construction of land bank regulations to realize fair management of state land assets in Indonesia. The result of the research shows that the legal construction of regulations for a land bank as an effort to realize fair management of state land assets can be achieved with regulations equal to a law. Values of fairness, legal certainty, and legal usefulness in the organization of a land bank must be included in the legal and normative basis in the content of the proposed law.

Introduction

Tanah merupakan kebutuhan dasar yang menjadi modal strategis bagi kehidupan. Di atas tanah, manusia dapat mencari nafkah seperti bertani, berkebun, dan beternak. Di atas tanah pula manusia membangun rumah sebagai tempat bernaung dan membangun berbagai bangunan lainnya untuk perkantoran dan sebagainya. Di dalam tanah juga mengandung berbagai macam kekayaan alam yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan. Kebutuhan akan tanah terus bertambah seiring dengan bertambahnya populasi penduduk. Tanah sangat dibutuhkan untuk pembangunan berbagai fasilitas kepentingan umum yang membutuhkan bidang tanah yang sangat luas.

Umumnya tanah-tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan bagi kepentinngan umum sudah dimiliki oleh seseorang atau badan hukum dengan dilekati sesuatu hak atas tanah. Kondisi ini menuntut adanya upaya pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan perlu dilakukan dengan sebaik-baiknya dan dilakukan dengan memperhatikan peran tanah dalam kehidupan manusia dan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah yang sah, serta tidak menelantarkan kepentingan pribadi pemilik hak atas tanah karena tanah merupakan modal strategis bagi kehidupan. Arti dari menelantarkan kepentingan pribadi adalah apabila kebutuhan atau kepentingan yang bersifat pribadi tidak diperhatikan lagi sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan alasan dikalahkan oleh kepentingan umum. [1]

Selama ini, Pemerintah menggunakan instrumen pengadaan tanah guna memperoleh tanah yang dibutuhkan untuk pembangunan fasilitas kepentingan umum. Adapun instrumen pengadaan tanah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut UU Nomor 2 Tahun 2012), dilakukan dengan cara memberikan ganti kerugian yang ‘layak & adil’ kepada pemilik tanah yang berhak. Adapun bentuk ganti kerugian dalam pengadaan tanah ditentukan dalam Pasal 36 UU Nomor 2 Tahun 2012 berupa: (a) uang, dan/ atau (2) tanah pengganti, dan/atau (3) permukiman kembali, dan/atau (4) gabungan. Selanjutnya Pasal 63 Ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut Perpres Nomor 30 Tahun 2015) menegaskan bahwa penetapan besarnya nilai ganti kerugian dilakukan oleh Ketua Pelaksana Pengadaan Tanah berdasarkan hasil penilaian jasa penilai atau penilai publik.

Setiap pemilik hak atas tanah dan atau bangunan yang terkena obyek pengadaan tanah harus mendapatkan ganti kerugian sebagaimana telah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2015, dan berbagai peraturan terkait lainnya. Namun realita yang terjadi di lapangan, pelaksanaan pengadaan tanah sering kali terhambat karena tidak tercapainya kesepakatan mengenai besaran nilai ganti kerugian dalam pengadaan tanah tersebut. Perbedaan tentang besaran nilai pengadaan tanah antara masyarakat dan Pemerintah ini tak jarang berujung ke pengadilan. [2] Perbedaan persepsi antara Pemerintah dan masyarakat mengenai besaran ganti kerugian yang ‘layak & adil’ sering terjadi dalam proses pengadaan tanah. Ganti kerugian yang dirasa ‘layak & adil’ menurut Pemerintah belum tentu dirasa ‘layak & adil’ menurut masyarakat, begitu pula sebaliknya.

Perbedaan persepsi tersebut berujung pada konflik sosial yang sulit untuk diselesaikan dalam waktu singkat, hal ini terjadi karena mayoritas warga terdampak pengadaan tanah yang merasa keberatan dengan besaran ganti kerugian melakukan upaya hukum melalui Pengadilan Negeri di wilayah kerja lokasi pengadaan tanah dilakukan. Konflik yang berkepanjangan antara Pemerintah dan masyarakat mengenai besaran ganti kerugian tersebut pada akhirnya dapat menghambat proyek pembangunan berbagai fasilitas kepentingan umum. Peneliti menemukan fakta di lapangan bahwa konflik mengenai perbedaan tentang besaran nilai ganti kerugian dalam pengadaan tanah banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia baru-baru ini.

Contoh konflik sebagaimana diberitakan dalam Antara News bahwa warga dari tiga desa yaitu Desa Gunung Sugih, Gunung Sari, dan Desa Seputih Jaya di Kabupaten Lampung Tengah yang terkena pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera (JTTS) di Provinsi Lampung menolak nilai ganti rugi yang ditetapkan Tim Penilai (Appraisal), karena dirasa tidak layak dan tidak adil serta tidak sesuai dengan tata cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga menilai, Tim Penilai (Appraisal) telah menentukan harga secara sepihak dan tertutup serta tidak adanya proses musyawarah dalam penentuan harga lahan untuk JTTS tersebut sesuai yang diatur dalam peraturan perundang-undangan [3]. Kondisi ini menggambarkan implementasi dari prosedur pengadaan tanah untuk pembangunan yang melenceng dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah mengaturnya.

Konflik serupa juga terjadi di Kota Malang, sebagaimana diberitakan dalam harian Kompas bahwa sebanyak 63 KK terdampak pengadaan tanah pembangunan jalan tol Malang-Pandaan di Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedung Kandang, Kota Malang menolak nilai ganti rugi sebesar Rp. 3,9 juta per meter persegi. Sebanyak 63 KK telah melayangkan gugatannya terhadap 87 bidang tanah terdampak dan saat ini telah berada di tingkat banding. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Malang berencana mengusulkan pemindahan lokasi pembangunan pintu tol Malang-Pandaan ke Kelurahan Buring atau sekitar GOR Ken Arok Kota Malang. [4] Konflik antara warga dan Pemerintah yang terjadi di Kota Malang ini menyebabkan proses penyediaan tanah untuk proyek pembangunan infrastruktur jalan tol yang telah direncanakan sejak lama menjadi tertunda dan tidak sesuai dengan alokasi waktu yang telah direncanakan.

Perbedaan besaran ganti kerugian yang diinginkan kedua belah pihak dalam pengadaan tanah, yakni Pemerintah dan masyarakat terdampak, seperti yang telah dikemukakan dalam beberapa contoh kasus di atas terjadi akibat adanya perbedaan persepsi antara keduanya mengenai besaran ganti kerugian yang layak dan adil. Artinya batasan layak dan adil menurut Pemerintah belum tentu layak dan adil menurut masyarakat. Memberikan batasan mengenai frasa layak dan adil bukanlah hal yang mudah, mengingat penilaiannya sangat subyektif dan terlalu abstrak untuk dipahami, bahkan tidak ada penjelasan yang spesifik mengenai frasa ‘layak dan adil’ ini. Selain perbedaan persepsi mengenai besaran ganti kerugian yang ‘layak dan adil’ dalam pengadaan tanah, harga tanah yang semakin hari terus melonjak dan penurunan kualitas tanah juga merupakan permasalahan yang harus dicari penyelesaiannya.

Kompleksitas permasalahan yang terjadi dalam pengadaan tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum merupakan pertanda bagi Pemerintah agar segera merevisi kebijakan di bidang pertanahan. Revisi kebijakan yang dimaksud perlu diarahkan pada mekanisme penyediaan tanah bagi pembangunan fasilitas kepentingan umum yang dapat mengakomodasi kepentingan Pemerintah dan masyarakat pemilik tanah secara bersamaan, sehingga dapat menjamin terpenuhinya nilai-nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Konsep bank tanah bisa menjadi alternatif penyedian tanah nirkonflik yang dapat memenuhi tuntutan nilai keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Konsep bank tanah telah banyak digunakan di beberapa negara sebagai salah satu mekanisme untuk menjamin ketersediaan tanah bagi pembangunan, di antaranya negara Belanda, Colombo, dan Korea Selatan. Penyediaan tanah di Belanda adalah praktek konsolidasi tanah dan land readjustment yang dilakukan secara bersama-sama dengan praktek instrumen bank tanah. Praktek bank tanah dibutuhkan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah guna mempercepat pelaksanaan dan mempermudah proses akuisisi tanah. Lembaga yang berwenang bersifat ad hoc dan merupakan dewan nasional yang terdiri dari beberapa kementerian atau lembaga yang menjalankan tupoksi masing-masing dalam satu rencana pembangunan kawasan yang disepakati bersama. Kelembagaan ini bersifat non-profit yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Peruntukan penggunaannya adalah peningkatan kinerja lahan pertanian, restorasi sungai, dan penggantian lingkungan yang rusak (penghijauan). [5] Daya guna dari konsep bank tanah ini sangat besar jika diterapkan di Indonesia, terutama jika diperuntukkan bagi tanah-tanah terlantar yang jumlahnya sangat banyak dan tidak mampu dikelola dengan baik oleh Pemerintah karena minimnya sumber daya manusia yang kompeten di bidang tersebut.

Untuk menerapkan konsep bank tanah di Indonesia, maka Pemerintah harus terlebih dahulu menyusun suatu pengaturan bank tanah sebagai landasan hukum penyelenggaraan bank tanah di Indonesia. Konstruksi hukum pengaturan bank tanah sebagai dasar penyelenggaraan bank tanah dalam hukum positif nasional perlu dilakukan, sehingga perangkat aturan tersebut nantinya dapat mengatur berbagai aspek yang terkait dengan penyelenggaraan bank tanah di Indonesia. Dalam menganalisis konstruksi hukum pengaturan bank tanah yang dapat menjamin terpenuhinya rasa keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum di masa yang akan datang, penulis menggunakan beberapa teori yang relevan, di antaranya teori cita hukum dari Gustav Radbruch, teori keadilan kumulatif dan distributif dari Aristoteles, teori kepastian hukum dari Sudikno Mertokusumo dan Jan Michiel Otto, serta teori kemanfaatan hukum dari Jeremy Bentham. Teori-teori tersebutlah yang akan menjadi pisau analisis dalam tulisan ini agar nantinya ditemukan suatu konsep pengaturan bank tanah yang dapat dikonstruksikan dengan baik dalam sistem hukum nasional.

Materials and Methods

Pilihan metode dalam penelitian ini adalah jenis penelitian hukum normatif (normative legal research). Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian doktrinal yakni penelitian hukum yang akan menelaah secara sistematis mengenai aturan hokum, kemudian memberikan analisis untuk menjawab isu-isu hukum masa depan. [6] Metode normatif ini dipilih karena tujuan akhir dari penelitian ini adalah mencari solusi bagi kompleksitas permasalahan pengadaan tanah bagi pembangunan yang belum terselesaikan hingga saat ini. Penerapan konsep bank tanah di Indonesia bisa menjadi salah satu instrumen yang dapat menjamin tersedianya lahan bagi pembangunan di masa mendatang.

Guna menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Sebuah pendekatan, menurut Pearce D, Kampbell dan Harding [7], dipahami sebagai research which provides a systematic exposition of the rules governing a particular legal category, analysis the relationship between rules, explains areas of difficulty and, perhaps, predicts future developments.Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk menelah apakah ada konsistensi antara peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dengan implementasi konsep bank tanah, sehingga nantinya tercipta suatu konstruksi hukum pengaturan bank tanah yang berkesinambungan dengan hukum positif nasional.

Pendekatan konseptual dipakai manakala peneliti harus membangun suatu konsep untuk dijadikan acuan di dalam penelitiannya tanpa beranjak dari aturan hukum yang sudah ada. Hal ini dilakukan karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi. Dalam penelitian ini, peneliti mencoba menemukan konsep-konsep mengenai bank tanah sebagai argumentasi hukum, yang beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang sedang berkembang. Pendekatan perbandingan dalam penelitian ini digunakan untuk melihat pengaturan mengenai bank tanah di negara lain, yaitu Belanda dan Amerika. Pemilihan kedua negara tersebut sebagai bahan perbandingan dikarenakan kedua negara ini mempunyai peraturan yang lengkap mengenai konsep bank tanah yang telah lama diterapkan di kedua negara tersebut.

Terdapat 3 (tiga) bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yang dipakai adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dianalisis, antara lain Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, dan sebagainya. Selanjutnya bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer, yang terdiri atas literatur-literatur, hasil-hasil penelitian, makalah dalam seminar/ lokakarya/ simposium, jurnal, artikel-artikel, pendapat para sarjana, putusan pengadilan, serta catatan perkuliahan yang terkait dengan masalah hukum yang telah dirumuskan oleh peneliti. Adapun bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, hasil wawancara, dan lainnya yang dapat membantu untuk menganalisis isu hukum yang telah dikemukakan sebelumnya.

Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh melalui penelusuran studi kepustakaan (library research), yaitu melalui prosedur inventarisasi dan klasifikasi serta sistematisasi terhadap bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan konstuksi hukum pengaturan bank tanah untuk mewujudkan pengelolaan aset tanah negara yang berkeadilan di Indonesia. Tahap pengumpulan bahan hukum pertama kali dilakukan dengan cara inventarisasi, yaitu mengumpulkan bahan-bahan hukum sesuai objek penelitian. Selanjutnya dilakukan dengan cara klasifikasi, yaitu memilah-milah bahan hukum sehingga yang tersisa hanyalah bahan hukum yang benar-benar sesuai dengan objek penelitian. Kemudian dilakukan dengan cara sistematisasi, yaitu menyusun secara sistematis bahan hukum yang harus dibaca terlebih dahulu agar memudahkan penelitian ini.

Metode yang dipergunakan untuk menganalisis bahan hukum yaitu metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif adalah proses penelitian yang menghasilkan data yang deskriptif, yang berasal dari tulisan/ ungkapan dan tingkah laku yang dapat diobservasi dari manusia. [8] Data yang dipergunakan dalam penelitian ini berupa bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Bahan hukum primer, sekunder, maupun tersier yang diperoleh selanjutnya akan diolah dengan cara diklasifikasi, dikategorisasi, dan dianalisis secara kritis dengan menggunakan teori dan asas-asas hukum secara sistematis dan runtut untuk menemukan norma hukum mengenai konsep bank tanah yang secara spesifik belum diatur dalam hukum positif nasional. Penemuan hukum dalam penelitian ini dilakukan melalui metode konstruksi hukum, bukan melalui metode interpretasi, karena konsep bank tanah sendiri belum diatur secara spesifik dalam hukum positif nasional.

Bahan hukum primer yang berupa peraturan perundang-undangan dianalisis menggunakan teknik analisis sistematis, yang oleh P.W.C. Akkerman diartikan sebagai interpretasi dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung. Di samping itu juga harus dilihat bahwa hubungan itu tidak bersifat teknis, tetapi juga harus dilihat asas yang melandasinya. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah bahwa undang-undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satu pun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri.

Interpretasi sistematid ini dilakukan melalui pembahasan secara mendalam terhadap substansi dari berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penerapan konsep bank tanah di Indonesia. Hasil yang hendak dicapai yakni ditemukannya suatu konstruksi hukum pengaturan bank tanah yang berkesesuaian dengan berbagai peraturan perundang-undangan dalam sistem hukum nasional. Bahan hukum sekunder yang berupa putusan pengadilan, hasil penelitian, jurnal, artikel, makalah, dan bahan lain yang relevan dengan permasalahan yang diteliti selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif, yakni memperoleh landasan hukum dari berbagai literatur yang didapatkan sehingga diperoleh suatu konsep dan doktrin dari para ahli hukum untuk memposisikan permasalahan yang diteliti apakah sudah sesuai dengan teori-teori hukum yang ada.

Discussion

Pengertian Bank Tanah

Bank tanah berasal dari 2 (dua) istilah, yaitu land banking dan land banks. Land banking secara umum dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lndonesia menjadi “perbankan tanah“, yang digunakan untuk menerangkan kegiatan yang berhubungan dengan bank tanah. Sedangkan istilah land banks digunakan untuk menggambarkan adanya lembaga atau kerja sama antar lembaga yang berkegiatan di bidang pengadaan tanah. Istilah bank tanah sendiri mengandung pengertian sebagai berikut: “Land banks are governmental or nonprofit entities that assemble, temporarily manage, and dispose of vacant land” [9] atau “Land banks are public authorities that focus exclusively on land banking activities.” [10]

Berdasarkan berbagai pengertian tersebut pada paragraf di atas, maka dapat disimpulkan suatu konsep mengenai bank tanah, yaitu merupakan suatu kebijakan pertanahan yang mana negara melalui lembaga pemerintah atau lembaga independen yang ditunjuk oleh pemerintah, berwenang untuk (1) melakukan akuisisi terhadap tanah terlantar atau bermasalah, tanah yang belum dikembangkan dan tanah yang dianggap memiliki potensi untuk pengembangan; (2) mengelola dan mengaturnya sementara waktu; kemudian (3) mendistribusikannya kembali untuk kepentingan umum sesuai dengan program pemerintah, baik program jangka pendek maupun jangka panjang. Bank tanah memungkinkan pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk memperoleh dan menghimpun tanah untuk tujuan strategis jangka pendek dan jangka panjang. Keterlibatan pemerintah yang efektif dalam bank tanah akan membangun peran yang tepat dari pemerintah. Untuk mempermudah pemahaman terhadap konsep bank tanah, maka gambaran secara umum mengenai konsep bank tanah dapat dilihat dalam bagan di bawah ini: [11]

Figure 1.Konsep Bank TanahData Sekunder, tidak diolah, Maret 2017

Komparasi Pengaturan Konsep Bank Tanah di Beberapa Negara

Pengertian Bank Tanah

Konsep bank tanah sudah dikenal dan digunakan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat sejak abad ke-20. Kendatipun demikian, bank tanah yang diterapkan di masing-masing negara berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan alasan yang melatarbelakangi munculnya bank tanah di masing-masing negara, serta dipengaruhi oleh keadaan sosial, ekonomi, dan ideologi yang berbeda. Peneliti memilih negara Belanda dan Amerika Serikat untuk dibandingkan karena berdasarkan penelitian melalui internet yang telah dilakukan oleh peneliti, ternyata kedua negara tersebut memiliki konsep bank tanah yang paling menonjol dengan pengaturan yang lengkap dibandingkan negara lainnya.

Perbandingan terhadap pelaksanaan konsep bank tanah di antara negara Belanda dan Amerika Serikat diperlukan untuk melihat bagaimana kedua negara tersebut mengatur dan melaksanakan konsep bank tanah, sehingga dapat menjadi pertimbangan-pertimbangan hukum yang akan membantu peneliti untuk menyusun suatu pengaturan bank tanah yang dapat dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan nasional. Perbandingan konsep bank tanah yang didapat antara negara Belanda dan Amerika Serikat tidak sekedar digunakan untuk mengadopsi konsep tersebut secara menyeluruh untuk diterapkan di Indonesia, namun hanya bertujuan untuk memberikan wacana mengenai konsep bank tanah yang paling efektif sehingga dapat dikonstruksikan dengan baik dalam sistem hukum nasional. Adopsi secara utuh terhadap konsep bank tanah yang dilaksanakan di Amerika Serikat untuk selanjutnya diterapkan di Indonesia tidak dimungkinkan karena sistem hukum dari kedua negara tersebut jauh berbeda, Amerika Serikat menganut sistem Common Law sedangkan Indonesia menganut sistem Civil Law. Perbandingan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya sebatas untuk mengetahui secara umum pengaturan konsep bank tanah yang telah lama dilaksanakan di Amerika Serikat, agar tercipta suatu gambaran yang jelas untuk selanjutnya dikonstruksikan dalam hukum positif nasional.

Kontribusi yang didapatkan dengan mempelajari konsep bank tanah dari kedua negara tersebut sangat dibutuhkan karena konsep bank tanah ini merupakan suatu gagasan baru yang secara eksplisit belum diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional. Sebagaimana yang digambarkan dalam tabel di bawah ini, maka perbandingan konsep bank tanah antara negara Belanda dan Amerika Serikat akan ditinjau dari 4 (empat) indikator, yaitu: (1) regulasi, (2) jenis, (3) pihak-pihak, dan (4) mekanisme penyelenggaraan.

Indikator Belanda Amerika Serikat
Regulasi Bank Tanah Undang-Undang Konsolidasi Tanah (Land Consolidation Act), 1954;Undang-Undang Pembangunan Daerah Pedesaan (The rural area development Act), 1985;Undang-Undang Penataan Ruang Daerah Perdesaan (Act on Spatial Structuring of the Rural Areas), 2005. Regulasi pusat, antara lain:Housing and Economic Recovery Act/ (HERA), 2008;American Recovery and Reinvestment Act (ARRA), 2009, merubah sebagian substansi yang diatur dalam HERA.Regulasi negara bagian, antara lain:The Michigan Land Bank Fast Track Authority statute;the Ohio Land Banking Legislation.
Jenis Bank Tanah Terdiri dari 1 jenis saja, yaitu bank tanah publik. Terdiri dari 2 jenis, antara lain: (1) bank tanah publik; dan (2) bank tanah campuran.
Pihak-Pihak Dalam Bank Tanah Bank Tanah Publik di Belanda terdiri dari: Domeinen/ State Domains Service, yang berada di bawah naungan the Ministry of Finance; danBureau for Land Management, yang berada di bawah naungan the Ministry of Agriculture and Fisheries. Bank Tanah Publik, dapat berupa: (1) Lembaga bank tanah independen yang dibentuk oleh UU; (2) Lembaga hasil kerja sama antar departemen dalam pemerintahan; (3) Kegiatan Bank Tanah sebagai bagian dari program pertanahan pemerintah skala nasional.Bank Tanah Campuran, dapat berupa lembaga hasil kerja sama antara (1) pemerintah dengan investor (swasta) ataupun (2) pemerintah dengan lembaga non-profit seperti CDC’s (Community Development Corporation).
Mekanisme Penyelenggaraan Bank Tanah Mekanisme penyelenggaraan Bank Tanah terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahap pengumpulan tanah; (2) tahap pengelolaan tanah; (3) tahap distribusi tanah. Mekanisme penyelenggaraan Bank Tanah terdiri dari 3 (tiga) tahapan, yaitu: (1) tahap pengumpulan atau pengambilalihan tanah-tanah terlantar atau sitaan pajak; (2) tahap pengelolaan tanah; (3) tahap penggunaan kembali tanah.
Table 1.Perbandingan Konsep Bank Tanah antara Belanda dan Amerika SerikatSumber: Data Primer, diolah, Mei 2017

Konstruksi Hukum Pengaturan Bank Tanah Untuk Mewujudkan Pengelolaan Aset Tanah Negara Yang Berkeadilan di Indonesia

Konsep Keadilan, Kepastian Hukum, dan Kemanfaatan Hukum Dalam Penyelenggaraan Bank Tanah

Gustav Radbruch mengemukakan bahwa tujuan hukum harus dipahami sebagai dasar sekaligus pengikat dalam pembentukan perundang-undangan. Terdapat 3 (tiga) nilai dasar dari hukum yang kemudian dikenal dengan cita hukum, yang mana hukum harus memenuhi nilai-nilai dasar tersebut, yaitu: keadilan, kegunaan (zweckmaszigkeit), dan kepastian hukum. [12] Pemenuhan terhadap nilai keadilan diperlukan untuk menciptakan keseimbangan hak dan kewajiban antara para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan bank tanah. Pemenuhan terhadap nilai kepastian hukum ditujukan agar negara menjamin adanya kepastian hukum dalam wujud peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur penyelenggaraan bank tanah di Indonesia. Adapun nilai kemanfaatan dimaksudkan bahwa segala upaya yang terdapat dalam penyelenggaraan bank tanah harus memberikan manfaat yang besar bagi berbagai pihak, khususnya untuk menciptakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Konsep Keadilan Dalam Bank Tanah

Suatu peraturan perundang-undangan yang baik harus bisa menciptakan keadilan bagi berbagai pihak, menciptakan posisi yang proporsional dan tidak timpang sebelah. Pihak inti yang sangat berperan dalam penyelenggaraan bank tanah publik ini adalah pemerintah dan masyarakat. Sebagaimana dipraktekkan di beberapa negara lain, dalam penyelenggaraan bank tanah berjenis publik terjadi perbuatan hukum berupa peralihan aset hak atas tanah yang berupa jual-beli, tukar menukar, maupun hibah antara pemerintah dan masyarakat. Suatu hubungan hukum yang adil dapat diciptakan melalui proses dan prosedur yang benar, transparan, dan memberikan jaminan akuntabilitas. Meski semua orang menghendaki terwujudnya keadilan, namun tidak semuanya memahami dan mengerti makna keadilan.

Pemikiran tentang keadilan yang banyak diterima oleh umum adalah teori keadilan dari Aristoteles, yang membagi keadilan ke dalam keadilan kumulatif dan keadilan distributif. Keadilan kumulatif yaitu memberikan setiap orang akan haknya (to give each one his due) secara sama atau memperlakukan setiap orang secara sama (equal). [13] Penekanan dalam keadilan kumulatif ini terletak pada kuantitas, yaitu adanya kesamaan jumlah yang harus diberikan, di sini jumlah diartikan dalam cakupan yang sangat luas baik berupa nilai ataupun kesempatan ataupun kedudukan dan sebagainya. Berkaitan dengan praktik bank tanah, keadilan kumuatif ini terletak pada persamaan kesempatan yang dimiliki oleh seluruh rakyat untuk bisa memiliki tanah, khususnya petani-petani yang tidak memiliki tanah garapannya sendiri dan masyarakat berpenghasilan rendah lain non-petani. Melalui redistribusi tanah yang merupakan program unggulan dari bank tanah, maka salah satu peruntukan tanah yang diakuisisi oleh bank tanah berjenis publik adalah bertujuan untuk menyediakan tanah dan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana yang dipraktikkan di Amerika Serikat berikut: “Goals of a land bank might include: (a) providing affordable housing; (b) putting property back on the tax rolls; (c) stabilizing declining neighborhoods by repairing, removing, or redeveloping abandoned property; (d) developing green spaces; (e) collecting and joining abandoned lots into one consolidated, developable site; and (f) facilitating the revitalization of brownfields[14]

Selain persamaan kesempatan, dalam praktik bank tanah juga terdapat suatu persamaan kedudukan dalam arti persamaan hak antara pemerintah dan masyarakat. Misalnya dalam proses perolehan tanah hak milik melalui jual beli, pemerintah sebagai pembeli dan masyarakat sebagai pemilik hak atas tanah diberi hak yang sama untuk merealisasikan keinginannya masing-masing mengenai besaran nilai/ harga tanah yang hendak diakuisisi oleh bank tanah, yaitu sama-sama sepakat dengan harga. Hal ini berbeda dengan cara akuisisi tanah melalui pengadaan tanah yang menggunakan mekanisme musyawarah berdasarkan hasil taksiran dari penilai atau penilai publik. Pada dasarnya jual beli tanah tidak boleh terjadi tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Pemerintah sebagai otoritas yang berkuasa tidak boleh sewenang-wenang dalam menentukan nilai/ harga tanah semaunya dengan mengorbankan harapan masyarakat, atau dapat dikatakan bahwa pemerintah tidak boleh menari-nari di atas duka lara masyarakat.

Keadilan distributif memberikan perlakuan kepada pihak tertentu karena ada kelebihan dibanding yang lain berdasarkan prinsip ketidaksamaan dan proporsional, kelebihan yang dimaksud dapat berupa prestasi ataupun kesalahan. Berkaitan dengan praktik bank tanah, keadilan distributif ini berkaitan dengan pembebasan pembebanan pajak penghasilan yang akan meringankan posisi masyarakat selaku pemilik hak atas tanah, sebagaimana penyelenggaraan bank tanah di beberapa negara yang memberlakukan pembebasan pajak penghasilan terhadap tanah-tanah yang diakuisisi oleh bank tanah. Misalnya di Amerika, kebijakan pembebasan pajak ini merupakan insentif yang sengaja diberikan negara kepada si pemilik tanah yang merupakan objek bank tanah.

Konsep Kepastian Hukum Dalam Bank Tanah

Kepastian hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah perlindungan yustiabel terhadap tindakan kesewenang-wenangan, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. [15] Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kepastian hukum selalu identik dengan hukum yang mempersoalkan hubungan hukum antara warga negara dan negara. Guna menjamin kepastian hukum, diperlukan adanya aturan yang sesuai dengan jiwa bangsa Indonesia. Menurut Jan Michiel Otto, suatu kepastian hukum bisa dicapai apabila substansi dari hukum sejalan dengan kebutuhan dari masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa regulasi yang dapat menciptakan kepastian hukum adalah regulasi yang dapat mencerminkan budaya yang berkembang dalam masyarakat.

Budaya yang berkembang dalam masyarakat merupakan gambaran akan kebutuhan masyarakat yang diidam-idamkan, sehingga regulasi yang sesuai dengan budaya masyarakat nantinya akan dapat menciptakan keharmonisan antara kepentingan negara dan kepentingan masyarakat.

Jika dikaitkan dengan konsep bank tanah yang secara spesifik belum diatur dalam hukum positif nasional, maka regulasi yang mengatur mengenai praktik bank tanah di Indonesia ini perlu segera disusun untuk mengisi kekosongan hukum dan menjamin terciptanya kepastian hukum, mengingat kebutuhan masyarakat akan konsep bank tanah ini sangatlah mendesak. Manfaat bank tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak dapat dipungkiri, telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa bank tanah memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di beberapa negara maju, khususnya di Belanda dan Amerika Serikat sebagaimana telah dikaji dalam sub bab sebelumnya.

Regulasi yang mengatur mengenai praktik bank tanah di Indonesia harus mampu mengakomodasi berbagai aspek dalam penyelenggaraan bank tanah, hal ini bertujuan agar tidak terjadi tindakan semena-mena yang berpotensi melahirkan ketidakadilan dalam penyelenggaraan bank tanah. Bentuk regulasi yang paling tepat untuk mewadahi pengaturan bank tanah di Indonesia ini adalah undang-undang. Aspek penting yang harus ada dalam rancangan undang-undang bank tanah setidak-tidaknya berupa aspek regulasi, kelembagaan, dan mekanisme penyelenggaraan.

Konsep Kemanfaatan Hukum Dalam Bank Tanah

Selain keadilan dan kepastian hukum, maka tujuan hukum yang ketiga adalah kemanfaatan. Kemanfaatan hukum menurut Jeremy Bentham diartikan bahwa adanya negara dan hukum semata-mata hanya demi manfaat sejati, yaitu kebahagiaan mayoritas rakyat. [16] Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu dalam suatu bangsa. Jika teori kemanfaatn hukum ini dikaitkan dengan penerapan konsep bank tanah di Indonesia, maka kebutuhan masyarakat akan terciptanya bank tanah sangatlah mendesak mengingat kompleksitas masalah pertanahan yang saat ini terjadi di Indonesia, khususnya masalah krisis ketersediaan lahan dan liberalisasi tanah yang menyebabkan harga tanah melonjak sangat tinggi dan berimplikasi pada ketidakmampuan masyarakat berpenghasilan rendah untuk memiliki tanah. Bahkan banyak petani Indonesia yang berada dalam lingkaran kemiskinan selama berpuluh-puluh tahun karena tidak mampu memiliki lahan pertaniannya sendiri, jadi hanya sebatas pekerja yang mengerjakan lahan milik tuan tanah.

Manfaat bank tanah bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat tidak dapat dipungkiri, telah banyak hasil penelitian yang membuktikan bahwa bank tanah memiliki kontribusi besar dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di beberapa negara maju, khususnya di Belanda dan Amerika Serikat sebagaimana telah dikaji dalam sub bab sebelumnya. Dengan dukungan perangkat hukum berupa undang-undang yang secara khusus mengatur mengenai bank tanah, maka praktik bank tanah di Indonesia akan berjalan sesuai fungsinya dengan efektif dan memiliki daya guna yang besar. Kondisi ini secara otomatis akan meningkatkan kesejahteraan tiap individu dan melaksanakan amanat konstitusi untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.

Bank tanah memiliki peran strategis sebagai instrumen pengelolaan pertanahan nasional, khususnya terkait penguasaan dan penatagunaan tanah sehingga dapat mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Hal ini diperkuat juga dengan bukti faktual praktik bank tanah yang telah sukses diterapkan di berbagai negara maju untuk menangani berbagai problematika pertanahan secara sistematis, misalnya pemanfaatan tanah yang belum dikembangkan, tanah terlantar, atau yang ditinggalkan kosong dan dianggap memiliki potensi untuk pengembangan hingga berubah menjadi lebih produktif. Bank tanah mengacu pada proses akuisisi tanah masyarakat yang belum dikembangkan atau tidak produktif untuk kemudian dikelola dengan tujuan pengembangan di masa yang akan datang.

Efektifitas penerapan konsep bank tanah sangat bergantung pada regulasi yang mengatur tujuan, bentuk kelembagaan, dan mekanisme penyelenggaraannya. Oleh karena itu, regulasi atau perangkat peraturan perundang-undangan mengenai bank tanah harus mampu mengidentifikasi tujuan, bentuk kelembagaan, dan mekanisme penyelenggaraan bank tanah secara jelas dan rinci. Kejelasan regulasi akan berimplikasi secara signifikan terhadap efektivitas penerapan konsep bank tanah, yang secara otomatis akan menentukan keberhasilan penerapan konsep bank tanah di Indonesia.

Untuk mencapai tujuan dan memperoleh manfaat dari kegiatan bank tanah secara maksimal, maka dibutuhkan sarana berupa tersedianya regulasi atau perangkat peraturan perundang-undangan dalam waktu dekat. Regulasi yang akan dibuat harus mampu menjabarkan berbagai aspek hukum yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan pembentukan lembaga bank tanah. Adapun perumusan kebijakan bank tanah tersebut merupakan kebijakan yang mengatur dan mengendalikan berbagai aspek kegiatan lembaga bank tanah. Dengan dukungan regulasi yang memadai dan pengelolaan yang kuat, maka bank tanah pasti bisa menjalankan fungsinya dengan baik.

Sebagai instrumen pengelolaan pertanahan, lembaga bank tanah harus mampu mengemban amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945, yaitu tanah dikuasai/ diatur oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam hal ini, bank tanah harus menyejahterakan masyarakat melalui pemanfaatan sumber daya tanah secara optimal, berkeadilan, dan berkelanjutan. Karenanya, kegiatan bank tanah tidak diperbolehkan mengabaikan kepentingan rakyat, yakni kemakmuran bersama. Dalam rangka mengakomodasi penerapan bank tanah, maka bank tanah perlu diatur secara spesifik dalam suatu peraturan perundang-undangan.

Pengaturan bank tanah yang paling tepat sebaiknya diwadahi dalam bentuk undang-undang. Terdapat 2 (dua) alternatif yang dapat ditempuh untuk mewadahi regulasi tersebut. Pertama, regulasi mengenai bank tanah publik diatur tersendiri dalam suatu undang-undang khusus yang selanjutnya akan bernama Undang-Undang Bank Tanah. Kedua, regulasi mengenai bank tanah publik dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang saat ini sedang disusun dan dibahas. Alasan mendasar pengaturan bank tanah di Indonesia harus berupa undang-undang karena masalah hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental serta merupakan bagian dari hak azasi manusia. Tanah menyangkut hajat hidup orang banyak dan merupakan modal sosial ekonomi rakyat maupun negara. Menurut Imam Koeswahyono, tidak dibenarkan hak atas tanah seseorang, termasuk di dalamnya hak Adat (Ulayat) atas tanah diambil oleh pihak lain apalagi secara paksa dengan mengabaikan aspirasi si subyek hak atas tanah. [17] Dengan dibentuknya pengaturan berupa undang-undang, maka diharapkan nantinya dapat megamankan hak atas tanah seseorang dari pengambilan secara paksa tanpa memperhatikan aspirasi atau keinginan individu dari si pemilik hak atas tanah yang tanahnya menjadi obyek penyediaan tanah oleh bank tanah.

Pada hakikatnya, eksistensi lembaga bank tanah secara legal formal telah memiliki landasan filosofis dalam ideologi Pancasila yang tertuang dalam sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab) dan kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat lndonesia) dan landasan konstitusional dalam UUD NRI 1945 yang tertuang dalam Pasal 33 Ayat (1): "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat." Dari paparan analisis di atas, selanjutnya dapat ditarik pertimbangan-pertimbangan hukum sebagai argumentasi mengapa pembentukan pengaturan bank tanah di Indonesia harus setingkat undang-undang, yang antara lain:

Pertimbangan filosofis bahwa:

Salah satu hakikat tujuan utama negara, sebagaimana tertuang dalam Pancasila yakni sila kedua (kemanusiaan yang adil dan beradab) dan sila kelima (keadilan sosial bagi seluruh rakyat lndonesia), adalah mewujudkan masyarakat yang adil dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial bagi seluruh masyarakat hanya dapat dicapai dengan cara meningkatkan kesejahteraan sosial. Sedangkan kesejahteraan sosial sendiri dapat tercapai apabila negara ini mempunyai pranata hukum yang memenuhi unsur-unsur cita hukum berupa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.

Pertimbangan konstitusional bahwa:

UUD NRI 1945 yang tertuang dalam Pasal 33 Ayat (3) menyatakan bahwa "Bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besamya kemakmuran rakyat." Berdasarkan bunyi pasal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa konstitusi Indonesia menghendaki agar negara mampu menguasai, dalam artian mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tanah semata-mata penggunaannya hanya ditujukan untuk mewujudkan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Instrumen hukum yang saat ini mengatur ketersediaan tanah untuk pembangunan demi kepentingan umum berjalan kurang efektif sebagai akibat dari perkembangan ideologi ekonomi kapitalis.

Pertimbangan sosiologis bahwa:

Permasalahan yang menyangkut hak atas tanah merupakan sesuatu yang bersifat fundamental dan merupakan bagian dari hak azasi manusia. Tanah menyangkut hajat hidup orang banyak dan merupakan modal sosial ekonomi rakyat maupun negara yang harus dihargai. Regulasi yang berbentuk Undang-Undang diharapkan dapat megamankan hak atas tanah seseorang dari pengambilan secara paksa tanpa memperhatikan keinginan si pemilik hak atas tanah yang bersangkutan.

Kontruksi Asas-Asas

Satjipto Raharjo menerangkan bahwa asas hukum merupakan “jantungnya” peraturan hukum. [18] Asas hukum merupakan landasan dasar yang melarbelakangi tujuan dibentunya peraturan hukum. Suatu peraturan hukum pada akhirnya harus dapat dikembalikan pada asas hukum tersebut. Bank tanah dibentuk untuk mencapai berbagai tujuan lokal dan regional, termasuk menciptakan perumahan yang terjangkau, menstabilkan nilai properti, dan mengendalikan pasar tanah. Dalam kerangka itu, regulasi mengenai bank tanah harus mengakomodasi prinsip-prinsip kesejahteraan dan keadilan, kemanfaatan umum, kelestarian lingkungan, dan partisipasi masyarakat. Sebagai entitas publik, tujuan akhir bank tanah adalah untuk melayani kepentingan umum masyarakat. [19]

Pemikiran dari penelitian yang dilakukan ini berusaha untuk memberikan masukan terhadap pembentukan asas hukum bank tanah yang diharapkan dapat memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum bagi seluruh rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Setelah mengkaji penerapan bank tanah yang telah dipraktikkan di Belanda dan Amerika Serikat, selanjutnya direlevansikan dalam hukum positif nasional, maka dapat disimpulkan asas-asas yang perlu direncanakan dalam pengaturan bank tanah di Indonesia adalah sebagai berikut:

Asas Keadilan

Asas ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan nilai/ harga tanah yang layak kepada pihak yang berhak dalam pelaksanaan bank tanah, sehingga pihak yang bersangkutan dapat melangsungkan kehidupannya dengan lebih baik. Konkretisasi dari asas ini adalah pelaksanaan bank tanah yang dapat memulihkan kondisi sosial ekonomi pihak pemilik tanah yang menjadi obyek bank tanah, minimal setara atau setidak-tidaknya masyarakat tidak menjadi lebih miskin dari sebelumnya.

Asas Kepatutan/ Kewajaran

Asas ini dimaksudkan untuk memberi jaminan terciptanya rasa keadilan yang bersumber dari nilai kepatutan/ kewajaran yang ada di dalam masyarakat. Praktik bank tanah diharapkan dapat memenuhi rasa keadilan sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat, mengingat masyarakat akan berperan sebagai pihak yang ikut terlibat dalam proses perolehan tanah dan proses distribusi tanah yang akan dilakukan oleh bank tanah. Rasa keadilan yang dimaksud berhubungan dengan nilai/ harga tanah yang dirasa patut oleh masyarakat, hingga terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak (masyarakat dan pemerintah). Pemerintah sebagai lembaga kekuasaan tidak boleh melakukan tindakan kesewenang-wenangan dan sikap tidak patut terhadap masyarakat, artinya posisi masyarakat dan pemerintah harus benar-benar seimbang.

Asas Kepastian

Asas ini bermaksud untuk memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam pelaksanaan bank tanah dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan haknya secara benar. Kepastian yang dimaksud berupa kepastian dilaksanakannya bank tanah untuk tujuan kepentingan umum berdasarkan cara-cara yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan kepastian bunyi aturan yang mengaturnya, dalam arti bahwa tidak ada kalimat atau bahasa dalam aturan tersebut yang dapat menimbulkan penafiran yang berbeda.

Asas Kemanusiaan

Asas ini dimaksudkan bahwa pelaksanaan bank tanah di Indonesia harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia, harkat, martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional. Tanah merupakan modal dasar manusia yang berpotensi untuk dirampas secara sewenang-wenang. Perlindungan terhadap hak asasi manusia, harkat dan martabat dilakukan secara proporsional dapat diartikan sebagai perlindungan menyeluruh terhadap hak asasi manusia, yang tidak hanya diberikan kepada pemegang hak atas tanah yang tanahnya akan diakuisisi oleh bank tanah untuk kepentingan umum, akan tetapi perlindungan juga diberikan kepada kepentingan masyarakat secara luas, yakni untuk kepentingan umum.

Asas Kemanfaatan

Asas ini dimaksudkan agar praktik bank tanah di Indonesia ini mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Pelaksanaan bank tanah untuk tujuan kepentingan umum dapat terwujud jika penggunaan tanah dalam bank tanah dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana peruntukan berbagai fasilitas kepentingan umum.

Asas Kesejahteraan

Asas ini dimaksudkan bahwa pelaksanaan bank tanah di Indonesia dapat membantu meningkatkan kesejahteraan sosial yang akan membuat rakyat bahagia. Bank tanah dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat melalui pembangunan yang dapat menguntungkan masyarakat sehingga kesejahteraan sosial ekonomi menjadi lebih baik. Di antara rencana pembangunan tersebut adalah penyediaan rumah terjangkau untuk masyarakat berpenghasilan rendah, redistribusi tanah bagi para petani yang tidak memiliki tanah garapan sendiri, dan mengendalikan pasar tanah sehingga nilai/ harga tanah di Indonesia dapat kembali stabil.

Norma hukum yang mengatur bank tanah harus mampu mengidentifikasi dan menjabarkan tujuan, bentuk kelembagaan, dan mekanisme penyelenggaraan bank tanah secara jelas dan rinci. Setidaknya ada 3 (tiga) aspek yang harus diatur dalam norma hukum yang mengatur bank tanah, antara lain jenis bank tanah, pihak-pihak yang terlibat dalam bank tanah (kelembagaan), dan mekanisme penyelenggaraan bank tanah. Kejelasan norma hukum akan berimplikasi secara signifikan terhadap efektivitas penerapan konsep bank tanah, yang secara otomatis akan menentukan keberhasilan penerapan konsep bank tanah di Indonesia.

Aspek Jenis Bank Tanah

Penyelenggaraan bank tanah akan berhasil jika dijalankan secara konsisten berdasarkan pada tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu, tujuan keberadaan bank tanah di Indonesia harus diatur sedemikian rupa agar penyelenggaraannya dapat berjalan secara efektif dan maksimal. Tujuan dari pembentukan bank tanah di Indonesia semata-mata untuk pengelolaan aset tanah negara dan tidak untuk mencari keuntungan, sehingga jenis bank yang paling tepat untuk dibentuk adalah bank tanah publik yang merupakan lembaga Pemerintah.

Jenis bank tanah yang dibentuk berkaitan erat dengan sumber pembiayaan yang akan digunakan untuk penyelenggaraan bank tanah. Efektivitas penyelenggaraan bank tanah sangatlah bergantung pada sumber dana yang stabil dan berkelanjutan. Belajar dari pembiayaan bank tanah di Belanda yang seluruhnya berasal dari pemerintah dan di Amerika Serikat yang menerapkan model kolaborasi pendanaan antara bank swasta dan hibah pemerintah, maka Indonesia dapat mengikuti skema pembiayaan yang telah diterapkan di Belanda dengan sumber pembiayaan untuk operasinal bank tanah sepenuhnya berasal dari anggaran Pemerintah tanpa ada intervensi dari pihak swasta.

Skema pembiayaan yang paling tepat untuk operasional bank tanah di Indonesia, sebagaimana yang telah diterapkan di Belanda, dapat berasal dari alokasi Pemerintah yang bersumber dari APBN, APBD, maupun hibah. Pelaksanaan bank tanah dapat dibiayai dari dana APBN atau APBD, dengan terlebih dahulu mengajukan anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan bank tanah kepada Pemerintah. Sehingga nantinya Pemerintah, baik pusat maupun daerah, dapat mengalokasikan dana dari APBN dan APBD untuk penyelenggaraan kegiatan bank tanah pada setiap tahunnya.

Selain alokasi dana APBN dan APBD, pembiayaan bank tanah dapat juga berupa hibah sebagaimana yang diterapkan di Amerika Serikat. Dan untuk memperoleh dana hibah yang dimaksud, tentunya bank tanah harus terlebih dahulu mengajukan permohonan hibah pada lembaga yang bersedia menjadi donor dana, baik berupa lembaga pemerintahan maupun nonpemerintahan, baik lembaga yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri. Sumber dana yang berupa hibah ini berbeda dengan pinjaman, sehingga tidak mewajibkan bank tanah untuk mengembalikan bantuan hibah yang telah diberikan.

Aspek Pihak-Pihak Yang Terlibat Dalam Bank Tanah (Kelembagaan)

Sebagaimana disebutkan pada pembahasan mengenai jenis bank tanah sebelumnya bahwa pelaku bank tanah yang paling tepat adalah Pemerintah sendiri, maka secara otomatis dibutuhkan kerja sama antar lembaga Pemerintahan terkait. Struktur kelembagaan bank tanah dapat terdiri dari beberapa delegasi dari lembaga-lembaga terkait, yang ditentukan dalam suatu aturan tersendiri yang menjadi acuan dasar penetapan siapa saja dewan direksinya. Struktur kelembagaan bank tanah dapat diatur tersendiri melalui Keputusan Presiden, mengingat bahwa struktur kelembagaannya dapat berubah sewaktu-waktu berdasarkan pencapaian prestasi yang berhasil didapat.

Berangkat dari pengalaman negara lain, di mana regulasi bank tanah memungkinkan pemerintah (baik pusat dan/ atau daerah) untuk menciptakan sebuah bank tanah dengan cara memanfaatkan institusi yang sudah ada atau membentuk institusi yang baru, maka norma hukum yang mengatur pelaksanaan bank tanah di Indonesia perlu merumuskan secara rinci model kelembagaan bank tanah. Pemanfaatan terhadap institusi yang sudah ada akan lebih menjamin efisiensi anggaran negara. Dalam hal ini, lembaga bank tanah dapat berupa satuan kerja tersendiri dari Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Secara umum, pihak-pihak yang harus dilibatkan dalam penyelenggaraan bank tanah di Indonesia juga meliputi Pemerintah Daerah. Pemerintah Daerah perlu dilibatkan dalam rangka mendukung bank tanah untuk mengambil alih tanah-tanah yang ditelantarkan di daerahnya masing-masing. Pemerintah Daerah, baik provinsi, kota, atau kabupaten harus memastikan kontrol terhadap peraturan penggunaan tanah lokal dengan sistem register yang lengkap dan valid, sehingga dapat mempermudah pendataan terhadap tanah-tanah terlantar yang berada di daerah kewenangannya. Pemerintah Daerah harus mengintegrasikan otoritas perencanaan wilayah yang menjadi kewenangannya ke dalam mekanisme penyelenggaraan bank tanah dengan juga menyusun perencanaan bagi bank tanah yang bersangkutan. Kerja sama antara Pemerintah Daerah dengan entitas publik bank tanah tersebut dapat membawa manfaat pada perencanaan wilayah yang lebih tepat dan efektif ke depannya.

Sebagai suatu institusi pelayanan publik, bank tanah memiliki fungsi utama untuk memfasilitasi pengelolaan hak atas tanah yang kosong, ditinggalkan, dan tidak produktif lagi untuk selanjutnya disitribusikan ulang kepada pihak-pihak yang berhak. Berdasarkan pada tugas dan fungsinya, maka lembaga yang dapat menfasilitasi tujuan dibentuknya bank tanah adalah Badan Layanan Umum (selanjutnya disebut BLU). Pengertian BLU disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 , yaitu instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/ atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

Bank tanah dapat berupa satuan kerja tersendiri di bawah Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Bank tanah yang berbentuk BLU akan lebih tepat karena tujuan utama pembentukan bank tanah tidaklah untuk mencari keuntungan, sebagaimana menjadi tugas utama dari BUMN/ BUMD pada umumnya. Nantinya kewenangan yang dimiliki BLU bank tanah ini didelegasikan oleh instansi induknya, yakni Badan Pertanahan Nasional atau Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Pembentukan BLU bank tanah dapat diawali dengan terlebih dahulu membentuk satuan kerja bank tanah, kemudian diusulkan untuk berubah menjadi BLU bank tanah jika berbagai persyaratan perubahan dari satuan kerja bank tanah menjadi BLU bank tanah telah terpenuhi.

Aspek Mekanisme Penyelenggaraan Bank Tanah

Penyelenggaraan bank tanah berjenis publik secara umum dilakukan melalui beberapa tahapan yang berturut-turut terdiri dari tahap penyediaan, dilanjutkan pada tahap pematangan dan berakhir pada tahap pendintribusian tanah. Pada tahap penyediaan tanah, sumber tanah yang dapat dikuasai atau dimiliki oleh bank tanah dapat diperoleh melalui mekanisme jual-beli, tukar-menukar, dan lelang, serta tidak menutup kemungkinan melalui mekanisme hibah. Perolehan tanah melalui mekanisme jual-beli, tukar-menukar, maupun hibah harus melibatkan pejabat yang berwenang untuk membuat akta peralihan hak atas tanah, yakni Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Perolehan tanah melalui mekanisme lelang harus melibatkan Pejabat Lelang dari Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).

Beberapa jenis tanah yang dapat dijadikan sebagai sumber tanah bagi bank tanah publik dapat ditemukan dalam sistem hukum agraria nasional. Sumber tanah dapat diperoleh dari tanah yang dipunyai oleh subyek hukum lain, tanah terlantar, tanah aset pemerintah, tanah sitaan, tanah erfpacht, dan tanah absentee. Definisi mengenai tanah terlantar dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar yang mendefinisikan tanah terlantar sebagai tanah yang sudah diberikan hak oleh negara berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Pengelolaan, atau dasar penguasaan atas tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan, atau tidak dimanfaatkan sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan pemberian hak atau dasar penguasaannya. Penelitian terhadap tanah yang terindikasi terlantar dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari unsur Badan Pertanahan Nasional dan unsur instansi terkait yang diatur oleh Kepala Badan Pertanahan Republik Indonesia.

Pengertian tanah aset Pemerintah berbeda dengan tanah negara. Tanah aset Pemerintah adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh instansi Pemerintah baik pusat maupun daerah. Tanah aset Pemerintah termasuk dalam golongan tanah hak dan merupakan aset negara yang penguasaan fisiknya ada pada instansi yang bersangkutan, sedangkan penguasaan yuridisnya ada pada Menteri Keuangan Republik Indonesia. Tanah aset Pemerintah sebagai salah satu objek pendaftaran tanah dan penguasaan, pengelolaannya diberikan kepada instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dengan Hak Pakai dan Hak Pengelolaan sesuai dengan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan. [20] Adapun tanah aset Pemerintah yang dapat menjadi sumber perolehan tanah bagi bank tanah hanya terbatas pada tanah aset Pemerintah yang memang dengan sengaja diterlantarkan atau tidak dipergunakan sesuai dengan tujuan peruntukannya.

Tanah bekas erfpacht verponding (bekas perkebunan) secara hukum menjadi tanah negara sejak tahun 1980 atau 20 (dua puluh) tahun setelah diterbitkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) pada tahun 1960. Hak erfpacht merupakan hak sementara yang memiliki batasan waktu sesuai ketentuan UUPA. Sejak tahun 1980, seluruh hak erfpacht yang diberikan Pemerintah Belanda kepada pengusaha harus dikonversi menjadi HGU yang jangka waktunya hanya 20 (dua puluh) tahun. Jika tidak dilakkukan konversi, maka bekas tanah hak erfpacht tadi akan jatuh menjadi tanah negara. Hingga saat ini, banyak bekas tanah hak erfpacht yang masih belum dikelola dengan baik oleh pemerintah. Nantinya bank tanah diharapkan mampu mengelola tanah-tanah bekas hak erfpacht tersebut agar menjadi lebih produktif.

Ketentuan mengenai tanah absentee didasarkan pada Pasal 10 UUPA yang menyebutkan bahwa setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan. Sehingga yang dimaksud dengan tanah absentee adalah tanah pertanian yang dimiliki oleh perorangan yang berdomisili di luar kecamatan tanah tersebut berada. Pelanggaran terhadap kepemilikan tanah pertanian secara absentee ini sulit untuk dibuktikan karena dalam praktiknya pemilik tanah menyiasati larangan tersebut dengan membuat KTP ganda. Adapun tanah sitaan yang dapat menjadi sumber perolehan tanah bagi bank tanah adalah tanah-tanah sitaan karena Putusan Pengadilan dan sitaan bank sebagai akibat dari adanya wanprestasi. Contoh tanah sitaan dari Putusan Pengadilan adalah tanah yang didapatkan dari hasil korupsi.

Pada tahap pematangan atau pengelolaan tanah, bank tanah menyiapkan sarana dan prasarana atau fasilitas pendukung yang berupa pembangunan infrastruktur, pembangunan saluran sanitasi, pembangunan fasilitas umum dan layanan publik, dan sebagainya untuk meningkatkan nilai ekonomis dan daya guna tanah. Peningkatan nilai ekonomis tanah yang terjadi diharapkan dapat menarik minat masyarakat agar mau membeli atau menyewa tanah tersebut. Kegiatan ini harus memperhatikan dan mengacu pada rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan oleh pemerintah.

Tahap pendistribusian tanah bisa dilakukan jika kesiapan mengenai data tanah telah rampung, data yang dimaksud yakni mengenai berapa luas tanah yang menjadi objek bank tanah yang bersangkutan, bidang tanah mana yang menjadi prioritas, penentuan untuk apa atau siapa tanah didistribusikan, berapa persen dari jumlah tanah yang tersedia yang dapat didistribusikan, serta bagaimana mekanisme pendistribusian tanahnya. Pada umumnya, tanah yang dikelola oleh bank tanah publik ditujukan untuk fasilitas sosial/ kepentingan umum, infrastruktur, pengembangan kota, pusat perdagangan, kawasan industri/ bisnis, penyediaan perumahan murah, pemukiman kembali (relokasi), landreform, dan lain sebagainya.

Conclusions

Konsep bank tanah secara umum dapat dipahami melalui 4 (empat) indikator, yakni (1) regulasi, (2) jenis, (3) pihak-pihak, dan (4) mekanisme penyelenggaraan. Penerapan keempat indikator tersebut dapat berbeda-beda di setiap negara disesuaikan dengan ideologi, sistem hukum, dan kondisi sosial ekonomi dari masing-masing negara. Pengaturan bank tanah sebagai upaya untuk mewujudkan aset tanah negara yang berkeadilan dapat tercapai dengan membentuk suatu aturan mengenai bank tanah yang setingkat undang-undang. Terdapat 2 (dua) alternatif opsi yang dapat ditempuh untuk mewadahi aturan mengenai bank tanah, yakni diatur tersendiri dalam suatu undang-undang khusus atau dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang saat ini sedang disusun. Nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam penyelenggaraan bank tanah harus dimasukkan dalam asas dan norma hukum pada muatan rancangan undang-undang terkait bank tanah yang akan disusun di kemudian hari.

References

  1. M. I. Syah, Pembebasan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum”. Jakarta: Permata Aksara, 2015.
  2. S. dkk Marsoen, Pedoman Lengkap Ganti Untung Pengadan Tanah”. Jakarta: Renebook, 2015.
  3. B. Budiman, “Warga Lamteng Tetap Tolak Ganti Rugi Tol”,” Antara, 2017, [Online]. Available: http://lampung.antaranews.com/berita/294664/warga-lamteng-tetap-tolak-ganti-rugi-tol.
  4. A. Hartik, “Pembebasan Lahan Berlarut, Malang Usulkan Pemindahan Proyek Pintu Tol Malang-Pandaan”,” Kompas, 2016, [Online]. Available: http://regional.kompas.com/read/2016/09/30/07032441/pembebasan.lahan.berlarut.malang.usulkan.pemindahan.proyek.pintu.tol.malang-pandaan.
  5. R. Ganindha, “Urgensi Pembentukan Kelembagaan Bank Tanah Sebagai Alternatif Penyediaan Tanah Bagi Masyarakat Untuk Kepentingan Umum,” Arena Huk., vol. 9, no. 3, pp. 442–462, 2016, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2016.00903.8).
  6. P. M. Marzuki, Penelitian Hukum”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
  7. T. C. M. Hutchinson, Researching and Writing in Law. Sydney: Lawbook Company (Thomson Reuters, 2010.
  8. B. Ashofa, Metode Penelitian Hukum”. Jakarta: Rineka Cipta, 1998.
  9. L. Schwarz, “The Neighborhood Stabilization Program: Land Banking and Rental Housing as Opportunities for Innovation”,” J. Afford. Hous. Community Dev. Law, vol. 19, no. 01, pp. 51–70, 2009.
  10. F. S. Alexander, Land Banking as Metropolitan Policy, Blueprint for American Prosperity. Brookings: Brookings Institute, 1.
  11. D. Milicevic, “Review of Existing Land Funds in European Countries”,” J. Geonauka, vol. 2, no. 1, pp. 31–42, 2014, doi: 10.14438/gn.2014.05).
  12. E. Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis”. Semarang: PT. Suryandaru Utama, 2005.
  13. M. Fuady, Dinamika Teori Hukum”. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
  14. J. A. Tappendorf and B. O. Denzin, “Turning Vacant Properties into Community Assets Through Land Banking”,” J. Urban Lawyer, vol. 43, no. 3, pp. 801–812, 2011.
  15. E. F. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan - Tinjauan Hukum Kodrat dan Antinomi Nilai”. Jakarta: Kompas, 2007.
  16. A. Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legiprudence)”. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
  17. I. Koeswahyono, Melacak Dasar Konstitusional Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan bagi Umum”. Universitas Brawijaya, 2008. [Online]. Available: http://ikuswahyono.lecture.ub.ac.id/artikel-jurnal-konstutusi-fh-ub-20....s.
  18. S. Rahardjo, Ilmu Hukum”. Bandung: Alumni, 1986.
  19. F. S. Alexander, Land Banks and Land Banking. Washington: Center for Community Progress, 2.
  20. S. S. Nur, “Aspek Hukum Pendaftaran Tanah Bekas Milik Asing Sebagai Aset Pemerintah Daerah”,” Hasanuddin Law Rev., vol. 01, no. 01, pp. 87–100, 2015, doi: 10.20956/halrev.v1i1.42).