This study aims to describe the form of Indonesia's accountability to countries that are directly affected by the haze caused by Indonesian forest fires according to the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution rules. This research is intended only for written legislation (law in books) and other legal materials. In normative research, the author will use doctrinal research methods that refer to legislation (statute approach) and a comparative approach (comparative approach). The results of this study indicate that Indonesia's accountability for cross-border smoke haze pollution due to forest fires is stipulated in Article 3 of the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Furthermore, the rights of countries affected by transboundary haze due to forest fires are regulated in Article 16 of the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution which states to increase preparedness and minimize risks to human health and the environment.
Memburuknya kualitas udara akibat pencemaran asap kabut yang berasal dari pembakaran lahan dan hutan yang selama bertahun-tahun terus terjadi di wilayah ASEAN. Pembakaran lahan dan hutan mengandung banyak karbondioksida yang memperparah kerusakan pada lapisan ozon dan memicu terjadinya perubahan iklim. Hal tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa saja karena menjadi suatu ancaman yang nyata bagi kesehatan tidak hanya diwilayah regional suatu negara, tetapi secara multinasioanal dalam arti melewati batas negara [1]. Kebakaran hutan yang terjadi tahun 2019 ini terjadi peningkatan yang signifikan terhadap keluhan penyakit pernapasan dan mata di Malaysia sejak September. BNPB Indonesia bulan September mengumumkan bahwasannya hampir satu juta orang terdiagnosis ISPA didaerah yang terkena dampak asap, anak-anak dan orang tua paling rentan terdampak. mengikuti Dikawasan Asia Tenggara pencemaran kabut asap didominasi oleh kebakaran hutan dan lahan yang tak terkendali terutama dari wilayah Indonesia. Sebagian besar faktor yang mendominasi adalah disebabkan oleh manusia [2].
Pencemaran udara yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak berkesesuaian dengan prinsip hukum lingkungan Internasioanl. Salah satunya yakni “Sic utere tuo ut alienum non laedes” menyatakan negara tidak diperkenankan melakuan kegiatan apapun yang mana berpeluang untuk membuat negara lain rugi dan akan bertentangan dengan good neighbourliness [3].Negara-negara yang tergabung dalam ASEAN baru menyadari bahwa titik terparah dari masalah pencemaran asap yang melintas batas negara dimulai dari tahun 1990-an. Dan pada periode 1994-1995 kebakaran hutan dan lahan telah tiba pada kondisi yang parah. Kejadian ini mendorong negara kawasan ASEAN mewujudkan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)sebagai wujud dari lanjutan kesepakatan sebelumnya. Hal ini merupakan komitmen bersama negara ASEAN untuk menanggulangi kabut asap [4].
Asap kabut atau disingkat Asbut terjadi karena terbakarnya Kawasan hutan dan lahan yang terjadi dibeberapa wilayah Indonesia menimbulkan berbagai dampak negatif dan kerugian dari berbagai sektor. Sektor kesehatan, lingkungan, perekonomian, dan transportasi merupakan 4 sektor utama yang dampaknya secara langsung dapat dirasakan. Selain itu, karena dampak asap kabut meluas ke negara tetangga, maka hubungan Indonesia dan Malaysia terganggu [5]. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dan lahan tidak hanya terjadi dan memiliki dampak bagi wilayah Indonesia saja akan tetapi seluruhnya. Bahkan negara sahabat juga turut terdampak, salah satu diantaranya menyeabkan negara tetangga ikut mengalami dampak lingkungan. Disisi lain hutan yang seharusnya dipelihara dan diurus pemanfaatannya secara optimal dengan meliha asas kelestarian telah mengalami yang namanya degradasi serta deforestasi yang sangat mengagetkan bagi Internasional. Indonesia sendiri masuk dalam daftar rekor dunia sebagai negara penyumbang tingkat deforestasi tahunan paling cepat didunia. Sebanyank 72 persen dari hutan asli Indonesia telah musnah dengan 1.8 juta Ha hutan dihancurkan pertahun antara tahun 2000-2005 [6].
Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan atau statute approach yaitu dengan menelaah Undang – undang yang bersangutan dengan isu Hukum. Dari bahan hukum yang diperoleh, penulis menggunakan metode analisis induktif ialah proses penarikan kesimpulan yang dilakukan dari pembahasan ini mengenai permasalahan yang mempunyai sifat umum menuju permasalahan yang bersifat khusus.
Republik Indonesia sebagai negara penyebab asap kabut terbesar di Kawasan Asia Tenggara setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih hingga 12 tahun untuk kemudian dapat meratifikasi AATHP melalui pengesahan UU No. 26 Tahun 2014 tentang pengesahan Persetujuan ASEAN tentang pencemaran asap lintas batas. Waktu yang lama ini disebabkan karena Indonesia belum memiliki regulasi yang khusus mengatur mengenai pengolahan hutan yang memayungi hukum setiap aspek kehutanan sehingga hamper setiap tahun terjadi kebakaran hutan yang melanda wilayah Indonesia. Persetujuan ASEAN ini juga terpengaruh dari factor internal yakni dilema pengambilan kebijakan oleh DPR-RI selaku pemangku kebijakan negara dalam hal ratifikasi persetujuan ASEAN ini [7].
Mengingat bahwasannya permasalahan besar yang menjadi salah satu bencana kebakaran hutan dan menimbulkan kabut asap lintas batas adalah pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan. Karena alasan biaya murah petani atau korporasi berani melakukan hal tersebut. Tentu tindakan ini sangat merugikan banyak pihak dan sudah pasti akan merusak lingkungan. Pemerintah kemudian menaruh perhatian dan masalah ini dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH. Pasal 1 ayat 16 menerangkan bahwa yang dimaksud perusakan lingkungan adalah segala perlakuan dan tindakan yang dilakukan oleh pihak tertentu sehingga menimbulkan perubahan besar langsung atau tidak langsung sifat fisik, kimia dan/ hayati lingkungan hidup hingga melewati batas kriteria baku lingkungan hidup. Aturan pidana juga dimuat bagi para pelaku pembakar hutan yang termaktub dalam pasal 69 ayat (1) poin H. hal ini menggambarkan bahwa Indonesia sudah melaksanakan instrumen mengenai aturan tentang pemanfaatan hutan dan pengelolaann seperti yang diatur dalam AATHP. Namun demikian mengenai aturan untuk bencana kabut asap lintas batas belum ada pembahasan dalam aturan Perundang-undangan Indonesia.
Walaupun setelah meratifikasi AATHP Indonesia menerbitkan berbagai macam Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Perundang-undangan, guna melindungi warga negara Indonesia maupun asing dari dampak kabut asap, namun faktanya penegakan hukum pengolahan lingkungan masih sulit dilakukan oleh karena sulitnya membuktikan dan menentukan kriteria baku kerusakan lingkungan [8]. Jelas menggambarkan bahwa Indonesia membutuhkan bantuan negara lain untuk menyelesaikan masalah ini. Selain itu hal yang melatarbelakangi Indonesia meratifikasi AATHP ini adalah akibat dorongan dan desakan dari negara ASEAN khususnya Malaysia dan Singapura yang mengalami dampak langsung kabut asap dari kebakaran hutan Indonesia agar nantinya kebakaran hutan dapat dicegah [9].
Setiap negara pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hal tanggunggugat terlebih dalam prinsip-prinsip hukum internasional. Dalam AATHP pertanggunggugatan negara tercantum dalam Pasal 3, Sebagaimana yang mengemukakan bahwasannya negara memiliki hak kedaulatan atas semua sumber daya yang ada dan bertanggungjawab atas semua tindakan yang dilakukan dan juga memastikan bahwa tindakan yang diambil dalam mengolah sumber daya yang ada dengan menghindari sesuatu yang menjadi penyebab kerusakan lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia dari negara lain atau diluar batas yurisdiksinya.
Negara juga dituntut untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya alam dilakukan dengan cara tidak merusak lingkungan dan berkelajutan serta dalam mengatasi asap kabut akibat dari kebakaran hutan diharapkan melibatkan semua pihak. Namun amat disesalkan penjelasan mengenai tanggung jawab negara dalam persetujuan asap lintas batas AATHP tentu amat sangat kurang. Hal ini dapat dilihat karena tidak adanya Pasal lanjutan mengenai bentuk maupun tata cara serta konsekuensi apa yang akan disanksikan kepada negara apabila terjadi kebakaran hutan di wilayah hukumnya dan secara nyata telah merugikan negara yang berada di luar wilayah hukumnya, terutama Indonesia yang selama ini hampir setiap tahun mengalami kebakaran hutan
Sejak deklarasi Stockholm tahun 1972 prinsip hukum lingkungan internasional telah memberikan pengaruh secara mendasar pada pembentukan hukum lingkungan internasional, yang mulanya berdasar pada prinsip umum hukum internasional. Prinsip hukum lingkungan internasional ini selain memberikan tekanan akan pentingnya perlindungan lingkungan, juga memberikan perhatian besar pada prinsip konservasi sumber daya alam.
Berbeda dengan pembentukan kaidah hukum internasional, perkembangan hukum yang baru ini bersifat ekologis. Rumusannya sangat dipengaruhi oleh ilmu yang bersifat umum terutama bidang lingkungan dan ekologi. Kita dapat melihat perkembangan hukum lingkungan inetrnasional jika melihat dari sudut pandang posisi suatu negara sebagai subyek hukum yang utama dalam pergaulan internasional ialah konsep tanggung gugat negara (state responsibility) yang bersifat transnasional sebagaimana yang terjelas dalam Prinsip 21 Deklarasi Stockholm 1972 salah satu dasar pembentukan hukum lingkungan internasional yang menjadikannya menjadi bahasan penting.
Suatu negara yang melakukan tindakan dan melanggar kewajiban internasional baik secara hukum maupun diplomatic. Tindakan awal dalam melaksanakan tanggung gugat adalah conduct yang mendasari terjadinya kerugian yang berdampak pada negara lain dan memastikan tidak mengulang hal yang sama. Hal ini untuk menghentikan tindakan yang mengakibatkan kerugian negara lain dalam waktu sesingkat-singkatnya. Suatu negara wajib melaksanakan perbaikan akibat kerugian material maupun immaterial yang ditimbulkan dari dalam kasus pencemaran asap lintas batas yang berupa restitusi, kompensasi dan bentuk ganti rugi lainnya. Dalam hal restitusi, negara penyebab kerugian diwajibkan untuk mengembalikan kondisi semula agar suatu negara berjalan seperti sedia kala.
Bentuk tanggung gugat Pemerintah Indonesia kepada Malaysia khususnya dalam kasus pencemaran kabut asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan lahan harus ada bukti bahwa tindakan itu melahirkan konsekuensi tanggung gugat negara baik dalam bentuk responsibility / liability. Akibat dari polusi kabut asap lintas batas ini tidak hanya membuat keadaan yang membahayakan, tetapi juga terdapat persoalan lain yang mana jelas merusak lingkungan, baik lingkungan alam maupun sosial. Terlebih Malaysia yang merasakan dampak secara langsung akibat pencemaran asap ini.
Merujuk pada kaidah hukum internasional, prinsip tanggung gugat negara memiliki hubungan erat dengan keberadaan kedaulatan sebuah negara dalam relasi internasional sebagai prinsip utama hukum internasioanl. Dasar kedaulatan negara ada kaitannya dengan doktrin persamaan derajat dengan negara lain dalam hukum internasional. Doktrin ini elah dikembangan sejak awal mula sejarah hukum internasional modern yang fokus pada pentingnya hubungan hukum negara-negara dan hukum alam. Prinsip tanggung gugat dalam dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip hukum internasional, terdapat beberapa konvensi yang dikeluarkan PBB mengenai bahwa negara dapat menjadi subyek yang dapat dimintai beban tanggung gugat. International Law Commission 1949 memfokuskan perhatian dengan rumusan dasar hukum mengenai State Responsibility, hingga dapat meminimalisir timbul kerugian bagi suatu negara meski tanpa ada perjanjian.
Melihat perkembangannya, kewajiban suatu negara tidak lepas dari kewajiban untuk menjaga lingkungan agar tidak tercemar dan terjadi kerusakan yang dapat merugikan negara lain. Seperti kasus Trial Smelter antara Amerika dan Kanada. Hutan Indonesia khususnya yang di Kalimantan dalam penelitian yang dilakukan mengalami kerusakan telah mencapai titik paling berat dan harus segera ada perubahan pengelolaan kehutanan secara mendasar.
Pencemaran asap lintas batas ini telah terbukti banyak menimbulkan akibat yang membahayakan lingkungan dan merusak lingkungan. Pencemaran asap ini berada dalam yurisdiksi Indonesia yang dapat dilihat dari peta hot spot kebakaran hutan dan lahan. Maka dari itu tanggung gugat melekat pada Indonesia karena merupakan pihak yang bertanggungjawab atas terjadinya pencemaran kabut asap lintas batas yang terjadi diwilayah Indonesia. Pihak yang dapat melakukan klaim tanggung gugat Indonesia ialah pihak yang secara langsung merasakan dampak besar dengan adanya polusi kabut asap ini seperti Malaysia.
Merujuk pada kasus diatas dapat dilihat bahwa lahirnya tanggung gugat Indonesia ialah sebagai konsekuensi dari kelalaian dalam pengelolaan hutan di Indonesia atau bisa dibilang kegagalan Pemerintah dalam menangani kasus ini yang mana Indonesia seharusnya melakukan langkah konkret untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan sehingga tidak sampai berdampak pada terganggunya aktivitas yang berada di Malaysia. Akibat polusi asap lintas batas ini yang berdampak pada kerugian yang signifikan mulai dari kerugian materi maupun yang tidak. Oleh karenanya dalam upaya pemulihan yang menjadi tanggungan Indonesia tidak hanya sebatas permohonan maaf, juga selayaknya diikuti dengan pemulihan yang berwujud pecuniary reparation semisal dengan pemberian ganti rugi materiil. Dengan demikian wujud dari tanggung gugat Pemerintah Indonesia ialah liability.
Menurut beberapa ahli, sengketa dapat digolongkan dalam 2 kategori yakni:
Pihak-pihak yang terlibat sengketa bermufakat untuk mencari penyelesaian secara damai dan bersahabat.
Pemecahan masalah ditempuh secara paksa/dengan kekerasan.
Mengenai penyelesaian kasus lingkungan pada umumnya dilakukan secara damai dan jarang sekali dilakukan dengan kekerasan. Kalaupun dengan kekerasan hal tersebut merujuk pada masalah perebutan sumber daya alam atau lainnya yang mengakibatkan tindakan paksa oleh suatu negara kepada negara lainnya. Sengketa internasional timbul akibat konflik antara para pihak. Suatu aktivitas yang terjadi disuatu negara terkadang menimbulkan gangguan pada negara lain.
Hal ini menimbulkan seteru dengan negara lain jika tidak segera diselesaikan. Dalam hal ini penulis mengambil contoh kasus yang terjadi pada the trial smelter case (1941) (USA v Canada), pabrik peleburan tembaga (smelter) di Trial British Colombia, Kanada telah menimbulkan pencemaran udara serta merusak tanaman yang berakibat pada gangguan kesehatan pada penduduk yang berada di 7 wilayah negara bagian Washington (US) menyebabkan konflik antar negara. Munculnya sengketa ini dapat diselesaikan melalui jalur diplomasi dan arbitrase yang pada intinya kedua belah pihak yang bersengketa harus sepakat. Diplomasi ditempuh diantaranya melalui surat diplomatic dan proses negosiasi yang pada akhirnya disepakati oleh Amerika dan Kanada melalui pembentukan arbitrase yang pada akhirnya pada 15 April 1935 di tandatangani Convention for the Final Settlement of the Difficulties Arising throught the Complaints of Damage Done in the States of Washington by Fumes Discharged From The Smelter of The Consolidated Mining and Smelting Company, Trial British Columbia. Beragam model penyelesaian sengketa international yang telah di kenal baik secara teori maupun praktek.
Melihat dari beberapa wilayah di Malaysia turut terdampak pencemaran kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang berasal dari Indonesia. Seperti yang di ketahui bahwa sekelompok cendekiawan Malaysia memberikan opsi untuk menuntut Indonesia melalui Mahkamah Internasional, akan tetapi faktanya tidak semudah yang di ucapkan. Ada beberapa sebab mengapa opsi tersebut sulit terwujud, dan tidak melulu karena alasan hubungan diplomatik kedua negara.
Penulis akan mejelaskan mengapa opsi membawa permasalahan ini ke ICJ nyaris tidak mungkin dilakukan. ICJ memiliki yurisdiksi dan 2 skenario dimana berguna untuk mendengarkan gugatan yang di layangkan oleh suatu negara, yakni bilamana suatu perjanjian tersebut yang sudah di ratifikasi oleh kedua negara memiliki ketentuan apabila ada perselisihan maka akan di rujuk ke ICJ, atau jika negara-negara yang bersengketa sepakat untuk menyelesaikan masalah ke ICJ.
Sebagaimana yang di wartakan oleh matamatapolitik, pengacara Lim Wei Jiet mengutarakan bahwa skenario pertama tidak akan bisa di tempuh karena perjanjian pencemaran asap lintas batas yang di setujui oleh Malaysia dan Indonesia tidak memungkinkan perselisihan di ajukan ke Mahkamah Internasional. Malaysia dan Indonesia adalah pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian ASEAN mengenai polusi asap kabut lintas batas, dimana seharusnya kedua pihak memastikan bahwa tetangganya tidak di rugikan akibat polusi yang berasal dari wilayahnya.
Menurut Pasal 27 AATHP jelas bahwa setiap perselisihan akan di bawa ke jalur damai melalui negosiasi, oleh karena itu Malaysia tidak dapat meminta yurisdiksi Mahkamah Internasional dalam perjanjian ini. Malaysia memiliki pilihan lain untuk mencapai kesepakatan dengan Indonesia untuk tunduk pada yurisdiksi ICJ sejalan dengan tanggung gugat Indonesia terhadap Malaysia mengenai kabut asap lintas batas. Disini Indonesia mungkin tidak akan sepakat dengan alasan melindungi kedaulatannya. Pada nyatanya Malaysia masih dapat mencoba untuk mendapatkan nasihat dari ICJ tentang masalah tanggung gugat tersebut. Namun, yang dapat meminta nasihat itu hanya Majelis Umum, DK PBB atau badan PBB lain yang memiliki kapasitas untuk meminta nasihat ICJ karena itu penulis menganggap Malaysia perlu untuk meloby badan-badan tersebut untuk hal yang sama. Nasihat dari ICJ tidak mengikat secara hukum hanya saja memiliki bobot dan otoritas moral.
Tidak ada pengadilan regional bagi Malaysia untuk melayangkan gugatan kepada Indonesia. Seperti halnya Pengadila HAM di Eropa dan Pengadilan HAM antar Amerika. Kedua negara ini juga belum menandatangani perjanjian dalam bentuk apapun untuk dapat membawa sengketa ke Mahkamah Internasional. Meskipun demikian Indonesia di wajibkan untuk mematuhi hukum kebiasaan Internasional untuk mencegah kerusakan lintas batas.
Terdapat aturan dalam hukum kebiasaan bahwa negara yang berdaulat mempunyai kekebalan terhadap proses pengadilan asing dengan kata lain Pengadilan Malaysia tidak dapat menuntut Pemerintah asing di Pengadilan Malaysia. Namun warga Malaysia atau Pemerintahnya dapat menuntut Indonesia di Pengadilan Indonesia akan tetapi menurut penulis hal itu tidak akan dilakukan karena alasan diplomatik. Negara di Kawasan ASEAN selalu patuh terhadap kebijakan Non-Intervensi dihampir setiap permasalahan melalui jalan damai atau negosiasi ketimbang melalui litigasi.
Tidak adanya satupun konvensi internasional yang memberikan pengaturan mengenai masalah tanggung gugat di bidang lingkungan berakibat pada banyaknya ragam dalam penerapan tanggung gugat ini. Rezim tanggung gugat terhadap kerusakan lingkungan ialah responsibility / liability. Penetapan pihak-pihak yang mesti bertanggung jawab terhadap rusaknya lingkungan dimulai dari individu, Lembaga yang dibentuk pemerintah / swasta yang berupa perusahaan / tidak, termasuk sebuah negara itu sendiri. Kabut asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan termasuk dalam masalah pencemaran udara, hingga saat ini masih belum ada susunan konvensi internasional yang secara rinci mengatur tentang pencemaran kabut asap lintas batas yang aplikatif. Didalam prakteknya, tanggung gugat negara jika terbukti telah melakukan pencemaran kabut asap lintas batas mekanisme penyelesaian sengketa akan di terapkan berdasarkan kesepakatan kedua negara, baik yang melakukan dan negara yang menjadi korban dari pencemaran kabut asap ini.
Terkait hal ini yang menjadi pertanyaan disini adalah bisakah Pemerintah Malaysia mengambil tindakan hukum dalam model apapun. Walau seperti yang kita ketahui bersama, bahwa seolah-olah Indonesia menjadi penyebab tunggal bencana kabut asap lintas batas ini, namun penulis membaca berita pada kanal internert bahwasannya terdapat kurang lebih 4 perusahaan asing yang terlibat atas bencana ini yang induk perusahaannya berbasis di Malaysia. Dari sini terlihat bahwa sangat mungkin perusahaan Malaysia tersebut bagian dari masalah. Malaysia sendiri belum memiliki Undang-undang mengenai permintaan pertanggung jawaban dari pimpinan perusahaan entah mereka yang ada di Malaysia atau Indonesia. Singapura sudah memiliki regulasi untuk menghukum perusahaan penyebab kabut asap yang menguraikan pelanggaran pidana oleh pihak yang menyebabkan atau turut menjadi penyebab dalam masalah kabut asap. UU Singapura juga memuat tanggung jawab sipil.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat di simpulkan Bentuk dan mekanisme dari pertanggunggugatan negara tidak di cantumkan dalam AATHP maka, untuk menjelaskan permasalahan ini peneliti merujuk pada salah satu sumber hukum internasoinal yakni Draft Articles on State Responsibility yang di adopsi oleh International Law Commision. Bentuk-bentuk pertanggunggugatan negara di atur dalam pasal-pasal Draft Articles on State Responsibility . Ganti rugi di atur dalam pasal 31, sedangkan bentuk-bentuk ganti rugi dapat berupa : Restitution Pasal 35, Kewajiban mengembalikan keadaan yang di rugikan seperti semula Pasal 36, Kewajiban ganti rugi berupa materi atau uang Pasal 37. Pertanggunggugatan Indonesia dalam kejadian kebakaran hutan di realisasikan dalam bentuk permohonan maaf kepada negara-negara terdampak pencemaran asap lintas batas dan upaya penanganan secara maksimal di lapangan tetap dilakukan. Sesuai dengan Pasal 27 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution menyepakati untuk menyelesaikan sengketa secara damai melalui negosiasi atau perundingan.