Anticorruption Law
DOI: 10.21070/jihr.v9i0.762

Law on Asset Recovery for Corruption in Indonesia: An Urgent Need


Undang-Undang tentang Pemulihan Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Suatu Kebutuhan Mendesak

Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Indonesia

(*) Corresponding Author

Corruption Asset Recovery Indonesia Regulation Anti Corruption Law

Abstract

Corruption is an organized crime, so that its existence is required to complete the law not only for the perpetrators but also for the results of acts of corruption which are often not found with a track record of all assets of corruption. This study aims to examine legal products in Indonesia regarding the seizure of assets resulting from criminal acts of corruption. Philosophically, the existence of criminal acts of corruption is a form of state responsibility to eradicate because there is not yet a strong legal basis to regulate the mechanism of confiscation effectively in the enforcement of corruption. This research method uses normative juridical with conceptual legal approach with qualitative descriptive research type. The results of this study can be concluded that the urgency of the establishment of the Draft Law on the confiscation of assets resulting from acts of corruption is to change the legal paradigm in law enforcement of criminal acts of corruption which is not only focused on perpetrators of corruption but assets resulting from criminal acts of corruption can be returned based on the amount of losses suffered by the perpetrators of corruption. country. The effectiveness of the law with the formation of these legal products closes the gaps that have so far arisen so that it triggers the existence of criminal acts of corruption. 

Pendahuluan

Tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang sistematis, terstruktur dan adanya unsur kesengajaan dalam perbuatan hukum yang dilakukan. Korupsi adalah tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan atau manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat.

Secara filosofis, Tindak pidana korupsi sebagai kejahatan yang dilakukan oleh subjek hukum penguasa yang mengemban suatu jabatan pemerintahan yang memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum dalam rangka penyelenggaraan khususnya bidang anggaran negara. Kejahatan korupsi sejatinya dilakukan karena adanya unsur kesempatan untuk melakukan perilaku koruptif padahal diketahui perbuatan yang dilakukan tersebut sebagai perbuatan yang masuk kategori tindak pidana korupsi sehingga perlu perlakuan khusus untuk memberantas perbuatan korupsi

Pemberantasan tindak pidana korupsi secara yuridis tidak cukup hanya sebatas penegakan hukum saja melainkan juga diimbangi oleh kebijakan hukum yang ada. Kedua aspek tersebut menjadi sangat penting karena perilaku korupsi kejahatan sangat kompleks artinya tidak sederhana dalam penyelesaian kasusnya. Perbuatan korupsi yang telah terjadi antara jumlah yang dikorupsi dengan hasil yang disita seringkali menjadi berbeda. Jumlah yang disita lebih sedikit dibanding jumlah yang dikorupsi oleh koruptor, maka ini yang menjadi permasalahannya. Penyitaan yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum yang diberikan kewennagan sejatinya wajib tuntas guna memberikan rasa keadilan.

Penyitaan hasil korupsi terhadap pelaku tindak pidana korupsi secara empiris yang tidak tuntas akan selalu menjadi kelemahan dalam penegakan hukum korupsi. Hal tersebut akan menjadi celah kekosongan hukum yang bisa dimanfaatkan oleh koruptor untuk melakukan perbuatan korupsi kembali serta menjadi sistem yang akan menghambat penuntasan tindak pidana korupsi. Berdasarkan hal tersebut dalam penanganannya wajib memperhatikan aspek penyitaan aset korupsi sebagai salah satu aspek yang vital dalam kontruksi hukum kebijakan korupsi.

Kontruksi hukum penyitaan aset korupsi dalam pemberantasan tindak pidana korupsi wajib dimasukkan dalam sistem penegakan tindak pidana korupsi. Sistem yang lemah justru akan melahirkan budaya korupsi yang akan semakin meningkat. budaya korupsi tersebut akan berdampak sistemik terhadap roda pemerintahan negara karena menyangkut hajat hidup seluruh rakyat. aset korupsi sebagai hasil dari penegakan yang tidak tuntas akan menyebabkan budaya korupsi akan merajalela karena pelakunya tidak hanya satu melainkan melibatkan orang penting dalam jajaran pemerintahan.

Perampasan aset korupsi seharusnya sebagai langkah untuk memberikan efek jera terhadap koruptor. Efek jera yang diberikan tersebut bahwa koruptor yang telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi memiliki tanggungjawab atas segala kerugian negara, maka dalam penyelesaian hukumnya tidak cukup hanya sebatas memberikan hukum melainkan juga jumlah korupsi yang dilakukan wajib diganti dengan melakukan peyitaan aset sebagai konsekwensi logis melakukan tindak pidana korupsi supaya memberikan efektivitas hukum

Efektifitas hukum dalam rangka penagakan hukum tindak korupsi dengan memberikan dasar pengaturan mengenai perampasan aset korupsi diperlukan suatu kerangka hukum undang-undang. penanganan dalam tindak pidana korupsi harus diwujudkan melalui suatu produk hukum yang berkepastian hukum guna memberikan legalitas dalam melakukan perbuatan hukum. Produk hukum menganai perampasan aset tindak pidana korupsi seharusnya diatur dengan memberikan kedudukan hukum yang kuat secara hierarki perundang-undangan.

Berdasarkan uraian permasalahan yang telah diuraikan dalam latar belakang diatas, maka batasan masalah yang menjadi objek penelitian ini, yaitu apa urgensi dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi, bagaimana efektivitas dalam penegakan hukum dengan dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi?

Tujuan penelitian untuk menganalisis apa yang menjadi urgensi dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi, serta untuk menganalisis efektivitas dalam penegakan hukum dengan dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi.

Urgensi Rancangan Undang-Undang Tentang Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana Korupsi

Perkembangan hukum di dunia internasional menunjukkan bahwa penyitaan dan perampasan hasil dan instrumen tindak pidana korupsi menjadi bagian penting dari upaya menekan tingkat kejahatan. Oleh karena itu diperlukan instrumen hukum dalam kerangka hukum guna penegakan hukum tindak pidana korupsi melalui Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi. Kebijakan formulatif dalam perampasan aset sebagai akibat dari hasil suatu tindak pidana korupsi saat ini terdapat pada Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi junto Undang- undang 20 Tahun 2001. Dalam ketentuan tersebut mengatur mengenai penyelesaian hukum yakni melalui jalur pengadilan pidana dan ditempuh mellaui jalur keperdaan dengan dasar pengajuan gugatan.

Tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yang memberikan kehancuran dalam pembangunan sebuah bangsa. Perbuatan korupsi sudah menyalahi amanat dalam pembukaan UUD NRI 1945 bahwa untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Berlandaskan hal tersebut maka negara memiliki tanggungjawab penuh untuk untuk memberikan perlindungan bagi bangsa indonesia. keberadaan tindak pidana korupsi sudah memberikan kesengsaran bagi rakyat indonesia, yang mana aset korupsi menjadi celah utama dalam penuntasan tindak pidana korupsi.

Penegakan tindak pidana korupsi tidak cukup melakukan pendekatan hukum secara tekstual terhadap kasus yang sudah diputus, asrtinya bahwa kasus tindak pidana korupsi yang telah dilakukan penyidikan dan penuntutan serta putusan pengadilan hanya memfokuskan terhadap pelakunya dalam tindak pidana korupsinya, namun melupakan aspek yang menjadi objek korupsi yakni aset hasil dari tindak pidana korupsi dilupakan, karena menjadi percuma ketika perkara korupsi telah selesai diputus namun masih menimbulkan tanda tanya besar mengenai aset hasil tindak pidana korupsi yang tidak memiliki kejalasan hukum.

Paradigma yang dibangun bukan lagi siapa yang melakukan tindak pidana korupsi melainkan bagaimana aset korupsi tersebut bisa diselamatkan dengan mekanisme penyitaan aset. Pelaku korupsi tetap menjalani mekanisme hukum sesuai dengan putusan hakim namun penyitaan aset korupsi dilakukan sehingga kerugian negara dapat kembali. Berdasarkan paradigma tersebut yang sudah dibangun akan menutupi kekosongan hukum dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi. Mengingat juga biaya penagakan tindak pidana korupsi tidak sedikt maka akan menjadi disharmoni antara biaya penagakan hukum tindak pidana korupsi dengan hasil dari penegakan hukum tindak pidana korupsi. Jika penegakan hukum tindak pidana korupsi tersebut tidak harmoni terhadap kerugian yang berhasil dikembalikan disamping biaya yang sangat besar yang diberikan maka penagakan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi dianggap gagal. Berdasarkan hal tersebut upaya perampasan aset menjadi hal yang menjadi penting sehingga jumlah yang menjadi kerugian negara dapat kembali.

Perampasan aset tindak pidana korupsi melalui rancangan produk hukum undang-undang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi dalam rangka pemenuhan kebutuhan hukum sebagaimana ketentuan UUD NRI 1945 Pasal 28 I ayat (4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.jadi keberadaan rancangan undang-undang tersebut dalam tindak pidana korupsi untuk memberikan pemajuan dan penegakan hukum untuk mengejar aset tindak pidana korupsi yang tidak jelas keberadaannya. Kerugian yang diderita negara akibat perbuatan koruptif koruptor merupakan ketidakadilan bagi negara apabila kerugian tersebut tidak dipulihkan. Disisi lain adalah ketidakadilan bagi koruptor bila negara merampas aset yang diperolehnya secara sah.

Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republikindonesia Nomor Xi/Mpr/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Pasal 2 ayat (1) Penyelenggara negara pada Lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus melaksanakan fungsi dan tugasnya dengan baik dan bertanggung jawab kepada masyarakat, bangsa, dan negara. Sehingga dalam menjalankan fungsi dan tugas yang dimiliki negara dalam membentuk suatu kebijakan dalam rangka memberantas praktek korupsi. Keberadaan tindak pidana korupsi khususnya aset yang telah ada sebagai hasil dari tindak pidana korupsi termasuk bagian dari respon negara secara legal dengan membentukan suatu kebijakan produk hukum guna kerugian negara yang dialami dapat kembali.

Keberadaan Rancangan Undang-Undang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi orientasi utamanya untuk menyelamatkan seluruh aset hasil dari tindak pidana korupsi. Penyelamatan aset korupsi tersebut dilakukan untuk memberikan kemanfaatan hukum. Jadi aset hasil dari tindak pidana korupsi dilakukan untuk mengembalikan seluruh kerugian negara melalui perampasan aset tersebut. hal ini perlu adanya mekanisme hukum yang lebih lanjut ketika dalam putusan tindak pidana korupsi pada kenyataannya masih adanya aset korupsi yang masih belum jelas keberadaannya.

Berdasarkan ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2013 tentang Petunjuk Penanganan Perkara Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang dan Jaksa Agung melalui Peraturan Jaksa Agung Nomor: Per027/A/JA/10/2014 tentang Pedoman Pemulihan Aset yang diterbitkan sebagai respon atas terbitnya Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2013 juga mengatur mengenai keberadaan aset yang tidak diketahui sebagai akibat dari aset tersebut merupakan aset hasil dari tindak pidana korupsi sehingga ketika aset tersebut dikemudian hari setelah putusan pengadilan menyatakan putusan, aset yang ditemukan tersebut masih memiliki kekuatan hukum yang kuat sebagai bagian dari tindak pidana yang masih berstatus belum dirampas maka kondisi tersebut dapat dilakukan melalui jalur gugatan ke pengadilan negeri untuk dilakukan legalitas atas kerugian negara berdasarkan temuan aset hasil dari tindak pidana korupsi.

Perampasan aset kerugian negara hasil dari tindak pidana korupsi ini menjadi serangkaian dalam penyelesaian hukum pidana namun dalam prakteknya tidak adanya batasan hukum untuk kemudian memberikan penetapan atas aset tersebut. sehingga implementasinya perlu adanya pemisahan terhadap pelaku yang telah diputus oleh hakim dengan aset yang akan dirampas sebagai akibat dari hasil dari tindak pidana korupsi. Mekanisme tersebut bukan untuk menciderai prosedur hukum pidana karena memang tujuan utamanya keberadaan Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset tindak pidana korupsi untuk mengembalian apa yang menjadi kerugian negara.

Pengembalian aset negara sebagai langkah untuk pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal. sehingga untuk mengoptimalkan dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi juga wajib diimbangi dengan anggaran serta kerugian negara terhadap hasil dari tindak pidana korupsi. Jadi dalam penegakan korupsi bukan serta hanya keberhasilan dalam penyelesaian perkara korupsi melainkan juga keberadaan aset yang masih menjadi aspek ketidakpastian perlu menjadi bagian dari penagakan hukum dalam tindak pidna korupsi. Oleh karena itu pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditingkatkan secara profesional, intensif, dan berkesinambungan melalui keberadaan produk hukum melalui Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset hasil dari tindak pidana korupsi.

Efektivitas Penegakan Hukum Adanya Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Dalam Tindak Pidana Korupsi

Penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi dalam penegakan hukumnya bukan hanya seberapa berhasil menemukan tersangka yang terlibat dalam serangkaian tindak pidana korupsi melainkan seberapa efektif penegakan hukum yang dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kedua hal tersebut wajib berimbang, sebab dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi kerugian negara yang berupa aset korupsi pengembalian kerugian menjadi hal yang krusial mengingat pelaku korupsi diputus pidana namun aset korupsi masih bisa di amankan oleh pelaku korupsi tersebut.

Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset korupsi nantinya dapat mengatur mengenai pengembalian aset negara secara cepat. Pengembalian aset negara yang tidak ditemukan tersebut dalam kreangka hukum yang diatur tidak memperbolehkan hukum badan dan/denda dapat dijadikan opsi untuk mengubah ancaman tersebut. sehingga dapat memberikan efektivitas hukum dalam pemberatasan tindak pidana korupsi. Disisi lain efektivitas hukum perampasan aset dalam tindak pidana korupsi menjadi efektif dengan memberikan larangan bagi pelaku korupsi untuk memilih memperpanjang masa hukuman badan dibandingkan dengan harus membayar uang pengganti.

Pelaku korupsi dengan disahkan Rancangan Undang-Undang tidak dengan mudah menyembunyikan aset korupsi. Hal ini dikarenakan aset yang dihilangkan jejaknya oleh pelaku segera dilakukan pengusutan serta memberikan batas waktu penyelesaian perampasan aset negara dengan mengacu kepada kerugian negara. Aset tersebut berupa harta yang diperolehnya dari tindak pidana korupsi. Sehingga harta kekayaan yang berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak aset tindak pidana korupsi tidak terjadi.

Efektivitas hukum dalam penerapan produk hukum Rancangan Undang-Undang diperlukan upaya penyelidikan dan penyidikan yang tuntas mengenai khusunya terhadap seluruh kerugian dan keberadaan aset hasil dari tindak pidana korupsi. Hal ini sudah menjadi suatu serangkaian untuk mampu memberikan kepastian mengenai seluruh kerugian yang dialami oleh negara, jadi berangkat dari penegakan hukum pidana yang tuntas akan mempermudah untuk melakukan langkah hukum dengan cara pemisahan perkara perampasan aset diajukan secara keperdaan di pengadilan dengan dasar untuk memberikan suatu putusan atas perampasan aset hasil dari tindak pidana korupsi.

Urgensi dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi untuk memberikan perubahan dalam paradigma penegakan hukum. hal tersebut dikarenakan dalam penegakan hukum untuk pemberantasan tindak pidana korupsi hanya difokuskan kepada pelaku korupsi sehingga diperlukan produk hukum melalui perampasan aset tindak pidana untuk menyelamatkan kerugian negara sehingga memberikan legalitas dan pemenuhan kebutuhan hukum guna pemberantasan tindak pidana korupsi.

Kesimpulan

Efektivitas dalam penegakan hukum dengan dibentuknya Rancangan Undang-Undang tentang perampasan aset dalam tindak pidana korupsi untuk Pengembalian aset negara yang tidak ditemukan tersebut dalam kreangka hukum yang diatur tidak memperbolehkan hukum badan dan/denda dapat dijadikan opsi untuk mengubah ancaman tersebut sehingga dapat memberikan efektivitas hukum dalam pemberatasan tindak pidana korupsi. Efektivitas hukum perampasan aset dalam tindak pidana korupsi menjadi efektif dengan memberikan larangan bagi pelaku korupsi untuk memilih memperpanjang masa hukuman badan dibandingkan dengan harus membayar uang pengganti. Oleh karenanya, lembaga legislatif dalam hal ini DPR wajib mengesahkan keberadaan Rancangan Undang-Undang menjadi undang-undang sebagai langkah untuk penegakan hukum perilau korupsi dalam ranka menyelamatkan kerugian aset negara.

References

  1. A. Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: PT. Alumni, 2008, p. 5.
  2. B. L. Lopa and M. Yamin, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Undang-Undang No. 3 Tahun 1971) Berikut Pembahasan Serta Penerapanya Dalam Praktek, Bandung: PT. Alumni, 1987, p. 6.
  3. M. Latifah, "Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Di Indonesia," Jurnal Negara Hukum, vol. 6, no. 1, p. 26, Juni 2015.
  4. I. G. K. Ariawan, "Stolen Asset Recovery Initiative, Suatu Harapan Dalam Pengembalian Aset Negara," Jurnal Unud Kertha Patrika, vol. 33, no. 1, p. 128, Januari 2008.
  5. McWalters, Memerangi Korupsi, Sebuah Peta Jalan Untuk Indonesia, Surabaya: JPBooks, 2006, p. 79.
  6. E. Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, p. 34.
  7. D. T. Sibuea, R. Sularto and B. Wisaksono, "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia," Diponegoro Law Review, vol. 5, no. 2, p. 3, 2016.
  8. S. D, Pelacuran Ditinjau Dari Segi Hukum Dan Kenyataan Dalam Masyarakat, Bandungb: karya Nusantara, 1997, p. 38.
  9. A. Ali, Menguak Teori Hukum Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Vol. 1 Pemahaman Awal, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, p. 148.
  10. S. D. Cassella, Asset Forfeiture Law in the United States, vol. Chapters 1 and 2, New York: Juris Publishing, 2007, p. 92.
  11. M. Yusuf, Merampas Aset Koruptor; Solusi Pemberantasan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2013, p. 24.
  12. I. F. Bureni, "Kekosongan Hukum Perampasan Aset Tanpa Pemidanaan Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi," Masalah - Masalah Hukum, vol. 45, no. 4, p. 294, Oktober 2016.
  13. I. S. Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Diadit Media, 2009, p. 47.
  14. A. Pohan and e. al, Pengembalian Aset Kejahatan, Yogyakarta: Pusat Kajian Anti Korupsi [PuKAT] Korupsi Fakultas Hukum UGM dan Kemitraan, 2008, p. 46.
  15. A. T. Husodo, "Catatan Kritis atas Usaha Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi dalam Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana," Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 4, no. 2, p. 584, Mei 2010.
  16. S. Eman, "Korupsi Yudisial (Judicial Corruption) dan KKN di Indonesia," Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, vol. 1, no. 2, p. 213, Agustus 2014.
  17. e. a. Ramelan, Panduan untuk Jaksa Penuntut Umum Indonesia dalam Penanganan Harta Hasil Perolehan Kejahatan, Jakarta: Indonesia-Australia Legal Development facility, 2008, p. 86.