Everyone has the right to have and determine the desired work, get a fair treat and get a decent wage, it is governed by the Constitution of the Republic of Indonesia. In general, working in the morning until evening, but there is also work carried out at night. The lawmakers pay special attention to the execution of work at night by providing a number of excusive rights as part of legal protection for workers. This research aims to determine the opportunities and challenges of applying the night work norms based Law No. 13 of 2003 on legal systems through legal substance, legal structure and legal culture analysis in the field of employment. TThe results of the research are in several Indonesian Regions there are still similar challenges regarding the implementation of night work norms. The authors also assess there are a number of opportunities for improvement in order for nighttime work norms to run well.
Setiap manusia memiliki harapan dan tujuan di dalam kehidupan ini. kondisi tersebut mendorong agar manusia termotivasi mewujudkan tujuannya. Cita-cita yang konstruktif merupakan harapan mulia yang melekat dalam diri setiap orang yang bermasyarakat dan bernegara. Dalam kehidupan bernegara setiap anggota masyarakat perlu berpartisipasi dalam proses pembangunan. Selain itu juga manusia perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai tujuannya, sebab dengan bekerja manusia telah menjaga derajatnya untuk memenuhi kebutuhan hidup sebagai makhluk Allah yang paling sempurna. Peran Negara harus menjamin hak warga Negara agar dapat bekerja dengan diperlakukan adil dengan upah yang layak tanpa perlakukan yang bersifat diskriminasi. Negara menjamin hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 28D Undang-Undang Dasar 1945.
Jam bekerja umumnya dilakukan pagi hingga sore hari, tetapi ada pula pekerjaan yang dikerjakan hingga malam hari karena operasional ditempat kerja yang panjang atau karena memang berdasarkan sifat pekerjaannya hanya beroperasi malam hari.
Bekerja pada malam hari memiliki risiko yang tak terhindarkan, pada kondisi tertentu manusia seharusnya beristirahat namun, tuntutan profesi membuat beberapa diantaranya harus bekerja pada malam hari hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan pola hidup, waktu istirahat, hubungan sosial dan meningkatkan kerentanan terhadap keamanan agar dapat melaksanakan pekerjaan. Diantara pekerja tersebut adalah perempuan, demi alasan kesehatan dan keselamatan kerja maka dalam Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur syarat khusus bagi pengusaha yang mempekerjakan pekerja perempuan di malam hari untuk memberikan fasilitas tambahan seba- gai bentuk upaya perlindungan hukum.
Mengutup Pasal 76 Bab X Paragraf ketiga tentang Perlindungan, Pengupahan dan Kesejaheraan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur terkait hak-hak normatif kerja malam hari bagi pekerja perempuan yang isinya memuat larangan mempekerjakan perempuan di bawah umur antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00, larangan mempekerjakan perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00, Kewajiban bagi pengusaha memberikan makan dan minuman bergizi dan menjaga kesusilaan dan keamanan selama ditempat kerja serta menyediakan angkutan antar jemput bagi perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dalam Pasal 76 selanjutnya diatur dengan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Nomor: KEP. 224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 Sampai Dengan 07.00
Dalam Peraturan menteri tersebut mengatur mengenai mekanisme pemberian makanan dan minuman bergizi minimal memenuhi 1.400 kalori dengan menu yang bervariasi disajikan secara higenis dan memenuhi syarat sanitasi yang diberikan pada istirahat kerja, makan minum ini tidak boleh digantikan dengan uang sehingga wajib dilaksanakan. Peraturan Menteri ini juga mengatur mengenai kewajiban pengusaha menjaga kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja sehingga ditempat kerja harus ada petugas keamanan, penerangan harus layak dan toilet laki-laki dan perempuan harus diatur secara terpisah. Terakhir menyangkut aspek keamanan bahwa penguasa wajib menyediakan fasilitas antar jemput bagi pekerja perempuan yang lokasinya mudah dijangkau dan aman, kondisi kendaraan harus layak dan terdaftar di perusahaan. Hal-hal lain yang berkaitan dengan pelaksanaan pemberiakan makan minum, penjagaan kesusilaan dan keamanan selama di tempat kerja di atur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Sebelumnya telah ada beberapa penelitian terkait norma kerja malam hari yang berjudul Perlindungan Hukum bagi Pekerja Malam Hari di Boshe VVIP Club yang berada di Kabupaten Sleman. Hasil penelitian menunjukan implementasi perlindungan hukum terhadap norma kerja malam hari tidak optimal karena kurangnya pengetahuan terhadap hukum dan cara menyelesaikannya. Penelitian selanjutnya yaitu Pelaksanaan Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan yang Bekerja Pada Malam Hari di Perusahaan Liquid Café Next Generation di wilayah Kabupaten Sleman. Hasil penelitian tersebut bahwa hukum norma kerja malam hari bagi pekerja perempuan tidak dilaksanakan. Penelitian berikutnya berjudul Implementasi Perlindungan Hukum Bagi Pekerja Perempuan yang Bekerja pada Malam Hari di Perusahaan Liquid Café Next Generation dan Boshe VVIP Club Sleman yang merupakan penelitian lanjutan dari penelitian sebelumnya. Hasil penelitian menggambarkan kondisi pekerja perempuan merasa takut dan tidak aman jika harus memperjuangkan hak-haknya sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan. Peran pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagai penegak hukum (law enforcement) dibidang ketenagakerjaan juga masih tidak optimal dan kurang menyeluruh. Penelitian terakhir berjudul Implementasi Norma Kerja Malam Hari di Kota Samarinda, hasil penelitian berupa implementasi norma kerja malam juga masih tidak berjalan efektif, Bahwa dari beberapa perusahaan yang menjadi sampel tidak satupun melaksanakan norma kerja malam hari secara sungguh-sungguh begitu pula pengawasan ketenagakerjaan yang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang terkait ketenagakerjaan yakni Kementerian Ketenagakerjaan dan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis sosiologis (sociological jurisprudence) yang berbasis pada ilmu hukum, isu penelitian yang diajukan selalu terkait dengan sistem norma atau peraturan perundang-undangan ketika berinteraksi dalam masyarakat (law in action) Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No: Kep. 224/Men/2003 tentang Kewajiban Pengusaha Yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan.
Penelitian ini juga memanfaatkan data bahan hukum sekunder dari penelitian-penelitian sebelumnya terkait implementasi norma kerja malam hari, maka agar lebih melengkapi penelitian ini memerlukan data primer terkait implementasi norma kerja malam hari di Kota Balikpapan, pengambilan data primer menggunakan teknik purposive sampling, kriteria perusahaan yang menjadi sampel ialah perusahaan yang telah kredibel (dipercaya) masyarakat dan sebagai salah satu market leader diindustrinya.
Bahwa dalam penelitian ini penulis mengambil beberapa data pada penelitian sebelumnya terkait dengan penerapan norma kerja malam hari yang lokasi penelitian dilakukan pada beberapa Kabupaten/Kota yakni Kota Samarinda dan Kabupaten Sleman, sementara dalam penelitian ini penulis juga mengambil sampel di wilayah Kota Balikpapan dengan alasan karena Kota Balikpapan merupakan Kota yang sangat maju di wilayah Kalimantan Timur banyak perusahaan PMA dan non PMA yang berdiri di Kota tersebut. Kedepan Kota Balikpapan akan menjadi kota pendukung yang strategis jika ibu kota Negara Republik Indonensia pindah ke sebagian wilayah Kabupaten Panajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara di Provinsi Kalimantan Timur.
Penerapan norma kerja malam hari di Kota Balikpapan
Perusahaan A yang bergerak pada bidang hiburan tontonan film
Perusahaan ini bergerak pada Industri bidang perfilman yang sudah beroperasi secara nasional, industri film masih sangat digemari masyarakat luas sebagai salah satu hiburan alternatif. Industri bioskop juga memberikan kontribusi yang besar kepada pemerintah daerah hal ini dapat dilihat melalui Pasal 45 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur bahwa tarif pajak bioskop paling tinggi sebesar 35% (tiga puluh lima persen). Suburnya industri perfilman dapat pula dilihat dalam data Gabungan Pengelola Bioskop Indonesia (GPBSI) yakni hingga bulan Mei 2019 telah tersedia sebanyak 1.861 layar bioskop diseluruh Indonesia. Perkembangan ini turut berdampak terhadap penyerapan tenaga kerja untuk dipekerjakan pada sektor tersebut. Secara umum bioskop pada akhir pekan beroperasi lebih panjang dibandingkan hari biasanya. Hasil penelitian menuntun ditemukannya fakta bahwa perusahaan A mempekerjakan perempuan di atas pukul 23.00 WITA dengan melanggar Pasal 76 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo Kepmenakertrans Nomor: Kep.224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00. Hasil wawancara dengan responden dilakukan pada pukul 00.30 sesaat sebelum pulang kerja, respon menyampaikan bahwa tidak mendapatkan extra vodding dan fasilitas antar jemput. Hanya saja mendapatkan minum air putih dan uang makan diberikan setiap bulannya.
Perusahaan alih daya PT B
Peneliti melakukan penelitian ke Perusahaan C dan D yang masih bergerak pada bidang hiburan tontonan film di daerah Kota Balikpapan. Peneliti tidak menjumpai pelanggaran norma kerja malam kepada pekerja organik namun pelanggaran ini terjadi kepada pekerja perempuan yang berstatus alih daya dari perusahaan PT B yang memiliki tugas sebagai cleaning service, setelah tayangan berakhir maka pekerja tersebut harus membersihkan seluruh bioskop mulai dari ruangan teather, toilet hingga loby bioskop. Menurut keterangan responden bahwa tidak mendapatkan extra vodding dan fasilitas antar jemput yang diberikan oleh pengusaha meski telah bekerja hingga pukul 01.00 WITA.
Perusahaan E yang bergerak di industry restoran siap saji
Makanan siap saji merupakan salah satu menu favorit warga perkotaan yang ingin semua serba cepat dan praktis. Perusahaan ini melayani masyarakat Kota Balikpapan selama 24 (dua puluh empat) jam per hari dengan layanan offline hingga online. Waktu operasional yang panjang membuat perusahaan mendesain shift kerja menjadi tiga bagian. Peneliti berjumpa dengan 4 (empat) orang pekerja perempuan yang bekerja di atas pukul 00.00 WITA, responden menyampaikan bahwa saat bekerja mendapatkan makan dan minum sesuai dengan menu yang tersedia di resporan namun tidak dilakukan perhitungan terkait kalori, gizi dan fasilitas antara jemput sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf a, Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 Kepmenakertrans Nomor: Kep.224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00
Perusahaan F yang bergerak pada bidang pelayanan kesehatan
Perusahaan ini merupakan badan usaha milik Negara (BUMN) yang bergerak pada sektor jasa pelayanan kesehatan. Data lapangan yang diperoleh menunjukan bahwa jadwal bekerja pada perusahaan ini diatur secara shift dan non shift tergantung sifat pekerjaannya. Beberapa department yang sifat pekerjaannya dilakukan secara shit diantaranya terdapat pekerja perempuan yang bekerja di atas pukul 23.00 WITA. Saat diwawancarai responden menyampaikan bahwa mendapatkan fasilitas makan dan minum namun belum sesuai ketentuan Kepmenakertrans Nomor: Kep.224/MEN/2003 tentang Kewajiban Pengusaha yang Mempekerjakan Pekerja/Buruh Perempuan antara Pukul 23.00 sampai dengan 07.00.
Perusahaan G yang bergerak pada bidang hiburan malam
Perusahaan ini umumnya dikenal dengan sebutan jasa hiburan diskotik atau klab malam dengan tarif pajak paling tinggi sebesar 75% (tujuh puluh lima persen) sebagaimana di atur Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Berdasarkan sifatnya perusahaan ini hanya beroperasi pada malam hingga dini hari. Peneliti menemukan fakta bahwa implementasi norma kerja malam hari bagi pekerja perempuan belum dilaksanakan dengan baik, pekerja perempuan masih banyak yang belum memahami hak-hak dasar maupun hak terkait norma kerja malam. Bekerja pada perusahaan E memiliki sejumlah potensi risiko yang lebih besar karena pencahayaan yang minimal, dentuman musik yang menghasilkan suara sangat keras, bahaya asap rokok, potensi pelecehan seksual dan permasalahan keamanan.
Berdasarkan hasil penelitian di atas dapat disampaikan sebuah fakta bahwa telah terjadi pelanggaran hukum norma kerja malam hari di Kota Balikpapan. Pelangaran terjadi bukan karena pengusaha mempekerjakan perempuan antara pukul 23.00 hingga 07.00 melainkan karena pengusaha tidak mematuhi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 76 jo Pasal 187 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dapat memberikan sanksi berupa pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Penelitian di atas semakin membuat terang benderang kembali terkait minimnya implementasi norma kerja malam hari diberbagai kota di Indonesia hal ini menjadi sangat penting untuk mendapat perhatian para penegak hukum dan tantangan bagi semua pihak yang berkepentingan untuk mewujudkan keamanan dan kesejahteraan bagi pekerja.
Setidaknya ada dua jenis/macam sumber hukum ketenagakerjaan yakni yang pertama berdasarkan kaidah otonom yaitu ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh pihak-pihak yang terlibat hubungan kerja misalnya perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama, yang kedua kaidah hetoronom yang dibuat oleh pemerintah yakni seluruh peraturan terkait peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Norma kerja malam hari bersumber dari kaidah heteronom yang diberikan oleh Negara sebagai wujud perlindungan hukum bagi pekerja perempuan, sehingga penelitian ini akan lebih fokus pada kaidah heteronom.
Tantangan nyata dalam penerapan norma kerja malam hari adalah dari pengusaha, karena pengusaha yang memiliki kewajiban agar pekerja memperoleh hak-haknya sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan. Salah satu variabel dalam menilai efektifitas hukum dapat ditinjau melalui legal substance (subtansi hukum), di dalamnya terdapat seluruh peraturan tertulis maupun tidak tertulis, baik hukum materil maupun hukum formal. Berdasarkan isi Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Kepmenakertrans Nomor: Kep.224/MEN/2003 mengatur perlindungan terhadap pekerjaan perempuan yang bekerja pada malam hari, pertanyaannya mengapa pekerja perempuan perlu dilindungi jika bekerja pada malam hari? jawabannya karena perempuan kerap menjadi korban kekerasan dan diskriminasi dalam berbagai bidang termasuk di tempat kerja. Konstruksi sosial yang terbentuk terhadap peran perempuan saat ini selalu dilekatkan pada kodrat perempuan sebagai ahli kasur, sumur dan dapur. Menurut Lili Wahid bahwa kodrat perempuan ada 5 (lima) yakni menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui dan menopause. Selain kelima unsur tersebut merupakan konstruksi sosial, aturan-aturan yang dibuat oleh manusia bukan konstruksi biologis yang notabe pemberian langsung Allah SWT. Bekerja malam dapat merubah pola hidup melalui gangguan tidur dan meningkatkan potensi kecelakaan kerja selain itu juga meningkatkan gangguan kesehatan seperti lebih rentan terkena risiko kanker kulit 41% (empat puluh satu persen), risiko kanker payudara 32% (tiga puluh dua persen) dan risiko kanker sistem pencernaan 18% (delapan belas) lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang tidak bekerja pada malam hari. Menurut Djony Lisman bahwa tubuh manusia memiliki “jam biologis” yang telah diatur sejak awal manusia dilahirkan karena sistem syaraf otonom berjalan otomatis dan mengendalikan siklus tubuh yang mengatur kapan saat beristirahat atau tidur.
Berdasarkan pendapat di atas menurut penulis para pembuat Undang-Undang telah tepat menempatkan Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai bentuk proteksi kepada pekerja perempuan yang bekerja malam hari karena perempuan memiliki posisi yang rentan. Peraturan tersebut bukan hanya melindungan kesehatan, keamanan namun juga meningkatkan harkat dan marbat perempuan. Berdasarkan analisis di atas penulis menemukan kegelisahan atas risiko yang sama yang meneror pekerja laki-laki. Berpedoman terhadap asas non diskriminasi sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja” dan Pasal 28I ayat (2) bahwa “Setiap orang bebas dari pelakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakukan yang bersifat diskriminatif itu. Maka penulis menilai perlindungan tersebut seharusnya tidak hanya diberikan kepada pekerja perempuan tetapi juga terhadap pekerja laki-laki karena dalam hal ini mereka juga mendapatkan potensi risiko yang sama. Keduanya berhak mendapatkan perlindungan sosial, ekonomi dan teknis yang sama secara adil selama tidak terkait dengan fungsi kodratnya. Menurut Friedman dalam karyanya (The Legal System, a Social Scince Prespective) “the substance is composed of substantives and about how institutions should behave” kurangnya kemampuan Penyusunan hukum tentunya menjadi masalah tersendiri pada proses penegakan hukum. Substansi hukum harus disusun secara benar dan isinya saling mendukung kebutuhan manusia sebagaimana pendapat Roscou Pound bahwa tujuan hukum untuk melindungi kepentingan manusia (law as tool of social engineering) dan Sudikno Mertokusumo menyebutnya sebagai fungsi hukum sebagai perlindungan kepentingan manusia.
Berdasarkan hasil penelitian penyelenggaran norma kerja malam hari tidak berjalan dengan baik, hal tersebut terjadi karena faktor internal dan eksternal. Beberapa alasan pengusaha tidak mematuhi Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang pertama adalah tidak mengetahui peraturan tersebut, menurut penulis meskipun tidak mengetahui maka tetap belaku asas fiksi hukum yaitu semua orang dianggap mengetahui hukum (presumption iures de iure) tanpa terkecuali bahkan bagi yang tidak lulus pendidikan dasar atau warga yang hidup di wilayah terpencil tidak dapat dimaafkan atas ketidaktahuan terhadap hukum yang berlaku (ignorantia jurist non excusat). Asas ini tidak serta merta kemudian meniadakan peran pemerintah untuk melakukan penyebarluasan dengan melakukan pengawasan dan pembinaan ketenagakerjaan. Pengusaha memiliki sumber daya ekonomi untuk mempekerjakan ahli hukum di perusahaannya guna menganalisis kewajiban-kewajiban hukum yang harus dipatuhi dan meminimalkan adanya perselisihan-perselisan hukum yang merugikan perusahaan. Alasan pengusaha yang kedua ialah mengedepankan efesiensi, fleksibilitas dan musyawarah. Banyak pengusaha merasa terbebani dengan kewajiban sebagaimana di atur Pasal 76 tersebut maka upaya yang dilakukan adalah melakukan negosiasi kepada pekerja perempuan untuk menguangkan biaya makan dan transportasi sehingga biaya operasional pun lebih terjangkau, pekerja perempuan mayoritas tidak mengetahui mengenai norma kerja malam dan bersedia saja jika mendapatkan uang makan karena dengan diterimanya uang tersebut pekerja sudah merasa diuntungkan. Alasan yang ketiga adalah pengusaha menganggap kewajiban memberikan makan dan minum sebesar 1.400 kalori tidak menguntungkan mereka dan pekerja karena jumlah kalori besar bisa saja isinya hanya karbohidrat yang notabe akan membuat pekerja menjadi gemuk serta mudah sakit. Beberapa pekerjaan menuntut agar pekerja perempuan tetap berpenampilan ideal dan menarik, makan malam akan membuat mereka cepat gemuk dan pekerja perempuan umumnya tidak menyukai hal tersebut. Menurut penulis pembuat Undang-Undang telah mengkaji dan mempertimbangkan besaran kalori yang wajib diberikan, bahwa dalam Pasal 3 Kepmenakertrans Nomor: Kep.224/MEN/2003 mengatur bahwa pemberian makan haruslah bergizi dan Pasal 4 mengatur penyajian menu makanan dan minuman harus bervariasi. Menurut penulis makna bergizi dan bervariasi memiliki korelasi yang berdampingan, bahwa makanan dan minuman yang diberikan tidak boleh kandungan gizinya monoton bertujuan hanya mengejar tercapainya angka 1.400 kalori namun selain menu, kandungan gizi juga wajib bervariasi sehingga bisa mencapai 1.400 kalori yang seimbang. Penulis juga berpendapat sebaiknya pemberian makan dan minum bergizi ini diberikan oleh ahli gizi yang telah tersertifikasi. Alasan yang keempat adalah minimnya pengawasan ketenagakerjaan yang berimplikasi keberanian pengusaha tidak mematuhi hukum karena penegakkan hukum lemah.
Berdasarkan analisis di atas, secara struktur hukum (legal structure) yang melingkupi pranata hukum, aparatur hukum, dan sistem penegakkan hukum. Bahwa Pengawasan ketenagakerjaan yang dilaksanakan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan masih belum optimal, hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya pelanggaran terhadap norma kerja malam hari. Pengawasan yang dilakukan seharusnya merupakan aktivitas yang berkesinambungan melalui kegiatan pembinaan, pemeriksaan, pengujian, dan/atau penyidikan tindak pidana dan berkesinambungan sesuai kompetensi masing-masing pegawai pengawas ketenagakerjaan. Tantangan yang besar karena luasnya wilayah pengawasan, jumlah perusahaan yang tidak sebanding dengan jumlah pengawas dan tantangan-tanganan lain maka sistem pengawasan yang dibentuk dan dilaksanakan harus berdasarkan pada prinsip layanan publik, akuntabilitas, efesiensi dan efektifitas, universalitas, transparansi, konsistensi, proporsionalitas, kesetaraan, kerjasama dan kolaborasi sebagaimana di atur dalam Pasal 2 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 33 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan. Tata cara pengawasan juga harus berjenjang melalui tahapan perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan. Menurut penulis lemahnya pengawasan maka perlu dievaluasi kembali mengenai pencapaian dari perencanaan yang telah berjalan dan membuat rencana tindak lanjut dari hasil evaluasi agar tujuan pengawasan ketenagakerjaan untuk memastikan norma ketenagakerjaan dilaksanakan. Pemerintah harus berkomitmen agar fungsi pengawasan ketenagakerjaan berjalan dengan baik melalui cara menjamin penegakkan hukum ketenagakerjaan, memberikan penerangan dan penasihatan teknis kepada Pengusaha/Buruh mengenai hal-hal yang dapat menjamin efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dan mengumpulkan bahan keterangan mengenai hubungan kerja dan keadaan ketenagakerjaan dalam arti yang seluas-luasnya sebagai bahan penyusunan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Variabel terakhir dalam teori sistem hukum (legal system) dari Lawrance M. Friedman ialah budaya hukum (legal culture). Budaya hukum dalam penelitian ini menekankan pada bentuk kesadaran hukum, cara berpikir, berprilaku dari para aparat penegak hukum dalam menjalankan hukum. Permasalahan dari budaya hukum yakni kesadaran hukum yang rendah khususnya terkait dengan kepatuhan warga Negara terhadap hukum maupun cara berhukum aparat penegak hukum yang cenderung berfikir pragmatis sehingga mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan hukum.
Berdasarkan hasil analisis di atas bahwa kesadaran hukum oleh pengusaha terhadap implementasi norma kerja malam hari masih sangat rendah, pengusaha cenderung pragmatis dalam menerapkan hukum ketenagakerjaan khususnya norma kerja malam hari bagi pekerja perempuan. Penegakkan hukum oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan juga tergolong sangat rendah, jika penegakkan hukum ketenagakerjaan dilakukan sangat serius oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan menurut penulis hal ini akan berdampak secara langsung terhadap kebiasaan pengusaha yang cenderun pragmatis. Oleh karena itu penegak hukum dalam hal ini pegawai pengawas ketenagakerjaan dalam menegakkan hukum ketenagakerjaan tidak boleh berpikir pragmatis juga tetapi harus bersikap positif sesuai dengan prinsip/asas pengawasan sebagaimana di atur dalam Permenaker Nomor 33 Tahun 2016.
Berdasarkan hasil penelitian di atas penulis berkesimpulan bahwa Implementasi norma kerja malam hari bagi pekerja perempuan di beberapa wilayah seperti Kabupaten Sleman, Kota Samarinda dan Kota Balikpapan memiliki tantangan yang sama yakni penyelenggaraan norma kerja malam hari tidak berjalan dengan efektif karena beberapa faktor yang pertama karena faktor pengusaha yang cenderung berfikir pragmatis. Menurut penulis pengusaha dapat menyerahkan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan pekerjaan untuk melaksanakan menyediaan keamanan, fasilitas makan dan minum sebesar minimal sebesar 1.400 kalori dan fasilitas antar jemput bagi pekerja agar perusahaan dapat fokus kepada pekerjaan inti (core business) dari pada perusahaan tersebut. Faktor yang kedua ialah karena pengawasan ketenagakerjaan tidak berjalan dengan optimal sebagaimana diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Permenaker Nomor 33 Tahun 2016. Pengawasan yang baik diharapkan akan berdampak terhadap dorongan kepada pengusaha berprilaku taat terhadap hukum khususnya hukum yang mengatur mengenai ketenagakerjaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini penulis berpendapat bahwa masih ada beberapa peluang terhadap perbaikan-perbaikan terhadap norma kerja malam hari. Yang pertama, secara substansi hukum (legal substance)bahwa perlu adanya penjelasan mengenai mekanisme yang lebih koheren terhadap pemberian makan sebesar 1.400 kalori dan waktu penyajiannya. Menurut ahli bahwa jika manusia makanan dan minum sebesar 1.400 kalori dalam waktu yang singkat dan dilakukans setiap hari dapat menyebabkan obesitas dan berdampak pada kesehatan. Sehingga perlu ada perubahan substansi yang lebih teknis di atur dalam Kepmenakertrans Nomor: Kep.224/MEN/2003. Selain itu penulis berpendapat bahwa Pasal 76 Undang-Undang Ketenagakerjaan selain diterapkan kepada pekerja perempuan, seharusnya pekerja laki-laki diberikan hak-hak yang sama dan diperlakukan adil sepanjang tidak bertentengan dengan kodratnya. Peluang yang kedua, terhadap struktur hukum (legal structure) bahwa perlunya dilakukan pengawasan ketenagakerjaan dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip dan tata cara pengawasan ketenagakerjaan berdasarkan Permenaker Nomor 33 Tahun 2016. Aspek perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan wajib dilaksanakan secara konsisten dan koheren. Peluang yang ketiga terhadap budaya hukum (legal culture) sebagaimana hasil penelitian di atas bahwa ketepatan dalam menyusun isi hukum dan penegakkan hukum yang baik maka dapat berdampak terhadap budaya hukum masyarakat. Sebagai contoh masyarakat negara Singapura atau masyarakat negara lain yang berkunjung ke Singapura akan menahan diri membuang sampah sembarangan, karena mereka mengetahui bahwa ada hukum yang mengatur mengenai larangan membuang sampah sembarangan, prilaku tersebut bukan tanpa alasan karena mereka mengetahui penegakkan hukum di Singapura berjalan dengan baik dan pasti akan ditindak oleh aparat penegak hukum dengan denda yang sangat besar mulai dari 100 hingga 19.800 dollar Singapura. Benang merahnya adalah substansi hukum dan struktur hukum merupakan salah satu poin penting yang mempengaruhi budaya hukum.