The relationship between ethical norms and legal norms is different for experts, especially concerning their position. Moreover, legal norms seem to be superior to ethical norms. This study aims to analyze the position of ethical norms and legal norms. The dignified justice theory was chosen because it seeks to orient the divine and human aspects, which can only be fulfilled if ethical and legal norms synergize. This research is juridical-normative research. The juridical-normative research was chosen because it confirms the existence of ethical norms and legal norms as part of the system of norms prevailing in society. The study's results confirm that, in practice, legal court decisions are often considered higher and more authoritative than ethical court decisions. This has implications for the position of ethical norms that are considered inferior to legal norms. Furthermore, the theory of dignified justice seeks to see the relationship between ethical norms and legal norms as different norms, but in its implementation in society, the two norms must synergize and complement each other.
Perkembangan mengenai gagasan norma menjadi salah satu fokus dalam studi ilmu hukum. Norma atau yang lazim disebut sebagai kaidah menempati kajian terpenting sebelum memahami ilmu hukum.[1] Norma menjadi kajian penting karena berkaitan dengan standar, batas, sekaligus pedoman atas perilaku manusia.[2] Dalam hal ini, norma menunjukkan segala sesuatu yang boleh atau tidak dilakukan oleh manusia. Hal ini menegaskan bahwa eksistensi norma ada ketika manusia berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.
Norma sebagai aspek penting dalam kehidupan manusia tentu tidak hanya dipersempit pada norma hukum saja.[3] Pemahaman seperti ini terjadi karena hukum dianggap sebagai “satu-satunya” norma yang memiliki karakter normatif dan otoritatif.[4] Hal ini dapat dipahami karena norma hukum lahir dari eksistensi negara sehingga memiliki karakteristik formal.[5] Karakteristik formal tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan adanya aparatur tertentu yang melaksanakan keberlakuan norma hukum.[6] Hal ini lah yang sejatinya menegaskan mengapa terdapat “persepsi” bahwa norma hukum seakan menjadi satu-satunya norma yang berlaku di masyarakat.
Meski begitu, dewasa ini, perkembangan norma, khususnya norma hukum tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya norma yang berlaku dan didukung oleh institusi negara. Terdapat pula perkembangan norma yang memiliki krakteristik yang mirip dengan norma hukum yaitu norma etika.[7] Meski memiliki karakteristik yang mirip, namun norma etika tetap memiliki perbedaan dengan norma hukum. Norma etika merupakan norma yang dibentuk dan ditegakkan secara internal oleh suatu komunitas tertentu.[8] Dalam aspek praktis, norma etika menjelma menjadi kode etik yang lazim dimiliki hampir oleh semua profesi.[9] Hal ini dapat dicontohkan dengan adanya kode etik akuntan, kode etik kedokteran, kode etik advokat, dan kode etik berbagai profesi lainnya.[10]
Hadirnya berbagai kode etik sebagai manifestasi norma etika tersebut sejatinya menambah khasanah baru perkembangan norma. Jika pada awalnya norma hukum diidentikkan sebagai satu-satunya norma yang bersifat “formal” dan “supreme”, namun hadirnya norma etika seolah-olah menyiratkan bahwa norma hukum harus berdampingan dengan norma hukum dalam pelaksanaannya.[11] Hal ini sejatinya menegaskan bahwa norma hukum harus dilaksanakan beriringan sekaligus berdampingan dengan norma etika. Norma hukum dalam hal ini tidak dapat menjadi “satu-satunya”, tetapi menjadi “salah satunya”. Dengan demikian, hadirnya norma etika justru semakin melengkapi kehadiran norma dalam masyarakat yang diharapkan dapat menjaga integritas serta perilaku para pengemban norma etika.
Meski hadirnya norma etika baik sekaligus melengkapi norma hukum, namun hadirnya norma etika justru menimbulkan kebingungan khususnya dapat mendudukkan relasi antara norma etika dan norma hukum. Hal ini dicontohkan dari kasus adanya Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (selanjutnya disebut DKPP) yang kemudian dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut PTUN). Putusan DKPP sejatinya merupakan putusan peradilan etik yang menegakkan norma etika sedangkan Putusan PTUN merupakan putusan hukum yang didasarkan atas penegakan norma hukum. Kasus ini secara khusus terdapat dalam Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang kemudian dibatalkan oleh Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT. Hal ini secara implisit menegaskan bahwa putusan “peradilan etik” dapat “dikoreksi” oleh “peradilan hukum”.
Jika mengacu pada konsepsi bahwa norma etika dan norma hukum harus berjalan beriringan sekaligus berdampingan, tentu Putusan DKPP dan Putusan PTUN di atas seolah-olah menempatkan norma hukum lebih tinggi dari norma etika. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedudukan norma etika, dalam hal ini Putusan DKPP terhadap Putusan PTUN didasarkan pada perspektif keadilan bermartabat. Perspektif keadilan bermartabat dipilih karena sebagai teori hukum, keadilan bermartabat berupaya menempatkan dimensi filosofis Pancasila serta aspek keindonesiaan sebagai aspek utama dalam menentukan suatu kebijakan hukum. Dalam hal ini, DKPP sebagai peradilan etik bagi penyelenggara Pemilihan Umum (selanjutnya disebut pemilu) merupakan peradilan “khas” yang identik dengan karakteristik keindonesiaan sehingga relevan jika dibahas dengan menggunakan perspektif keadilan bermartabat.
Penelitian mengenai norma etika dan norma hukum pernah dilakukan oleh Niru Anita Sinaga (2020) Kode Etik Sebagai Pedoman Pelaksanaan Profesi Hukum Yang Baik yang berfokus pada hakikat kode etik sebagai implementasi norma etika yang sejatinya melengkapi keberlakuan norma hukum.[12] Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Miswardi, Nasfi, dan Antoni (2021) tentang Etika, Moralitas dan Penegak Hukum yang menekankan bahwa penegakan hukum memerlukan peran yang proporsional antara norma hukum dan norma etika.[13] Selanjutnya, penelitian mengenai norma etika dan norma hukum juga pernah dilakukan oleh Imam Makmun, Supardin, dan Hamsir (2022) tentang Profil Etika Profesi Penegak Hukum Di Indonesia yang menegaskan bahwa sebagai penegak hukum, norma hukum dan norma etika wajib dijunjung tinggi secara bersamaan untuk menegaskan profesionalitas dan integritas dari aparat penegak hukum.[14] Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal karena dalam pembahasan mengenai norma etika dan norma hukum digunakan perspektif keadilan bermartabat yang mana pembahasan mengenai norma etika dan norma hukum dengan perspektif tertentu belum dibahas oleh ketiga penelitian sebelumnya sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini berorientasi untuk menjawab dua rumusan masalah yaitu: (i) Bagaimana kedudukan norma etika dan hukum ditinjau dari fenomena Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang kemudian dibatalkan oleh Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT? Dan (ii) Bagaimana perspektif keadilan bermartabat memandang relasi norma etika dan norma hukum?.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif.[15] Penelitian yuridis-normatif memandang hukum sebagai bagian dari sistem norma yang berorientasi pada nilai tertentu.[16] Penelitian yuridis-normatif dipilih karena menegaskan eksistensi norma etika dan norma hukum sebagai bagian sistem norma yang berlaku di masyarakat.[17] Bahan hukum dalam penelitian ini meliputi: bahan hukum primer, terdiri dari: UUD NRI 1945, Putusan MK No. 31/PUU-XI/2013, Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021, UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019, dan Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT?. Bahan hukum sekunder meliputi: buku, hasil penelitian, serta artikel jurnal yang berkaitan dengan norma hukum dan etika serta teori keadilan bermartabat. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum dan bahan kajian non-hukum yang menunjang penelitian ini.
Norma etika sejatinya lahir dari perkembangan konsepsi terkait norma dengan hadirnya profesi-profesi tertentu di masyarakat yang selain memiliki orientasi pada kompetensi juga diharuskan menjaga kode etik.[18] Dalam hal ini, norma etika berupaya menjaga profesionalitas suatu profesi yang telah melalui standarisasi kompetensi tertentu. Pada perkembangan lebih lanjut, norma etika memiliki hubungan yang erat dengan hukum khususnya ketika norma etika diatur dalam suatu produk hukum. Dalam hal ini, meskipun terdapat baju hukum yang melapisi norma etika, namun hakikat mengenai norma etika tetaplah bersifat independen dan berbeda karakteristiknya dengan norma hukum.
Pentingnya kedudukan norma etika, sejatinya dipertegas oleh Earl Warren yang mempertegas bahwa, "In civilized life, law floats in a sea of ethics."[19] Pandangan Earl Warren tersebut setidak-tidaknya berimplikasi pada konsepsi norma etika, yaitu: pertama, Earl Warren secara implisit memandang bahwa etika dan hukum merupakan norma tersendiri yang masing-masing memiliki karakter dan independensi tersendiri.[20] Hal ini dipertegas oleh Earl Warren bahwa hukum dan etika memiliki relasi yang erat, yang artinya hukum dan etika adalah dua norma yang berbeda sekalipun memiliki orientasi dan tujuan yang sama. Kedua, dalam pandangan Earl Warren, kedudukan norma etika tidak kalah penting dari norma hukum. Hal ini dipertegas oleh pandangan Earl Warren yang menegaskan bahwa “hukum mengalir dalam samudera etika”. Hal ini berarti, sekalipun hukum nya telah bagus tetapi ada masalah terkait etika maka hukum akan sulit melaksanakan tugasnya menuju pada tujuan hukum yaitu keadilan.[21] Hal ini lah yang sejatinya Earl Warren menegaskan bahwa hukum dan etika memiliki kedudukan yang sejajar atau setara bahkan cenderung saling melengkapi. Ketiga, dengan mendudukkan hukum yang sederajat dengan etika, maka Earl Warren seolah-olah juga memberikan tempat tertentu bagi norma etika yang secara mutatis mutandis memiliki aspek yang sama dan serupa. Hal ini berimplikasi pada ketika terdapat peradilan hukum maka seyogyanya terdapat pula peradilan etika; hal ini sebagai konsekuensi adanya norma hukum serta norma etika yang harus ditegakkan. Dari ketiga hal tersebut, maka gagasan Earl Warren adalah upaya untuk menegaskan eksistensi norma etika. Bagi Earl Warren, upaya menegakkan norma hukum secara paripurna adalah dengan menegakkan norma etika.
Sejalan dengan pandangan Earl Warren, Jimly Asshiddiqie juga memandang bahwa norma etika harusnya mendapatkan tempat serta kedudukan tersendiri dalam kerangka dinamika sistem norma.[22] Norma hukum tidak boleh “leading” secara sendirian tanpa dibantu serta ditunjang oleh berbagai norma lainnya, khususnya norma etika. Oleh karena itu, Jimly Asshiddiqie bahkan memberikan ilustrasi bahwa jika norma hukum berbicara soal “benar” dan “salah”, maka norma etika berbicara mengenai “baik” dan “buruk”. Pemahaman ini seklaigus menegaskan bahwa antara etika dan hukum terdapat hubungan yang bersifat relasional.
Pandangan mengenai hubungan relasional antara norma etika dan hukum juga secara spesifik mendapatkan perhatian dari Jeremy Bentham dalam karyanya yang bertajuk, “Introduction to Principles of Moral and Legislation”.[23] Dalam karya tersebut, secara general Jeremy Bentham menekankan bahwa interest dimiliki oleh setiap pribadi manusia baik itu pada ranah privat maupun publik. Terkait dengan interest dalam ranah priivat ini, norma etika memiliki tujuan untuk memandu kehidupan privat manusia supaya dapat mencapai sebesar-besarnya kebahagiaan (the greatest happiness). Dalam hal ini, maka norma etika sejatinya memiliki karakteristik yang sama dengan norma hukum yaitu sebagai “pemandu” perilaku manusia. Lebih lanjut, Jeremy Bentham juga menegaskan bahwa selain etika privat yang merupakan norma etika, setiap manusia juga wajib dipandu oleh etika publik yang lazim disebut hukum (legislation).[24] Terkait relasi antara norma etika dan norma hukum, Jeremy Bentham secara implisit menegaskan bahwa norma etika dan norma hukum memiliki kepentingan masing-masing yang secara relasional bersifat saling melengkapi. Dalam pandangan Jeremy Bentham, hadirnya norma hukum dan etika tentu bukan sebagai pembatasan akan kebebasan (liberty) setiap manusia, melainkan sebaliknya sebagai sarana pengukuhan kebebasan antarmanusia.[25] Hal ini karena kebebasan individu manusia dibatasi oleh kebebasan individu lainnya.
Pandangan Jeremy Bentham terkait relasi norma hukum dan norma etika sejatinya sejalan dengan pandangan Immanuel Kant. Immanuel Kant dalam salah satu pernyataannya menegaskan bahwa orang dianggap melanggar hukum jika terdapat suatu perbuatan yang melanggar hak orang lain, tetapi dianggap melanggar etika jika sudah memiliki pikiran untuk melanggar hak orang lain.[26] Dalam pandangan Immanuel Kant, kata kunci dalam membedakan norma hukum dan etika adalah jika hukum berkaitan dengan perbuatan, maka norma etika berkaitan dengan pikiran. Hal ini sejatinya selaras dengan pandangan Jeremy Bentham bahwa hukum adalah etika publik yang bersifat eksternal sedangkan etika adalah etika privat yang berdimensi internal pribadi (Tabel 1).
No | Indikator Pembeda | Norma Hukum | Norma Etika |
1. | Sifat | Bersifat Publik (mengikat umum) | Bersifat Privat (kelompok/pihak/profesi tertentu) |
2. | Subjek | Person (pribadi yang melakukan tindakan hukum) dan Rechtsperson (badan hukum yang melakukan tindakan hukum) | Orang sebagai pelaku atau menjabat tugas dan fungsi tertentu. |
3. | Objek | Dilihat Pada Perbuatan atau Tindakan Hukumnya | Intensi (niat atau orientasi untuk melakukan) |
4. | Parameter | Legalitas (hukum yang biasanya berupa peraturan perundang-undangan). | Moralitas (biasanya bersifat spesifik/khusus tergantung kelompok/pihak/profesi tertentu) |
5. | Prosedur | Aturan Hukum yang Bersifat Formal (lazimnya disebut sebagai Hukum Acara) | Orientasi Dialogis dengan Pelaku (orang) |
6. | Dasar Putusan | Kepastian | Kebebasan |
7. | Tujuan | Memulihkan dan Memenuhi Keadaan, serta Memberikan Sanksi | Memberikan Rasa Malu bagi Internal (individu) dan Membangun relasi Antarindividu |
Dari tabel 1, dapat disimpulkan bahwa antara norma etika dan norma hukum memiliki perbedaan dari berbagai aspek. Terkait dengan kasus dalam Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang kemudian dibatalkan oleh Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT sejatinya berawal dari dugaan pelanggaran kode etik oleh Evi Novida Ginting Manik selaku Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dugaan pelanggaran kode etik tersebut disidangkan oleh DKPP dan keluarlah Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang secara substansi menegaskan Evi Novida Ginting Manik telah melanggar kode etik dan direkomendasikan untuk diberhentikan dari jabatan Komisioner KPU.[27] Dalam proses pemberhentian tersebut, Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 ditindaklanjuti oleh Keputusan Presiden (Keppres) No. 34/2020 yang isinya berupa pemberhentian tidak hormat Evi Novida Ginting Manik dari jabatan Komisioner KPU. Hal ini yang membuat Evi Novida Ginting Manik menggugat Keppres No. 34/2020 di PTUN yang kemudian menghasilkan Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT. Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT akhirnya membatalkan Keppres No. 34/2020 di PTUN yang juga secara langsung membatalkan Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019.
Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT salah satu ratio decidendinya adalah menegaskan pemberhentian Evi Novida Ginting Manik melalui sidang DKPP yang telah menyalahi prosedur sejatinya membuat Putusan PTUN seolah-olah telah menganulir Putusan DKPP. Padahal, antara PTUN dan DKPP merupakan jenis peradilan yang berbeda. DKPP yang berdasarkan UU Pemilu merupakan peradilan etik bagi penyelenggara Pemilu sedangkan PTUN merupakan peradilan hukum bagi tindakan dan/atau keputusan tata usaha negara. Dengan demikian, hadirnya Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT sejatinya telah menegaskan bahwa Putusan PTUN dapat menganulir Putusan DKPP dan hal ini berimplikasi pada, “Putusan Peradilan Hukum dapat menganulir Putusan Peradilan Etik”.
Berdasarkan uraian sebelumnya, Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT sejatinya telah mendudukkan Putusan Peradilan Etik untuk dapat dianulir oleh Putusan Peradilan Hukum. Hal ini terbukti dari Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT yang menganulir Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang ditindaklanjuti melalui Keppres No. 34/2020 di PTUN. Hal ini juga sejatinya mendudukkan bahwa norma etika lebih rendah dari norma hukum. Padahal, secara konseptual norma hukum dan norma etika adalah saling melengkapi serta tidak dapat saling menganulir.
Teori keadilan bermartabat yang lazim juga disebut sebagai the dignified justice theory merupakan salah satu gagasan serta orientasi baru dalam melihat hukum. Sebagai bagian dari teori hukum, keadilan bermartabat melihat dimensi “ketuhanan” dan “kemanusiaan” sekaligus dalam memahami hukum.[28] Gagasan teori keadilan bermartabat dikemukakan oleh Teguh Prasetyo dengan orientasinya bahwa keadilan bermartabat merupakan titik temu antara arus atas yang berdimensi teologis (ketuhanan) dengan arus bawah yang berdimensi humanis (kemanusiaan).[29] Dalam hal ini, teori keadilan bermartabat melihat hukum sebagai praksis ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus.
Teori keadilan bermartabat sebagai bagian dari “teori hukum” memiliki peran penting dalam membangun ilmu hukum, khususnya terkait dengan pengembanan hukum. D.H.M. Mauwissen berpendapat bahwa pengembanan hukum haruslah dimaknai secara komprehensif melalui pengembanan secara teoretik dan praktik.[30] Hal ini berarti, pengembanan hukum tidak hanya berorientasi pada salah satu saja. Hanya dengan berorientasi pada pengembanan teoretik, hukum hadir meliputi “bahasa melangit” yang sulit bahkan sukar diterapkan. Hukum hanya menjadi jargon dan semantik keadilan ketika hanya dimaknai secara teoretik. Hal ini juga terjadi sebaliknya, apabila hukum hanya berdimensi praktik tanpa melihat dimensi teoretik maka hukum hanya akan menjadi “language game” atau permainan kata-kata serta permainan para aparatur penegak hukum yang lazim melakukan korupsi dan manipulasi. Singkatnya, tanpa dimensi teoretik, hukum kehilangan maknanya sebagai hukum dan hanya merupakan instrumen yang dibuat oleh pengatur kekuasaan.
Hukum dalam pandangan teori keadilan bermartabat harus didasarkan atas teoretik dan praktik yang sesuai. Kata “martabat” dalam teori keadilan bermartabat sejatinya menegaskan eksistensi hukum untuk menjadikan “manusia paripurna” yaitu manusia seutuhnya yang melakukan kebaikan bukan karena diatur atau diancam sanksi tertentu, karena melihat ada dimensi kebaikan dari hukum. Dalam konteks Filsafat Jawa, teori keadilan bermartabat menekankan sikap “ngewongke wong”, yang artinya bahwa hukum harus melihat subjek secara manusiawi serta memperlakukan suatu objek secara manusiawi.[31] Dalam konteks ini lah, maka “kemanusiaan” adalah kata kunci dari teori keadilan bermartabat.
Teguh Prasetyo menggambarkan teori keadilan bermartabat sebagai instrumen tarik menarik antara lex eterna (arus atas-hukum yang berdimensi ketuhanan) dan volksgeist (arus bawah-hukum yang berdimensi cita hukum kerakyatan).[32] Dengan pandangan ini, teori keadilan bermartabat berupaya mengintegrasikan antara nilai ketuhanan dengan cita hukum kerakyatan sehingga hadirlah hukum berdimensi kemanusiaan. Konteks ketuhanan dalam hal ini harus dipahami secara universal, yaitu bukan ketuhanan eksklusif yang identik dengan ajaran agama tertentu. Nilai ketuhanan dalam hal ini adalah nilai ketuhanan inklusif yang melihat nilai-nilai keagamaan sebagai nilai universal yang dapat diiterapkan dalam berbagai situasi dan kondisi. Nilai ketuhanan yang universal ini lah yang kemudiah menjadi pemandu bekerjanya hukum. Selain itu, dalam penerapannya, teori keadilan bermartabat mencoba menggali serta memahami secara komprehensif mulai dari filsafat hukum, teori hukum, dogmatika hukum, hingga praktik hukum. Dalam hal ini, teori keadilan bermartabat juga menekankan keadilan sebagai tujuan hukum yang artinya keadilan adalah konsekusensi terintegrasikannya nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Teori keadilan bermartabat terkait dengan upaya untuk mengintegrasikan antara nilai ketuhanan dengan cita hukum kerakyatan berupaya dan berorientasi pada penggalian substantif atas nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila dalam teori keadilan bermartabat dipandang sebagai “nilai kulminasi” antara nilai ketuhanan dengan cita hukum kerakyatan. Hal ini berarti, Pancasila secara integral melihat nilai ketuhanan juga berdimensi kemanusiaan begitu juga sebaliknya, nilai kemanusiaan adalah bagian dari nilai ketuhanan. Hal ini sejatinya sejalan dengan pandangan Notonagoro bahwa Pancasila sebagai staatfundamentalnorm, Pancasila harus dibaca secara hierarkis-piramidal.[33] Hierarkis-piramidal menekankan pembacaan Pancasila secara komprehensif dan menganggap antarsila sebagai satu kesatuan tubuh yang tidak terpisahkan.[34] Pembacaan Pancasila secara hierarkis-piramidal sejatinya sejalan dengan pandangan Moh. Hatta bahwa sekalipun merupakan satu kesatuan sila, namun induk atau causa prima dari Pancasila adalah sila ketuhanan (sila pertama).[35] Hal ini sejatinya menegaskan bahwa “ruh” dari Pancasila adalah sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa).
Berangkat dari pemahaman tersebut, maka teori keadilan bermartabat hendak melihat orientasi keadilan bermartabat sebagai praksis dari Pancasila. Hal ini berarti, suatu hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan eksistensi lima sila secara bersamaan. Meski begitu, hukum tentulah terbatas dalam mengatur substansi kelima sila Pancasila. Hukum yang terbatas tersebut kemudian meminta bantuan norma yang lain salah satunya adalah norma etika.[36] Oleh karena itu, pertemuan norma hukum dan norma etika adalah sebagai upaya untuk menggali praksis dari Pancasila yang merupakan orientasi dari teori keadilan bermartabat. Hal ini lah yang mendasarkan pada relasi antara norma hukum dan etika menggunakan teori keadilan bermartabat, karena jika hukum identik dengan keadilan, maka etika berkaitan dengan esensi bermartabat, sehingga keadilan bermartabat identik dengan integrasi norma hukum dan norma etika dalam mewujudkan keadilan.
Teori keadilan bermartabat dengan demikian memandang relasi antara norma hukum dan norma etika sebagai relasi yang bersifat substansial-fungsional. Norma hukum dan norma etika memang memiliki perbedaan, tetapi bukan berarti tidak dapat bergerak dan dijalankan secara bersama. Integrasi antara norma hukum dan norma etika dipahami sebagai upaya melaksanakan norma hukum dan norma etika sebagai satu kesatuan sistem norma yang tidak terpisahkan.[37] Hal ini berarti, kedudukan antara norma hukum dan norma etika adalah setara dan sederajat sekalipun memiliki fungsi dan karakteristik yang berbeda.
Relasi antara norma etika dan norma hukum sebagaiman dalam teori keadilan bermartabat justru menemui kendala jika dikaitkan dengan praktik yang terjadi khususnya antara Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT yang seharusnya merupakan norma hukum tetapi justru dapat menganulir Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang merupakan putusan peradilan etik. Adanya putusan tersebut justru diperkuat oleh hadirnya Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 yang memperkuat kedudukan Putusan MK No.31/PUU-XI/2013 yang mempertegas bahwa sifat Putusan DKPP yang berupa “final dan mengikat” harus dipahami berdasarkan kategori norma etika, yang artinya final dan mengkat pada pihak-pihak tertentu yang dalam hal ini hanya mengikat bagi Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Dengan logika demikian, maka secara argumentum a contrario, maka Putusan PTUN tidak terikat oleh sifat “final dan mengikat” Putusan DKPP. Sehingga, dalam hal ini PTUN dapat melakukan pengujian atas Putusan DKPP.
Penulis berpendapat dengan pandangan Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 yaitu bahwa: pertama, sekalipun Putusan MK tersebut memandang bahwa sifat “final dan mengikat” Putusan DKPP hanya mengikat pada Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu, namun hal itu tidak dipahami bahwa PTUN dapat melakukan pengujian atas Putusan DKPP. Mengikat dalam konteks Putusan DKPP adalah harus dilaksanakan sehingga wajar jika Putusan DKPP harus dilaksanakan oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu. Konteks “harus dilaksanakan” harus dipahami bahwa pelaksana dalam konteks trias politica adalah lembaga eksekutif, maka bahwa Putusan DKPP mengikat dan harus dilaksanakan oleh Presiden, KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu adalah tepat karena semuanya merupakan lembaga eksekutif. Eksekutif dalam hal ini harus dimaknai sebagai “sifat” dan bukan dalam arti “kedudukan”. Hal ini karena jika eksekutif dimaknai sebagai kedudukan saja maka hanya Presiden yang dapat disebut lembaga eksekutif. Padahal, jika mengacu pada perkembangan konsep trias politica, terdapat lembaga yang memiliki sifat eksekutif yang dalam hal ini adalah KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan Bawaslu namun secara kedudukan adalah independen atau secara administratif tidak berada di bawah Presiden.[38] Hal inilah yang sejatinya gagal dipahami dari Putusan MK tersebut.
Kedua, Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 harus dipahami sebagai upaya mempertegas untuk menjawab isu hukum terkait “kekaburan hukum” makna final dan mengikat dalam Putusan DKPP dan tidak secara spesifik membahas pengujian Putusan DKPP sebagai peradilan etik melalui lembaga pengadilan hukum, dalam hal ini PTUN. Hal ini sejatinya mempertegas bahwa Putusan MK tersebut, tidak membahas secara spesifik boleh atau tidaknya Putusan PTUN menganulir Putusan DKPP dan sudah seyogyanya jika PTUN dan DKPP bekerja secara bersamaan dalam lingkupnya masing-masing; PTUN sebagai lembaga pengadilan hukum, DKPP sebagai lembaga peradilan etik penyelenggara pemilu. Ketiga, Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 jika dibaca secara futuristik dan kontemplatif justru berupaya menempatkan kedudukan norma etika dan norma hukum dalam posisinya yang setara. Akan tetapi, MK dalam putusan ini tidak memberikan semacam rekomendasi bagaimana cara membangun relasi antara norma etika dan norma hukum (termasuk relasi peradilan etika dan peradilan hukum) ke depannya. Dengan demikian, maka pembacaan secara komprehensif atas Putusan MK No. 32/PUU-XIX/2021 diperlukan untuk memahami relasi antara norma hukum dan norma etika yang oleh teori keadilan bermartabat dipertegas sebagai norma yang setara dan saling melengkapi.
Berdasarkan uraian di atas, perspektif keadilan bermartabat terkait relasi etika dan hukum dapat disimpulkan yaitu: pertama, perspektif keadilan bermartabat melihat norma hukum dan norma etika secara integral artinya sekalipun berbeda keduanya saling melengkapi. Kedua, perspektif keadilan bermartabat melihat norma hukum dan norma etika sebagai satu kesatuan dalam mencapai keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, istilah keadilan bermartabat dimaknai hukum sebagai keadilan dan etika sebagai bermartabat. Ketiga, perspektif keadilan bermartabat melihat norma hukum dan norma etika berada dalam satu derajat sehingga kedudukannya setara. Hal ini berarti antara norma hukum dan norma etika tidak dapat saling menguji karena objek norma etika dan norma hukum berbeda. Keempat, norma hukum dan norma etika harus dipahami sebagai satu rangkaian sistem norma yang merupakan praksis dan nilai-nilai Pancasila.
Simpulan
Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT sejatinya telah mendudukkan Putusan Peradilan Etik untuk dapat dianulir oleh Putusan Peradilan Hukum. Hal ini terbukti dari Putusan PTUN No. 82/G/2020/PTUN-JKT yang menganulir Putusan DKPP No. 317-PKE-DKPP/X/2019 yang ditindaklanjuti melalui Keppres No. 34/2020 di PTUN. Hal ini juga sejatinya mendudukkan bahwa norma etika lebih rendah dari norma hukum. Padahal, secara konseptual norma hukum dan norma etika adalah saling melengkapi serta tidak dapat saling menganulir.
Perspektif keadilan bermartabat terkait relasi etika dan hukum dapat disimpulkan yaitu: pertama, perspektif keadilan bermartabat melihat norma hukum dan norma etika secara integral artinya sekalipun berbeda keduanya saling melengkapi. Kedua, perspektif keadilan bermartabat melihat norma hukum dan norma etika sebagai satu kesatuan dalam mencapai keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, istilah keadilan bermartabat dimaknai hukum sebagai keadilan dan etika sebagai bermartabat. Ketiga, perspektif keadilan bermartabat melihat norma hukum dan norma etika berada dalam satu derajat sehingga kedudukannya setara. Hal ini berarti antara norma hukum dan norma etika tidak dapat saling menguji karena objek norma etika dan norma hukum berbeda. Keempat, norma hukum dan norma etika harus dipahami sebagai satu rangkaian sistem norma yang merupakan praksis dan nilai-nilai Pancasila.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Universitas Jember atas dukungannya terhadap artike ini.