Anticorruption Law
DOI: 10.21070/jihr.v9i0.774

The Breaking Down Political Corruption: The Urgency of Progressive Law Enforcement


Pembongkaran Korupsi Politik: Urgensi Penegakan Hukum Progresif

Fakultas Hukum, Universitas Tadulako
Indonesia

(*) Corresponding Author

Progressive Law Political Corruption anti-corruption

Abstract

Political corruption is one of the legal phenomena in the form of corruption carried out by involving political actors or power actors. Political corruption is a phenomenon that occurs in almost all parts of the world and is a global problem. This study aims to explore the value and substance of progressive law as a solution in dealing with political corruption in Indonesia. This research is a normative legal research. This research specifically prioritizes socio-legal aspects, namely non-legal aspects that can enlighten and clarify the description of problems in political corruption. The legal materials used are primary legal materials which include: the Corruption Law, the Amendment to the Corruption Crime Act, and the UNCAC ratification law. Secondary legal materials include the results of studies and research on political corruption in Indonesia, and non-legal materials include various non-legal studies and analyzes related to political corruption that support this research. The approach used is a statutory approach as well as a conceptual approach. The results of the study confirm that the urgency of progressive law in breaking down political corruption needs to be carried out because the orientation of progressive law does not only focus on rules, but also emphasizes behavioral aspects. The orientation and formulation of progressive law in breaking down political corruption is to emphasize the behavioral dimension in the form of leadership and professionalism in terms of substance, structure, and legal culture.

Pendahuluan

Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang berkarakter universal [1]. Karakter universal dalam korupsi dimaksudkan bahwa korupsi terjadi tidak hanya dalam suatu negara atau bangsa tertentu saja, tetapi sudah menjadi gejala kejahatan yang mendunia. Lebih lanjut, selain bersifat mendunia, korupsi juga terjadi hampir di setiap zaman dan/atau masa [2]. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa korupsi adalah suatu bentuk “pelanggaran nilai” yang terjadi hampir di setiap peradaban dalam bentuk dan praktik yang tentunya berbeda-beda.

Korupsi sebagai kejahatan yang bersifat global, tentu merupakan tantangan yang dihadapi oleh berbagai negara di dunia [3]. Bahkan, berbagai upaya dilakukan oleh negara-negara di dunia untuk menindaklanjuti berbagai fenomena dan temuan praktik korupsi yang ada di masyarakat. Hal ini mengindikasikan bahwa korupsi merupakan “musuh bersama” negara-bangsa di dunia, dan bukan hanya masalah lokal dan temporal saja [4]. Sebagai musuh bersama tentu berbagai negara di dunia memiliki beberapa upaya dan orientasi untuk mengadili berbagai praktik korupsi yang ada.

Upaya menghadapi ancaman kejahatan korupsi di lngkup dunia salah satunya diupayakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB/United Nations/UN) yang pada tanggal 18 Desember 2003 yang bertempat di Merida, Mexico menandatangani United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) [1]. UNCAC yang diprakarsai oleh PBB sejatinya merupakan upaya negara-negara di seluruh dunia (khususnya yang tergabung dalam PBB) untuk menggalang kekuatan untuk bersama-sama memberantas korupsi. Hal ini juga ditambah dengan adanya fenomena globalisasi yang membuat setiap permasalahan dunia haruslah mendapatkan konsensus serta komitmen dari berbagai negara-negara di dunia [5].

Upaya dunia melalui UNCAC tersebut juga memerlukan langkah progresif lebih lanjut dari masing-masing negara di dunia untuk memberantas korupsi. Indonesia salah satunya yang telah meratifikasi UNCAC melalui UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003) (selanjutnya disebut UU ratifikasi UNCAC. Ratifikasi yang dilakukan di Indonesia ini berimplikasi pada upaya dan orientasi penegakan serta pencegahan korupsi di Indonesia yang harus menyesuaikan dengan beberapa ketentuan dalam UNCAC sebagai komitmen telah meratifikasinya [6]. Meski begitu, sejatinya Indonesia telah memiliki beberapa Undang-Undang yang mengatur mengenai korupsi seperti: UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Tindak Pidana Korupsi) beserta perubahannya yaitu UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut UU Perubahan Tindak Pidana Korupsi). Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia telah memiliki instrumen penegakan hukum korupsi yang meliputi UU Tindak Pidana Korupsi beserta perubahannya serta UU ratifikasi UNCAC. Meski begitu, tetapi korupsi di Indonesia tetaplah sulit diberantas mengingat korupsi memiliki beberapa karakter atau tipe, salah satunya korupsi politik yang susah diberantas.

Korupsi politik sejatinya merupakan bentuk korupsi yang berkaitan dengan aktor dan/atau kepentingan politik yang biasanya korupsi dilakukan secara tersistem, terukur, serta penuh rekayasa dengan memanfaatkan sumber daya politik yang ada [7]. Korupsi politik juga sering melibatkan aktor-aktor politik yang memiliki kedudukan sehingga pengungkapannya sulit dilakukan secara konvensional [8]. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk menawarkan solusi serta preskripsi atas permasalahan korupsi politik di Indonesia dengan mengedepankan paradigma hukum progresif. Digunakannya paradigma hukum progresif karena hukum progresif berorientasi pada pendobrakan hukum untuk mewujudkan tujuan substantif dari hukum. Dalam hal ini, upaya “luar biasa” dalam hukum lazim dilakukan dengan berorientasi pada paradigma hukum progresif.

Penelitian mengenai korupsi politik pernah dilakukan oleh Agil Oktaryal dan Proborini Hastuti (2021) tentang Desain Penegakan Hukum Korupsi Partai Politik di Indonesia [9]. Penelitian ini berfokus pada korupsi politik yang dimotori oleh partai politik. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Launa dan Hayu Lusianawati (2021) tentang Potensi Korupsi Dana Bansos di Masa Pandemi COVID-19 [10]. Penelitian ini berfokus pada framing media terhadap orientasi korupsi dana bansos yang dilakukan oleh salah satu menteri sebagai aktor politik. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Nursasi Ata (2022) tentang Praktik Ijon Politik Pada Kasus Korupsi Kepala Daerah; Studi Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan di Kabupaten Malang yang berfokus pada pelibatan berbagai aktor politik dalam korupsi Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan di Kabupaten Malang [11]. Dari ketiga penelitiansebelumnya tersebut, penelitian mengenai korupsi politik dan paradigma hukum progresif belum pernah dilakukan sehingga menjadi nilai kebaruan dan orisinalitas dari penelitian yang penulis lakukan. Selain itu, ketiiga penelitian sebelumnya bersifat sektoral atau berdasarkan atas kasus tertentu sedangkan penelitian yang penulis lakukan berupa korupsi politik secara umum.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini hendak menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Apa urgensi hukum progresif dalam mendobrak korupsi politik dan (ii) Bagaimana orientasi dan formulasi hukum progresif dalam mendobrak korupsi politik?.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif [12]. Penelitian ini berorientasi pada adanya preskripsi yang ditawarkan sebagai upaya untuk menjawab sekaligus memberikan solusi atas suatu permasalahan hukum. Penelitian ini secara khusus mengedepankan aspek socio-legal, yaitu aspek non-hukum yang dapat mencerahkan sekaligus memperjelas penggambaran permasalahan dalam korupsi politik [13]. Bahan hukum yang digunakan yaitu bahan hukum primer yang meliputi: UU Tindak Pidana Korupsi, UU Perubahan Tindak Pidana Korupsi, serta UU ratifikasi UNCAC. Bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan penelitian mengenai korupsi politik di Indonesia, serta bahan non-hukum meliputi berbagai hasil kajian dan analisis non hukum terkait korupsi politik yang menunjang penelitian ini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) sekaligus dengan pendekatan konseptual (conseptual approach).

Urgensi Hukum Progresif dalam Mendobrak Korupsi Politik

Hukum progresif sejatinya merupakan gagasan yang dilontarkan oleh “Begawan” hukum Indonesia yaitu Satjipto Rahardjo. Satjipto Rahardjo mengemukakan gagasan hukum progresif berangkat dari keprihatinan atas realitas berhukum di Indonesia yang cenderung berlangusng secara “tidak fair” serta hanya tersandra mekanisme formal-prosedural [14]. Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, negara hukum Indonesia harus diimplementasikan dengan mengedepankan “nurani kemanusiaan” di atas kredo rule and logic[15]. Nurani kemanusiaan harus dijadikan dasar serta nilai penuntun setiap upaya penegakan hukum di Indonesia.

Hukum progresif yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo sejatinya merupakan bentuk “kritik” serta “kegelisahan intelektual” dari Satjipto Rahardjo. Hukum yang sejatinya menjadi sarana untuk memanusiakan manusia justru menjadi instrumen penindas manusia. Manusia Indonesia dalam pandangan Satjipto Rahardjo justru “diperkosa” oleh hukum sehingga jika terdapat masalah dalam hukum manusialah yang harus menyesuaikan dengan hukum bukan hukum yang harus dibenahi dan dievaluasi supaya sesuai dengan kebutuhan dan dinamika manusia [16]. Dalam hal ini, manusia justru didudukkan sebagai “objek” dari hukum sedangkan idealnya, manusia seyogyanya menjadi “subjek” dari praktik hukum.

Fenomena tersebut yang kemudian terkulminasi dalam gagasan hukum progresif sebagaimana digagaskan oleh Satjipto Rahardjo. Dengan demikian, gagasan gagasan hukum progresif sejatinya merupakan “cermin” dari realitas berhukum bangsa yang sedang dalam kondisi tidak baik-baik saja [17]. Hal ini menegaskan bahwa hukum progresif merupakan spirit pemandu yang perlu digalakkan dalam menghadapi realitas berhukum bangsa yang sedang dalam kondisi “kacau” dan tidak menentu. Meski hukum progresif sebagaimana digagaskan oleh Satjipto Rahardjo merupakan gagasan yang diperlukan dalam menghadapi realitas berhukum bangsa yang sedang dalam kondisi kacau, namun hukum progresif bukanlah “alat” yang menyediakan solusi praktis atas permasalahan hukum yang sedang mendera bangsa Indonesia. Menurut hemat penulis, alih-alih sebagai “solusi praktis”, hukum progresif lebih tepat didudukkan sebagai “semangat pendobrak” yang memfasilitasi lahirnya berbagai berbagai solusi praktis dalam jagat berhukum bangsa Indonesia. Karena itu, tidak mengherankan jika hukum progresif selalu menawarkan diri sebagai proses membangun hukum yang terus dalam kondisi menjadi, dan bukan hasil yang sudah jadi.

Hukum progresif sebagai semangat pendobrak tentu diharapkan dapat menjadi pemandu, penuntut, sekaligus penggerak bekerjanya hukum di Indonesia. Dalam hal ini, bukan berarti hukum progresif menawarkan solusi “yang siap jadi” dalam melihat realitas dan fenomena hukum di Indonesia, tetapi menawarkan semangat yang siap dijadikan sarana untuk mencari sekaligus melaksanakan ide-ide serta gagasan untuk mewujudkan negara hukum Indonesia yang paripurna. Dalam konteks ini, hukum progresif tepat dijadikan sebagai paradigma maupun teori dalam hukum. Sebagai paradigma, maka hukum progresif harus menjadi keyakinan dasar (belief system) dalam pengkajian hukum secara konprehensif dan holistic [18]. Sebagai teori, maka hukum progresif harus menjadi landasan teoretik dari berlakunya suatu praktik hukum yang diharapkan dapat memenuhi tuntutan tujuan negara Indonesia. Oleh karena itu, menurut hemat penulis hukum progresif sangat tepat dijadikan teori maupun paradigma berhukum bangsa.

Paradigma hukum progresif sebagaimana dijelaskan di atas sejatinya relevan dengan salah satu realitas berhukum di negara Indonesia, khususnya berkaitan dengan korupsi. Di Indonesia, korupsi sudah menjadi “penyakit kronis” yang sulit disembuhkan. Hal ini karena korupsi di Indonesia sejatinya telah terjadi secara mengakar, sedangkan dalam realitasnya penegakannya masih sekadar memotong “ranting-ranting di atas” tetapi membiarkan “akar masalahnya” masih hidup. Hal ini lah yang sejatinya menimbulkan problematika penegakan hukum korupsi karena sekalipun penegakan hukum telah dilakukan, namun kasus korupsi masih ada dan dengan bentuk dan strategi yang beragam. Terlebih lagi, ketika praktik korupsi berkaitan dengan aktor-aktor politik yang memiliki kedekatan khusus dengan kekuasaan.

Korupsi yang dilakukan oleh aktor politik yang memiliki kedekatan dengan kekuasaan tentu berbeda dengan korupsi yang hanya dilakukan sekadar untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau kelompok tertentu [19]. Korupsi yang dilakukan dengan melibatkan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan aktor politik yang identik dengan kekuasaan lazimnya disebut sebagai korupsi politik. Korupsi politik secara sederhana dapat disebut sebagai praktik korupsi yang melibatkan aktor kekuasaan baik secara langsung maupun tidak langsung [20]. Secara langsung maksudnya aktor kekuasaan itu terlibat dari berbagai upaya tindakan korupsi sedangkan secara tidak langsung maksudnya aktor kekuasaan itu tidak secara aktif ikut dalam praktik korupsi tetapi secara pasif dan diam-diam ikut merestui, menyetujui, bahkan memfasilitasi tindakan korupsi itu [21]. Dalam praktiknya, menurut Jochen Ropke, praktik korupsi politik identik dengan ideologi atau arah politik suatu negara [22]. Pandangan Jochen Ropke dalam hal ini perlu dijernihkan mengenai peran ideologi dalam adanya korupsi politik. Tentu, dalam pandangan Jochen Ropke, ideologi tidak dimaknai sebagai nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat suatu negara sebagai nilai penuntun dan pemandu dalam kehidupannya [23]. Dalam konteks Indonesia tentu nilai penuntun dan pemandu tersebut adalah Pancasila. Namun, pandangan Jochen Ropke tidaklah dapat diidentikkan dengan ideologi sebagai nilai penuntun dan pemandu suatu negara, melainkan ideologi sebagai “arah politik” penguasa yang oleh Jochen Ropke dicontohkan dengan orde baru yang identik dengan “ideologi pembangunan” [24].

Ideologi yang merupakan salah satu aspek penting dalam adanya korupsi politik harus dilihat sebagai “arah politik kebijakan penguasa”. Dalam hal ini, arah politik kebijakan penguasa memiliki peran penting terkait adanya praktik korupsi politik. Hal ini dapat dicontohkan misalnya, di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo selama dua periode (2014-2019) dan (2109-2024), identik dengan arah politik dan kebijakan berupa pembangunan infrastruktur [25]. Hal ini ditambah dengan orientasi Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk memnangun Ibu Kota Negara baru yang sejatinya merupakan satu kesatuan dengan arah politik kebijakan pembangunan infrastruktur [26]. Hal ini kemudian dapat disimpulkan secara sederhana bahwa jika politik kebijakan suatu negara berfokus pada pembangunan infrastruktur, maka korupsi politik dapat ditemukan banyak di sektor-sektor pembangunan infrastruktur. Hal ini sejalan dengan pandangan dari Yohanes Sogar Simamora yang menyatakan bahwa di Indonesia korupsi paling banyak terjadi di sektor pengadaan barang dan jasa [27]. Tentu, pandangan ini dapat diamini khususnya dikaitkan dengan praktik korupsi politik yang biasanya berkaitan dengan berbagai aspek dalam politik kebijakan rezim yang sedang berkuasa.

Meski begitu, bukan berarti korupsi politik hanya terdapat dalam aspek yang berkaitan dengan arah kebijakan kekuasaan saja, hal ini termasuk juga dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki akses pada kekuasaan sehingga dapat menggunakan privilege untuk memuluskan langkah korupsi politik. Hal ini dapat dilihat dari berbagai fenomena korupsi di Indonesia yang terkesan “heboh” dan “viral” yang justru dilakukan oleh para aktor politik atau setidaknya memiliki akses terhadap kekuasaan. Hal ini misalnya kasus suap korupsi benur yang salah satu terpidananya adalah Edhy Prabowo yang sebelum ditangkap merupakan Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus merupakan kader Partai Gerindra [28]. Selain itu, kasus korupsi yang cukup menghebohkan di Indonesia juga terkait dengan korupsi bantuan sosial oleh Juliari Batubara yang sebelum ditangkap merupakan Manteri Sosial sekaligus kader PDIP [29]. Dua kasus korupsi yang cukup menghebohkan tersebut bisa menjadi refleksi terkait fenomena korupsi politik yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki akses dan kedekatan dengan kekuasaan termasuk mengakali berbagai prosedur dan proses hukum untuk memuluskan langkah korupsi politiknya.

Daniel S. Lev berpandangan, bahwa fenomena korupsi politik telah melahirkan suatu bentuk “mitos” terhadap supremasi hukum [30]. Mitos ini dapat dipahami karena korupsi politik terkadang menggunakan instrumen hukum sebagai “pembenar” dalam melakukan tindakan korupsi. Hal ini tidak salah jika korupsi politik dilakukan salah satunya dengan menganalisis kelemahan-kelemahan dalam instrumen hukum sebelum mengelabuhi aparat penegak hukum untuk kemudian melakukan tindakan korupsi. Dugaan ini setidaknya diperkuat oleh pandangan dari Artidjo Alkostar yang menegaskan bahwa korupsi politik sangat berkaitan erat dengan aspek kekuasaan beserta aspek-aspek lain yang menyertainya [31]. Dalam pandangan Artidjo Alkostar, korupsi politik berkaitan dengan dimensi socio-politis, socio-yuridis, socio-ekonomis, socio-kultural, serta aspek hak asasi manusia [32]. Dalam konteks tulisan ini kiranya aspek hak asasi manusia tidak menjadi fokus sehingga hanya mengaitkan dengan empat dimensi lainnya yaitu dimensi socio-politis, socio-yuridis, socio-ekonomis, serta socio-kultural.

Dimensi socio-politis menekankan bahwa korupsi politik selalu menempatkan para pelaku politik praktis atau penguasa sebagai figur sentral dalam praktiknya. Dalam hal ini, terlepas peran pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan itu bersifat aktif atau pasif itu merupakan urusan lain, yang jelas korupsi politik identik dengan peran vital seorang tokoh atau pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan. Selanjutnya, dalam dimensi socio-yuridis, korupsi politik selalu menekankan peran seorang “ahli” hukum karena korupsi politik dilakukan tidak jarang dengan memanfaatkan celah dalam hukum positif berupa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek yang akan dikorupsi. Dimensi socio-ekonomis juga menempatkan peran pengusaha yang berafiiliasi dengan aktor-aktor politik tertentu yang memiliki akses terhadap kekuasaan yang ikut terlibat dalam praktik korupsi politik. Lebih lanjut, dalam aspek socio-kultural, korupsi politik juga memanfaatkan budaya instansi yang cenderung tidak terbuka, feodalistik, serta keputusan institusi selalu ditentukan oleh elite-elite tertentu dalam institusi. Tentunya, berbagai aspek korupsi politik sebagaimana ditegaskan oleh Artidjo Alkostar di atas, menegaskan bahwa korupsi politik berkarakter sistematis bahkan terencana.

Korupsi politik yang memiliki karakter sistematis bahkan terencana ini lah yang membedakan antara korupsi politik dengan korupsi lainnya. Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat empat aspek yang membedakan praktik korupsi politik dengan korupsi lainnya, yang meliputi: pertama, korupsi politik dilakukan dengan bantuan “surplus kuasa” atau relasi kuasa, sedangkan korupsi pada umumnya hanya dilakukan karena kurangnya orientasi budaya korupsi di lingkungan instansi masing-masing. Dalam hal ini, korupsi politik dilakukan dengan penuh kesengajaan dan rekayasa, berbeda dengan korupsi lainnya yang dilakukan tentu dengan secara diam-diam dan hati-hati karena tidak memiliki relasi kuasa yang memadai. Kedua, korupsi politik dengan dibantu dengan relasi kuasa yang memadai membuat korupsi politik sulit dilakukan penegakan bahkan pelakunya cenderung sulit dketahui keberadaannya. Hal ini dapat dilihat dari salah satu tersangka korupsi kasus suap yang belum diketahui keberadaannya hingga pertengahan tahun 2022. Padahal Harun Masiku dinyatakan buron sejak tahun 2020, hal ini berarti ada sekitar dua tahun lebih hilangnya Harun Masiku dan belum terdapat titik terang hingga pertengahan tahun 2022. Dalam aspek korupsi politik, hal ini tampak bahwa Harun Masiku merupakan salah satu kader PDIP, yang merupakan salah satu parta politik pemenang Pemilu di tahun 2019 sehingga dianggap memiliki akses terhadap kekuasaan. Ketiga, korupsi politik dilakukan secara terencana dan sistematis serta melibatkan aktor-aktor politik hingga aktor ekonomi. Hal ini dapat dipahami karena korupsi politik identik dengan orientasi kebijakan dari pemerintah sehingga sering dilakukan secara terencana dan sistematis. Terencana dan sistematis dalam hal ini dimungkinkan terdapat “komando” tertentu dari salah satu pihak serta upaya tersistem yang secara khusus dapat memudahkan praktik korupsi politik. Keempat, korupsi politik terkadang melibatkan aktor yang bersifat “internasional” sehingga terkadang terdapat upaya untuk menyelundupkan uang “haram” korupsi di bank luar negeri bahkan hingga orientasi melakukan tindak pidana pencucian uang.

Dari keempat aspek karakteristik yang membedakan antara korupsi politik dengan korupsi lainnya tersebut sejatinya mempertegas bahwa korupsi politik memiliki tingkat kerugian negara yang masif serta dilakukan secara sistematis. Hal ini tentu merupakan aspek pembeda antara korupsi politik dengan korupsi lainnya. Jika mengacu pada karakteristik korupsi politik yang bersifat terencana dan sistematis, maka diperlukan upaya penegakan hukum yang “luar biasa” dalam hal ini lah, maka paradigma hukum progresif diperlukan dalam menangani berbagai aspek dalam korupsi politik. Dalam hal ini, urgensi hukum progresif dalam mendobrak korupsi politik perlu dilakukan karena orientasi hukum progresif yang tidak hanya berfokus pada aturan (rules), tetapi juga menekankan aspek perilaku (behavior) [33]. Dalam hal ini, pendobrakan korupsi politik dengan hukum progresif tidak hanya menekankan instrumen hukum positif, tetapi juga melibatkan karakter serta keberanian dari aparat penegak hukum sekaligus melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi upaya penegakan hukum termasuk upaya memviralkan dugaan tindak pidana korupsi untuk dapat ditegakkan secara presisi. Dalam hal ini lah, maka paradigma hukum progresif urgen untuk dijadikan semangat pemandu dan penuntun dalam meengakkan korupsi politik.

Orientasi dan Formulasi Hukum Progresif dalam Mendobrak Korupsi Politik

Hukum progresif sebagaimana dijelaskan di atas menegaskan karakter hukum untuk selalu dalam proses menjadi dalam menghadirkan keadilan bagi rakyat Indonesia [34]. Dalam konteks ini, hukum progresif selalu berorientasi pada evaluasi dan melihat aspirasi masyarakat terkait dengan hukum yang berlaku saat ini serta hukum yang berlaku pada masa yang akan datang [35]. Evaluasi dan aspirasi penting karena sebagai produk yang terus menjadi, maka penyempurnaan hukum tidaklah bersifat mutlak. Penyempurnaan hukum bersifat kontekstual dalam kondisi dan situasi tertentu. Evaluasi dalam hukum penting untuk melihat bahwa berbagai kekurangan, hambatan, serta berbagai kendala dalam dalam hukum menjadi catatan bagi pembentukan hukum ke depannya. Selain itu, aspirasi juga penting mengingat aspirasi merupakan wujud kristalisasi kehendak masyarakat yang akan diatur oleh hukum. Dalam hal ini, masyarakat wajib menentukan kebutuhan hukum apa yang harus terpenuhi ke depannya.

Aspirasi dan evaluasi sebagai karakter utama hukum progresif menjadi hal penting untuk mewujudkan hukum yang baik, berintegritas, serta mewujudkan keadilan yang dicita-citakan [36]. Selain karakter hukum yang terus menjadi (process and progress), hukum progresif juga memiliki karakter “out of the rule” atau karakter untuk selalu melampaui suatu aturan apabila aturan tersebut tidak memberikan esensi keadilan dalam penerapannya [16]. Dalam hal ini, hukum progresif menegaskan esensi rule of “just” law, bukan hanya sekadar rule of law. Karakter rule of law, hanya menekankan substansi hukum yang “apa adanya” diterapkan di masyarakat. Akan tetapi, karakter rule of “just” law menekankan hal yang lebiih dari itu, bahwa hukum yang diterapkan harus bercita dan bersukma keadilan. Dalam rule of “just” law, hukum tidak boleh menjadi “alat” yang siap diterapkan (siap pakai), tetapi menjadi sarana keadilan yang selalu dilihat dan dianalisis apakah sudah memenuhi aspek keadilan atau belum [37]. Aspek keadilan ini lah yang menjadi kata kunci dalam memahami rule of “just” law.

Hukum progresif menurut hemat penulis juga berkarakter rule of “just” law. Dalam konteks hukum progresif, terkadang hukum harus diterapkan dengan melampaui hukum itu sendiri. Hal ini berarti menerapkan hukum tidak hanya sekadar menerapkan teks hukum, tetapi menempatkan konteks hukum secara presisi dan sesuai permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini, hukum progresif menekankan pada kehendak serta semangat untuk selalu menggali dan meniti nilai-nilai keadilan, dalam hal ini termasuk melakukan upaya untuk melampaui suatu aturan hukum atau lazim disebut sebagai rule breaking. Rule breaking sebagai salah satu implementasi dari karakter rule of “just” law harus dipahami secara positif yaitu upaya pemuliaan keadilan substantif dengan cara melampaui hukum positif yang ada [38]. Hal ini harus dipahami secara progresif sebagai upaya mewujudkan keadilan dalam hukum. Pemahaman mengenai rule breaking tidak boleh direduksi menjadi pemahaman sempit yang menempatkan rule breaking sebagai upaya penghancuran hukum. Istilah rule breaking secara leksikal dipahami sebagai “pendobrakan aturan tertulis” yang tentunya tidak sejalan dengan cita keadilan.

Rule breaking sebagai pendobrakan terhadap aturan tertulis tidak dapat dipahami menjadi “pendobrakan terhadap hukum”. Pendobrakan terhadap hukum dapat bermakna negatif yaitu terjadinya inkonsistensi dalam substansi maupun dalam penegakan hukum. Akan tetapi rule breaking sebagai pendobrakan aturan tentu memiliki orientasi dan makna yang berbeda. Menurut hemat penulis, rule breaking sebagai karakter hukum progresif harus dimaknai dalam tiga hal yaitu: pertama, rule breaking adalah pendobrakan aturan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum. Hal ini termasuk juga interpretasi dan penemuan hukum oleh aparat penegak hukum terhadap aturan hukum positif yang dinilai bertentangan dengan hukum atau tidak maksimal dalam merumuskan kehendak hukum dalam aturan tertulis. Kedua, rule breaking harus dipahami sebagai “pemuliaan susbtantif terhadap hukum” tetapi bukan menghamba pada aturan atau hukum positif. Dengan orientasi untuk memuliakan hukum secara substantif, maka substansi hukum yang berupa asas, teori, serta konsep hukum harus menjadi standar kajian dan parameter untuk menilai suatu aturan hukum. Dalam hal ini, aturan hukum tertulis harus selalu dikaji bahkan direvisi jika bertentangan dengan asas, teori, serta konsep hukum. Ketiga, rule breaking juga dipahami sebagai implementasi hukum yang menegaskan aspek perilaku lebih utama dibandingkan dengan aspek aturan hukum positif. Dalam hal ini, aspek perilaku dapat mewujudkan cita hukum positif menjadi lebih konkret dan komprehensif. Hal ini karena tanpa perilaku yang memadai, hukum positif hanya seonggok aturan tanpa makna. Kolaborasi antara aturan dan perilaku ini lah yang merupakan ruh dari hukum progresif.

Dari ketiga aspek dalam rule breaking di atas, dapat disimpulkan bahwa selain aspek aturan, perlaku penegak hukum menempati posisi penting dalam suatu penegakan hukum. Hal ini tentu sejalan dengan pandangan Lawrence M. Friedman bahwa suatu hukum yang tersistem dapat terlaksana apabila antara substansi, struktur, dan kultur hukum secara kompehensif saling melengkapi [39]. Substansi hukum merupakan aturan hukum tertulis, struktur hukum merupakan aparat penegak hukum yang melaksanakan ketentuan dalam aturan hukum tertulis, serta budaya hukum merupakan cita hukum masyarakat yang berkaitan dengan relasi antara aparat penegak hukum dan masyarakat dalam proses penegakan hukum. Meski begitu, menurut Achmad Ali, ketiga komponen dalam sistem hukum tersebut masih belum dapat berjalan secara optimal selama aspek kepemimpinan dan profesionalisme dalam pribadi masing-masing belum terbentuk [40]. Kepemimpinan dalam konteks penegakan hukum adalah rasa berani bertanggung jawab terhadap semua jenis pelanggaran hukum yang dilakukan sedangkan profesionalitas adalah kecakapan, kualitas, dan kompetensi dari aparat penegak hukum. Dari pandangan Lawrence M. Friedman dan Achmad Ali di atas, dapat disimpulkan bahwa substansi, struktur, dan kultur hukum harus dilaksanakan selaras dengan jiwa kepemimpinan dan profesionalisme. Substansi hukum yang dapat dipertanggungjawabkan serta dibuat oleh para profesional, struktur hukum berupa aparat penegak hukum yang berani bertanggung jawab serta memiliki kompetensi yang mumpuni, serta budaya hukum masyarakat yang menekankan pada tanggung jawab individu serta penuh objektivitas bahwa siapa pun yang salah haruslah mendapatkan hukuman tidak peduli apa pun jabatan dan struktur sosialnya. Orientasi tiga komponen hukum yang berjiwa kepemimpinan dan profesional ini lah yang merupakan langkah penting dalam menegakkan hukum.

Dalam konteks korupsi, taiga komponen sistem hukum yaitu substansi, struktur, dan kultur hukum juga harus ditegakkan sesuai jiwa kepemimpinan dan jiwa profesionalitas. Dalam konteks substansi hukum, dalam konteks korupsi perlu adanya perhatian pada produk hukum di Indonesia terkait korupsi seperti perlu harmonisasi atas UNCAC yang telah diratifikasi dengan UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perubahan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini misalnya dapat dilihat dari ketentuan UNCAC yang mengatur mengenai justice collaborator namun dalam UU Tindak Pidana Korupsi dan UU Perubahan Tindak Pidana Korupsi hal tersebut belum diatur. Justice collaborator dalam konteks korupsi politik menjadi penting karena karakter korupsi politik yang bersifat sistematis dan terencana sehingga jika otak atau skema korupsi politik dapat dibongkar maka jaringan korupsi politik dapat diiberantas sampai ke akarnya [41]. Hal ini lah yang sejatinya masih belum optimal dalam substansi hukum terkait korupsi politik di Indonesia. Selanjutnya, terkait aspek struktur yaitu aparat penegak hukum yang dalam konteks korupsi politik justru sering menjadi “faslitator” bahkan “pelumas” terjadinya korupsi politik. Dalam hal ini, peningkatan jika kepemimpinan dan profesionalitas penegak hukum diperlukan untuk menjamin penerapan hukum yang optimal. Lebih lanjut, dalam aspek budaya hukum, perlu memberikan penyadaran ke masyarakat terkait korupsi politik beserta dampaknya serta perlu juga diuraikan peran masyarakat khususnya dalam mencegah adanya korupsi politik. Masyarakat sejatinya dapat memanfaatkan platform media sosial untuk memviralkan potensi serta proses penegakan hukum korupsi politik supaya terus mendapat sorotan sehingga selalu dioptimalkan proses penegakan hukumnya. Berdasarkan uraian di atas, orientasi dan formulasi hukum progresif dalam mendobrak korupsi politik adalah menekankan dimensi perilaku berupa jiwa kepemimpinan dan profesionalitas dalam merumuskan substansi hukum yang perlu melihat perkembangan hukum korupsi di negara lain, berupa jiwa kepemimpinan dan profesionalitas yang perlu dipupuk dan diberdayakan bagi aparat penegak hukum, serta jiwa kepemimpinan dan profesionalitas bagi masyarakat umum untuk ikut mengawasi proses hukum korupsi politik dengan ikut memviralkan di media sosial.

Kesimpulan

Urgensi hukum progresif dalam mendobrak korupsi politik perlu dilakukan karena orientasi hukum progresif yang tidak hanya berfokus pada aturan (rules), tetapi juga menekankan aspek perilaku (behavior). Dalam hal ini, pendobrakan korupsi politik dengan hukum progresif tidak hanya menekankan instrumen hukum positif, tetapi juga melibatkan karakter serta keberanian dari aparat penegak hukum sekaligus melibatkan partisipasi masyarakat dalam mengawasi upaya penegakan hukum termasuk upaya memviralkan dugaan tindak pidana korupsi untuk dapat ditegakkan secara presisi. Dalam hal ini lah, maka paradigma hukum progresif urgen untuk dijadikan semangat pemandu dan penuntun dalam meengakkan korupsi politik.

Orientasi dan formulasi hukum progresif dalam mendobrak korupsi politik adalah menekankan dimensi perilaku berupa jiwa kepemimpinan dan profesionalitas dalam merumuskan substansi hukum yang perlu melihat perkembangan hukum korupsi di negara lain, berupa jiwa kepemimpinan dan profesionalitas yang perlu dipupuk dan diberdayakan bagi aparat penegak hukum, serta jiwa kepemimpinan dan profesionalitas bagi masyarakat umum untuk ikut mengawasi proses hukum korupsi politik dengan ikut memviralkan di media sosial.

References

  1. E. O. S. Hiariej, “United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 31, no. 1, p. 112, 2019, doi: 10.22146/jmh.43968.
  2. A. J. Brown and F. Heinrich, “National Integrity Systems – An evolving approach to anti-corruption policy evaluation,” Crime, Law Soc. Chang., vol. 68, no. 3, pp. 283–292, 2017, doi: 10.1007/s10611-017-9707-1.
  3. K. S. Wahyuningrum, H. S. Disemadi, and N. S. P. Jaya, “Independensi Komisi Pemberantasan Korupsi: Benarkah Ada?,” Refleks. Huk. J. Ilmu Huk., vol. 4, no. 2, pp. 239–258, 2020, doi: 10.24246/jrh.2020.v4.i2.p239-258.
  4. J. I Ketut Patra, “Korupsi, Pertumbuhan Ekonomi Dan Kemiskinan Di Indonesia,” Ris. Akunt. dan Keuang. Indones., vol. 3, no. 1, pp. 71–79, 2018, doi: 10.23917/reaksi.v3i1.5609.
  5. A. Atilgan, Global Constitutionalism: A Socio-legal Perspective, 1st ed. Berlin: Springer Nature, 2018.
  6. R. Skandiva and B. Harefa, “Urgensi Penerapan Foreign Bribery Dalam Konvensi Antikorupsi di Indonesia,” Integritas J. Antikorupsi, vol. 7, no. 2, pp. 245–262, 2022, doi: 10.32697/integritas.v7i2.826.
  7. A. K. Sari, S. Sari, and B. Risdiyanto, “Analisis Semiotika Sosial Pemberitaan Kasus Korupsi E-Ktp Di Situs Liputan6.Com,” J. Prof., vol. 4, no. 1, pp. 87–111, 2017.
  8. L. N. Simarmata, “Korupsi Sekarang Dan Yang Akan Datang,” J. Ilm. Huk. Dirgant., vol. 11, no. 2, pp. 87–99, 2021.
  9. A. Oktaryal and P. Hastuti, “Desain Penegakan Hukum Korupsi Partai Politik di Indonesia,” Integritas, vol. 7, no. 1, pp. 1–22, 2021, doi: 10.32697/integritas.v7i1.729.
  10. Launa and H. Lusianawati, “Potensi Korupsi Dana Bansos di Masa Pandemi Covid-19,” Maj. Semi Ilm. Pop. Komun. Massa, vol. 2, no. 1, pp. 1–22, 2021.
  11. N. Ata, “Praktik Ijon Politik Pada Kasus Korupsi Kepala Daerah; Studi Kasus Korupsi Dana Alokasi Khusus (Dak) Pendidikan,” J. Gov. Innov., vol. 4, no. 1, pp. 65–83, 2022, doi: 10.36636/jogiv.v4i1.1187.
  12. I. M. P. Diantha, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cetakan ke. Jakarta: Prenadamedia Group, 2017.
  13. R. Banakar and M. Travers, “Introduction to Theory and Method in Socio-Legal Research,” in THEORY AND METHOD IN SOCIAL-LEGAL RESEARCH, Oxford: Hart Publishing, 2005, pp. 1–8.
  14. S. Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2010.
  15. A. Y. Sulistyawan, “Liberalisme dan Rasionalitas sebagai Basis Rule of Law: Perspektif Gerald Turkel,” Undang J. Huk., vol. 3, no. 1, p. 188, 2020.
  16. S. Sayuti, “Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori Hukum Pembangunan, Teori Hukum Progresif, dan Teori Hukum Integratif),” Al Risal., vol. 13, no. 2, pp. 11–22, 2018.
  17. N. R. Wildan Nafis, “Hukum Progresif dan Relevansinya Pada Penalaran Hukum di Indonesia,” El Ahli J. Huk. Kel. Islam, vol. 1, no. 2, pp. 1–16, 2020.
  18. T. L. I. Robert Pranata, Erlyn Indarti, “Penemuan Hukum dan Pradigma: Suatu Telaah Filsafat Hukum Tentang Proses Peradilan Pidana di Pengadilan Negeri Kota Semarang,” Diponegoro Law J., vol. 5, no. 4, pp. 1–20, 2016.
  19. Z. Zulqarnain, M. Ikhlas, and R. Ilhami, “Perception of college students on civic and anti-corruption education : Importance and relevance,” Integritas J. Antikorupsi, vol. 8, no. 1, pp. 123–134, 2022.
  20. N. R. Putra and R. Linda, “Corruption in Indonesia : A challenge for social changes,” Integritas J. Antikorupsi, vol. 8, no. 1, pp. 13–24, 2022.
  21. J. A. Dewantara et al., “Anti-corruption education as an effort to form students with character humanist and law-compliant,” J. Civ. Media Kaji. Kewarganegaraan, vol. 18, no. 1, pp. 70–81, 2021, doi: 10.21831/jc.v18i1.38432.
  22. Kolimin and Wijaya, “Tinjauan Yuridis Tanggung Jawab Pengurus Koperasi,” J. Juristilk, vol. 1, no. 2, pp. 197–205, 2020.
  23. W. Dwi Putro, “Pancasila Di Era Paska Ideologi,” Verit. Justitia, vol. 5, no. 1, pp. 1–19, 2019, doi: 10.25123/vej.3233.
  24. M. Al, I. Bintarto, R. Abubakri, and A. Zulhaj, “Politik Hukum Penegakan Tindakan Korupsi Dimasa Pandemi Covid-19,” Ilmu Huk., vol. 10, no. 2, pp. 349–360, 2021.
  25. D. Herdiana, “Pemindahan Ibukota Negara: Upaya Pemerataan Pembangunan ataukah Mewujudkan Tata Pemerintahan yang Baik,” J. Transform., vol. 8, no. 1, pp. 1–30, 2022, doi: 10.21776/ub.transformative.2022.008.01.1.
  26. R. M. A. Ilyasa, “Prinsip Pembangunan Infrastruktur yang Berlandaskan HAM Terhadap Eksistensi Masyarakat Hukum Adat di Indonesia,” Sasi, vol. 26, no. 3, p. 380, 2020, doi: 10.47268/sasi.v26i3.296.
  27. M. D. Pane, “Aspek Hukum Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah, Suatu Tinjauan Yuridis Peraturan Pengadaan Barang Dan Jasa Pemerintah,” J. Media Huk., vol. 24, no. 2, pp. 147–155, 2017, doi: 10.18196/jmh.2017.0090.147-155.
  28. Wayan Rudi Pranata, “Oprasi Tangkap Tangan Kpk Terhadap Kementrian Kelautan Dan Perikanan Edhy Prabowo Terkait Kasus Korupsi Ekspor Benih Lobster,” J. Media Komun. Pendidik. Pancasila Dan Kewarganegaraan, vol. 3, no. April, pp. 37–48, 2021.
  29. I. S. Latif and I. A. Pangestu, “Problematika Penyalahgunaan Bantuan Sosial Pada Masa Pandemi,” Justisi, vol. 8, no. 2, pp. 95–107, 2022, doi: 10.33506/js.v8i2.1612.
  30. M. Crouch, “The challenges for court reform after authoritarian rule: The role of specialized courts in indonesia,” Const. Rev., vol. 7, no. 1, pp. 1–25, 2021, doi: 10.31078/consrev711.
  31. D. E. Prasetio, “Menelisik Perjuangan Artidjo Alkostar: dari Paradigma Hukum Profetik Hingga Penegakan Hukum Korupsi Politik.” syakal.iainkediri.ac.id, Kediri, p. 3, 2021.
  32. A. Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, 2nd ed. Yogyakarta: FH UII Press, 2015.
  33. Dicky Eko Prasetio Adam Ilyas Felix Ferdin Bakker, “Membangun Moralitas dan Hukum Sebagai Integrative Mechanism di Masyarakat Dalam Perspektif Hukum Progresif,” Mimb. Keadilan, vol. 14, no. 2, pp. 128–138, 2021.
  34. R. S. Markus Marselinus Soge, “Kajian Hukum Progresif Terhadap Fungsi Pemasyarakatan Dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan,” Leg. J. Huk. dan Perundang-Undangan, vol. 2, no. 2, pp. 5–24, 2022.
  35. A. Suntoro, “Implementasi Pencapaian Secara Progresif dalam Omnibus Law Cipta Kerja,” J. HAM, vol. 12, no. 1, pp. 1–18, Apr. 2021, doi: 10.30641/ham.2021.12.1-18.
  36. M. Z. Aulia, “Friedrich Carl von Savigny tentang Hukum: Hukum sebagai Manifestasi Jiwa Bangsa,” Undang J. Huk., vol. 3, no. 1, pp. 201–236, 2020, doi: 10.22437/ujh.3.1.201-236.
  37. A. Buyse, K. Fortin, B. M. Leyh, and J. Fraser, “The Rule of Law from Below – A Concept Under Development,” Utr. Law Rev., vol. 17, no. 2, pp. 1–7, 2021.
  38. Suteki, Desain Hukum di Ruang Sosial, 1st ed. Semarang: Thafa Media, 2013.
  39. Sudjana, “Penerapan Sistem Hukum Menurut Lawrence W Friedman Terhadap Efektivitas Perlindungan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000,” AL Amwal, vol. 2, no. 1, p. 82, 2019.
  40. A. Ali, Menguak Teori Hukum & Teori Peradilan Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Volume 1 Pemahaman Awal, 7th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  41. H. A. M. Irwanto Eka Putra Rahim , Audyna Mayasari Muin, “Justice Collaborator dalam Mengungkap Kasus Tindak Pidana Pencucian Uang Irwanto,” Petitum, vol. 9, no. 2, pp. 127–140, 2022.