The criminal justice system is a comprehensive effort by the state to tackle crime and determine accountability for each offense. In this case, the criminal justice system also emphasizes the importance of non-prison efforts to determine crime responsibility, commonly referred to as restorative justice. This study aims to describe the application of the concept of restorative justice in other countries and the orientation of its application in Indonesia. This research is normative legal research. Normative legal research is oriented toward answering legal issues and finding prescriptions for a legal problem. This study uses a statutory procedure, a concept approach, and a comparative approach. The results of the study confirm that the concept of restorative justice is part of the development of world law which is applied in various countries with different legal systems, such as the Netherlands, the United States, and Malaysia. In addition, the concept of restorative justice also needs special arrangements in the Criminal Procedure Code to reform the criminal procedure law in Indonesia.
Sistem peradilan pidana merupakan rangkaian upaya dari negara yang bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dengan mengedepankan sistem restributif yaitu adanya nestapa atau pembalasan yang bersifat lahiriah [1]. Sistem peradilan pidana sejatinya tidak hanya melibatkan aparatur negara, khususnya berupa aparat penegak hukum. Sistem peradilan pidana yang efektif juga melibatkan peran seluruh elemen masyarakat. Oleh sebab, pada prinsipnya hukum pidana merupakan relasi antara warga negara dengan negara, yang mana negara menjadi institusi yang otoritatif dalam memberikan sanksi pidana bagi masyarakat yang melanggar [2]. Sistem peradilan pidana dapat berlaku secara efektif selain melibatkan masyarakat juga melihat karakter serta hukum yang hidup di masyarakat [3]. Karakter masyarakat dapat dilihat dari orientasi sosiologis masyarakat terhadap adanya pelanggaran atau tindakan tercela di masyarakat yang biasanya masyarakat memiliki metode serta langkah-langkah tertentu dalam menanganinya.
Selain itu, hukum yang tumbuh dan hidup di masyarakat juga perlu diperhatikan karena terkadang terdapat perbedaan susbtansi antara hukum pidana sebagai hukum tertulis yang dibuat oleh negara yang terkadang mengalami suatu disharmoni dengan hukum yang hidup di masyarakat [4]. Sistem peradilan pidana dengan demikian dapat dikatakan efektif apabila sesuai dengan hukum yang berlaku di masyarakat. Dalam praktiknya, orientasi hukum pidana untuk menjalin langkah harmonis dengan hukum yang berlaku di masyarakat menjadi salah satu kajian intensif khususnya di abad ke-21 [5]. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh fenomena modernisasi hukum, yaitu fenomena di mana terjadinya “globalisasi” dalam lingkup konsep dan praktik hukum [6].
Hal ini berimplikasi pada konsep dan praktik hukum pidana di negara lain dapat mempengaruhi bahkan kemudian diterapkan di negara lain. Fenomena modernisasi hukum atau “globalisasi” hukum ini ialah fenomena yang tak mampu untuk dihindari [6]. Hal ini menegaskan bahwa praktik hukum di negara lain dapat menjadi referensi seklaigus menjadi inspirasi bagi praktik hukum di negara lain. Salah satu aspek penting modernisasi hukum dalam sistem peradilan pidana adalah diperkenalkannya konsep restorative justice. Konsep restorative justice sejatinya merupakan upaya untuk melakukan harmonisasi antara pelaku dan korban terkait suatu tindak pidana yang oleh masyarakat sekitar tindak pidana tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan dapat diberikan ganti kerugian yang layak [7]. Konsep restorative justice sekalipun berkembang di Eropa Barat dan Amerika, namun jika melihat dan mengacu pada penerapannya sejatinya sudah dilakukan oleh masyarakat Indonesia secara non-formal berdasarkan pada hukum yang berlaku di masyarakat [8].
Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hukum pidana positif di Indonesia, khususnya dalam taraf Undang-Undang tidak dikenal adanya konsep restorative justice. Sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia telah diatur mengenai penyelesaian suatu perkara pidana dimulai dengan penyelidikan dan penyidikan, dakwaan, tuntutan pidana dan pemidanaan dan pemenjaraan, sudah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketentuan dalam KUHAP tersebut apabila dilanggar dapat menyebabkan implikasi yuridis proses penegakan hukum seperti penyidikan yang tidak sah, dakwaan kurang jelas, alat bukti yang kurang dan putusan pengadilan yang tidak sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai dri rangkaian tersebut adalah pemberian sanksi pidana pada pelaku berupa pemidaan. Konsep restorative justice yang belum terakomodasi dalam KUHAP sejatinya merupakan problematika tersendiri, khususnya terkait dengan penerapannya di masyarakat.
Perihal tersebut dipertegas oleh Satjipto Raharjo bahwa penyelesaian perkara melalui sistem peradilan yang berujung pada vonis pengadilan merupakan suatu penegakan hukum (law enforcement) yang bersifat lambat [9]. Implikasi dari sifat lambat dalam penegakan hukum bukan hanya berkaitan dengan kepastian hukum tetapi termasuk juga beban biaya penegakan hukum yang terbilang lebih mahal jika mengacu pada penegakan hukum dalam KUHAP. Penegakan hukum selama ini, melalui sistem peradilan pidana Pidana mendapatkan respon sekaligus kritik yang sangat pedas dari berbagai praktisi maupun akademisi mengingat kondisi dari peran keadilan saat ini justru dianggap memberikan beban yang terlampau berat dan padat, terlampau teknis, membuang-buang waktu dalam berperkara, dirasa sangat lamban untuk menangani kasus, berbiaya yang tidak murah, serta tidak merespon terkait kepentingan masyarakat. Peradilan hanya dianggap sebagai formalitas semata, bahkan tak jarang pula terdapat berbagai oknum yang mampu memberikan ketidakadilan kepada masyarakat melalui mafia mafia peradilan, sehingga keputusan-keputusan dari peradilan dapat disesuaikan dengan keinginan mafia tersebut [10].
Konsep restorative justice sebagai sebuah alternatif dalam penegakan hukum menjadi salah satu alternatif yang populer di berbagai negara agar mampu menangani berbagai problematika perbuatan melawan hukum dengan memberikan alternatif penanganan kasus yang efisien dan efektif sekaligus komprehensif.. Hal ini bahkan dapat dibuktikan dengan penerapan restorative justice di berbagai belahan negara di dunia. Dalam hal ini, orientasi penerapan restorative justice di Indonesia, khususnya penuangannya dalam KUHAP menjadi hal penting supaya restorative justice dapat menjadi bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia secara optimal dan komprehensif. Maka dari itu, perlu adanya terobosan baru yang ditawarkan guna mencapai rasa keadilan dalam memutuskan perkara yakni dengan melaksanakan konsep restorative justice (restorative justice). Penelitian mengenai restorative justice pernah dilakukan oleh Rosdiana dan Ulum Janah (2020) tentang Penerapan Restorative Justice dalam Tindak Pidana Perzinaan Pada Masyarakat Kutai Adat Lawas yang berfokus pada penerapan restorative justice yang berkaitan dengan hukum adat di Kutai Adat Lawas [11]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Abdul Wahid (2021) tentang Restorative Justice: Idealita, Realita, dan Problematika Dalam Sistem Peradilan Pidanayang berfokus pada penerapan restorative justice dengan melibatkan unsur kearifan lokal pada masing-masing masyarakat [12].
Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Budi Bahreisy, Ferdi Saputra, dan Hidayat (2022) tentang Penerapan Restorative Justice Melalui Lembaga Adat Terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Kota Lhokseumawe yang berfokus pada penerapan dan optimalisasi hukum adat masyarakat terkait penerapan restorative justice yang melibatkan anak yang berkonflik dengan hukum [13]. Dari ketiga penelitian terdahulu di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang orisinal karena membahas mengenai konsep restorative justice yang berkaitan dengan perbandingan negara lain sekaligus prospek penerapannya sebagai pembaruan hukum acara pidana. Hal ini karena ketiga penelitian terdahulu berfokus pada penerapan restorative justice yang berkaitan dengan hukum adat serta kearifan lokal setempat. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis serta menggali konsep restorative justice serta penerapannya di negara lain sekaligus prospek perumusan restorative justice dalam KUHAP sembagai pembaruan hukum acara pidana dalam mengoptimalkan sistem peradilan pidana. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu (i) Bagaimanakah konsep restorative justice dalam pembaharuan hukum acara pidana?, dan (ii) Bagaimanakah prospek perumusan restorative justice dalam pembaharuan hukum acara pidana terkait sistem peradilan pidana di Indonesia?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif.[14] Penelitian hukum normatif merupakan penelitian dengan karakter khas ilmu hukum yang bersifat sui generis. Penelitian hukum normatif berorientasi menjawab isu hukum dan menemukan preskripsi terhadap suatu masalah hukum.[15] Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer berupa: UUD NRI 1945, KUHAP, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Restorative justice (Peraturan Kejaksaan tentang Restorative justice), Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Restorative justice (Peraturan Kepolisian tentang Restorative justice), serta dengan aturan hukum di negara Belanda, Amerika Serikat, dan Malaysia. Bahan hukum sekunder meliputi: buku serta segala bentuk hasil kajian dan penelitian mengenai restorative justice. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep, dan pendekatan perbandingan. Perbandingan dilakukan dengan tiga negara yaitu: Belanda, Amerika Serikat, serta Malaysia.
Restorative justice sejatinya bukanlah konsep yang baru berkembang di Indonesia, tetapi semangat dan penerapan restorative justice diakui baru menggeliat ketika pascareformasi di tahun 1998. Hal ini dipahami karena peristiwa reformasi tidak hanya sekadar keinginan untuk menurunkan rezim Suharto, tetapi termasuk juga upaya untuk mereformasi serta menata hukum di Indonesia [16]. Secara umum, restorative justice dipahami sebagai,
“…is a set of principles and practices that create a different approach to dealing with crime and its impacts. Restorative justice practices work to address the dehumanization frequently experienced by people in the traditional criminal justice system” [17].
Sepintas, Restorative Justice dipahami sebagai seperangkat prinsip dan praktik yang menciptakan pendekatan berbeda untuk menangani kejahatan dan dampaknya. Praktik Restorative Justice bekerja untuk mengatasi dehumanisasi yang sering dialami oleh orang-orang dalam sistem peradilan pidana tradisional. Daripada meninjau bahwa pelanggaran hukum merupakan suatu pelanggaran terhadap suatu peraturan perundang-undangan, Restorative Justice memiliki perspektif bilamana hal tersebut adalah tindakan seseorang yang melakukan pelanggaran sebagaimana berhubungan dengan relasi sosialnya. Restorative Justice berupaya agar mampu meninjau dampak dari perbuatan melawan hukum sekaligus menentukan hal-hal yang mampu memperbaiki dari pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku tersebut. Perspektif tersebut memandang pelaku akan bertanggung jawab terhadap segala hal yang telah ia lakukan, yang mana pelaku akan memperbaiki segala kerugian yang telah ia lakukan dari pelanggaran hukum yang ia perbuat. Sehingga, konsepsi Restorative Justice tidak berfokus pada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku, namun berupaya untuk memperbaiki dari kerugian yang telah timbul sebagaimana akibat dari pelanggaran hukum.
Restorative justice berusaha untuk memasukkan mereka yang paling langsung terkena dampak kejahatan dalam proses peradilan, yaitu korban dan penyintas. Daripada proses yang berfokus pada pelaku, restorative justice berfokus pada mereka yang telah dirugikan dan kerugian yang mereka alami. Dalam proses restorative justice, korban diberdayakan untuk berpartisipasi lebih penuh daripada dalam sistem tradisional [18]. Demikian pula, masyarakat memainkan peran penting dalam proses restoratif dengan menetapkan standar perilaku, membantu meminta pertanggungjawaban pelaku, dan memberikan dukungan kepada pihak-pihak yang terlibat dan kesempatan untuk membantu memperbaiki kerusakan yang telah terjadi. Kesempatan untuk mengungkapkan kerugian yang dialami korban, partisipasi penuh dalam pengambilan keputusan, dan dukungan dari masyarakat semuanya membantu penyembuhan setelah kejahatan serius.
Restorative justice memiliki beberapa prinsip, yaitu[19]: pertama, Kejahatan adalah pelanggaran terhadap orang dan relasi sosialnya. Kejahatan menyakiti korban individu, komunitas, dan pelaku dan menciptakan kewajiban untuk memperbaiki keadaan. Restorasi berarti memperbaiki kerusakan yang dilakukan dan membangun kembali hubungan dalam masyarakat. Kedua, korban serta masyarakat adalah core praktik keadilan. Seluruh elemen masyarakat wajib menjadi bagian dari respons terhadap kejahatan dalam hal ini termasuk korban (jika dia memilih untuk terlibat), masyarakat, dan pelaku. Ketiga, fokus utama dari proses peradilan adalah untuk membantu para korban dan memenuhi kebutuhan. Perspektif korban adalah kunci untuk menentukan bagaimana memperbaiki kerugian akibat kejahatan. Keempat, fokus kedua adalah memulihkan komunitas ke tingkat yang memungkinkan. Pihak-pihak yang terlibat dalam proses restorative justice berbagi tanggung jawab untuk memperbaiki kerugian melalui kemitraan untuk tindakan. Komunitas memiliki tanggung jawab untuk kesejahteraan semua anggotanya, termasuk korban dan pelaku. Kelima, Seluruh umat manusia memiliki kehormatan yang tidak patut untuk diderogasi oleh siapapun, termasuk pemerintah. Maka dari itu, baik sisi pelaku serta korban mereka memiliki martabat yang wajib dijunjung tinggi satu sama lain sebagaimana hak-hak mereka di integrasikan dengan kewajiban serta peran yang baik di lingkungan masyarakat.
Dari kelima prinsip dalam restorative justice di atas, dapat disimpulkan bahwa restorative justice memiliki tiga relasi yang saling berkaitan yaitu pelaku, korban, dan komunitas atau aspek kemasyarakatan. Hal ini sejatinya menekankan bahwa restorative justice berupaya menempatkan keseimbangan antara kepentingan pelaku, korban serta komunitas. Hal ini dapat dilihat dari orientasi restorative justice yang tidak hanya berupa menjamin “kesepakatan” antara pelaku dan korban, tetapi juga melibatkan peran negara untuk dapat melihat kepentingan komunitas atau masyarakat di mana suatu tindak pidana itu dilakukan. Kepentingan komunitas di sini tidak dipahami secara sempit berupa kepentingan tokoh masyarakat atau bahkan mayoritas masyarakat, melainkan aspek moralitas masyarakat yang tumbuh dan berkembang di masyarakat sebagai bagian hukum yang hidup dan tumbuh. Hal ini berarti restorative justice memiliki tiga konsep dasar yang wajib dipenuhi dalam pelaksanaannya, yaitu[20]: pertama, harus menjamin serta menjaga kepentingan korban sebagai pihak yang dirugikan atas adanya tindak pidana, kedua, harus menjamin tanggung jawab pelaku terhadap korban secara proporsional, serta ketiga, restorative justice dilakukan pada pelanggaran atau tindak pidana dengan kategori ringan atau setidak-tidaknya suatu tindak pidana yang oleh masyarakat tidak dipandang sebagai kejahatan atau suatu tindakan tercela yang tidak dapat dimaafkan. Berdasarkan uraian di atas, maka restorative justice tidak dapat diterapkan pada semua aspek tindak pidana.
Restorative justice sekalipun dianggap sebagai salah satu karakteristik hukum yang hidup di Indonesia namun dalam hukum positif di Indonesia baru hadir sekitar tahun 2020 ke atas, khususnya dengan adanya Peraturan Kejaksaan dan Peraturan Kepolisian tentang restorative justice. Dalam KUHAP, tidak ditemukan orientasi pelaksanaan restorative justice karena KUHAP menekankan proses peradilan yang sifatnya formal teratur, sedangkan restorative justice sejatinya menekankan proses informal yang diharapkan terdapat diskursus antara korban dan pelaku mengenai penyelesaian secara restorative justice yang berupaya memulihkan hak-hak korban secara proporsional. Dalam hal ini, adanya Peraturan Kejaksaan dan Peraturan Kepolisian tentang restorative justice sejatinya menegaskan bahwa restorative justice menjadi salah satu orientasi penyelesaian pidana yang diakui dalam hukum positif di Indonesia, meskipun belum terdapat penegasan mengenai restorative justice dalam KUHAP.
Praktik di berbagai dunia, penerapan restorative justice mulai digalakkan terlebih dengan berkembangnya pemahaman mengenai filosofi keadilan restoratif dalam hukum pidana. Filosofi keadilan restoratif dalam hukum pidana menekankan bahwa hukum pidana modern tidak hanya sekadar berkaitan dengan upaya pembalasan dan pemberian nestapa (penderitaan fisik) bagi pelaku [21]. Hukum pidana modern harus lebih menekankan pada pemahaman keadilan restoratif yaitu upaya untuk memberikan ganti kerugian yang patut terhadap suatu tindak pidana yang dilakukan [22]. Pemberian ganti kerugian yang patut harus dimaknai sebagai upaya untuk mengefektifkan orientasi pemidanaan yang tidak hanya sekadar untuk “memenjarakan”, tetapi pemidanaan harus juga menjadi “obat” bagi pelaku, korban, serta masyarakat pada umumnya. Orientasi hukum pidana sebagai obat sebagaimana terkenal dalam adagium hukum yang menegaskan bahwa, “Lex samper dabit remidium” yang bermakna bahwa hukum harus menjadi obat bagi “penyakit” sosial yang ada dalam masyarakat [23]. Mengutip pandangan dari Satjipto Rahardjo, sebagai obat maka hukum harus fokus pada substansi yang ada di dalam obat tersebut dan tidak berfokus pada merek atau nama obatnya [24]. Oleh karena itu, singkatnya sebagai obat hukum harus berfokus pada substansi, bukan hanya berkutat pada institusi serta prosedur formal-prosedural yang terkadang justru tidak efektif bahkan menimbulkan akibat berupa ketidakadilan di masyarakat.
Restorative justice dalam konteks ini menekankan pada upaya proporsionalitas antara korban, pelaku, dan masyarakat berdasarkan pemahaman atas konsep keadilan restoratif yang berorientasi sebagai obat, bukan sekadar penempatan di penjara pada pelanggar hukum. Dalam konteks perkembangan di dunia, restorative justice diterapkan dari berbagai sistem hukum. Hal ini menegaskan bahwa restorative justice merupakan perkembangan dan gejala hukum global yang tidak terbatas pada sistem hukum tertentu. Dalam hal ini, sejatinya tidak relevan dalam mengidentikkan restorative justice sebagai karakteristik sistem hukum tertentu karena hampir semua sistem hukum mengadopsi ketentuan mengenai restorative justice. Dalam penelitian ini, dibandingkan tiga negara yang menerapkan restorative justice, yaitu: Belanda, Amerika Serikat, dan Malaysia. Argumentasi membandingkan praktik restorative justice dengan tiga negara tersebut, yaitu: pertama, membandingkan dengan Belanda karena Belanda mewakili negara dengan sistem hukum civil law atau Eropa Kontinental. Selain itu, karena Belanda merupakan “bekas” penjajah Indonesia sehingga terdapat kedekatan historis maupun praktis terkait penegakan hukum. Kedua, membandingkan dengan Amerika Serikat karena Amerika Serikat mewakili negara dengan sistem common law, selain itu karena praktik hukum di Amerika Serikat juga sering menjadi contoh dari berbaga negara di dunia. Ketiga, membandingkan dengan Malaysia karena secara kultural Malaysia memiliki kedekatan dengan Indonesia, khususnya pada “kultur Melayu” yang lebih menitikberatkan pada penyelesaian secara informal atas kejahatan tertentu selama bukan merupakan tindakan yang oleh masyarakat sebagai tindakan tercela.
Di Belanda, penerapan restorative justice dilakukan dengan pemberian hukuman alternatif bagi narapidana. Hukuman alternatif lebih menekankan pada hukuman seperti kerja sosial, kewajiban mempelajari keterampilan tertentu, rehabilitasi, serta denda administrative [25]. Hal ini berlaku khususnya bagi tindak pidana yang berkategori ringan dan beberapa kategori sedang. Pemberian hukuman alternatif bagi narapidana di Belanda ternyata cukup efektif dalam menangani masalah over crowded atau kelebihan kapasitas rumah tahanan. Dalam hal ini, Belanda juga pernah mengalami kelebihan kapasitas rumah tahanan kurang lebih pada tahun 2007 hingga kemudian diterapkan adanya sanksi hukuman alternatif [26]. Berbeda dengan Belanda, Amerika Serikat dapat dikatakan menjadi salah satu pelopor gagasan restorative justice. Hal ini dapat dilacak secara historis dengan adanya gerakan Victim Offender Recociliation Program (VORP) pada tahun 1974 serta berlanjut di tahun 1994 dengan dukungan penuh dari American Bar Association (ABA) yang mendukung sekaligus memberikan rumusan mengenai mediasi antara korban dan pelaku di peradilan Amerika Serikat. Bahkan di tahun 1995 dibentuk NOVA (the National Organization for Victim Assistance) yang salah satu gagasannya adalah orientasi dan urgensi penerapan restorative justice yang akhirnya mempengaruhi berbagai negara di dunia, termasuk Eropa, Afrika, Asia, serta mendapat dukungan Uni Eropa dan PBB [27] Salah satu karakteristik penerapan restorative justice di Amerika Serikat adalah adanya ganti rugi finansial terhadap korban yang lazim dikenal dengan istilah financial restitution to victim [28].
Financial restitution to victim merupakan ganti kerugian secara finansial kepada korban akibat suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana [29]. Dalam hal ini, pelaku tindak pidana tidak akan menjalani prosedur hukum formal selama memiliki iktikad baik untuk menemui korban, meminta maaf kepada korban, serta memberikan ganti kerugian finansial kepada korban secara patut dan disepakati oleh korban. Adanya ganti kerugian finansial ini merupakan salah satu praktik hukum yang bersifat progresif di Amerika Serikat karena dengan adanya financial restitution to victim ini maka dapat menurunkan adanya residivisme di Amerika Serikat. Di Malaysia, tidak berbeda jauh dengan Indonesia juga memiliki KUHAP versi Malaysia yaitu berupa Internal Security Act Malaysia 1960 atau Akta Keselamatan Dalam Negeri Malaysia [30]. Tidak berbeda jauh dengan KUHAP di Indonesia, Internal Security Act Malaysia 1960 juga tidak secara khusus mengatur mengenai restorative justice. Meski begitu, pada tahun 2012, Pemerintah Malaysia menerbitkan Criminal Procedure Code 2012 yang salah satu substansinya adalah mengimplementasikan restorative justice melalui praktik plea bargaining yaitu penyelesaian kasus pidana secara lebih cepat dan bahkan tidak memerlukan pemenjaraan yang didasarkan pada pengakuan bersalah dari pihak pelaku [31].
Berdasarkan Criminal Procedure Code 2012, proses plea bargaining dilakukan pada konferensi pra-persidangan atau bahkan selama persidangan. Dalam hal ini, terjadi tawar-menawar antara pelaku, korban, dan aparat penegak hukum (dalam hal ini Jaksa Malaysia). Tawar menawar dalam hal ini bertujuan untuk menyeimbangkan pemahaman atas ganti kerugian yang dialami korban, disesuaikan dengan kemampuan pelaku, serta didasarkan atas tingkat kejahatan yang dilakukan dengan pertimbangan dari aparat penegak hukum. Proses plea bargaining jika berlangsung secara lancar dapat menghindarkan pelaku dari hukuman penjara maupun hukuman cambuk dan hanya sekadar membayar denda gang anti kerugian materil kepada korban. Namun, tak jarang juga proses plea bargaining juga dapat meringankan hukuman penjara dari penjara maksimal kepada penjara minimal. Praktik di Malaysia dalam proses plea bargaining juga menekankan nilai-nilai “adat Melayu” yang menekankan pentingnya perdamaian atau proses tawar menawar terhadap suatu tindak pidana yang tidak bersifat berat. Artinya, sekalipun terdapat proses plea bargaining dalam Criminal Procedure Code 2012, namun boleh tidaknya proses plea bargaining tetap memerhatikan peran dan pendapat dari aparatur hukum di Malaysia baik Jaksa maupun hakim [32].
Dari tiga perbandingan dengan Belanda, Amerika Serikat, dan Malaysia di atas dapat disimpulkan bahwa: pertama, konsep restorative justice adalah konsep umum serta dipraktikkan di berbagai negara dengan sistem hukum yang berbeda-beda baik negara dengan sistem hukum civil law maupun common law. Kedua, konsep restorative justice sekalipun bersifat global dan general namun penerapannya disesuaikan dengan karakter, sistem hukum, serta kemampuan masing-masing negara khususnya dalam menentukan kejahatan apa yang dapat atau tidak dapat diselesaikan melalui restorative justice, serta ketiga, praktik restorative justice juga diperlukan dengan menggali nilai-nilai kearifan lokal sebagaimana praktik di Malaysia yang berupaya juga menggali nilai-nilai “adat Melayu” dalam penerapannya. Berdasarkan uraian di atas, konsep restorative justice dalam pembaharuan hukum acara pidana diperlukan karena perkembangan konsep restorative justice bersifat mendunia serta tidak hanya dilaksanakan oleh negara dengan sistem hukum tertentu. Selain itu, di Indonesia melalui Peraturan Kejaksaan dan Peraturan Kepolisian tentang restorative justice juga sejatinya telah mengadopsi praktik restorative justice, namun hal tersebut sejatinya belum cukup karena untuk menjadikan restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana nasional, maka perlu revisi terhadap hukum acara pidana di Indonesia melalui revisi terhadap KUHAP dengan menekankan konsep dan praktik restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Sistem peradilan pidana secara umum merupakan sistem yang memiliki orientasi menanggulangi tindak pidana di masyarakat. Menanggulangi dalam hal ini memiliki dua orientasi, yaitu orientasi preventif dan orientasi represif [33]. Orientasi preventif berfokus pada pencegahan suatu tindak pidana supaya tidak terjadi atau berdampak masif bagi masyarakat. Orientasi represif berupa penindakan secara tegas berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan. Berdasarkan pemahaman tersebut, sistem peradilan pidana juga memerlukan koordinasi dari berbagai aparat hukum sesuai tugas dan kewenangannya termasuk juga pentingnya peran masyarakat umum, khususnya dalam orientasi preventif yang mencegah adanya tindakan pidana. Sistem peradilan pidana juga sejatinya berorientasi pada bagaimana mendudukkan penyelesaian yang tepat sehingga tidak setiap permasalahan pidana diselesaikan melalui pemenjaraan. Fenomena tersebut berimplikasi pada adanya jumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang tidak dapat menampung Narapidana karena banyaknya jumlah Narapidana akibat hampir semua permasalahan pidana diselesaikan melalui pemenjaraan.
Hal ini dipertegas dari hasil laporan The Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) bahwa terdapat kenaikan jumlah penghuni Lapas dari tahun 2020 hingga tahun 2022 [34]. Per 30 Maret 2020 yaitu pada awal pandemi jumlah tahanan mencapai 270.721 orang, sementara kapasitasnya hanya 131.931. Per Juni 2021, jumlah tahanan mencapai 271.992 dan hingga per awal Agustus 2022, terdapat sejumlah 271.007 orang tahanan (mencapai 201 persen) dari kapasitas sebanyak 134.835 tahanan berdasarkan data dari Kementerian Hukum dan HAM. Hal ini yang menunjukkan bahwa adanya kelebihan jumlah tahanan dan kapasitas dari Lapas merupakan salah satu implikasi dari adanya kesalahan dalam menerapkan sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat jika pada umumnya secara “konvensional” sistem peradilan pidana hanya menegaskan yang salah harus dipenjara yang menyebabkan penjara menjadi over kapasitas dan justru menjadikan permasalahan baru dalam penerapan sistem peradilan pidana.
Penerapan restorative justice menjadi penting khususnya jika berkaitan dengan fenomena over kapasitas di penjara setidak-tidaknya didasarkan pada tiga alasan. Pertama, penerapan restorative justice dapat menjadi upaya mengurangi banyaknya jumlah Narapidana di penjara karena restorative justice menekankan pada keseimbangan pada korban tindak pidana sehingga jika terdapat upaya non-penjara untuk memulihkan korban hal itu lebih diutamakan dibandingkan dengan upaya yang bersifat litigasi sebagaimana dalam sistem peradilan pidana secara formal. Kedua, restorative justice juga berpotensi menyukseskan tujuan sistem peradilan pidana berupa terjalinnya harmonisasi antara masyarakat dan aparat penegak hukum. Hal ini dikarenakan dalam restorative justice terdapat kerja sama dalam penegakan hukum termasuk upaya pemulihan korban antara aparat penegak hukum dan masyarakat. Ketiga, restorative justice memiliki orientasi untuk menghidupkan nilai kearifan lokal masyarakat berupa norma yang hidup, tumbuh, dan berkembang di masyarakat beserta penyelesaian sengketa sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Hal ini tentu akan meningkatkan pemahaman atas nilai-nilai hukum di masyarakat yang secara tradisional sejatinya telah terdapat dalam nilai-nilai kebudayaan dalam masyarakat.
Berdasarkan ketiga argumentasi di atas, maka penerapan restorative justiceperlu dilakukan setidak-tidaknya perlu menjadi bagian dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Hal ini seperti halnya dalam KUHAP, belum terdapat ketentuan secara spesifik mengenai restorative justice. Meski begitu, bukan berarti dalam restorative justice belum ada pengaturannya. Hal ini dapat dilihat dalam Peraturan Kejaksaan dan Peraturan Kepolisian tentang restorative justice yang telah menegaskan adanya proses restorative justice. Meski hal tersebut merupakan hal yang bagus dan telah memberikan ruang bagi penerapan restorative justice, namun menurut hemat penulis, terdapat tiga kelemahan mengenai aturan restorative justice yang belum diatur oleh peraturan setingkat Undang-Undang dan terkesan masih merupakan aturan sektoral institusi. Kelemahan tersebut meliputi: pertama, belum terdapatnya ketentuan mengenai restorative justice dalam KUHAP menjadi permasalahan tersendiri karena sebagai kaidah hukum acara dalam sistem peradilan pidana, penegasan adanya praktik restorative justice semakin mempertegas eksistensi restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana Indonesia. Kedua, aturan mengenai restorative justice dalam aturan sektoral institusi berpotensi tidak menjamin kepastian hukum masyarakat karena setiap institusi berpotensi memberikan tafsir serta praktik restorative justice sesuai kehendak dan kebutuhan institusi masing-masing. Ketiga, kebutuhan pengaturan mengenai praktik restorative justice dalam KUHAP sejatinya sama pentingnya dengan upaya pembangunan hukum pidana materil dengan mengesahkan RUU KUHP menjadi Undang-Undang. Selama ini geliat dan gejolak reformasi hukum pidana nasional masih sebatas pengesahan RUU KUHP, padahal secara komprehensif reformasi hukum pidana juga harus melibatkan revisi terhadap hukum pidana formil, dalam hal ini perlunya revisi KUHAP dengan memasukkan praktik restorative justice.
Berdasarkkan ketiga kelemahan di atas, maka orientasi untuk memasukkan ketentuan restorative justice dalam KUHAP diperlukan selain gagasan restorative justice merupakan bagian dari perkembangan hukum secara global juga sejatinya dapat menghidupkan nilai-nilai luhur bangsa yang secara lokal-kemasyarakatan telah tumbuh praktik-praktik restorative justice di masyarakat berdasarkan hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat. Terlebih, konsep tersebut Secara substansial mengurangi pelanggaran berulang untuk beberapa pelanggar, Pengurangan gejala stres pasca-trauma korban kejahatan dan biaya terkait, dan Baik korban maupun pelaku mengalami kepuasan yang lebih terhadap keadilan. Bukan hanya itu, implementasi restorative justice dalam KUHAP akan mampu memberikan legitimasi untuk melahirkan semangat reintegrasi dalam berhukum, karena baik korban maupun terpidana kriminal diberikan bantuan yang mereka butuhkan untuk berintegrasi kembali ke dalam komunitas mereka. Profesional kesehatan mental, pemimpin agama, pekerja sosial, dan/atau teman sebaya membentuk jaringan dukungan yang dirancang untuk mengurangi efek negatif dari menjadi korban atau membantu penjahat mengubah caranya.
Berdasarkan uraian di atas, konsep restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia memerlukan pengaturan khusus dalam KUHAP sebagai upaya untuk melakukan reformasi sistem peradilan pidana secara komprehensif sehingga perlu revisi atau perubahan terhadap ketentuan dalam KUHAP. Selain itu, konsep restorative justice merupakan konsep umum dan secara global merupakan bagian dari perkembangan praktik dan teori hukum, karena itu diterapkan oleh berbagai negara baik dengan sistem hukum civil law maupun negara dengan sistem common law. Lebih lanjut, konsep restorative justice menjadi relevan karena berorientasi pada upaya pelibatan masyarakat dan menghidupkan kembali nilai-nilai penyelesaian sengketa di dalam masyarakat yang mengutamakan harmonisasi dan anti kerugian dibandingkan dengan proses pemenjaraan.
Konsep restorative justice dalam pembaharuan hukum acara pidana diperlukan karena perkembangan konsep restorative justice bersifat mendunia serta tidak hanya dilaksanakan oleh negara dengan sistem hukum tertentu. Selain itu, di Indonesia melalui Peraturan Kejaksaan dan Peraturan Kepolisian tentang restorative justice juga sejatinya telah mengadopsi praktik restorative justice, namun hal tersebut sejatinya belum cukup karena untuk menjadikan restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana nasional, maka perlu revisi terhadap hukum acara pidana di Indonesia melalui revisi terhadap KUHAP dengan menekankan konsep dan praktik restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Orientasi untuk memasukkan ketentuan restorative justice dalam KUHAP diperlukan selain gagasan restorative justice merupakan bagian dari perkembangan hukum secara global juga sejatinya dapat menghidupkan nilai-nilai luhur bangsa yang secara lokal-kemasyarakatan telah tumbuh praktik-praktik restorative justice di masyarakat berdasarkan hukum yang hidup dan berlaku di masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, konsep restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia memerlukan pengaturan khusus dalam KUHAP sebagai upaya untuk melakukan reformasi sistem peradilan pidana secara komprehensif sehingga perlu revisi atau perubahan terhadap ketentuan dalam KUHAP. Selain itu, konsep restorative justice merupakan konsep umum dan secara global merupakan bagian dari perkembangan praktik dan teori hukum, karena itu diterapkan oleh berbagai negara baik dengan sistem hukum civil law maupun negara dengan sistem common law. Lebih lanjut, konsep restorative justice menjadi relevan karena berorientasi pada upaya pelibatan masyarakat dan menghidupkan kembali nilai-nilai penyelesaian sengketa di dalam masyarakat yang mengutamakan harmonisasi dang anti kerugian dibandingkan dengan proses pemenjaraan.