Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v8i0.778

Restorative Justice Arrangements in the Indonesian Criminal Justice System: A Contribution of Thoughts


Pengaturan Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia: Sebuah Sumbangsih Pemikiran

Fakultas Hukum, Universitas Tadulako
Indonesia

(*) Corresponding Author

Restorative Justice Criminal Justice System Criminal Procedural Code

Abstract

The criminal justice system has an orientation to involve various components to prevent the occurrence of criminal acts. In the practice of criminal law, the idea of ​​restorative justice has emerged in the practice of law in Indonesia. This study aims to initiate the regulation of restorative justice in the Criminal Procedure Code as part of the criminal justice system's development. This research is normative legal research oriented to the study and analysis of positive law. This study examines the legal issue, namely the legal vacuum in the regulation of restorative justice in the Criminal Procedure Code. The study results confirm that restorative justice is part of the criminal justice system, especially in the aspect of the criminal justice system process, which effectively and efficiently strengthens the orientation of the legal process effectively and efficiently in criminal law enforcement. In this context, restorative justice is part of the development of legal theory and practice and an effort to revive the value of local wisdom in Indonesian criminal law. The Ius constituendum or future arrangements related to restorative justice in the Criminal Procedure Code need to be carried out so that the Criminal Procedure Code can guide the implementation of formal law in Indonesia that has Indonesian aspirations, especially with the application of restorative justice in practice as well as the pouring of restorative justice in the Criminal Procedure Code which is essential to ensure legal certainty as well as provide a dimension of harmony for restorative justice arrangements

Pendahuluan

Sistem peradilan pidana merupakan aspek penting dalam hukum pidana. Hal ini dikarenakan sistem peradilan pidana berupaya menerapkan nilai dan aturan hukum dalam realitas masyarakat.[1] Sistem peradilan pidana dalam hal ini merefleksikan aspek teoretis dan praktis dalam hukum pidana. Aspek teoretis dalam sistem peradilan pidana diorientasikan pada konstruksi asas, teori, serta konsep hukum pidana untuk selalu di update sesuai dengan perkembangan dan praktik hukum pidana. Aspek praktis menegaskan bahwa sistem peradilan pidana harus mampu secara dogmatik menerapkan berbagai konsep dan teori hukum pidana dalam praktik hukum di masyarakat[2]. Sistem peradilan pidana pada dasarnya bertumpu pada hukum pidana materil dan formil. Hukum pidana materil dalam hal ini adalah substansi hukum pidana yang berupa aturan hukum pidana yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Hukum pidana formil berkaitan dengan mekanisme, prosedur, serta langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menegakan sekaligus melaksanakan substansi hukum pidana materil.[3]

Pentingnya hukum pidana formil serta materil pada sistem peradilan pidana tersebut, maka hukum pidana formil serta materil dapat diibaratkan sebagai dua mata uang dalam satu koin, karena hukum pidana materil tak akan mampu ditegakkan bilamana tidak terdapat hukum pidana formil dan begitu juga sebaliknya, hukum pidana formil juga tidak akan memiliki manfaat apa-apa tanpa didasarkan pada substansi hukum pidana formil. Perkembangan praktik hukum pidana, khususnya dalam aspek formil maupun materil diharapkan dapat berkembang serta menyesuaikan dengan realitas perkembangan hukum pidana. Perkembangan hukum pidana khususnya di era hukum modern menempati aspek yang signifikan karena modernisasi hukum mengedepankan peran hukum pidana untuk melakukan reformasi.[4] Hal ini salah satunya adalah perkembangan gagasan restorative justice yang menjadi orientasi baru cara berhukum di Indoneia. Restorative justice sejatinya merupakan reformulasi hukum pidana yang sedikit berbeda dari spirit KUHP maupun KUHAP sebagai dasar penerapan hukum pidana formil maupun materil.[5] Restorative justice memang memiliki karakter progresif dan responsif sehingga menempatkan hukum sebagai solusi dalam menghadapi berbagai realitas permasalahan di masyarakat. [6]

Meski begitu, salah satu kendala dalam penerapan restorative justice adalah belum diaturnya restorative justice dalam KUHAP. Meski secara realita restorative justice telah diterapkan dan juga telah diatur dalam peraturan internal masing-masing lembaga penegak hukum, namun hal tersebut terasa belum cukup jika belum diatur dalam KUHAP. Hal ini sejatinya untuk meneguhkan restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Penelitian mengenai restorative justice sejatinya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti, diantaranya: (i) Azwad Rachmad Hambali (2020) tentang Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice Penyelesaian Perkara Tindak Pidana yang berfokus pada aspek penegakan hukum yang diorientasikan untuk menerapkan spirit restorative justice oleh berbagai aparat penegak hukum.[7] Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh (ii) Eko Syahputra (2021) tentang Penerapan Konsep Restorative Justice dalam Sistem peradilan pidana di Masa Yang Akan Datang yang berfokus bagaimana mengatur restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.[8] Hal senada juga dilakukan oleh (iii) Budi Sastra Panjaitan (2022) Restorative Justice Sebagai Penyelesaian Perkara Berbasis Korban yang memfokuskan restorative justice sebagai salah satu upaya proses penyelesaian perkara pidana.[9] Berdasarkan penelitian sebelumnya tersebut, belum terdapat penelitian yang secara spesifik mengaitkan antara restorative justice dengan pembaruan hukum pidana, khususnya dalam KUHAP. Oleh karena itulah fokus utama dalam penelitian ini adalah menguraikan relasi restorative justice dengan pembaruan hukum pidana. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah yaitu (i) Bagaimana restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia?; dan (ii) Bagaimana pengaturan ke depan terkait restorative justice dalam KUHAP.

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berorientasi pada pengkajian maupun analisis atas hukum positif.[10] Penelitian ini mengkaji isu hukum yaitu kekosongan hukum pengaturan restorative justice dalam KUHAP. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD NRI 1945, KUHAP, serta beberapa peraturan mengenai restorative justice yang tersebar baik di lingkup Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian. Pendekatan dalam penelitian ini yaitu pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan

Gagasan Restorative Justice dalam Sistem peradilan pidana

Restorative justice sejatinya merupakan bagian dari penyelesaian perkara pidana yang berbasis pada kepentingan sosial (social aspect of criminal law) serta berfokus pada pemulihan korban tindak pidana.[11] Dari pemahaman ini, restorative justice sejatinya harus dipahami sebagai penegakan hukum pidana yang bersifat inklusif, karena orientasi dari restorative justice juga melibatkan pihak-pihak lain di luar aparat penegak hukum.[12] Dalam hal ini, jika penegakan hukum secara konvensional menempatkan aparat penegak hukum sebagai “sentral” penegakan hukum maka restorative justice menempatkan harmonisasi sosial sebagai “ruh” dalam penegakan hukum. Dalam pandangan yang sederhana, restorative justice mengubah paradigma penegakan hukum yang terkesan formal-prosedural menjadi lebih substansial.[13] Hal ini yang membuat beberapa pakar berasumsi serta optimis bahwa restorative justice merupakan praktik penegakan hukum yang bercita keindonesiaan.[14] Restorative justice sebagai penegakan hukum inklusif menekankan sikap kolaboratif dengan melibatkan aparat penegak hukum serta nilai yang berkembang.[15]

Hal tersebut menegaskan bila proses penegakan hukum sejatinya ialah proses yang substantif-partisipatif sehingga masyarakat dapat turut serta dilibatkan dalam proses penegakannya.[16] Hal ini sejatinya merupakan bentuk perkembangan dari proses penegakan hukum yang awalnya bersifat ekslusif dan prosedural.[17] Sifat eksklusif dalam penegakan hukum dimaknai bahwa penegakan hukum adalah wilayah aparat penegak hukum. Secara a contrario, maka selain aparat penegak hukum dilarang ikut campur dalam proses penegakan hukum.[18] Hal ini memiliki aspek positif dan negatif sekaligus. Aspek positifnya, penegakan hukum sebagaimana dilaksanakan aparat penegak hukum mengedepankan profesonalitas aparat penegak hukum sehingga penegakan hukum bisa berlangsung secara efektif dan profesional.[19] Meski begitu, profesionalitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum juga diragukan mengingat bahwa aparat penegak hukum tidak sepenuhnya “netral” dari pengaruh kekuasaan serta suap-menyuap termasuk juga upaya memanipulasi hukum.[20] Aparat penegak hukum bahkan cenderung hadir sebagai pelanggar hukum yang utama bahkan sering terlibat dalam proses mafia hukum termasuk merekayasa hukum atas pesanan pihak-pihak tertentu.

Mafia hukum yang menjadi problematika bagi profesionaitas aparat penegak hukum sejatinya menjadi kendala utama bagi proses penegakan hukum. Oleh karena itu, jika penegakan hukum dilaksanakan secara eksklusif hanya diperuntukkan bagi aparat penegak hukum maka potensi rekayasan hukum oleh mafia hukum berpotensi lebih besar terjadi. Dalam hal ini lah diperlukan integritas dan netralitas aparat penegak hukum serta adanya pelibatan masyarakat untuk mengawasi.[21] Dalam hal ini, hadirnya restorative justice sebagai upaya untuk memberikan orientasi penegakan hukum yang inklusif sejatinya menemukan relevansinya. Aspek negatif dari penegakan hukum eksklusif adalah tertutupnya penegakan hukum yang berpotensi adanya peran mafia hukum untuk merekayasa suatu tindak pidana. Dalam konteks ini lah sejatinya restorative justice perlu menjadi spirit serta orientasi penegakan hukum di Indonesia.

Restorative justice sejatinya merupakan bagian dari perkembangan konsepsi hukum modern yang tidak lagi melihat pidana sebagai sarana pembalasan saja.[22] Dalam pandangan teori pemidanaan, pidana merupakan salah satu sarana kontrol masyarakat sehingga tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada pemberian efek jera. Tetapi termasuk juga melakukan upaya berupa kebijakan hukum pidana lainnya yang menjaga relevansi antara korban dan pelaku. Gagasan restorative justice juga mengemuka di berbagai negara di dunia.[23] Hal ini dipahami bahwa gagasan restorative justice merupakan gejala universalisasi hukum pidana.[24] Hal ini menunjukkan bahwa restorative justice lahir darii kebutuhan hukum pidana dalam melihat perkembangan zaman, termasuk perlu rekonstruksi terkait konsep pidana dan pemidanaan. Dalam hal ini, restorative justice merupakan orientasi untuk memeguhkan konsepsi pemidanaan modern yang menjamin relasi yang proporsional antara korban dan pelaku tindak pidana.

Restorative justice ialah praktik menghidupkan nilai kearifan lokal dalam praktik penegakan hukum pidana di Indonesia.[25] Perihal tersebut ditinjau berdasarkan praktik hukum pidana yang justru lebih bersifat prosedural serta terkadang mengabaikan nilai serta mekanisme sosial yang ada. Hukum pidana baik formil maupun materil khususnya dengan asas legalitas sejatinya telah mereduksi nilai-nilai lokal dalam penyelesaian sengketa di masyarakat.[26] Dalam hal ini, hukum pidana baik formil maupun materil hanya tunduk dan patuh pada apa yang tertulis dalam KUHP serta KUHAP. Padahal, hakikat nilai kearifan lokal di masyarakat adalah tidak tertulis sehingga dengan diterapkannya asas legalitas maka nilai kearifan lokal masyarakat menjadi terhalangi untuk berperan dalam penyelesaian pidana di Indonesia.[27] Dalam konteks ini, hadirnya restorative justice sejatinya untuk meneguhkan dan merevitalisasi kembali nilai lokal masyarakat yang ada. Nilai lokal dalam konteks ini sejatinya memiliki orientasi dan cara tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan hukum.[28] Akan tetapi, upaya penghidupan nilai kearifan lokal tersebut menjadi relevan khususnya dengan adanya praktik restorative justice.

Restorative justicejuga sejatinya memiliki relevansi dengan sistem peradilan pidana. Sistem peradilan pidana berorientasi pada penanggulangan masalah kejahatan.[29] Pemahaman mengenai penanggulangan kejahatan dalam hal ini dimaknai secara komprehensif termasuk upaya-upaya pencegahan dan upaya-upaya penanganannya. Dalam pandangan Mardjono Reksodiputro, esensi dari sistem peradilan pidana adalah upayanya untuk menanggulangi permasalahan kejahatan yang berkaitan dengan suatu tindak pidana. [30] Di negara lain, kajian mengenai sistem peradilan pidana menempati aspek penting dalam suatu kajian dan pembahasan hukum. Di Amerika Serikat misalnya, Sistem peradilan pidana identik dengan istilah Criminal Justice System.[31] Menurut, Allan Coffey sistem peradilan pidana merupakan keseluruhan proses, langkah, serta instrument yang ditetapkan dan dijalankan oleh negara untuk mengatasi berbagai permasalahan pidana yang terdapat di masyarakat.[32] Dari uraian tersebut, maka sejatinya restorative justice merupakan sistem peradilan pidana karena memiliki fungsi untuk menanggulangi kejahatan.

Sistem peradilan pidana yang dalam khazanah Ilmu Hukum sering disebut dengan istilah Criminal Justice System pada prinsipnya terbagi menjadi dua aspek yaitu Criminal Justice System yang identik dengan fokus kajian berupa substantive law atau substansi peraturan perundang-undangan yang mengatur setiap aparatur penegak hukum dalam menanggulangi permasalahan pidana atau kejahatan serta Criminal Justice Process yang lebih menitikberatkan pada langkah atau tahapan dalam pelaksanaan Sistem peradilan pidana.[33] Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara Criminal Justice System dengan Criminal Justice Process terletak pada fokus kajiannya dengan Criminal Justice System yang menekankan interkoneksi serta relasi antara setiap instansi yang memiliki pelibatan pada proses peradilan pidana (termasuk juga instrument hukum yang mengaturnya) sedangkan Criminal Justice Process lebih menitikberatkan pada proses serta tahapan dalam suatu perkara pidana.

Black Law Dictionary[34] memberikan definisi mengenai Criminal Justice System yaitu, ”The network of court and tribunals which deal with criminal law and it’s enforcement”. Pemahaman Sistem peradilan pidana menurut Black Law Dictionary tersebut mempertegas bahwa Sistem peradilan pidana berorientasi pada aspek relasi guna menegakan hukum pidana. Penekanannya bukan hanya telah ditegakkan hukum oleh peradilan pidana, namun terutama pada melaksanakan fungsi penegakan hukum tersebut melalui bangunan suatu jaringan. Lebih lanjut, Muladi menambahkan bahwa dalam sistem peradilan pidana merupakan suatu bentuk yang unik dan berbeda dengan sistem sosial yang lainnya.[35]Hal ini dikarenakan Sistem peradilan pidana memiliki karakter yang berupa unwelfare yang meliputi perampasan harta benda atau bahkan menghilangkan nyawa manusia, termasuk juga perampasan kemerdekaan serta memiliki karakter welfare yang berorientasi pada pengendalian perbuatan pidana di masyarakat dengan melakukan rehabilitasi terhadap pelaku. Sistem peradilan pidana sebagai seperangkat sistem yang berfungsi mengendalikan kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan pemasyarakatan pidana (Lembaga Pemasyarakatan).[36]

Jika mengacu pada pemahaman sistem peradilan pidana tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagai seperangkat sistem, maka sistem peradilan pidana memerlukan tindakan dan kerja bersama antarberbagai unsur meliputi: lembaga-lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.[37] Mardjono Reksodiputro juga menegaskan bila terdapat empat komponen utama pada sistem peradilan pidana yang meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan yang dalam melaksanakan tugas serta kewajibannya diharapkan masing-masing komponen dapat saling bekerjasama sehingga membentuk membentuk suatu sistem yang terpadu yang lazimnya disebut sebagai Integrated Criminal Justice System,[38] sebagaimana menekankan bahwa setiap aparatur penegak hukum harus melaksanakan tugas secara koordinatif serta antarmasing-masing tugas dan kewenangan bersifat saling melengkapi dan saling menunjang.[39] Terkait dengan tugas yang saling mendukung antarpenegak hukum, Romli Atmasasmita memberikan penegasan bahwa dalam Sistem peradilan pidana relasi dalam mekanisme antarpenegak hukum menjadi aspek terpenting dalam penanggulangan kejahatan.[40]. Secara umum, pendekatan dari sistem peredaran pidana sejatinya memiliki tiga klasifikasi.

Pertama, pendakatan normatif. Orientasi pendekatan ini adalah bilamana seluruh aparat penegak hukum yang ada di suatu negara adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, sebagaimana keempat institusi yang ada di Indonesia yaitu Kejaksaan, kepolisian, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan. Perspektif pendekatan normatif menilai bilamana elemen-elemen tersebut bekerja sama untuk menegakkan sistem Peradilan Pidana yang mengutamakan aspek koordinasi sekaligus penegakan hukum yang komprehensif. Kedua, pendekatan administrasi. Orientasi pendekatan ini menilai bilamana seluruh elemen dari aparatur penegak hukum memiliki relasi mekanisme kerja yang bersifat horizontal sekaligus vertikal dengan manajemen satu kesatuan dengan bidang pekerjaan masing-masing. Relasi horizontal maupun vertikal didasarkan atas struktur organisasi dari setiap apartemen penegak hukum bagaimana mereka memiliki fokus utama mengenai manajerial kerja sekaligus aspek manajemen sebagaimana menjadi kunci jadi pendekatan ini. Ketiga, pendekatan sosial. Perspektif pendekatan ini menilai bilamana terdapat kewajiban adanya kolaborasi antara apa penegak hukum dengan masyarakat untuk menanggulangi kejahatan sekaligus menegakkan hukum. Pendekatan sosial lebih berorientasi pada aspek sosial dan partisipasi masyarakat atas kinerja aparatur penegak hukum sehingga efektivitas kinerja aparatur penegak hukum juga ditentukan oleh relasinya dengan masyarakat sekitar.

Muladi memberikan penegasan penting perihal pemahaman Integrated Criminal Justice System. Menurut Muladi, aspek terpenting dari Integrated CriminalJustice System ialah sinkonisasi serta relevansi sebagaiaman diklasifikasikan dalam tiga aspek, yaitu:

  1. Sinkronisasi Struktural (structural syncronization), ialah sinkronisasi sertakeselarasan agar hubungan antarlembaga penegak hukum. Hubungan ini termasuk juga dalam rangka tugas maupun dalam rangka non-tugas yang sifatnya untuk memupuk keselarasan antarlembaga penegak hukum.
  2. Sinkronisasi Substansial (substansial syncronization) yaitu keselarasan yang berkaitan dengan hukum positif serta bersifat vertikal dan horizontal.
  3. Sinkronisasi Kultural (cultural syncronization) yaitu relevansi untuk menghayati dan menggali berbagai macam perspektif, sikap-sikap, falsafah, serta realitas kultural yang komprehensif menjadi basis fundamental dan filosofis pelaksanaan sistem peradilan pidana. Dalam Sinkronisasi Kultural ini, para aparatur penegak hukum diharapkan untuk menjadikan Pancasila serta nilai-nilai moralitas masyarakat sebagai pemandu dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

Salah satu esensi dari Integrated Criminal Justice System adalah orientasinya dalam aspek prinsip diferensiasi fungsional di antara aparat penegak hukum, sehingga berorientasi pada:[41]

  1. Berfokus pada aspek koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana yang meliputi: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan.
  2. Supervisi serta pengendalian tindak pidana di masyarakat oleh seluruh komponen dalam sistem peradilan pidana.
  3. Mengedepankan efektivitas sistem penanggulangan kejahatan dibandingkan dengan efesiensi penyelesaian perkara.
  4. Fokus pada penggunaan hukum sebagai instrumen yang berfungsi untuk menjalankan The administration of Justice sehingga dapat memperkuat koordinasi antarpenegak hukum sekaligus menjamin kepastian hukum di masyarakat.

Fokus utama dalam sistem peradilan pidana yang memiliki perangkat atau subsistem yang diupayakan dapat bekerja secara koheren, koordinatif, serta integratif. Hal ini dimaksudkan supaya efesiensi dan efektivitas dapat dicapai secara maksimal. Kinerja yang tidak koheren antarpenegak hukum dapat berakibat pada beberapa hal, diantaranya[42]:

  1. Rumitnya proses evaluasi dalam rangka menilai kekurangan maupun keberhasilan proses penegakan hukum yang dilakukan oleh masing-masing instansi atau aparat penegak hukum.
  2. Adanya kendala manakala memecahkan sendiri problematik primer masing-masing instansi hal ini dikarenakan tugas instansi maupun aparat penegak hukum bersifat simultan dan saling bergantung satu sama lain.
  3. Dimungkinkan terjadinya ketidakefektifan dalam sistem peradilan pidana dikarenakan ketika masing-masing instansi fokus pada tugas masing-masing, jaringan koordinasi dapat terhambat sehingga akan terganggunya Sistem peradilan pidana yang bersifat terpadu.

Berdasarkan uraian tersebut, sejatinya restorative justice merupakan bagian dari sistem peradilan pidana khususnya, pada aspek criminal justice system process yang meneguhkan orientasi proses hukum secara efektif serta efisien. Pada aspek tersebut, restorative justice hadir sebagai bagian dari perkembangan teori dan praktik hukum sekaligus sebagai upaya menghidupkan kembali nilai kearifan lokal dalam hukum pidana Indonesia. Pemahaman ini menunjukkan bahwa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, maka restorative justice harus dijadikan orientasi dalam proses berhukum di Indonesia khususnya melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam Hukum Acara Pidana.

Ius Constituendum Pengaturan Restorative Justice dalam KUHAP

Restorative justice sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sejatinya memerlukan pengaturan khusus dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Perihal tersebut didasarkan pada pandangan dari Gustav Radbruch bahwa salah satu nilai dasar dari hukum adalah kepastian hukum.[43] Manifestasi dari kepastian hukum adalah diaturnya suatu ketentuan hukum dalam hukum positif. Hukum positif identik dengan hukum yang dibuat oleh negara dan memiliki karakter tertulis.[44] Karakter tertulis dari hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch sejatinya merupakan bagian dari nilai dasar hukum yang wajib dipenuhi. Hukum memiliki nilai dasar yang wajib dipenuhi sehingga suatu ketentuan disebut sebagai hukum. Tanpa tiga nilai dasar tersebut suatu ketentuan tidak layak disebut sebagai hukum.[45]

Tiga nilai dasar hukum sebagaimana ditegaskan oleh Gustav Radbruch tersebut adalah kepastian, kemanfaatan, serta keadilan.[46] Kepastian hukum identik dengan penuangan suatu ketentuan hukum dalam hukum positif. Kemanfaatan berkaitan dengan daya guna dan hasil guna suatu ketentuan hukum di masyarakat. Hal tersebut berarti, suatu hukum harus dinilai dari aspek keberlakuannya di masyarakat. Selanjutnya, keadilan berkaitan dengan gagasan abstrak mengenai hukum yang wajib dipraksiskan dalam hukum. Hal ini berarti keadilan bukan hanya merupakan cita moral, tetapi merupakan nilai dasar hukum yang harus dan wajib diterapkan. Lebih lanjut, tiga nilai dasar hukum sebagaimana digagaskan oleh Gustav Radbruch dikaitkan dengan restorative justice mampu ditinjau dalam beberapa faset, yaitu: dari aspek nilai keadilan, sejatinya restorative justice menjamin relasi keadilan karena menjamin hubungan yang proporsional antara korban dengan pelaku tindak pidana. Dalam konteks ini, penyembuhan terhadap korban menjadi fokus utamanya. Korban dalam konteks restorative justice dipandang sebagai orang sakit yang wajib disembuhkan.

Konteks selanjutnya adalah berkaitan dengan aspek kemanfaatan. Dari aspek kemanfaatan, restorative justice sejatinya telah menjamin daya guna dan hasil guna penegakan hukum di masyarakat.[47] Hal ini dapat dilihat dari peran masyarakat umum serta orientasi harmonisasi masyarakat dalam praktik restorative justice. Restorative justice memandang tindak pidana sebagai masalah bersama yang harus diselesaikan bersama. Dalam konteks ini, harmonisasi masyarakat menjadi nilai serta orientasi penting dalam menyelesaikan suatu tindak pidana. Hal ini menegaskan bahwa restorative justice tidak berorientasi pada hukum positif yang kering akan makna, tetapi melihat dimensi dan realitas berhukum dengan mendasarkan nilai dan kepentingan sosial masyarakat.[48] Konteks selanjutnya berkaitan dengan kepastian hukum, maka restorative justice masih secara kabur untuk dikaitkan dengan jaminan kepastian hukum di masyarakat. Hal tersebut setidaknya didasarkan pada tiga argumentasi

Pertama, gagasan restorative justice sejatinya lahir dari perkembangan konsep dan teori hukum beserta praktiknya di negara lain (khususnya Amerika Serikat) sehingga aspek konseptual menjadi lebih kuat dalam memahami restorative justice dibandingkan dengan aspek pengaturan dalam peraturan perundang-undangan.[49] Selain itu, gagasan restorative justice juga berkembang dalam nilai kearifan lokal di masyarakat secara spontan dan bertahap.[50] Hal ini berarti, terdapat social oriented dalam pembentukan maupun konstruksi atas penerapan gagasan restorative justice.[51] Hal ini lah yang menyebabkan pengaturan mengenai restorative justice terkesan lambat dan yang terjadi adalah praktik restorative justice sebagai inisiatif aparat penegak hukum. Kedua, pengaturan mengenai restorative justice tersebar di masing-masing internal aparat penegak hukum seperti pengaturan seperti SE Kapolri; Peraturan Kapolri; Peraturan Kejaksaan; dan Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI.

Jika mengacu pada aspek tersebut maka sejatinya harus diapresiasi peran beberapa lembaga penegakan hukum karena memiliki orientasi untuk menerapkan restorative justice beserta aturan dan panduan teknisnya. Meski begitu, permasalahan pengaturan mengenai restorative justice tersebut diantaranya adalah ragam bentuk “baju” hukum yang mengatur mengenai restorative justice; yang masih beragam dan terkesan sesuka hati masing-masing lembaga. Hal ini dapat dilihat dari nama produk hukum seperti Peraturan Kapolri, Surat Edaran, Peraturan Jaksa Agung, hingga Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA. Secara umum, beberapa produk hukum tersebut memiliki tiga jenis dan karakter yang berbeda. Peraturan Kapolri dan Peraturan Jaksa Agung memiliki sifat yang sama yaitu bersifat regeling atau mengatur.[52] Dilihat dari sifatnya maka Peraturan Kapolri dan Peraturan Jaksa Agung merupakan peraturan perundang-undangan. Menjadi permasalahan selanjutnya adalah “daya ikat” dari Peraturan Kapolri dan Peraturan Jaksa Agung apakah bersifat internal institusi atau mengikat institusi lain atau pun masyarakat umum?. [53] Hal ini lah yang sejatinya dapat menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Selanjutnya terkait baju hukum Surat Edaran yang mengatur restorative justice. Perlu dipahami bahwa Surat Edaran merupakan beleidsregel atau peraturan kebijakan yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti, Surat Edaran sebagai beleidsregel tidak memiliki kewenangan mengatur bahkan hanya bersifat instruksional bagi lembaga internal.

Lebih lanjut, Surat Edaran sebagai beleidsregel sejatinya merupakan implementasi atas asas freis ermessen yang berupaya mengisi kekosongan aturan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketentuan Surat Edaran merupakan beleidsregel yang mengatur restorative justice sejatinya dapat mereduksi esensi restorative justice hanya sebagai aturan internal institusi dan bukan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Selanjutnya, bentuk baju hukum berupa Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA dalam pengaturan mengenai restorative justice juga berpotensi menimbulkan polemik. Hal ini karena “Keputusan” memiliki karakter beschikking yang bersifat individual, final, dan konkret serta tidak dapat mengikat layaknya peraturan perundang-undangan.[54] Hal ini juga berpotensi mereduksi makna restorative justice sehingga dianggap hanya sebagai “alternatif” dalam hukum pidana.[55] Dari aspek tersebut dapat dilihat bahwa beragamnya baju hukum dalam mengatur restorative justice berpotensi mereduksi kedudukan restorative justice dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Ketiga, tidak dicantumkannya restorative justice dalam KUHAP menjadi permasalahan tersendiri. Sebagai dasar hukum acara pidana di Indonesia, maka KUHAP menempati posisi penting dalam pengaturan perihal sistem peradilan pidana di Indonesia. Dengan tidak diaturnya restorative justice dalam KUHAP maka seolah-olah KUHAP hanya menjadi ‘alternatif” dan pilihan penyelesaian sengketa dalam hukum pidana.

Menempatkan restorative justice sebagai alternatif yang bersifat “pilihan” tentu merupakan hal yang tidak tepat. Hal ini sejatinya didasarkan pada pandangan bila restorative justice sejatinya diorientasikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, restorative justice justru harus ditempatkan sebagai karakter hukum pidana Indonesia. Bahkan, dalam RUU KUHP, spirit restorative justice juga didengungkan sebagai salah satu konsepsi hukum pidana nasional yang memiliki karakter dimensi hukum berbasiskan Pancasila sebagai cita hukum nasional. Selain itu, tidak diaturnya restorative justice dalam KUHAP juga sejalan dengan pengkajian mengenai revisi KUHAP di DPR dan Pemerintah yang terkesan lebih berfokus pada pengesahan RUU KUHP. Padahal, dalam sistem peradilan pidana, pembangunan hukum pidana nasional bertumpu pada aspek formil dan materil sekaligus. Hanya berfokus pada RUU KUHP artinya hanya berfokus pada dimensi hukum pidana materil. Padahal, hukum pidana materil tidak dapat berjalan optimal tanpa ditopang oleh hukum pidana formil.

Pada konteks ini, pembaruan hukum pidana yang hanya berorientasi pada revisi dan pengesahan RUU KUHP adalah hal yang bagus, namun alangkah tidak sempurnanya jika tidak diimbangi dengan pembangunan hukum pidana dengan merevisi hukum pidana formil dalam hal ini revisi KUHAP. Revisi KUHAP termasuk penuangan restorative justice sejatinya urgen dilaksanakan dengan didasarkan pada tiga argumentasi, yaitu: pertama, KUHAP harus menjadi “bingkai” yang menjamin pelaksanaan hukum pidana materil dalam hal ini KUHP. Hal ini berarti, revisi dan pembaruan KUHP harus selaras dengan revisi dan pembaruan atas KUHAP. Kedua, sebagai bagian dari upaya membangun hukum pidana nasional, maka pengaturan restorative justice dalam KUHAP diperlukan untuk mendudukkan KUHAP sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, maka KUHAP dapat menuntun hukum formil di Indonesia bercita keindonesiaan, khususnya dengan penerapan restorative justice dalam praktiknya. Ketiga, penuangan restorative justice dalam KUHAP sejatinya penting untuk menjamin kepastian hukum sekaligus memberikan dimensi keseragaman atas pengaturan restorative justice. Beberapa institusi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, hingga Mahkamah Agung justru mengatur sendiri-sendiri ketentuan restorative justice. Selain itu, baju hukum yang digunakan dalam mengatur restorative justice juga berbeda-beda sesuai dengan keinginan dan kebutuhan institusi yang bersangkutan.

Hal ini menimbulkan keberagaman pengaturan mengenai restorative justice seperti melalui Surat Edaran, Peraturan Kejaksaan dan Kepolisian, hingga melalui Keputusan. Tentu, perbedaan baju hukum tersebut dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum penerapan restorative justice di masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, ius constituendum atau pengaturan ke depan terkait restorative justice dalam KUHAP perlu dilakukan dengan taiga urgensi yaitu: pertama, KUHAP harus menjadi “bingkai” yang menjamin pelaksanaan hukum pidana materil dalam hal ini KUHP. Hal ini berarti, revisi dan pembaruan KUHP harus selaras dengan revisi dan pembaruan atas KUHAP. Kedua, sebagai bagian dari upaya membangun hukum pidana nasional, maka pengaturan restorative justice dalam KUHAP diperlukan untuk mendudukkan KUHAP sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, maka KUHAP dapat menuntun hukum formil di Indonesia bercita keindonesiaan, khususnya dengan penerapan restorative justice dalam praktiknya. Ketiga, penuangan restorative justice dalam KUHAP sejatinya penting untuk menjamin kepastian hukum sekaligus memberikan dimensi keseragaman atas pengaturan restorative justice.

Simpulan

Restorative justice merupakan bagian dari sistem peradilan pidana khususnya pada aspek criminal justice system process yang meneguhkan orientasi proses hukum secara efektif dan efisien dalam penegakan hukum pidana. Dalam konteks ini, restorative justice hadir sebagai bagian dari perkembangan teori dan praktik hukum sekaligus sebagai upaya menghidupkan kembali nilai kearifan lokal dalam hukum pidana Indonesia. Pemahaman ini menunjukkan bahwa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, maka restorative justice harus dijadikan orientasi dalam proses berhukum di Indonesia khususnya melalui mekanisme dan prosedur yang berlaku dalam Hukum Acara Pidana. Ius constituendum atau pengaturan ke depan terkait restorative justice dalam KUHAP perlu dilakukan dengan taiga urgensi yaitu: pertama, KUHAP harus menjadi “bingkai” yang menjamin pelaksanaan hukum pidana materil dalam hal ini KUHP. Hal ini berarti, revisi dan pembaruan KUHP harus selaras dengan revisi dan pembaruan atas KUHAP. Kedua, sebagai bagian dari upaya membangun hukum pidana nasional, maka pengaturan restorative justice dalam KUHAP diperlukan untuk mendudukkan KUHAP sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana, maka KUHAP dapat menuntun hukum formil di Indonesia bercita keindonesiaan, khususnya dengan penerapan restorative justice dalam praktiknya. Ketiga, penuangan restorative justice dalam KUHAP sejatinya penting untuk menjamin kepastian hukum sekaligus memberikan dimensi keseragaman atas pengaturan restorative justice.

References

  1. M. Hidayat, “Meningkatkan Efektivitas Sistem Peradilan Pidana Indonesia Melalui Peran Serta Detektif Swasta,” in SEMINAR NASIONAL KONSORSIUM UNTAG Indonesia ke-2, 2020, pp. 353–354.
  2. X. Dai, “Studies on the Legal Translation from the Perspective of Legal Pluralism,” Theory Pract. Lang. Stud., vol. 9, no. 8, pp. 973–977, 2019, doi: 10.30564/ret.v2i3.870.
  3. D. E. Purwoleksono, Hukum Pidana, 1st ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2016.
  4. F. P. Disantara, “Konsep Pluralisme Hukum Khas Indonesia sebagai Strategi Menghadapi Era Modernisasi Hukum,” Al-Adalah J. Huk. dan Polit. Islam, vol. 6, no. 1, pp. 1–36, Jan. 2021, doi: 10.35673/ajmpi.v6i1.1129.
  5. N. I. S. A. Nasution, “Politik Hukum Pidana Kekerasan Seksual Dalam Rkuhp,” Khazanah Multidisiplin, vol. 2, no. 1, pp. 45–56, 2021, doi: 10.15575/km.v2i1.11636.
  6. D. Plunkett and S. Shapiro, “Law, morality, and everything else: General jurisprudence as a branch of metanormative inquiry,” Ethics, vol. 128, no. 1, pp. 37–68, 2017, doi: 10.1086/692941.
  7. A. R. Hambali, “Penegakan Hukum Melalui Pendekatan Restorative Justice Penyelesaian Perkara Tindak Pidana,” Kalabbirang Law J., vol. 2, no. 1, p. 71, 2020.
  8. E. Syahputra, “Restorative Justice dalam Sistem peradilan pidana di Masa Yang Akan Datang,” Lex Lata, vol. 3, no. 2, p. 235, 2021.
  9. B. S. Panjaitan, “Restorative Justice Sebagai Penyelesaian Perkara Pidana Berbasis Korban,” Doktrina, vol. 5, no. 1, p. 159, 2022.
  10. P. M. Marzuki, Penelitiam Hukum, 13th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  11. M. H. Kramer, “Responsibility in Law and Morality,” Philos. Rev., vol. 113, no. 1, pp. 133–135, Jan. 2004, doi: 10.1215/00318108-113-1-133.
  12. Z. Junius Fernando, “Pentingnya Restorative Justice Dalam Konsep Ius Constituendum,” Al Imarah J. Pemerintah. Dan Polit. Islam, vol. 5, no. 2, p. 253, 2020, doi: 10.29300/imr.v5i2.3493.
  13. B. Z. Tamanaha, A realistic theory of law, 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.
  14. M. Sahputra, “Restorative justice sebagai Wujud Hukum Progresif dalam Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.,” Transform. Adm., vol. 12, no. 1, p. 90, 2022.
  15. K. E. Himma and B. Bix, Law and Morality. Routledge, 2017.
  16. F. C. Beiser, “Savigny and the Historical School of Law,” in The German Historicist Tradition, Oxford University Press, 2011, pp. 214–252.
  17. E. Nurisman, “Risalah Tantangan Penegakan Hukum Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasca Lahirnya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 4, no. 2, pp. 170–196, 2022.
  18. K. H. M. A, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum. Malang: UMM Press, 2007.
  19. I. D. Marder, “Mapping restorative justice and restorative practices in criminal justice in the Republic of Ireland,” Int. J. Law, Crime Justice, vol. 70, no. March, p. 100544, 2022, doi: 10.1016/j.ijlcj.2022.100544.
  20. M. Crouch, “The challenges for court reform after authoritarian rule: The role of specialized courts in indonesia,” Const. Rev., vol. 7, no. 1, pp. 1–25, 2021, doi: 10.31078/consrev711.
  21. B. A. Chigara, “Towards a nemo judex in parte sua Critique of the International Criminal Court?,” Int. Crim. Law Rev., vol. 19, no. 3, pp. 412–444, 2019, doi: 10.1163/15718123-01806004.
  22. R. Leider, “The Modern Common Law of Crime,” J. Crim. Law Criminol., vol. 111, no. 2, pp. 412–413, 2021.
  23. A. Atilgan, Global Constitutionalism: A Socio-legal Perspective, 1st ed. Berlin: Springer Nature, 2018.
  24. J. Přibáň, “Asking the sovereignty question in global legal pluralism: From ‘Weak’ jurisprudence to ‘Strong’ socio-legal theories of constitutional power operations,” Ratio Juris, vol. 28, no. 1, pp. 31–51, 2015, doi: 10.1111/raju.12065.
  25. A. S. Ratna Anggraini, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “The Effectiveness of Political Law on the Development of Coastal Reclamation in Indonesia,” in 3rd International Conference on Globalization of Law and Local Wisdom, 2019, p. 187.
  26. Bustomi, “The Legality Principle Application in Indonesian Criminal Law System,” Nurani Huk., vol. 4, no. 2, p. 31, 2021.
  27. J. C. Thompson, “Law’s Autonomy and Moral Reason,” Laws, vol. 8, no. 1, p. 6, Feb. 2019, doi: 10.3390/laws8010006.
  28. G. Swenson, “Legal pluralism in theory and practice,” Int. Stud. Rev., vol. 20, no. 3, pp. 438–462, 2018, doi: 10.1093/ISR/VIX060.
  29. R. Asher, “Unresolved Injustice : An Examination of Indigenous Legal Issues in Australia,” Udayana J. Law Cult., vol. 4, no. 2, pp. 146–170, 2020.
  30. M. Reksodiputro, “Sistem peradilan pidana Indonesia (melihat kepada kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi).” p. 1, 1993.
  31. H. Morgan, “Restorative justice and the school-to-prison pipeline: A review of existing literature,” Educ. Sci., vol. 11, no. 4, p. 3, 2021, doi: 10.3390/educsci11040159.
  32. H. F. F. David W. Neubauer, America’s Court and The Criminal Justice System, 1st ed. Boston: Cengage Learning, 2019.
  33. K. H. Edi Setiadi, Sistem Peradilan Pidana Terpadu dan Sistem Penegakan Hukum di Indonesia, 1st ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  34. B. A. Garner and H. C. Black, Black’s Law Dictionary, 11th ed. Minnesotta: West Publishing Co, St. Paull, 2019.
  35. N. S. P. J. Appludnopsanji, Hari Sutra Disemadi, “Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berwawasan Pancasila,” Kertha Wicaksana, vol. 15, no. 1, p. 4, 2021, doi: https://doi.org/10.22225/kw.15.1.2021.1-10.
  36. Viswandoro, Kamus Istilah Hukum: Sumber Rujukan Peristilahan Hukum, Cetakan ke. Yogyakarta: Penerbit Medpress Digital, 2014.
  37. R. Marbun, Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Suatu Pengantar, 1st ed. Malang: Setara Press, 2015.
  38. V. Wirawan, “Tindak Pidana Perpajakan dalam Pembuatan dan Pendaftaran Surat Keterangan Waris,” J. Ilm. Kebijak. Huk., vol. 15, no. 3, p. 503, 2021.
  39. W. Desideria Nyinaq, Harkirtan Kaur, “Assessing The View Of Criminology Science In Seniority Violence Cases,” Int. J. Soc. Policy Law, vol. 2, no. 3, p. 30, 2021.
  40. A. Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, 1st ed. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011.
  41. A. U. Jennifer C.Sarrett, “Beliefs about and perspectives of the criminal justice system of people with intellectual and developmental disabilities: A qualitative study,” Soc. Sci. Humanit. Open, vol. 3, no. 1, p. 2, 2021.
  42. OECD, “Effectiveness and fairness of the justice system,” in Government at a Glance 2021, Paris: OECD Publishing, 2021, p. 49.
  43. A. Y. Mario Julyano, Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” J. Crepido, vol. 01, no. 01, p. pp.13-22, 2019.
  44. L. J. Leonard, “Can Restorative Justice Provide a Better Outcome for Participants and Society than the Courts?,” Laws, vol. 11, no. 1, p. 3, 2022, doi: 10.3390/laws11010014.
  45. G. G. Bateman, “The Ough To Be a Law: Gustav Radbruch, Lon L. Fuller, and H.L.A. Hart on The Choice Between Natural Law and Legal Positivism,” J. Jurisprud., vol. 271, no. 1, pp. 13–15, 2019, doi: 10.1093/ojls/gqi042.
  46. H. A. Santoso, “Perspektif Keadilan Hukum Teori Gustav Radbruch Dalam Putusan Pkpu ‘PTB,’” Jatiswara, vol. 36, no. 3, p. 329, 2021.
  47. M. Bell, “John Stuart Mill’s Harm Principle and Free Speech: Expanding the Notion of Harm,” Utilitas, vol. 1, no. 1, pp. 1–18, 2020.
  48. M. L. Setiaji and A. Ibrahim, “Kajian Hak Asasi Manusia Dalam Negara the Rule of Law : Antara Hukum Progresif Dan Hukum Positif,” Lex Sci. Law Rev., vol. 2, no. 2, pp. 123–138, 2018, doi: 10.15294/lesrev.v2i2.27580.
  49. A. Mendenhall, “Oliver Wendell Holmes Jr. and the Darwinian Common Law Paradigm,” Eur. J. Pragmatism Am. Philos., vol. 7, no. 2, pp. 1–22, 2015.
  50. R. Tomalili and A. Ariadi, “Implementasi Restorative Justice Dalam Perspektif Hukum Pidana Melalui Pendekatan Kearifan Lokal,” Akrab Juara, vol. 6, no. 4, p. 212, 2021.
  51. S. Taekema, “ How to Be a Transnational Jurist: Reflections on Cotterrell’s Sociological Jurisprudence ,” Ratio Juris, vol. 32, no. 4, pp. 509–520, 2019, doi: 10.1111/raju.12263.
  52. K. W. Simanjuntak, “Pengambilan Minuta Akta Dan Pemanggilan Notaris Serta Hak Ingkar Notaris Berdasarkan Sumpah Jabatan Notaris Dalam Pemeriksaan Perkara Perdata Di Pengadilan,” JUSITISI, 2019.
  53. B. D. A. Andri Setiawan, Antikowati Antikowati, “Kekuatan Mengikat Putusan Pengujian Undang-Undang Oleh Mahkamah Kostitusi Terhadap Putusan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Oleh Mahkamah Agung,” Legis. Indones., vol. 18, no. 1, p. 19, 2021.
  54. E. D. Safitri and N. Sa’adah, “Penerapan Upaya Administratif Dalam Sengketa Tata Usaha Negara,” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 3, no. 1, pp. 34–45, 2021.
  55. H. Xanthaki, “Legislative drafting:a new sub-discipline of law is born,” IALS Student Law Rev., vol. 1, no. 1, pp. 57–62, 2017.