The actualization of religious tolerance is a standard of consideration consistent concept of humans towards mutual respect of other religions by living together without mixing beliefs. This research uses a qualitative case study approach through observation, interview and documentation. The supporting factor for the actualization of the value of tolerance is the goal orientation of each school member, including the principles of wholeness, unity, humanism, and socialism. While the inhibiting factors are based on experience and basic understanding related to religious differences which are influenced by: (1) character and personality, (2) psychological development, (3) parenting pattern, (4) lack of religious teaching, (5) the surrounding environment and culture, and (6) previously established social relations.
Indonesia adalah negara kesatuan yang berasal dari berbagai suku, yang di dalamnya terdiri bermacam-macam kebudayaan, ras, bahasa, dan agama. Melalui sejarah berdirinya Indonesia, nilai-nilai plural tampak sangat sejalan dengan NKRI dari awal hingga saat ini, karena kemajemukan NKRI hanya dapat dipertahankan dengan asas Bhineka Tunggal Ika. [1]. Toleransi dan kerukunan umat beragama di Indonesia baru-baru ini mendapatkan pengakuan dan menjadi inspirasi bagi negara Jerman dalam seminar yang berjudul “Tolerance of Islam in Pluricultural Societies” yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 2019 di Berlin, Jerman. [2]. Namun tidak selaras dengan hal ini, masih banyak ditemukan berbagai konflik yang muncul bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) di Indonesia beberapa waktu silam yang membuktikkan gagalnya masyarakat menjalin keberagamaan. Berdasarkan catatan hasil survei yang dilakukan oleh SETARA Institute, insiden pelanggaran KBB (kebebasan beragama dan berkeyakinan) dan ekspresi intoleransi kembali marak terjadi di Indonesia sebagai masalah terbesar pada level negara. Terhitung sejak tahun politik 2019 - Nopember 2020 terdapat 200 kasus pelanggaran KBB [3].
Pembentukan karakter moderat yang di harapkan dalam Pendidikan Agama Islam telah menuju titik terang dengan terbitnya program RPJMN 2020-2024 (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang dicanangkan oleh Kementerian Agama dengan acuan prinsip adil, berimbang, akomodatif, inklusif dan toleran sebagai indikator perspektif praktik kehidupan beragama di Indonesia [4]. Toleransi agama sangat penting diaktualisasikan peserta didik, mengingat peserta didik adalah aset masa depan yang menentukan maju atau tidaknya peradaban di suatu negara. Peserta didik yang kurang mampu mengaktualisasikan nilai-nilai toleran, akan sulit untuk beradaptasi atas kemajemukan hingga menjadi mata-rantai problem-problem lainnya dalam hidup bermasyarakat kelak.
Pendidikan agama yang seharusnya dapat dijadikan suatu langkah mengembangkan moralitas universal masih menjadi gambaran teoritis belum mencapai pemahaman kognitif secara praktis. Akibatnya cita-cita luhur terciptanya masyarakat majemuk yang harmonis dan beradab masih menjadi angan. Selain daripada itu, kenyataan penyampaian pendidikan agama masih pada kesan eklusifitas yang justru menghasilkan corak paradigma rigid dan tidak toleran [5]. Wujud adanya indikasi toleransi atas perbedaan ini terlihat pada aktivitas bullying (secara verbal dan mental) yang dilakukan oleh beberapa kelompok mayoritas (siswa muslim) kepada siswa minoritas (non-muslim). Sehingga dalam hal ini aktualiasasi toleransi dalam diri siswa dirasa belum sepenuhnya terwujud karena masih terdapat kesenjangan sosial antara peserta didik.
Berdasarkan hasil analisis Imam Tholkhah, tindak perilaku deskriminatif yang terjadi antar siswa disebabkan oleh minimnya nilai agama yang terserap. Hal ini berhubungan dengan kurangnya minat peserta didik pada matapelajaran Pendidikan Agama [6]. Oleh sebab itulah peneliti ingin mengetahui sejauh mana hukum Islam dipahami dan diupayakan guna mendewasakan masyarakat sehingga dapat diaktualisasikan dan dikategorikan berdasarkan faktor-faktor yang mendukung atau menghambat aktualisasi tersebut. Selain itu, penelitian ini dirasa genting sehingga sangat perlu adanya tinjauan lapangan untuk menyelesaikan carut marut permasalahan serta dicari titik solusi berdasarkan teori-teori toleransi dan kerukunan beragama.
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan metode studi kasus untuk menerjemahkan fenonema terhadap hasil temuan dengan memadukannya pada teori terkait permasalahan toleransi beragama dalam perspektif Hukum Islam.
Abraham Maslow mengungkapkan kebutuhan manusia tersusun atas hierarti yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan.
Menurut Maslow jenjang tertinggi manusia adalah kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri dengan mewujudkan yang seharusnya mampu dilakukan sesuai dengan potensi yang dimiliki. Sebagai makhluk pembelajar manusia dapat memberdayakan diri melalui pengalaman belajar (learning experience) atau di dalam proses pembelajaran itu sendiri (learning process) [8]. Semakin tinggi spiritualitas seseorang ia akan semakin memahami hakikat hidup di dunia yang serba plural ini.
Tischler seorang sosiolog mengemukakan terdapat empat kompetensi yang berkembang dari spiritualitas seseorang terhadap human being yang mendukung terbentuknya sikap toleran, diantaranya sebagai berikut:
Sam Haris menulis buku berjudul “The End of Faith (Religion, Teror, and the Future of Reason)” sebagai protes akan keberhasilan agama yang sudah berakhir. Menurutnya pendidikan agama telah mengalami krisis fatal karena gagal memberikan jawaban permasalahan modern dan gagal mempersatukan manusia.
Mengaktualisasikan toleransi dapat didukung dengan beberapa langkah yaitu:
Sedangkan paradigma yang melatar belakangi terhambatnya aktualisasi nilai toleransi beragama dalam diri manusia, antara lain:
Ditemukan berbagai sudut pandang dalam memaknai pluralitas perbedaan agama dengan berbagai corak alur toleran yang dipengaruhi oleh dukungan sosial sekitar. Dengan dukungan sosial yang baik dalam keluarga dan lingkungan akan cenderung menerima dengan baik perbedaan agama. Berbeda dengan siswa yang hidup dalam keluarga dan lingkungan fanatik, cenderung membatasi lingkup pertemanan dengan siswa lain yang memiliki perbedaan kepercayaan. Hal ini tentunya berimbas pada proses aktualisasi dalam diri siswa karena belum dapat mencapai kebutuhan sepenuhnya atas penghargaan dalam diri manusia lainnya yang disebabkan rasa takut, cemas atau canggung untuk menghadapi suatu perbedaan. Proses dari tingkatan aktualisasi yang dilakukan oleh pihak pemangku kebijakan hukum dan seluruh masyarakat secara kompak dengan saling menguatkan dan mengusahakan culture damai di sekolah. Pemangku kebijakan hukum harus memberikan perlindungan, kasih sayang dan penghargaan kepada masyarakat melalui berbagai kebijakan dan rancangan kegiatan. Upaya tersebut dapat menjadi jalan terpenuhinya satu-persatu hierarki kebutuhan sehingga masyarakat dapat mengembangkan secara mandiri sehingga teraktualisasikan dalam ranah lebih luas.
Kematangan dalam diri manusia hingga dapat dikatakan mencapai tingkatan aktualisasi diri menurut Maslow adalah ketika manusia tersebut memiliki nilai-nilai B “Being” alamiah, diantaranya: kebenaran, kebaikan, kecantikan, keutuhan, kelebihan atas lawan, kehidupan, keunikan, kesempurnaan, kelengkapan, keadilan, keteraturan, kesederhanaan, kelapangan, kemampuan, dan kecukupan. [10]SHasil menunjukkan bahwa dari beberapa indikator aktualisasi diri tersebut, beberapa masyarakat masih belum dapat memenuhi keseluruhan kriteria di antaranya: a) menerima kebenaran, b) menerima kebaikan, c) menerima kelebihan atas lawan, dan d) prinsip keadilan. Hal ini terlihat berdasarkan pengamatan peneliti dari respon dan tanggapan proses interview yang masih menunjukkan adanya indikasi gejala neurotik canggung, membeda-bedakan, membanding-bandingkan dan sulit untuk menerima keberadaan dari kepercayaan yang berbeda.
Reaksi yang muncul pada komunitas masyarakat secara umum menanggapi perbedaan agama adalah kesediaan menerima, namun aktivitas toleransi yang terjalin masih mengacu kepada batasan-batasan yang diperselisihkan sehingga memberikan ruang gerak yang sempit. ”Hanya bisa melihat saja, tidak bisa menolong”. Usaha membangun tatanan pendidikan yang memiliki paradigma terbuka pluralis-multikultural adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Sebab dengan paradigma semacam inilah, pendidikan diharapkan mampu mencetak masyarakat didik bercakrawala luas.
Aktualisasi nilai toleransi beragama dapat ditemukan sebagai berikut:
Hierarki kebutuhan aktualisasi diri pada mayarakat belum dapat teraktualisasikan secara penuh kepada seluruh siswa. Hal ini disebabkan karena berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan, kepribadian dan karakter siswa dalam menanggapi problem-problem di sekitar.
Pengalaman dari masing-masing individu di sekolah sangat bergantung pada bagaimana mereka tumbuh, belajar dan mengenal konsep dasar ajaran agama serta hubungan sosial pada kehidupan sehari-hari. Pola asuh masyarakat tumbuh dalam pola asuh demokratis dan terbuka, cenderung memunculkan respon positif dan membuka diri untuk mengenal adanya pluralitas. Namun, hal ini juga dipengaruhi berdasarkan tingkat pendidikan, pengalaman dan pemahaman konsep agama dari masing-masing orang tua. Sedangkan kondisi siswa di lingkup keluarga berpola asuh otoriter dan pemahaman agama yang fanatik, maka sedikit kemungkinan untuk dapat memunculkan respon positif atas pluralitas.
Berikut merupakan cara yang dapat dilakukan orang tua untuk mengajarkan sikap toleransi:
Di lingkungan masyarakat yang memiliki persepsi negatif terhadap perbedaan agama, sedikit banyak akan tepengaruh sehingga sulit untuk dapat membaur kepada teman lain yang berbeda. Hal ini senada berdasarkan teori bahwa sikap dan perilaku yang muncul pada anak dalam memaknai sesuatu banyak dipengaruhi oleh bagaimana kecenderungan lingkungan sekitar merespon sesuatu. Misalnya dalam pergaulan di sekitar rumah [11].
Berdasar hasil pengamatan menunjukkan bahwa persepsi atau cara pandang menanggapi perbedaan agama yaitu tergolong positif dengan respon baik.
Pemahaman konsep dari proses belajar yang didapatkan para siswa terkait hubungan dengan pemeluk agama lain berasal dari orang tua, pendidikan pada jenjang sebelumnya, pemahaman dasar agama, proses pembelajaran di sekolah dan dari kegiatan-kegiatan, aktivitas atau organisasi yang diikuti di sekolah maupun di luar sekolah. Siswa yang aktif mengikuti berbagai kegiatan sosial keagamaan cenderung menunjukkan sikap lebih moderat daripada siswa lain yang pasif.
Menurut teori psikologi perkembangan di jelaskan bahwa anak usia sekolah merupakan fase di mana anak masih membutuhkan dukungan, arahan, motivasi dan pantauan konsisten dari lingkungan primer anak, yaitu keluarga. Karena setiap proses dari masing-masing tahapan pada fase perkembangan anak sangat mempengaruhi bagaimana terbentuknya karakter dan kepribadian anak [12].
Wujud implementasi dan internalisasi nilai toleransi di sekolah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
Sehubungan dengan temuan data dan hasil penelitian menunjukkan:
1) Persepsi seluruh masyarakat menunjukkan respon positif terhadap pemeluk agama lain.
Indikator toleransi yang peneliti temukan berdasarkan persepsi informan, anatara lain: menerima, menghargai, kesetaraan, kerjasama, mengakui, kasih sayang, tenggang rasa, tidak semena-mena, humanis, dan senang melakukan kegiatan bakti sosial.
1) Hubungan antara seluruh warga masyarakat terjalin dengan baik, rukun, aman dan damai.
Hubungan diwujudkan dengan sikap berjiwa besar dan menerima teman yang beragama non-muslim. Jalinan hubungan sosial ini terlihat dari interaksi antara guru dengan guru, guru dengan siswa, siswa dengan siswa pada beberapa aktivitas masyarakat dengan cara bekerjasama, gotong royong dan saling bahu-membahu.
Menurut Abdurrahman Wahid yang dikutib oleh Muhaimin Iskandar, demokrasi dalam beragama merupakan bagian dari manifestasi tujuan syariat itu sendiri dalam ranah hidup bermasyarakat dan berbangsa. Demokrasi adalah salah satu upaya untuk mempersatukan keberagaman sebagai tonggak kekuatan bangsa sehingga dapat merubah ketercerai-beraian arah masing-masing kelompok menuju kedewasaan, integritas dan kemajuan bangsa. Kedewasaan dan integritas dalam mengatasi keberagaman di kehidupan pada masa sekarang ini dapat dilakukan dengan mengupayakan pendidikan pluralis dan multikultural di dunia pendidikan, salah satunya seperti yang digalangkan oleh Wahid Foundation yang menginisiasi program sekolah damai. Faktor utama yang mendukung masyarakat mengaktualisasikan nilai toleransi adalah karena suatu kesadaran dari pihak-pihak akan pentingnya hidup nyaman dan damai.
Indonesia merupakan negara demokrasi yang kaya akan keberagaman, salah satunya dari segi agama. Kemajemukan ini terlihat bukan hanya dalam konteks agama yang berbeda, akan tetapi juga terdapat dalam agama yang sama, seperti berbeda aliran dan pandangan. Seiring berjalan dan menguatnya demokrasi, globalisasi dan transformasi masyarakat bangsa, muncul kelompok-kelompok yang mengatasnamakan agama dengan pemaknaan secara kaku dan radikal sehingga menyebarkan sikap intoleran dan merasa benar sendiri, dari pada itulah sangat penting adanya upaya penanaman nilai-nilai toleransi sejak dini secara berkelanjutan khususnya di dunia pendidikan [14].
Faktor utama yang menghambat adanya aktualisasi nilai-nilai toleransi di masyarakat adalah latar belakang dari masing-masing individu yang berbeda sehingga mempengaruhi karakter, pola pikir dan cara berperilaku atau cara pandang kepada sesuatu, sehingga muncul sikap merasa paling unggul dan merasa paling benar. Berikut merupakan klasifikasi faktor-faktor penghambat aktualisasi nilai toleransi beragama, antara lain:
Nilai-nilai toleransi beragama yang terinternalisasi telah teraktualisasikan dengan baik oleh para siswa dan seluruh warga sekolah melalui respon positif pada berbagai program sekolah yang menunjang internalisasi nilai-nilai toleransi beragama. Sehingga tidak lagi ditemukan adanya ketimpangan aktivitas intoleran yang krusial seperti yang terjadi pada masa lampau dalam hal bullying.