Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v10i0.780

Royalty as a Way to Protect Creator: Current Conditions in Indonesia


Royalti Sebagai Cara Melindungi Pencipta: Kondisi Saat Ini di Indonesia

Fakultas Hukum, Universitas Tadulako
Indonesia

(*) Corresponding Author

Royalty Intellectual Property Rights Legal Value

Abstract

One of the legal rights that must be protected is intellectual property rights. This study analyzes intellectual property legal protection aspects based on a royalty system. This research is the normative legal research to produce legal arguments, usually called legal prescriptions. This study uses primary legal materials, which include: the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Patent Law, the Copyright Law, the Government Regulation on Song and/or Music Royalties, also the Plant Variety Royalties Act. Secondary legal materials include the results of studies and research on aspects of royalties in intellectual property rights. Non-legal material includes various non-legal studies of the royalty system in intellectual property. The approach in this research is a conceptual approach and a statutory approach. The results of the study confirm that the implication of the implementation of the royalty system in intellectual property rights requires the state to realize three fundamental legal values ​​related to royalty policies, such as guarantees of legal certainty over the rules regarding royalties, guarantees of benefit from the distribution of royalties, as well as guarantees of fair distribution of royalties based on the principle of proportionality. In addition, legal protection with a royalty system in intellectual property rights needs to be carried out externally and internally.

Highlights: 

  • Royalty system needs legal certainty, benefits, and fair distribution.
  • Fair distribution based on proportionality is important.
  • External and internal legal protection is necessary.

Keywords: Royalty, Intellectual Property Rights, Legal Value

 

Pendahuluan

Hukum sebagai salah satu instrumen perekayasa masyarakat memiliki orientasi untuk memberikan jaminan perlindungan bagi masyarakat.[1] Perlindungan hukum merupakan salah satu aspek penting untuk menyelenggarakan berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat.[2] Perlindungan hukum dalam konteks ini merupakan fasilitas yang diberikan oleh hukum memperlancar sekaligus melindungi beberapa kegiatan potensial masyarakat.[3] Salah satu kegiatan potensial masyarakat yang memerlukan pelrindungan hukum adalah kegiatan yang bernilai ekonomis. Kegiatan di masyarakat yang bernilai ekonomis merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atau merupakan berbagai kegiatan yang memiliki orientasi ekonomis.[4] Orientasi ekonomis dalam hal ini adalah segala kegiatan manusia termasuk hasil ciptaan, seni, maupun karsa yang dapat dinilai secara ekonomis.[5] Hal ini memerlukan perlindungan hukum karena menjamin terpenuhinya dua hak sekaligus, yaitu hak moral dan hak ekonomis.[6] Hak moral berkaitan dengan aspek kepantasan untuk mencantumkan nama penemu, pencipta, maupun pembuat suatu karya yang bernilai ekonomis.

Hak ekonomis berkaitan dengan keuntungan ekonomis yang didapat dari hasil karya yang menuntut adanya pemberian dan pembagian secara proporsional. Dengan demikian, aspek perlindungan hukum merupakan aspek terpenting dalam melindungi kegiatan masyarakat yang bernilai ekonomis salah satunya berkaitan dengan hak kekayaan intelektual.Kekayaan intelektual sejatinya merupakan berbagai kegiatan masyarakat yang memiliki dimensi ekonomis.[7] Hal ini berarti, kekayaan intelektual merupakan setiap kegiatan manusia yang menggunakan kreativitas dan berbagai potensi yang dimiliki untuk membuat suatu karya intelektual.[8] Karya intelektual yang berdimensi moral maupun ekonomis ini lah yang memerlukan perlindungan hukum. Terkait perlindungan hukum dalam kekayaan intelektual, terdapat adanya sistem royalti sebagai salah satu upaya menjamin hak ekonomis atas kekayaan intelektual. Sistem royalti sejatinya merupakan upaya perlindungan hukum bagi pencipta atau para pihak yang berkontribusi atas suatu karya intelektual khususnya terkait hak ekonomisnya.[9] Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek perlindungan hukum kekayaan intelektual dengan berdasarkan sistem royalti.

Penelitian mengenai royalti terkait kekayaan intelektual pernah dilakukan oleh: Edward James Sinaga (2020) tentang Pengelolaan Royalti atas Pengumuman Karya Cipta Lagu dan/atau Musik yang berfokus pada kebijakan hukum sistem royalti bagi karya cipta lagu/musik.[10] Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Athaniela Putri Arumdhani dan Iwan Erar Joesoef (2021) tentang Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Objek Musik dan Lagu yang berfokus pada pemberian royalti khusus pada musik atau lagu sesuai hukum positif.[11] Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Rizky Syahputra, Doddy Kridasaksana, Zaenal Arifin (2022) tentang Perlindungan Hukum Bagi Musisi Atas Hak Cipta Dalam Pembayaran Royalti yang berfokus pada aspek royalti dalam hak cipta.[12] Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang orisinal karena membahas mengenai sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual secara umum yang oleh ketiga penelitian sebelumnya hanya khusus bagi hak cipta. Berdasarkan pandangan tersebut, maka penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini berorientasi untuk menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Apa implikasi penerapan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual, dan (ii) Bagaimana bentuk perlindungan hukum dengan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan tujuan menghasilkan argumentasi hukum yang lazimnya disebut preskripsi hukum.[13] Penelitian hukum normatif merupakan penelitian khas ilmu hukum yang memiliki karakter normatif-preskriptif.[14] Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer yang meliputi: UUD NRI 1945, UU No. 13 Tahun 2016 Tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten), UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU Hak Cipta), PP No, 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (selanjutnya disebut PP Royalti Lagu dan/atau Musik), dan Peraturan Menter! Keuangan Republik Indonesia Nomor 136/PMK.02/2021 Tentang Pedoman Pemberian Imbalan Yang Berasal Dari Penerimaan Negara Bukan Pajak Royalti Hak Cipta Kepada Pencipta, Royalti Paten Kepada Inventor, dan/Atau Royalti Hak Perlindungan Varietas Tanaman Kepada Pemulia Tanaman Bahan (selanjutnya disebut PMK Royalti Varietas Tanaman). Bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan penelitian mengenai aspek royalti dalam hak kekayaan intelektual. Bahan non-hukum meliputi berbagai kajian non-hukum mengenai sistem royalti dalam kekayaan intelektual. Pendekatan dalam penelitian ini yaitu pendekatan konseptual dan pendekatan peraturan perundang-undangan.

Hasil dan Pembahasan

Implikasi Penerapan Sistem Royalti dalam Hak Kekayaan Intelektual

Hakikat negara hukum sejatinya memiliki orientasi untuk melindungi kepentingan masyarakatnya.[15] Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 sejatinya memiliki orientasi tersebut. Orientasi untuk menjaga setiap kepentingan warga masyarakat sejatinya telah dipertegas dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 yang salah satu tujuan negara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Melindungi segenap bangsa Indonesia dalam konteks ini harus dimaknai secara luas (ekstensif) meliputi perlindungan atas fisik (termasuk nyawa), perlindungan atas hak dasar, serta perlindungan terhadap berbagai aspek untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (termasuk hak ekonomis).[16] Pada aspek perlindungan atas fisik, negara memiliki fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban setiap masyarakat Indonesia dari gangguan keamanan dan ketertiban sekaligus terhadap setiap ancaman terhadap nyawa setiap masyarakat.[17] Dalam konteks ilmu hukum, hukum pidana diorientasikan sebagai dimensi hukum yang memiliki fokus perlindungan atas nyawa setiap warga negara.[18]

Selanjutnya, adalah perlindungan terhadap hak dasar yang sejatinya meliputi dua hak yaitu hak asasi manusia dan hak warga negara.[19] Negara melindungi hak asasi manusia sejatinya negara menjamin terpenuhinya setiap hak kodrat manusia Indonesia yang melekat karena eksistensinya sebagai manusia. Berkaitan dengan hak warga negara, negara juga berkewajiban untuk melindungi setiap masyarakat Indonesia dari eksistensi hak yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai warga negara, termasuk hak turut serta dalam pemerintahan, hak memilih dan dipilih dalam jabatan publik, serta hak untuk melakukan bela negara. Orientasi perlindungan negara selanjutnya adalah berkaitan dengan perlindungan atas aspek untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya (termasuk hak ekonomis) yang merupakan salah satu aspek penting bagi masyarakat. Aspek untuk mempertahankan hidup dalam konteks ini sejatinya bermakna secara luas pada berbagai aspek yang menjamin hidup dan kehidupan setiap masyarakat.[20] Namun dalam hal ini, aspek ini dipersempit pada aspek perlindungan terhadap hak ekonomis masyarakat. Secara umum hak ekonomis menempati kedudukan terpenting dalam upaya untuk memenuhi hidup dan kehidupan setiap masyarakat. Aspek ekonomis merupakan aspek penting untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dalam konteks ini, jika hak hidup merupakan bagian dari hak asasi manusia, maka hak hidup tersebut hanya dapat dipenuhi ketika aspek ekonomis telah terpenuhi terlebih dahulu.

Dengan demikian, maka aspek ekonomis merupakan aspek penjaga eksistensi hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia.[21] Salah satu implementasi dari hak ekonomis tersebut adalah hadirnya negara untuk melindungi sekaligus memfasilitasi aspek hak kekayaan intelektual. Hak kekayaan intelektual atau lazim disebut sebagai intellectual property right sejatinya merupakan hak yang berkaitan dengan dimensi etis dan ekonomis dalam suatu karya.[6] Untuk memahami hak kekayaan intelektual, tentu pemahaman atas kekayaan intelektual haruslah menjadi pemahaman dasar yang bersifat komprehensif. Dalam hal ini, kekayaan intelektual merupakan setiap orientasi etis (moral) dan ekonomis dari setiap orang dan/atau masyarakat yang memiliki karya tertentu sebagai hasil ekspresi cipta maupun karsa sebagai hasil intelektualitas manusia. Dalam pemahaman yang lebih sederhana, kekayaan intelektual merupakan setiap karya manusia yang memiliki nilai lebih berupa orientasi ekonomis yang dapat diwujudkan dalam nominal uang tersebut.[22] Tentu, dalam memahami kekayaan intelektual, aspek etis (moral) dan ekonomis menjadi aspek terpenting. Oleh karena itu, dalam kekayaan intelektual hak moral dan hak ekonomis menjadi kajian utama dan merupakan kajian terpenting.

Hak moral dan ekonomis dalam kekayaan intelektual sejatinya hadir sebagai orientasi untuk menjamin dimensi penghormatan atas hasil karya manusia. Penghormatan dalam konteks ini mengedepankan dimensi moral yang mana jaminan bagi seorang pencipta atau penemu untuk diumumkan atau dicantumkan namanya dalam suatu karya atau penemuan tertentu. Dalam hal ini, tentu dimensi moral memiliki beberapa aspek pembeda dengan dimensi ekonomis.[23] Setidaknya, terdapat tiga aspek pembeda dimensi moral dan dimensi ekonomis, yaitu: pertama, aspek utama dimensi moral adalah kepatutan. Dimensi moral dalam kekayaan intelektual menekankan dimensi kepatutan yang mana dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin keterikatan antara pencipta atau penemu dengan hasil karya yang dimiliki. Hal ini menegaskan secara moral pencipta atau penemu melekat dengan sebuah karya sekalipun dalam aspek ekonomis pencipta atau penemu belum tentu dapat menikmati hak ekonomisnya secara mutlak. Kedua, adanya sifat mutlak atau berlaku secara terus menerus dalam dimensi moral. Dimensi moral dalam kekayaan intelektual bersifat terus menerus maksudnya bahwa karya sebagai ciptaan atau temuan agung setiap manusia atau kelompok masyarakat harus dilekatkan pada pencipta atau penemu tersebut.[24] Bahkan, sekalipun hak ekonomisnya sudah dialihkan kepada pihak lain, hak moral tersebut masih melekat pada pencipta atau penemu suatu karya. Ketiga, Dimensi moral sangat menekankan aspek etis beserta pengakuan masyarakat atas hasil karya atau penemuan suatu karya. Hal ini tentu berkaitan dengan dimensi sosial masyarakat untuk memberikan pengakuan sekaligus apresiasi terhadap penemu atau pembuat karya yang bersifat penghormatan (honourable). Aspek penghormatan ini mempertegas bahwa jaminan terhadap penemu atau pencipta karya untuk dilekatkan dengan karya ciptaannya juga harus mendapatkan perhatian dari negara.

Berdasarkan ketiga aspek perbedaan antara dimensi moral dan ekonomis dalam kekayaan intelektual di atas, sejatinya dapat disimpulkan bahwa hak moral atau dimensi etis berorientasi pada penghormatan suatu karya yang dilekatkan pada penemu, pembuat, atau penemu suatu produk intelektual.[25] Ketiga aspek dimensi moral di atas, sejatinya tentu berbeda dengan aspek ekonomis dalam kekayaan intelektual. Aspek ekonomis sejatinya berfokus pada dimensi praktis yang mana suatu karya atau temuan harus dapat dinominalkan secara ekonomis untuk menghargai sekaligus menjadikan pendapatan bagi penemu atau pencipta terhadap suatu karya. Secara umum, aspek ekonomis dalam kekayaan intelektual memiliki tiga tujuan utama, yaitu: pertama, aspek ekonomis sejatinya merupakan bentuk penghargaan praktis atas suatu karya. Penghargaan praktis dalam hal ini merupakan bentuk penghargaan dengan akibat secara langsung berupa pewujudan secara nominal-praktis yang diwujudkan dalam aspek ekonomis. Biasanya hal ini dubuktikan dengan pemberian sejumlah uang atau fee dalam jumlah tertentu. Kedua, aspek ekonomis juga berkaitan dengan konsekuensi ekonomis atas suatu karya atau temuan. Konsekuensi ekonomis ini dimaksudkan bahwa sebagai suatu upaya untuk menghasilkan karya atau temuan, tentu dibutuhkan pengorbanan atas biaya, waktu, hingga pikiran yang semuanya perlu diganti secara ekonomis atas jumlah nominal tertentu. Hal ini sejatinya mengacu pada kredo dasar dalam ekonomis bahwa suatu pengorbanan yang memiliki dimensi ekonomis harus mendapatkan ganti berupa pemasukan atau pendapatan secara ekonomis. Ketiga, aspek ekonomis dalam kekayaan intelektual memiliki orientasi untuk memotivasi setiap orang untuk menjadi penemu atau pembuat karya yang berdimensi kekayaan intelektual.[26] Dalam konteks ini, aspek ekonomis juga memiliki dimensi futuristik berupa sarana pemberian motivasi bagi generasi penerus khususnya untuk menjadi penemu sekaligus pembuat karya.

Ketiga aspek ekonomis di atas dalam kekayaan intelektual merupakan aspek penting selain dimensi moral sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam konteks ini, aspek ekonomis dapat dikatakan memiliki orientasi yang lebih “menjanjikan” karena mengedepankan aspek ekonomis yang berorientasi pada finansial dan sejumlah nominal tertentu atas suatu karya atau temuan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kekayaan intelektual adalah setiap karya yang memiliki dimensi moral dan ekonomis atas suatu karya atau temuan. Karena kekayaan intelektual memiliki dimensi moral dan ekonomis yang mana dimensi moral dan ekonomis tersebut wajib dipenuhi maka setiap jaminan untuk mendapatkan dimensi moral dan ekonomis dalam suatu kekayaan intelektual dilekati dengan istilah “hak” sehingga menjadi hak kekayaan intelektual.[27] Hak kekayaan intelektual dengan penekanannya pada aspek “hak” sejatinya mengedepankan dua hal, yaitu: pertama, sebagai hak maka, hak kekayaan intelektual menuntut terpenuhinya hak moral dan hak ekonomis sekaligus bagi para penemu atau pencipta suatu karya.

Hal ini termasuk juga prosedur dan gugatan atas tidak dipenuhinya hak moral dan hak ekonomis tersebut. Hal ini didasarkan pada adagium hukum, “Ubi ius ibi remidium” yang bermakna bahwa eksistensi adanya suatu hak adalah adanya kemampuan untuk menuntut atas hak yang belum dipenuhi.[28] Kedua, sebagai hak, maka hak kekayaan intelektual memiliki relasi yang kuat dengan hukum. Dalam telaah filsafat hukum, hak diidentikkan dengan hukum bahkan dikatakan bahwa hak merupakan “anak kandung” dari hukum.[29] Hal ini menunjukkan bahwa hak tentu memiliki keterikatan dengan hukum, bahkan hukum hadir untuk melindungi hak. Berdasarkan pandangan tersebut, maka hak kekayaan intelektual memiliki relevansi dengan hukum, khususnya dalam pemenuhan hak moral dan hak ekonomis. Lebih lanjut, dalam pemenuhan hak ekonomis, dalam kekayaan intelektual sejatinya telah difasilitasi oleh negara melalui mekanisme royalti. Dalam hak kekayaan intelektual, royalti menempati kedudukan penting karena merupakan mekanisme yang diberikan oleh negara untuk menjamin terpenuhinya hak ekonomis. Dalam konteks ini, maka royalti dapat dipersamakan dengan “kekayaan atau aspek ekonomis” yang wajib dibayarkan kepada penemu atau pencipta suatu karya. Selain itu, dalam pandangan lain, royalti juga merupakan hak eksklusif atas suatu karya atau temuan.

Hak eksklusif dalam konteks ini berarti mengikat secara langsung terhadap penemu atau pembuat karya. Hal ini menunjukkan bahwa royalti merupakan bagian dari hak ekonomis yang melekat pada pribadi penemu atau pembuat suatu karya. Hal ini menegaskan bahwa setiap aktivitas ekonomis yang berkaitan dengan kekayaan intelektual memiliki relevansi dengan royalti. Secara umum, royalti dikenakan pada berbagai aspek dalam dunia bisnis yang meliputi: pertunjukan, waralaba, buku, paten, hingga sumber daya mineral.[30] Hal ini menunjukkan bahwa royalti dapat dimaknai secara luas maupun secara sempit. Dalam aspek yang lebih luas, royalti merupakan suatu imbalan ekonomis atas kerja sama bisnis.[31] Bisnis menempatkan hubungan yang saling menguntungkan sebagai syarat utama kerja sama bisnis.[32] Dalam konteks bisnis, royalti merupakan imbalan atas kuntungan kerja sama bisnis sebagaimana yang telah disepakati. Dalam konteks pemahaman royalti maka proses dan kerja sama bisnis selalu memiliki orientasi terhadap pemberian royalti. Meski begitu, dalam arti sempit, royalti merupakan bentuk kompensasi atas suatu karya atau temuan. Royalti dalam konteks ini merupakan royalti dalam konteks hak kekayaan intelektual. Dalam konteks kekayaan intelektual ini lah royalti sejatinya merupakan bentuk implmentasi dari pemenuhan hak ekonomis atas suatu karya atau temuan intelektual.

Royalti dalam konteks kekayaan intelektual sejatinya merupakan hak yang memiliki sifat eksklusif. Sifat eksklusif ini berarti bahwa royalti merupakan secara langsung melekat pada pencipta atau penemu suatu ciptaan.[33] Sifat eksklusif dari royalti ini lah yang membuat negara harus hadir dengan berbagai instrumen hukum untuk menjamin terpenuhinya royalti sebagai bagian dari hak ekonomis dari hak kekayaan intelektual. Peran negara terkait dengan pemberian jaminan kebijakan hukum royalti termasuk penyalurannya berkaitan dengan upaya negara untuk mendasarkannya pada nilai-nilai hukum dalam praktiknya. Hukum dalam memiliki tiga nilai dasar yang wajib dipenuhi oleh negara.[34] Tiga nilai dasar hukum menurut Gustav Radbruch adalah kepastian, kemanfaatan (kedayagunaan), serta keadilan.[35] Ketiga nilai dasar hukum tersebut sejatinya harus dipenuhi oleh negara sebagai pengemban utama substansi negara hukum. Dalam konteks royalti, maka negara hadir untuk mewujudkan tiga nilai dasar hukum tersebut. Hal ini berarti kebijakan hukum negara terkait royalti harus dapat mengakomodasi tiga nilai dasar hukum tersebut.

Tiga nilai dasar hukum dalam kaitannya dengan royalti yaitu: pertama, dari aspek kepastian hukum, terkait dengan royalti maka negara harus membuat berbagai peraturan yang menjamin proporsionalitas royalti sekaligus kepastian hukum terkait dengan pembagiannya. Dalam praktiknya, pengaturan maupun kepastian hukum mengenai royalti sudah terejawentah dalam berbagai peraturan di bidang kekayaan intelektual seperti UU Paten, UU Hak Cipta, PP Royalti Lagu dan/atau Musik , dan PMK Royalti Varietas Tanaman. Berbagai peraturan tersebut sejatinya telah memegaskan peran negara dalam upayanya untuk memberikan kepastian hukum dalam memberikan royalti sebagai bagian dari hak ekonomis dalam kekayaan intelektual. Kedua, dari aspek kemanfaatan, pemberian royalti sekaligus merupakan upaya pemberian kompensasi serta motivasi bagi penemu atau pembuat suatu karya. Kompensasi dalam hal ini menegaskan royalti sebagai pemberian “imbalan ekonomis” atas kekayaan intelektual. Motivasi dalam hal ini merupakan upaya untuk meningkatkan dan kualitas ciptaan maupun penemuan atas kekayaan intelektual sehingga hadirnya royalti merupakan upaya negara untuk menjamin iklim yang kondusif, produktif, serta kompetitif terkait segala produk kekayaan intelektual. Ketiga, dari aspek keadilan, pemberian royalti merupakan upaya penerapan prinsip proporsionalitas atas keuntungan ekonomis atas hasil suatu ciptaan atau temuan dalam kekayaan intelektual. Hal ini berarti, keuntungan ekonomis harus dibagi secara proporsional antara pencipta dan pengguna suatu kekayaan intelektual.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implikasi penerapan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual membuat negara harus mewujudkan tiga nilai dasar hukum terkait kebijakan royalti seperti jaminan kepastian hukum atas aturan mengenai royalti, jaminan kemanfaatan atas penyaluran royalti, sekaligus jaminan pemberian royalti secara fair berdasarkan asas proporsional. Selain itu, bagi pencipta atau penemu suatu kekayaan intelektual, adanya royalti juga merupakan motivasi untuk terus berkreasi serta berkarya terutama dalam membuat karya yang berdimensi kekayaan intelektual yang produktif secara jumlah dan kompetitif secara kualitas.

Perlindungan Hukum dengan Sistem Royalti d alam Hak Kekayaan Intelektual

Royalti sebagai bagian dari hak ekonomis dalam kekayaan intelektual sejatinya memerlukan peran negara dalam melakukan perlindungan hukum. Pentingnya peran negara dalam aspek penjaminan hak ekonomis dalam praktik royalti menjadi penting bahwa salah satu orientasi sebagai negara hukum adalah memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Hal ini sejatinya didasarkan pada pandangan Fitzgerald bahwa dalam rangka perlindungan hukum negara memiliki orientasi berupa jaminan keteraturan serta terintegrasikannya berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat melalui produk hukum yang dibuat. Produk hukum yang dibuat negara menjadi instrumen penting sebagai salah satu upaya negara dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat. Terkait aspek yang perlu mendapatkan perlindungan hukum Roscoe Pound memberikan tiga klasifikasi terkait dengan kepentingan yang perlu mendapatkan perlindungan hukum.[36] Tiga klasifikasi kepentingan yang harus mendapatkan perlindungan hukum tersebut meliputi: (i) kepentingan publik yang bersifat umum, (ii) kepentingan masyarakat, serta (iii) kepentingan masing-masing individu yang berdimensi privat. Kepentingan publik yang bersifat umum dalam hal ini khususnya segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat.

Selanjutnya, berkaitan dengan kepentingan masyarakat sejatinya berkaitan dengan upaya memfasilitasi berbagai keinginan maupun ekspresi masyarakat terkait dengan seni maupun budaya yang berkembang di masyarakat. Selain itu, dimensi privat atau relasi individual juga merupakan orientasi perlindungan hukum yang wajib diberikan oleh negara. Dalam kaitannya dengan royalti, maka sejatinya merupakan bagian dari klasifikasi yang pertama yaitu terkait dengan kepentingan publik yang bersifat umum. Karakter publik tersebut didasarkan pada esensi royalti sebagai bagian dari hak masyarakat, khususnya berkaitan dengan hak ekonomis dalam suatu hak kekayaan intelektual. Hal ini berarti, negara perlu memberikan perlindungan hukum bagi royalti yang meurpakan hak bagi pencipta atau penemu suatu karya. Terkait dengan pentingnya peran negara dalam melindungi hak masyarakat, khususnya berkaitan dengan royalti, hal ini didasarkan oleh pandangan dari Rudolf Von Jhering yang menandang bahwa pada hakikatnya hak merupakan kepentingan yang mendapatkan perlindungan dan dibingkai oleh hukum.[37]

Dalam konteks ini, hak wajib dilindungi oleh hukum karena perlindungan hukum terhadap masyarakat merupakan suatu conditio sine qua non. Lebih lanjut, dalam pandangan Ronald Dworkin hak menjadi penting dalam perlindungan hukum bukan karena hak itu telah dirumuskan dalam hukum positif (dalam hal ini peraturan perundang-undangan), melainkan karena pada hakikatnya hak bersifat susbtantif. Sifat substantif hak ini lah yang memerlukan jaminan perlindungan hukum dari negara. Dalam konteks royalti sebagaimana upaya pemenuhan atas hak ekonomis, maka hak ekonomis bagi pencipta atau penemu suatu karya dalam kekayaan intelektual sejatinya merupakan hak yang bersifat esensial karena tanpa terpenuhinya jaminan atas hak ekonomis, maka dapat berpengaruh terhadap suatu aspek eksistensial dari penemu atau pencipta suatu kekayaan intelektual. Hal ini lah yang menegaskan pentingnya perlindungan hukum yang dilakukan oleh negara. Dalam konteks royalti yang berdimensi bisnis, maka orientasi perlindungan hukum didasarkan pada perlindungan hukum sebagaimana digagaskan oleh M. Isnaeni. Perlindungan hukum dalam konteks ini menggunakan konsep perlindungan hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh M. Isnaeni dengan dua argumentasi, yaitu: pertama, perlindungan hukum yang dikemukakan oleh M. Isnaeni mengakomodasi aspek internal dan eksternal yang dalam hal ini juga menekankan kesadaran pada individu masing-masing.

Dalam konteks royalti, kesadaran atas hak pribadi berupa hasil kekayaan intelektual merupakan hal penting sehingga relevan dengan konteks royalti untuk menjamin hak ekonomis dalam kekayaan intelektual. Kedua, pandangan perlindungan hukum yang digagaskan oleh M. Isnaeni relevan dengan aspek hukum keperdataan. Hal ini tentu relevan dengan kekayaan intelektual yang sejatinya merupakan aspek khusus dari hukum keperdataan. Berdasarkan kedua argumentasi tersebut, maka dipilihlah konsep perlindungan hukum sebagaimana disampaikan oleh M. Isnaeni. M. Isnaeni berpandangan bahwa perlindungan hukum sejatinya memiliki dua orientasi, yaitu bersumber dari aspek eksternal dan bersumber pada aspek internal.[38] Aspek eksternal dalam perlindungan hukum meliputi peran negara dalam memberikan pengaturan mengenai hal-hal apa saja yang sekiranya dapat diberikan perlindungan hukum oleh negara kepada masyarakat. Titik tekan dari perlindungan hukum eksternal adalah jaminan terhadap hak-hak privat warga negara yang harus mendapatkan jaminan pengaturan oleh negara. Selanjutnya, dalam aspek internal, perlindungan hukum menekankan pada inisiatif pribadi atas kesadaran akan kepemilikan haknya. Dalam konteks ini, pribadi atau individu harus bersifat proaktif untuk memberikan perlindungan hukum bagi hak-haknya sendiri. Dalam konteks kekayaan intelektual dan royalti, perlindungan hukum eksternal sejatinya sudah diberikan melalui berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU Paten, UU Hak Cipta, PP Royalti Lagu dan/atau Musik, dan PMK Royalti Varietas Tanaman.

Meski begitu terdapat beberapa susbtansi dari berbagai ketentuan peraturan tersebut yang perlu diperbaiki misalnya terkait PP Royalti Lagu dan/atau Musik yang mengenakan royalti bagi café. Kata café di sini menimbulkan kekaburan hukum karena warung kopi kecil juga sejatinya merupakan café dan jika tidak diberi batasan secara spesifik maka warung kopi kecil dapat dikenai royalti atas lagu yang diputar padahal harus dibedakan antara café yang memiliki orientasi omzet besar dengan warung kopi kecil yang beromzet kecil. Meski secara umum bagus, namun pembenahan atas beberapa substansi dari berbagai peraturan tersebut perlu dilakukan khususnya terkait dengan harmonisasi antarperaturan. Dari aspek internal, tentu perlindungan hukum atas royalti memerlukan kesadaran pribadi atau individu masing-masing. Hal ini misalnya ketika ada sengketa mengenai kepemilikan suatu karya dan terjadi claim maka individu harus pro aktif dalam memeprjuangkan hak kekayaan intelektualnya. Hal ini lah yang harusnya juga disadari bahwa selain jaminan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan, jaminan perlindungan hukum juga harus didasarkan pada kesadaran masing-masing individu.

Berdasarkan uraian di atas, perlindungan hukum dengan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual perlu dilakukan secara eksternal dan internal. Dari aspek eksternal, peran negara melalui berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU Paten, UU Hak Cipta, PP Royalti Lagu dan/atau Musik, dan PMK Royalti Varietas Tanaman tentu menjadi orientasi yang harus terus dilakukan. Hal ini termasuk pembenahan atas beberapa substansi dari berbagai peraturan tersebut perlu dilakukan khususnya terkait dengan harmonisasi antarperaturan. Dari aspek internal, perlindungan hukum dengan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual juga perlu melihat aspek internal, tentu perlindungan hukum atas royalti memerlukan kesadaran pribadi atau individu masing-masing. Hal ini misalnya ketika ada sengketa mengenai kepemilikan suatu karya dan terjadi claim maka individu harus pro aktif dalam memeprjuangkan hak kekayaan intelektualnya. Hal ini lah yang harusnya juga disadari bahwa selain jaminan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan, jaminan perlindungan hukum juga harus didasarkan pada kesadaran masing-masing individu.

Simpulan

Implikasi penerapan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual membuat negara harus mewujudkan tiga nilai dasar hukum terkait kebijakan royalti seperti jaminan kepastian hukum atas aturan mengenai royalti, jaminan kemanfaatan atas penyaluran royalti, sekaligus jaminan pemberian royalti secara fair berdasarkan asas proporsional. Dari aspek internal, perlindungan hukum dengan sistem royalti dalam hak kekayaan intelektual juga perlu melihat aspek internal, tentu perlindungan hukum atas royalti memerlukan kesadaran pribadi atau individu masing-masing. Hal ini misalnya ketika ada sengketa mengenai kepemilikan suatu karya dan terjadi claim maka individu harus pro aktif dalam memeprjuangkan hak kekayaan intelektualnya. Hal ini lah yang harusnya juga disadari bahwa selain jaminan kepastian hukum oleh peraturan perundang-undangan, jaminan perlindungan hukum juga harus didasarkan pada kesadaran masing-masing individu.

References

  1. N. Lathif, “Teori Hukum Sebagai Sarana Alat untuk Memperbaharui Atau Merekayasa Masyarakat,” PALAR | PAKUAN LAW Rev., vol. 3, no. 1, pp. 73–94, Jan. 2017, doi: 10.33751/palar.v3i1.402.
  2. D. G. Atmadja, “Asas - asas hukum dalam sistem hukum,” Kertha Wicaksana, vol. 12, no. 2, pp. 145–155, 2018.
  3. S. Munandar, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Tahap Penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi di Wilayah Hukum Polresta Padang),” Pagaruyuang Law J., vol. 2, no. 1, pp. 42–63, 2018.
  4. D. S. Kristianti, “Prinsip Kebersamaan Dalam Hukum Investasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja: Politik Hukum Kepentingan Investasi Ataukah Kesejahteraan Masyarakat,” PAMALI Pattimura Magister Law Rev., vol. 1, no. 2, pp. 90–113, Oct. 2021, doi: 10.47268/pamali.v1i2.619.
  5. A. P. Pebri Tuwanto, Kholis Roisah, “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terhadap Invensi di Ruang Angkasa,” Doponegoro Law J., vol. 5, no. 3, pp. 1–19, 2016.
  6. I Kadek Sukadana, G. Ayu, and P. Nia, “Perlindungan Hak Cipta Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Geguritan Bali Di Indonesia,” J. Media Komun., vol. 3, no. 2, pp. 108–120, 2021.
  7. D. Handoko, Hukum Positif Mengenai Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia Jilid II, 1st ed. Pekanbaru: HAWA dan AHWA, 2015.
  8. Y. M. Yulianty Jacob, I. A. Tungga, and U. L. Peku Wali, “Intervention of Intellectual Property Rights on Household Industry Productivity,” J. Din. Huk., vol. 19, no. 1, p. 74, 2019, doi: 10.20884/1.jdh.2019.19.1.2478.
  9. Z. Zufikri, “Legal Protection Of Intellectual Property Rights: What Is Urgency For The Business World?,” J. IUS Kaji. Huk. dan Keadilan, vol. 9, no. 1, pp. 96–111, 2021.
  10. E. J. Sinaga, “Pengelolaan Royalti atas Pengumuman Karya Cipta Lagu dan/atau Musik,” J. Ilm. Kebijak. Huk., vol. 14, no. 3, p. 553, 2020, doi: 10.30641/kebijakan.2020.v14.553-578.
  11. I. E. J. Nathaniela Putri Arumdhani, “Perlindungan Hukum Hak Cipta Atas Objek Musik dan Lagu,” Halu Oleo Law Rev., vol. 5, no. 2, p. 208, 2021.
  12. Z. A. Rizky Syahputra, Doddy Kridasaksana, “Perlindungan Hukum Bagi Musisi Atas Hak Cipta Dalam Pembayaran Royalti,” Semarang Law Rev., vol. 3, no. 1, p. 85, 2022.
  13. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 13th ed. Jakarta: Kencana, 2017.
  14. Irwansyah, Penelitian Hukum: Pilihan Metode dan Praktik Penulisan Artikel, 3rd ed. Yogyakarta: Mira Buana Media, 2020.
  15. B. Aswandi and K. Roisah, “Negara Hukum Dan Demokrasi Pancasila Dalam Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia (Ham),” J. Pembang. Huk. Indones., vol. 1, no. 1, p. 128, 2019, doi: 10.14710/jphi.v1i1.128-145.
  16. H. Juwana, “Kewajiban Negara dalam Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional: Memastikan Keselarasan dengan Konstitusi dan Mentransformasikan ke Hukum Nasional,” Undang J. Huk., vol. 2, no. 1, pp. 1–32, Oct. 2019, doi: 10.22437/ujh.2.1.1-32.
  17. M. I. Hilmy and R. H. N. Azmi, “Konstruksi Pertahanan Dan Keamanan Negara Terhadap Perlindungan Data Dalam Cyberspace Untuk Menghadapi Pola Kebiasaan Baru,” Kaji. Lemb. Ketahanan Nas. Republik Indones., vol. 9, no. 1, p. 579, 2021.
  18. H. Christianto, “From Crime Control Model to Due Process Model: A Critical Study of Wiretapping Arrangement by the Corruption Eradication Commission of Indonesia,” PADJADJARAN J. Ilmu Huk. (Journal Law), vol. 7, no. 3, p. 422, 2020.
  19. E. Vonk, Gijsbert, Bambrough, “The human rights approach to social assistance: Normative principles and system characteristics,” Eur. J. Soc. Secur., vol. 22, no. 4, pp. 376–389, 2020.
  20. L. O. Gostin and B. M. Meier, “Introducing Global Health Law,” J. Law, Med. Ethics, vol. 47, no. 4, pp. 788–793, Dec. 2019, doi: 10.1177/1073110519897794.
  21. R. Posner, Economic Approach to Law, 9th ed. New York: Wolters Kluwer Law and Business, 2012.
  22. T. Harnowo, “Law as Technological Control of the Infringement of Intellectual Property Rights in the Digital Era,” Corp. Trade Law Rev., vol. 2, no. 1, pp. 65–79, 2022.
  23. J. C. Thompson, “Law’s Autonomy and Moral Reason,” Laws, vol. 8, no. 1, p. 6, Feb. 2019, doi: 10.3390/laws8010006.
  24. E. Alistar (Hîrlav), “The Relation Between Law and Morality,” in Research Association For Interdisciplinary Studies, 2019, no. 3, pp. 2–4, doi: 10.2139/ssrn.3388103.
  25. H. Salwén, “Research Ethical Norms, Guidance and the Internet,” Sci. Eng. Ethics, vol. 27, no. 67, p. 68, 2021.
  26. D. A. I. Deslaely Putranti, “Perlindungan Indikasi Geografis oleh Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Pasca Sertifikasi di Yogyakarta,” Ilm. Kebijak. Huk., vol. 15, no. 3, p. 397, 2021.
  27. R. Asher, “Unresolved Injustice : An Examination of Indigenous Legal Issues in Australia,” Udayana J. Law Cult., vol. 4, no. 2, pp. 146–170, 2020.
  28. D. Plunkett and S. Shapiro, “Law, morality, and everything else: General jurisprudence as a branch of metanormative inquiry,” Ethics, vol. 128, no. 1, pp. 37–68, 2017, doi: 10.1086/692941.
  29. I. Rahmatullah, “Filsafat Hukum Utilitarianisme: Konsep dan Aktualisasinya Dalam Hukum di Indonesia,” Adalah Bul. Huk. Keadilan, vol. 5, no. 2, pp. 19–32, 2021, doi: 10.15408/adalah.v5i2.22026.
  30. M. Alen, “Tinjauan Normatif Kedudukan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai State Auxiliary Organ berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik,” Dialogia Iurid. J. Huk., vol. 13, no. 2, p. 11, 2022.
  31. G. D. Ramadhan, “Ruang Lingkup Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Terhadap Video Game,” J. Intellect. Prop., vol. 4, no. 2, pp. 1–14, 2021.
  32. L. G. Lerman, P. G. Schrag, and R. Rubinson, Ethical Problems in the Practice of Law, 5th ed. New York: Wolters Kluwer Law & Business, 2020.
  33. Z. Saiin, A., Armita, P., Rizki, M., & Hudiyani, “Wakaf atas Royalti sebagai Hak Ekonomi dalam Intellectual Property Rights,” Al-Awqaf J. Wakaf Dan Ekon. Islam, vol. 12, no. 2, p. 167, 2019.
  34. A. Y. Mario Julyano, Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” J. Crepido, vol. 01, no. 01, p. pp.13-22, 2019.
  35. G. G. Bateman, “The Ough To Be a Law: Gustav Radbruch, Lon L. Fuller, and H.L.A. Hart on The Choice Between Natural Law and Legal Positivism,” J. Jurisprud., vol. 271, no. 1, pp. 13–15, 2019, doi: 10.1093/ojls/gqi042.
  36. H. Matnuh, “Law as a Tool of Social Engineering,” in 1st International Conference on Social Sciences Education "Multicultural, 2018, vol. 147, no. Icsse 2017, pp. 118–120, doi: 10.2991/icsse-17.2018.28.
  37. H. H. Pratiwi, Endang, Theo Negoro, “Teori Utilitarianisme Jeremy Bentham: Tujuan Hukum atau Metode Pengujian Produk Hukum?,” Konstitusi, vol. 19, no. 2, p. 272, 2022.
  38. M. Isnaeni, Pengantar Hukum Jaminan Kebendaan. Surabaya: PT. Revka Petra Media, 2016.