Customary Law
DOI: 10.21070/jihr.v10i0.781

The Construction of Customary Values as Part of The Agreements’s Validity


Konstruksi Nilai Adat Sebagai Bagian Dari Keabsahan Perjanjian

Fakultas Hukum, Universitas Flores
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Flores
Indonesia

(*) Corresponding Author

Customary Values Private Law Validity of the Agreement

Abstract

Agreement is one of the important aspects in civil law. This is because the agreement is one of the legal actions that are often and commonly carried out in everyday life. Article 1320 of the Civil Code actually confirms the conditions for the validity of the agreement, such as: competent, agree, certain things, are allowed by law. However, in practice, something that is permitted by law is not only interpreted as permitted by positive or written law. However, it also includes unwritten legal values in society, which in this case includes Customary Values. This study aims to verify the legal terms of the agreement, including the inclusion of customary values as a valid condition of the agreement. This research is a normative legal research with a conceptual approach and legislation. The novelty in this research is the effort to extend the legal terms of the agreement, especially the halal cause or things that are permitted by law, including those permitted by unwritten law, in this case the customary values that apply in society. The results of this study confirm that with a futuristic and extensive interpretation, the meaning of halal causes or things permitted by law as a condition for the validity of the agreement must be expanded so that it includes unwritten law including customary values. Customary values that are still alive and valid in society are categorized as living law so that they become unwritten law. Because it is still valid in the community, customary values as unwritten law must be considered rights in making an agreement. This confirms that local customary values as long as they are still valid and live in the community can be a parameter as a condition for the validity of the agreement through the expansion of halal causes or something permitted by law in Article 1320 of the Civil Code.

Pendahuluan

Hukum merupakan salah satu instrumen yang mengatur berbagai aspek dalam kehidupan manusia salah satunya adalah mengenai perjanjian [1]. Perjanjian secara umum merupakan salah satu perbuatan hukum yang selalu dilakukan oleh manusia mengingat dalam kehidupan sehari-hari perjanjian selalu identik dengan berbagai aspek kehidupan manusia [2]. Mulai dari jual-beli, utang-piutang, hingga aktivitas lainnya perjanjian selalu identik dengan kegiatan manusia pada umumnya. Dalam hal ini, pentingnya perjanjian dalam kehidupan manusia mengharuskan hukum memiliki esensi dan upaya untuk menjamin supaya perjanjian dapat memberikan jaminan akibat hukum sekaligus perlindungan hukum terkait dengan implementasinya [3].

Pentingnya peran hukum dalam melindungi dan membingkai perjanjian ini lah yang menjadi fokus dari hukum perjanjian. Hukum perjanjian sejatinya merupakan bagian dari hukum perdata yang memiliki orientasi atas kehidupan privat masyarakat [4]. Aspek privat ini menekankan pada perlindungan kepentingan pribadi manusia yang mana perlindungan aspek privat ini menjadi bagian terpenting dalam kajian hukum perdata [5]. Dalam praktiknya, pelaksanaan perjanjian sejatinya telah diatur secara khusus dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) khususnya dalam Pasal 1320 KUHPer yang khusus menjelaskan mengenai syarat sahnya perjanjian [6]. Pasal 1320 KUHPer secara khusus membahas mengenai syarat apa saja yang wajib dipenuhi dalam perjanjian sehingga perjanjian itu menjadi sah secara hukum dan dapat diterapkan dalam praktiknya.

Pasal 1320 KUHPer secara rumusan bersifat umum serta membutuhkan upaya dan orientasi penalaran hukum dalam menyikapi kasus-kasus tertentu. Hal ini misalnya, ketika terdapat nilai adat setempat yang masih diyakini keberlakuannya oleh masyarakat namun secara khusus tidak diatur dalam KUHPer. Nilai adat tersebut biasanya memiliki keberlakuan bagi masyarakat setempat maupun masyarakat luar yang menjalin perjanjian dengan masyarakat adat setempat [7]. Mengingat hubungan hukum antara masyarakat berlangsung secara masif maka keberlakuan nilai adat yang tidak tertulis menjadi salah satu problematika tersendiri dalam hukum perjanjian. Penelitian ini bertujuan mengkaji aspek nilai adat dalam perjanjian dikaitkan dengan kedudukannya dalam syarat sahnya perjanjian sebagaimana dalam Pasal 1320 KUHPer.

Penelitian mengenai keabsahan perjanjian pernah dilakukan oleh David Herianto Sinaga dan I Wayan Wiryawan (2020) tentang Keabsahan Kontrak Elektronik (E-Contract) Dalam Perjanjian Bisnis yang berfokus pada aspek perjanjian online serta aspek keabsahannya.[8] Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Komang Srishti Pranisa, Komang Febrinayanti Dantes, dan Ketut Sudiatmaka (2021) tentang Analisis Keabsahan Perjanjian Dalam Transaksi Elektronik Melalui Media Facebook Advertising Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik yang berfokus pada kajian keabsahan perjanjian pada media sosial, khususnya Facebook [9]. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Mataniari Diana Teresa Naiborhu, Edi Wahjuni, dan Rhama Wisnu Wardhana (2022) tentang Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis Dalam Arisan Online (Studi Putusan Nomor. 106/Pdt.G/2017/PN Plk) yang berfokus pada keabsahan perjanjian lisan dalam arisan online [10]. Berdasarkan ketiga penelitian terdahulu, penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal karena pembahasan mengenai nilai adat sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian belum dibahas oleh ketiga penelitian sebelumnya. Penelitian ini akan mengeksplorasi nilai adat terkait dengan keabsahan perjanjian.

Metode

Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif yang mengkaji asas, konsep, maupun norma hukum positif yang berlaku [11]. Dalam hal ini, kajian difokuskan pada peraturan dalam hukum perjanjian, khususnya terkait pada aspek keabsahannya dikaitkan dengan eksistensi nilai adat yang pada umumnya tidak tertulis. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD NRI 1945 dan KUHPer, bahan hukum sekunder meliputi berbagai kajian dan penelitian mengenai keabsahan perjanjian dan nilai adat, serta bahan non-hukum meliputi berbagai kajian mengenai nilai adat yang bukan penelitian hukum yang bersifat melengkapi kajian dalam penelitian ini.

Hasil dan Pembahasan

Eksistensi Nilai Adat dalam Perjanjian

Indonesia sebagai negara yang memiliki berbagai nilai dan hukum adat sejatinya tidak tersentralistik pada satu hukum saja, yaitu hukum negara [12]. Hukum negara yang identik dengan hukum positif memang dominan dalam kaitannya dengan penyelenggaraannya di masyarakat [13]. Dalam hal ini, hukum positif memiliki karakter yang pasti karena terejawentah dalam hukum positif suatu negara selain itu hukum positif juga memiliki eksistensi keberlakuan karena dijamin oleh aparatur hukum yang memang memiliki tugas khusus dalam menjalankan keberlakuan hukum positif [14]. Hal ini menegaskan bahwa hukum positif merupakan hukum yang bersifat pasti dan memiliki eksistensi keberlakuan yang jelas karena didukung oleh aparatur hukum.

Hukum positif sejatinya merupakan bagian dari fenomena modernisasi hukum yang menegaskan bahwa hukum memiliki karakteristik tertulis yang bersifat pasti sehingga mudah dipahami dan dapat diterapkan di masyarakat [15]. Karakter hukum positif yang tertulis tersebut memiliki orientasi dan manfaat tersendiri, seperti [16]: sifatnya yang pasti dan jelas sehingga dapat dengan mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, mudah dilaksanakan karena terjamin secara tertulis, serta memudahkan masyarakat serta aparatur hukum untuk ikut mengawasi praktik penerapan hukum positif tersebut. Meski begitu, hukum positif yang memiliki karakter tertulis ini juga memiliki beberapa kelemahan seperti [17]: pertama, karakter hukum positif yang pasti dan tertulis membuat aturan hukum seringkali ketinggalan zaman karena ketika zaman berubah seyogyanya aturan hukum juga harus berubah. Dalam konteks ini, maka hukum positif memiliki kelemahan berupa karakternya yang tidak responsif terhadap perubahan zaman. Perubahan zaman menuntut adanya perubahan hukum tertulis yang dianggap sudah tidak relevan. Kedua, karakter hukum positif yang tertulis membuat hukum identik dengan karakter yang bersifat formal-prosedural sehingga terkadang mengabaikan aspek moralitas dan kepatutan masyarakat. Karakter formal-prosedural dalam hukum tertulis membuat hukum seringkali mengabaikan nilai moral di masyarakat serta hukum yang berlaku di masyarakat. Ketiga, karakter hukum positif juga terkadang menimbulkan perbedaan interpretasi dalam penerapannya sehingga hukum tertulis sebelum dilaksanakan memerlukan analisis hukum yang dilakukan oleh para ahli hukum terlebih dahulu.

Dari ketiga kelemahan hukum positif tersebut sejatinya dalam fenomena modernisasi hukum, untuk menolak keberlakuan hukum positif adalah tidak mungkin. Yang mungkin dilakukan adalah upaya untuk memodifikasi hukum positif supaya relevan dengan dengan perkembangan zaman melalui penalaran dan analisis hukum tertentu [18]. Fenomena dominasi hukum positif dalam kehidupan masyarakat berlangsung secara komprehensif baik dalam ranah hukum publik maupun hukum privat. Dalam ranah hukum privat atau keperdataan dominasi hukum positif terwujud dengan adanya praktik perjanjian tertulis khususnya dalam transaksi bisnis [19]. Perjanjian tertulis dalam bidang hukum perdata sejatinya merupakan perkembangan dari dominasi hukum tertulis yang mengidentikkan bahwa segala jenis perjanjian atau kontrak untuk menjamin kepastian hukum harus dituliskan untuk dengan mudah diketahui oleh para pihak [20]. Perjanjian tertulis tersebut sejatinya merupakan perkembangan dari perjanjian lisan yang pada awalnya lazim dilakukan oleh masyarakat dalam transaksi perdagangan ketika kehidupan masyarakat masih sederhana. Ketika kehidupan masyarakat sudah kompleks yang dicirikan dengan segala sesuatu yang bersifat tertulis, maka perjanjian pun mengalami fenomena positivisasi dan diharuskan bersifat tertulis.

Karakter tertulis perjanjian di satu sisi memang memiliki aspek positif, diantaranya [21]: pertama, perjanjian yang bersifat tertulis mampu menegaskan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Hal ini menjadi penting karena kepastian hak dan kewajiban masing-masing pihak menjadi penting termasuk juga untuk mengetahui dalam aspek seperti apa masing-masing pihak bertanggungjawab. Kedua, perjanjian bersifat tertulis dapat menjadi bukti telah hadirnya suatu perjanjian sehingga apabila terjadi suatu sengketa dapat dilakukan proses penyelesaian sengketa berdasarkan perjanjian tertulis yang telah disepakati. Dalam konteks ini, maka perjanjian tertulis dapat menjadi salah satu sarana memitigasi sengketa termasuk upaya penyelesaiannya. Ketiga, perjanjian yang bersifat tertulis dapat menjadi referensi bagi perjanjian yang dibuat selanjutnya bahwa klausul apa saja yang harus ada dalam suatu perjanjian tertulis. Dalam konteks ini, perjanjian tertulis memiliki karakter futuristik yang artinya perjanjian tertulis yang telah terjadi dapat dijadikan pedoman bagi perjanjian selanjutnya.

Terlepas dari aspek positif perjanjian tertulis tersebut, terdapat juga aspek negatif dari perjanjian tertulis tersebut, diantaranya: pertama, perjanjian tertulis terlampau formal dan tekstual yang berarti bahwa perjanjian terbatas pada hak dan kewajiban yang tercantum dalam teks perjanjian [22]. Padahal, dalam masyarakat dengan kultur heterogen seperti Indonesia, biasanya terdapat aspek kepatutan masyarakat yang tidak tertulis dan dijadikan sebagai bagian dari kesepakatan dalam perjanjian. Kedua, perjanjian tertulis memiliki karakter terpusat pada hukum negara (state centris) [23]. Hal ini berarti, bahwa hanya norma hukum negara yang dapat dijadikan pedoman dalam penyusunan maupun penegakan perjanjian tertulis. Hal ini berarti, perjanjian tertulis berkarakter “satu wajah” yang hanya mendasarkan pada hukum negara dan berpotensi mengabaikan hukum non-negara yang hidup dan berlaku di masyarakat. Ketiga, perjanjian yang bersifat tertulis biasanya hanya mengaitkan dengan pertanggungjawaban sebagaimana yang tercantum dalam perjanjian secara expressive verbis. Hal ini berarti, pertanggungjawaban moral atau yang sifatnya non-legal tidak dapat terfasilitasi oleh perjanjian tertulis [24]. Perjanjian tertulis telah menidurkan norma lain selain norma hukum negara.

Karakter perjanjian tertulis yang state centris tersebut sejatinya berpotensi pada pengabaian atas hukum yang berlaku di masyarakat seperti nilai adat. Nilai adat sejatinya merupakan salah satu nilai yang diyakini masyarakat tertentu yang daya ikatnya sebagaimana norma hukum negara [25]. Dalam pandangan terkini, eksistensi norma hukum negara sejatinya tidak dapat berdiri sendiri karena terdapat nilai dan norma lain yang wajib difasilitasi oleh negara. Hal ini lah yang lazim disebut sebagai fenomena pluralisme hukum. Pluralisme hukum sejatinya merupakan fenomena yang mana hukum negara bukanlah satu-satunya norma hukum yang berlaku di masyarakat [26]. Norma hukum negara merupakan “salah satu” dari norma hukum yang berlaku di masyarakat. Dalam pandangan Werner Menski, keberlakuan norma hukum negara harus dilihat dalam kaitannya dengan keselarasan dengan norma sosial maupun norma religi di masyarakat [27]. Norma religi berkaitan dengan keyakinan atau basis spiritual masyarakat sedangkan norma sosial merupakan norma yang tumbuh dan berlaku berdasarkan berdasarkan kesepakatan sosial masyarakat atau adanya eksistensi institusi sosial tertentu seperti masyarakat adat [28]. Dalam masyarakat adat, norma adat beserta nilai adat juga diakui keberlakuannya bersamaan dengan hukum negara.

Masyarakat adat yang menerapkan nilai dan norma adat tidak sepenuhnya bersifat eksklusif yang tertutup dengan hubungannya dengan dunia luar. Sejatinya banyak masyarakat adat yang mulai menjalin relasi dengan masyarakat luar bahkan ikut membaur dengan perkembangan masyarakat sekalipun masyarakat adat tetap mempertahankan eksistensi nilai adatnya. Hal ini dapat dicontohkan oleh eksistensi masyarakat adat Sendi, Mojokerto, Jawa Timur yang masih mempertahankan nilai adatnya sekaligus berhubungan dengan masyarakat luar [29]. Bahkan masyarakat adat Sendi, Mojokerto, Jawa Timur juga membuka kawasan wisata yang pada intinya dapat dikunjungi oleh oleh masyarakat umum [30]. Hal ini lah yang memungkinkan adanya transaksi maupun perjanjian bisnis yang dilakukan oleh masyarakat umum dan masyarakat adat Sendi Mojokerto, Jawa Timur di tempat atau wilayah berlakunya nilai dan norma adat Sendi Mojokerto, Jawa Timur dengan perjanjian tertulis [31]. Hal ini berpotensi menimbulkan adanya konflik hukum atau pertentangan hukum mengingat masyarakat umum akan menundukkan diri pada norma hukum positif berupa aturan hukum mengenai perjanjian khususnya dalam KUHPer. Akan tetapi, selain tunduk pada hukum negara yaitu KUHPer, bagi masyarakat adat, seperti masyarakat Sendi Mojokerto, Jawa Timur misalnya nilai adat juga penting sebagai rujukan dalam pembuatan perjanjian sekalipun nilai perjanjian itu tidak dituliskan.

Adanya masyarakat adat yang memiliki hubungan hukum dengan masyarakat umum tersebut berpotensi membuaut adanya hubungan hukum perjanjian dengan masyarakat hukum khususnya dalam pembuatan perjanjian tertulis. Adanya interaksi antara masyarakat adat dengan masyarakat umum dalam pembuatan perjanjian membuat nilai adat termasuk norma adat perlu dijadikan rujukan dalam pembuatan perjanjian. Sekalipun dalam KUHPerdata tidak menjelaskan mengenai eksistensi nilai adat dalam perjanjian, namun perlu juga dipertegas mengenai esensi KUHPerdata khususnya dikaitkan dengan orientasi menerapkan atau memerhatikan nilai adat dalam perjanjian tertulis.

Mengacu pada KUHPer, sejatinya berkaitan dengan perjanjian tertulis dan nilai adat, KUHPer memiliki beberapa karakteristik diantaranya: pertama, KUHPer merupakan produk hukum dari Belanda yang pada awalnya bernama Burgerlijk Wetboek dan berdasarkan asas konkordansi kemudian diterapkan dalam sistem hukum Indonesia [32]. Hal ini berarti, rumusan dalam KUHPer merupakan rumusan hukum Belanda pada saat menjajah Indonesia dan tentunya rentang waktu tersebut membuat beberapa rumusan dalam KUHPer ketinggalan zaman atau tidak relevan dengan kondisi dan situasi di Indonesia. Kedua, KUHPer yang awalnya merupakan Burgerlijk Wetboek pada awalnya merupakan produk hukum Belanda [33]. Hal ini menunjukkan bahwa landasan filosofis dan sosiologis pembentukan KUHPer adalah masyarakat Belanda yang bersifat homogen yang tentu berbeda dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen. Ketiga, perjanjian dalam KUHPer yang terdapat dalam Buku III sejatinya memiliki karakter terbuka (open system) yang artinya disesuaikan dengan kehendak dan kepentingan para pihak [34]. Dalam konteks ini, rumusan aturan dalam Buku III KUHPer hanya sebatas memfasilitasi berbagai aspek hukum dalam perjanjian tentu jika terdapat kesepakatan lain dari para pihak termasuk digunakannya nilai adat setempat tentu juga dapat dibenarkan.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa eksistensi nilai adat dalam perjanjian sejatinya merupakan hal yang penting khususnya dikaitkan dengan upaya dan orientasi keabsahan suatu perjanjian. Eksistensi nilai adat dalam perjanjian dapat dipahami dari keberlakuan nilai adat dalam konteks pluralisme hukum yang mana norma hukum negara tidak berdiri sendiri melainkan juga adanya eksistensi norma hukum lain seperti norma hukum adat. Selain itu, eksistensi nilai dan norma adat juga penting kaitannya dengan karakter perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPer yang bersifat terbuka sehingga atas kesepakatan para pihak sejatinya nilai dan norma adat tetap dapat diberlakukan dalam perjanjian. Hal ini sekaligus mempertegas eksistensi norma adat dalam perjanjian yang dapat dijadikan sebagai salah satu parameter menentukan keabsahan suatu perjanjian.

Nilai Adat sebagai Bagian Keabsahan Perjanjian

Perjanjian dalam hukum positif di Indonesia diatur dalam Buku III KUHPer. Buku III KUHPer memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan Buku lain dalam KUHPer karena Buku III memiliki karakter khusus yaitu sifatnya yang terbuka. Mengacu pada pandangan tersebut, karakter terbuka Buku III KUHPer setidaknya didasarkan pada dua alasan yaitu: pertama, karakter terbuka Buku III KUHPer sejatinya menegaskan bahwa esensi Buku III berupa perikatan merupakan ranah masyarakat yang seyogyanya berkembang sesuai perkembangan masyarakat [35]. Hal ini berarti, pembentuk KUHPer memiliki orientasi antisipatif dan futuristik karena telah memprediksi perkembangan kehidupan masyarakat yang memiliki potensi perkembangan hukum perikatan ke depannya. Kedua, karakter terbuka dalam Buku III KUHPer sejatinya memberi ruang pada praktik perjanjian yang didasarkan atas norma selain norma hukum negara. Hal ini termasuk juga memberi ruang pada eksistensinya norma sosial-kemasyarakatan hingga norma dan nilai adat yang merupakan living law juga dapat diterapkan dalam praktik perjanjian. Hal ini juga dapat dibuktikan bahwa KUHPer sejatinya juga mengakui keabsahan perjanjian lisan yang lazimnya dilakukan oleh masyarakat umum [36]. Meski begitu, KUHPer tetap menyarankan perjanjian dalam bentuk tertulis untuk mempermudah pembuktian dan upaya hukum lainnya ketika terjadi sengketa.

Dari dua argumentasi terkait dengan sifat terbuka Buku III KUHPer tersebut dapat dikatakan bahwa sebagai sarana untuk memfasilitasi praktik hukum dalam masyarakat, maka karakter dan sifat dari Buku III KUHPer tersebut sejatinya juga diterapkan dalam praktik perjanjian. Hal ini karena perjanjian sejatinya merupakan bagian dari Buku III KUHPer. Pasal 1313 KUHPer memberikan konstruksi bahwa perjanjian merupakan perbuatan hukum yang mana satu orang mengikatkan diri pada pihak lainnya. Akibat hukum dari perikatan tersebut adalah bahwa segala sesuatu yang telah disepakati dalam perjanjian harus dilaksanakan (pacta sunt servanda) [37]. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa perjanjian harus dilaksanakan karena bagi para pihak perjanjian laksana “Undang-Undang”. Pandangan bahwa perjanjian laksana Undang-Undang bagi para pihak harus dipahami secara saksama dalam hal ini tidak berarti menganalogikan Undang-Undang dengan perjanjian. Undang-Undang dengan perjanjian tentu merupakan dua hal yang berbeda baik secara formil maupun substansil. Undang-Undang sejatinya merupakan public act yaitu suatu produk hukum yang berdimensi publik dan mengikat masyarakat umum [38]. Hal ini tentu berbeda dengan perjanjian yang layak disebut sebagai private act yaitu suatu produk hukum yang hanya mengikat para pihak dalam perjanjian [39]. Oleh karena itu, perjanjian laksana Undang-Undang maksudnya bahwa perjanjian juga memiliki daya ikat bagi para pihak layaknya Undang-Undang. Jika dalam Undang-Undang terdapat upaya hukum judicial review untuk menguji suatu Undang-Undang, maka dalam perjanjian juga sama terdapat upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap perjanjian sehingga perjanjian dapat disengketakan di pengadilan [40].

Pasal 1320 KUHPer sejatinya mempertegas bahwa untuk dapat dikatakan sebagai suatu perjanjian yang sah, maka perjanjian harus memenuhi empat syarat ini. Empat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya semuanya harus terpenuhi. Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, yaitu: (i) sepakat bagi para pihak yang telah mengikatkan diri, (ii) kecakapan untuk membuat kesepakatan atau perjanjian, (iii) suatu hal tertentu, serta (iv) sesuatu yang diperbolehkan. Ketentuan dalam Pasal 1320 KUHPer secara konseptual merupakan syarat sahnya perjanjian yang lazim dilakukan di negara-negara dengan sistem hukum civil law. Dari keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, di negara dengan sistem hukum civil law keempat syarat tersebut lazim dibagi menjadi dua syarat lagi, yaitu syarat subjektif dan objektif [41]. Syarat subjektif perjanjian merupakan syarat yang berkaitan dengan subjek hukum pembuat perjanjian. Para pembuat perjanjian harus memenuhi syarat subjektif. Dalam hal ini, syarat subjektif perjanjian meliputi kata sepakat dan cakap. Sepakat dalam hal ini dimaknai sebagai persetujuan atau bertemunya antara penawaran dan permintaan. Hal ini menunjukkan jika para pihak telah mencapai kata setuju, maka perjanjian dapat dikatakan telah sah. Selanjutnya adalah berkaitan dengan syarat cakap. Dalam KUHPer, khususnya dalam Pasal 330 sejatinya dipertegas bahwa salah dewasa adalah pada usia 21 tahun sehingga seseorang dikatakan cakap menurut hukum adalah pada usia 21 tahun.

Mengenai usia cakap tersebut, dalam beberapa pandangan para ahli, ketentuan cakap hukum yaitu pada usia 21 tahun dalam KUHPer hendaknya perlu direvisi dengan dua alasan yaitu [42]: pertama, secara sosiologis dan historis, menetapkan ketentuan dewasa berusia 21 tahun dalam KUHPer hendaknya harus dilihat pada saat kondisi dan situasi saat KUHPer dibentuk dan disahkan. Pada perkembangan lebih lanjut, terdapat berbagai realitas yang menunjukkan bahwa seseorang dapat dikatakan dewasa atau cakap hukum apabila berusia 17-18 tahun. Hal ini dapat dilihat dari realitas berbagai peraturan perundang-undangan seperti UU Pemilu, UU Perkawinan, dan UU Administrasi Kependudukan. Kedua, secara yuridis, berbagai peraturan perundang-undangan sejatinya memberikan rumusan serta konstruksi hukum yang lebih realistis mengenai usia dewasa yaitu 18 tahun, khususnya dalam UU Perkawinan. Standar usia cakap 18 tahun dianggap lebih relevan dan sesuai dengan perkembangan hukum yang ada. Dengan demikian, cakap hukum dalam KUHPer harus direvisi termasuk penegasan bahwa seseorang dikatakan cakap hukum apabila berusia minimal 18 tahun. Akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat subjektif perjanjian berupa sepakat dan berusia minimal 18 tahun adalah dapat dibatalkan. Dapat dibatalkan dalam hal ini berarti para pihak atau salah satu pihak dapat meminta pembatalan kepada hakim di pengadilan terkait perjanjian tersebut sedangkan substansi perjanjian tetap wajib dilaksanakan.

Syarat objektif dalam perjanjian berkaitan dengan objek perjanjian yang disepakati oleh para pihak [43]. Mengacu pada Pasal 1320 KUHPer, maka syarat objektif meliputi suatu hal tertentu serta sesuatu yang diperbolehkan. Sesuatu hal tertentu maksudnya merupakan sesuatu yang berupa benda atau jasa baik yang memiliki nilai ekonomis maupun tidak. Selanjutnya, terkait dengan sesuatu yang diperbolehkan secara umum berarti sesuatu yang tidak dilarang oleh hukum. Dalam beberapa terjemahan, sesuatu yang diperbolehkan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian juga sering disebut sebagai “kausa halal”. Agus Yudha Hernoko misalnya menyebut bahwa istilah “kausa halal” sejatinya bukanlah terjemahan yang tepat untuk mengacu pada syarat sahnya perjanjian [44]. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua argumentasi, yaitu: pertama, berdasarkan aspek leksikal dalam bahasa aslinya, yaitu Belanda, kausa halal disebutkan dengan istilah, “eene geoorloofde oorzaak” yang lebih tepat diartikan sebagai suatu kebolehan atau suatu hal yang diperkenankan oleh hukum. Kedua, secara konseptual, istilah halal mengacu pada dimensi religiusitas sehingga tidak relevan jika dikaitkan dengan aspek keabsahan perjanjian. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat adalah sesuatu yang diperbolehkan atau diperkenankan oleh hukum.

Perjanjian yang tidak memenuhi ketentuan syarat objektif yang meliputi suatu hal tertentu serta sesuatu yang diperbolehkan maka akibat hukumnya berupa batal demi hukum (null and void). Batal demi hukum berarti bahwa susbtansi perjanjian dianggap tidak pernah ada serta perjanjian tidak perlu dilaksanakan [45]. Hal ini membuat perjanjian yang dibuat tidak mengikat para pihak. Berdasarkan uraian tersebut mengenai syarat sahnya perjanjian maka yang menjadi pertanyaan adalah di mana kedudukan nilai dan norma adat dalam perjanjian, apakah tetap diperkenankan atau tidak?. Jika mengacu pada salah satu syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 yaitu sesuatu yang diperbolehkan atau diperkenankan maka secara umum terdapat pemaknaan sempit atas hal tersebut yaitu seolah-olah hanya dimaknai sebagai sesuatu yang diperbolehkan oleh hukum positif. Padahal dalam perkembangannya, norma hukum positif tidak dapat berdiri sendiri serta terdapat nilai dan norma lain yang dalam penerapannya juga diakui eksistensinya di masyarakat.

Syarat perjanjian berupa sesuatu yang diperkenankan sejatinya harus diperluas maknanya bukan hanya diperkenankan oleh hukum positif berupa peraturan perundang-undangan, melainkan harus diperluas termasuk juga terhadap nilai adat atau nilai lain yang berkembang di masyarakat serta tidak hanya berdimensi hukum positif. Hal ini setidaknya didasarkan oleh tiga argumentasi yaitu [46]: pertama, dilihat secara interpretasi sistematis bahwa dalam Pasal 1339 KUHPer sejatinya dipertegas bahwa salah satunya perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan. Kepatutan dalam konteks ini adalah segala sesuatu di luar hukum positif yang memiliki daya mengikat yang kuat. Dalam konteks ini tentu nilai adat memenuhi rumusan Pasal 1339 KUHPer yaitu nilai adat bukan merupakan bagian dari hukum positif dan daya mengikatnya kuat oleh karena itu, dalam interpretasi sistematis yang membaca Pasal 1320 KUHPer secara satu kesatuan dengan Pasal 1339 KUHPer sejatinya mempertegas bahwa nilai adat dapat dijadikan sebagai salah satu parameter syarat sahnya perjanjian. Kedua, berdasarkan interpretasi ekstensif atas ketentuan Pasal 1320 khususnya pada aspek sesuatu yang diperbolehkan atau diperkenankan oleh hukum harus dibaca secara luas yang artinya hukum dalam arti luas yang berarti hukum yang tertulis maupun tidak tertulis termasuk juga hukum positif yang dibentuk negara serta hukum non-negara sebagaimana hukum adat. Ketiga, secara konseptual perkembangan hukum juga menuntut adanya berbagai norma di masyarakat yang menopang perkembangan norma hukum negara. Hal ini berarti, hukum negara bukan “satu-satunya” yang dapat dijadikan standar atau syarat sahnya perjanjian sehingga nilai adat dapat dijadikan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian.

Berdasarkan ketiga argumentasi tersebut, maka sejatinya nilai adat dapat dijadikan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian termasuk juga sebagai parameter keabsahan suatu perjanjian. Hal ini didapat dari pemaknaan secara luas atas ketentuan yang menegaskan sesuatu yang diperkenankan secara luas termasuk hal yang diperkenankan oleh nilai dan norma adat. Hal ini berarti, sejatinya nilai adat dapat dijadikan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian dan merupakan syarat objektif perjanjian. Pelanggaran terhadap nilai adat ini dapat membuat perjanjian batal demi hukum. Meski begitu, sekalipun nilai adat yang sifatnya tidak tertulis menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian, namun perlu diperhatikan bahwa dalam perumusan perjanjian para pihak harus tahu dan sepakat mengenai nilai-nilai adat yang digunakan sebagai syarat sahnya perjanjian sekaligus nilai adat tersebut masih eksis dan dipraktikkan oleh masyarakat [47].

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adat sebagai bagian keabsahan perjanjian termasuk juga sebagai parameter keabsahan suatu perjanjian. Hal ini didapat dari interpretasi ekstensif atas ketentuan yang menegaskan sesuatu yang diperkenankan dimaknai secara luas termasuk hal yang diperkenankan oleh nilai dan norma adat. Hal ini berarti, sejatinya nilai adat dapat dijadikan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian dan merupakan syarat objektif perjanjian. Pelanggaran terhadap nilai adat ini dapat membuat perjanjian batal demi hukum. Meski begitu, sekalipun nilai adat yang sifatnya tidak tertulis menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian, namun perlu diperhatikan bahwa dalam perumusan perjanjian para pihak harus tahu dan sepakat mengenai nilai-nilai adat yang digunakan sebagai syarat sahnya perjanjian sekaligus nilai adat tersebut masih eksis dan dipraktikkan oleh masyarakat.

Simpulan

Eksistensi nilai adat dalam perjanjian sejatinya merupakan hal yang penting khususnya dikaitkan dengan uapaya dan orientasi keabsahan suatu perjanjian. Selain itu, eksistensi nilai dan norma adat juga penting kaitannya dengan karakter perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPer yang bersifat terbuka sehingga atas kesepakatan para pihak sejatinya nilai dan norma adat tetap dapat diberlakukan dalam perjanjian. Hal ini sekaligus mempertegas eksistensi norma adat dalam perjanjian yang dapat dijadikan sebagai salah satu parameter menentukan keabsahan suatu perjanjian. Pelanggaran terhadap nilai adat ini dapat membuat perjanjian batal demi hukum. Meski begitu, sekalipun nilai adat yang sifatnya tidak tertulis menjadi salah satu syarat sahnya perjanjian, namun perlu diperhatikan bahwa dalam perumusan perjanjian para pihak harus tahu dan sepakat mengenai nilai-nilai adat yang digunakan sebagai syarat sahnya perjanjian sekaligus nilai adat tersebut masih eksis dan dipraktikkan oleh masyarakat. Para pihak dalam membuat perjanjian diharapkan dapat memerhatikan nilai adat yang masih tumbuh dan berkembang sebagai acuan untuk membuat perjanjian.

References

  1. M. Hirschboeck, “Conceptualizing the relationship between international human rights law and private international law,” Harvard Int. Law J., vol. 60, no. 1, pp. 181–199, 2019.
  2. E. J. Sinaga, “Pengelolaan Royalti atas Pengumuman Karya Cipta Lagu dan/atau Musik,” J. Ilm. Kebijak. Huk., vol. 14, no. 3, p. 553, 2020, doi: 10.30641/kebijakan.2020.v14.553-578.
  3. I. A. Krismat Hutagalung, Hasnati, “Perlindungan Hukum Konsumen Terhadap Perjanjian Baku Yang Merugikan Konsumen,” Mizan, vol. 10, no. 2, p. 209, 2021.
  4. A. R. Lutfiana Dwi Mayasari, “Tinjauan Yuridis Terhadap Perjanjian Pemisahan Harta dalam Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015,” J. Econ. Law, Humanit., vol. 1, no. 1, p. 25, 2022.
  5. N. M. I. Maharani, A. A. S. L. Dewi, and L. P. Suryani, “Penyelesaian Sengketa Para Pihak Yang Telah Terikat Dalam Perjanjian Arbitrase (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Denpasar),” J. Analog. Huk., vol. 2, no. 1, pp. 119–123, 2020, doi: 10.22225/ah.2.1.1615.119-123.
  6. D. Syamsiah, “Kajian Terkait Keabsahan Perjanjian E-Commerce Bila Ditinjau Dari Pasal 1320 Kuhperdata Tentang Syarat Sah Perjanjian,” Inov. Penelit., vol. 2, no. 1, p. 328, 2021.
  7. B. Suhariyanto, “Problema Penyerapan Adat oleh Pengadilan dan Pengaruhnya bagi Pembaruan Hukum Pidana Nasional,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 30, no. 3, p. 421, 2018, doi: 10.22146/jmh.33227.
  8. I. W. W. Herianto Sinaga, “Keabsahan Kontrak Elektronik (E-Contract) Dalam Perjanjian Bisnis,” Kertha Semaya, vol. 8, no. 9, p. 1386, 2020.
  9. K. S. Komang Srishti Pranisa, Komang Febrinayanti Dantes, “Analisis Keabsahan Perjanjian Dalam Transaksi Elektronik Melalui Media Facebook Advertising Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik,” Komunitas Yust., vol. 4, no. 2, p. 225, 2021.
  10. R. W. W. Mataniari Diana Teresa Naiborhu, Edi Wahjuni, “Keabsahan Perjanjian Tidak Tertulis Dalam Arisan Online (Studi Putusan Nomor. 106/Pdt.G/2017/PN Plk),” Ilmu Kenotariatan, vol. 2, no. 2, p. 55, 2022.
  11. G. T. Suteki, Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori, dan Praktik), 1st ed. Depok: Rajawali Pers, 2018.
  12. Mustofa, “Hukum Adat Implikasi Dan Aplikasinya Dalam Istinbath Hukum Di Indonesia Perspektif Universalitas Dan Lokalitas,” Varia Huk., vol. 1, no. 2, pp. 267–287, 2019.
  13. A. Y. Mario Julyano, Sulistyawan, “Pemahaman Terhadap Asas Kepastian Hukum Melalui Konstruksi Penalaran Positivisme Hukum,” J. Crepido, vol. 01, no. 01, p. pp.13-22, 2019.
  14. Sofyan Hadi, “Kekuatan Mengikat Hukum dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Positivisme Hukum,” J. Ilmu Huk., vol. 14, no. 28, pp. 76–84, 2019.
  15. F. P. Disantara, “Konsep Pluralisme Hukum Khas Indonesia sebagai Strategi Menghadapi Era Modernisasi Hukum,” Al-Adalah J. Huk. dan Polit. Islam, vol. 6, no. 1, pp. 1–36, 2021, doi: 10.35673/ajmpi.v6i1.1129.
  16. A. Budiono and W. V. Izziyana, “Ilmu Hukum Sebagai Keilmuan Perspektif Paradigma Holistik,” J. Huk. Nov., vol. 9, no. 1, p. 89, 2018, doi: 10.26555/novelty.v9i1.a6916.
  17. D. E. Prasetio, F. P. Disantara, N. H. Azzahra, and D. Perwitasari, “Strategi Pluralisme Hukum Peradilan Adat Sendi dalam Era Modernisasi Hukum,” rechtsidee, vol. 8, no. 1, p. 9, 2021.
  18. A. Hidayat and Z. Arifin, “Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia,” J. Ius Const., vol. 4, no. 2, pp. 147–159, 2019, doi: 10.26623/jic.v4i2.1654.
  19. F. S. Raden Roro, A. Y. Hernoko, and G. Anand, “the Characteristics of Proportionality Principle in Islamic Crowdfunding in Indonesia,” J. Huk. Pembang., vol. 49, no. 2, p. 455, 2019, doi: 10.21143/jhp.vol49.no2.2013.
  20. E. Masri and S. Wahyuni, “Implementasi Perjanjian Perkawinan Sebelum, Saat Dan Sesudah Perkawinan,” J. Kaji. Ilm., vol. 21, no. 1, pp. 111–120, 2021, doi: 10.31599/jki.v21i1.310.
  21. Y. Marpi, Erlangga, B. T. Endaryono, and K. Noviani, “Legal effective of putting ‘Business as Usual’ clause in agreements,” Int. J. Criminol. Sociol., vol. 10, no. 1, pp. 58–70, 2021, doi: 10.6000/1929-4409.2021.10.09.
  22. D. Yuanitasari, “Pengembangan Hukum Perjanjian Dalam Pelaksanaan Asas Itikad Baik Pada Tahap Pra Kontraktual,” ACTA DIURNAL J. Ilmu Huk. Kenotariatan Fak. Huk. Unpad Pengemb. Huk. PERJANJIAN DALAM Pelaks. ASAS ITIKAD BAIK PADA Thp. PRA Kontrakt., vol. 3, no. 2, p. 4, 2020.
  23. E. R. Kadek Wiwik Indrayanti, “Analisis peraturan perkawinan beda agama di berbagai negara sebagai perlindungan hukum untuk membentuk keluarga,” Cakrawala Huk., vol. 11, no. 1, p. 72, 2020.
  24. B. Tripkovic, “The morality of foreign law,” Int. J. Const. Law, vol. 17, no. 3, pp. 732–755, 2019, doi: 10.1093/icon/moz065.
  25. B. Budi Priambodo, “Positioning Adat Law in the Indonesia’s Legal System: Historical Discourse and Current Development on Customary Law,” Udayana J. Law Cult., vol. 2, no. 2, p. 140, 2018, doi: 10.24843/ujlc.2018.v02.i02.p02.
  26. K. von Benda-Beckmann, “Anachronism, Agency, and the Contextualisation of Adat: Van Vollenhoven’s Analyses in Light of Struggles Over Resources,” Asia Pacific J. Anthropol., vol. 20, no. 5, pp. 397–415, 2019, doi: 10.1080/14442213.2019.1670242.
  27. J. Corrin, “Plurality and Punishment: Competition Between State and Customary Authorities in Solomon Islands,” J. Leg. Plur. Unoff. Law, vol. 51, no. 1, pp. 29–47, Jan. 2019, doi: 10.1080/07329113.2018.1540121.
  28. K. Warman, S. Isra, and H. Tegnan, “Enhancing legal pluralism: The role of adat and Islamic laws within the Indonesian legal system,” J. Leg. Ethical Regul. Issues, vol. 21, no. 3, pp. 1–9, 2018.
  29. F. Arofah, “Kesadaran Kolektif dan Upaya Menuntut Pengakuan Desa Adat: Kasus Masyarakat Adat Sendi di Mojokerto, Jawa Timur,” JISPO J. Ilmu Sos. dan Ilmu Polit., vol. 10, no. 1, pp. 75–86, 2020, doi: 10.15575/jispo.v10i1.6665.
  30. I. Arlado, “Perjuangan Warga Sendi, ‘Desa’ Adat di Mojokerto, Mengejar Pengakuan.” jawapos.com, 2018.
  31. A. H. Romadhon, I. Harianti, N. Royhana, and M. Agustina, “Dinamika Pranata Pemerintahan Desa Adat Dalam Dimensi Hukum Tata Negara,” J. Huk. Media Bhakti, vol. 2, no. 2, pp. 127–137, 2018, doi: 10.32501/jhmb.v2i2.31.
  32. N. Neng Yani, Hukum Perdata. Bandung: CV Pustaka Setia, 2015.
  33. S. Shidarta, “Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,” Undang J. Huk., vol. 3, no. 2, pp. 441–476, Dec. 2020, doi: 10.22437/ujh.3.2.441-476.
  34. Y. Hetharie, “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” Sasi, vol. 25, no. 1, p. 29, 2019.
  35. R. Khoiril Jamil, Nury & Rumawi, “Implikasi Asas Pacta Sunt Servanda Pada Keadaan Memaksa (Force Majeure) Dalam Hukum Perjanjian Indonesia,” J. Kertha Semaya, vol. 8, no. 7, pp. 1044–1054, 2020.
  36. J. Barton-Crosby, “The nature and role of morality in situational action theory,” Eur. J. Criminol., vol. 1, no. 1, pp. 1–17, 2020, doi: 10.1177/1477370820977099.
  37. A. Iffan, “Keberadaan Asas Pacta Sunt Servanda dan Good Faith Menurut Hukum Internasional dan Hukum Islam,” J. Equitable, vol. 3, no. 1, pp. 29–48, 2018.
  38. J. A. Pojanowski, “Neoclassical Administrative Law,” Harv. Law Rev., vol. 133, p. 852, 2019.
  39. L. A. DiMatteo, “‘Rule of Law’ in China: The confrontation of formal law with cultural norms,” Cornell Int. Law J., vol. 51, no. 2, pp. 391–444, 2018.
  40. M. Iovan, “Analysis of the Connections Between Law and Morals, Between Customs and Contemporaneity,” J. Legal Stud., vol. 25, no. 39, pp. 57–68, Jun. 2020, doi: 10.2478/jles-2020-0004.
  41. M. Isnaeni, Perjanjian Jual Beli. Bandung: Refika Aditama, 2016.
  42. M. M. Pitrotussaadaha, “Batas Usia Minimal Perkawinan Menurut Perspektif Hukum Positif di Indonesia dan Hukum Islam,” J. Muttaqien, vol. 1, no. 1, pp. 74–84, 2020.
  43. R. A. Cendikia Aurelie Maharani, “Akta Penegasan Perjanjian Perkawinan Kaitannya dengan Pemenuhan Prinsip Publisitas,” Notaire, vol. 4, no. 2, p. 285, 2021, doi: 10.20473/ntr.v4i2.27168.
  44. A. Y. Hernoko, “Keseimbangan Versus Keadilan Dalam Kontrak (Upaya Menata Struktur Hubungan Bisnis Dalam Perspektif Kontrak Yang Berkeadilan).” Universitas Airlangga, Surabaya, pp. 7–9, 2010.
  45. B. A. P. A. Wirawan, I. N. P. B. Warmadewa, and N. M. P. Ujianti, “Wanprestasi Pihak Debitur dalam Perjanjian Non Kontraktual dengan Jaminan Gadai,” Konstr. Huk., vol. 3, no. 1, p. 41, 2022.
  46. E. P. Pane, “Penerapan Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Kredit Berbasis Online,” Locus J. Acad. Lit. Rev., vol. 1, no. 1, p. 39, 2022.
  47. A. Bedner and Y. Arizona, “Adat in Indonesian Land Law: A Promise for the Future or a Dead End?,” Asia Pacific J. Anthropol., vol. 20, no. 5, pp. 416–434, 2019, doi: 10.1080/14442213.2019.1670246.