Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v8i0.782

Reconstruction of the Legality Principle: The Essence of the Pancasila Spirit in Criminal Law Reform


Fakultas Hukum, Universitas Tadulako
Indonesia

(*) Corresponding Author

Legality Principle, Value of Pancasila, Criminal Legal Reform

Abstract

The principle of legality is the main joint in criminal law. This is because the principle of legality relates to the rights and obligations of the community that have the potential to be subject to criminal law. This study aims to explore the values ​​of Pancasila in the renewal of the national criminal law through the reconstruction of the legality principle in the Draft Criminal Code. This research is normative legal research by prioritizing the concept and legislation approach. The results of the study confirm that the renewal of the national criminal law through the Draft Criminal Code is an important matter, especially by reconstructing the legality principle from formal legality to material legality. Reconstruction of the principle of legality is needed because the principle of legality is the heart of criminal law. This means the reconstruction of the criminal law specifically as well as the reconstruction of the principle of legality. Efforts to reconstruct the principle of legality should be guided by the values ​​of Pancasila as the ideals of Indonesian law. The reconstruction of the legality principle from formal to material, guided by the legal ideals of Pancasila is expected to be relevant to the needs and legal reality of the Indonesian people. This is so that Indonesian criminal law in the future has Indonesian ideals that it is in accordance with the nation's characteristics, personality, and legal ideals, namely Pancasila.

Pendahuluan

Pembaruan hukum sejatinya merupakan hal yang lumrah dalam suatu negara. Dalam hal ini, pembaruan hukum merupakan upaya suatu negara untuk menyesuaikan keberlakuan serta relevansi suatu hukum dengan perkembangan yang terjadi di suatu negara[1]. Dalam konteks ini, pembaruan hukum sejatinya suatu hal yang niscaya karena sebaik apa pun hukum dibuat, ia harus diganti dan direvisi sesuai dengan perkembangan zaman[2]. Dengan demikian, pembaruan hukum merupakan salah satu hal penting dari hukum yang mana hukum harus direvisi dan diubah sesuai dengan pekembangan zaman. Salah satu bidang hukum yang wajib untuk dilakukan pembaruan adalah bidang hukum pidana. Hukum pidana sejatinya merupakan bidang hukum publik yang mana mengatur hubungan antara warga negara dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya[3].

Dalam konteks ini, warga negara akan berhadap-hadapan dengan aparatur penegak hukum apabila melakukan suatu tindak pidana. Dengan relasi yang timpang antara warga negara dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya, maka substansi dari hukum materil harus limitatif serta benar-benar strict supaya tidak mudah ditafsirkan semaunya oleh aparatur penegak hukum[4]. Selain itu, berbagai mekanisme perlindungan hukum dan jaminan hak asasi manusia juga harus menjadi kerangka utama dalam prosedur hukum pidana sebagaimana yang tercantum dalam hukum acara pidana. Berdasarkan uraian tersebut maka untuk melindungi warga negara dan masyarakat dari tindakan sewenang-wenang maka hukum pidana memiliki jantung yaitu berupa asas legalitas (legality principle)[5].

Asas legalitas secara leksikal menegaskan bahwa suatu aturan pidana harus tegas, jelas, dan terrbatas dalam mengartikan suatu tindak pidana supaya tidak dapat ditafsirkan secara luas oleh aparatur penegak hukum. Penafsiran secara luas oleh aparatur penegak hukum dimungkinkan menimbulkan kesewenang-wenangan yang berdampak pada tidak terjaminnya hak asasi manusia. Oleh karena itu, asas legalitas hadir untuk melindungi hak asasi manusia. Pembaruan hukum pidana di Indonesia salah satu upayanya adalah melakukan perubahan paradigmatik atas asas legalitas sebagaimana yang dicita-citakan dalam RUU KUHP. Dalam KUHP yang masih berlaku, asas legalitas dipengaruhi oleh kredo hukum positif yang merupakan warisan hukum pidana Belanda yang menegaskan bahwa suatu hukum pidana harus tertulis untuk meminimalisasi kesewenang-wenangan[6].

Meski begitu, karakter hukum masyarakat Indonesia sejatinya telah mengenal hukum tidak tertulis yang hidup dan berlaku di masyarakat. Adanya hukum tidak tertulis tersebut kemudian coba difasilitasi oleh RUU KUHP melalui rumusan Pasal 2 RUU KUHP dengan dimensi “legalitas materil” yang artinya selain melanggar ketentuan dalam Undang-Undang atau hukum positif, seseorang juga dapat dipidana apabila melanggar hukum tidak tertulis dalam hal ini hukum pidana adat. Adanya hukum pidana adat sebagai hukum tidak tertulis ini merupakan upaya untuk memfasilitasi karakter hukum nasional Indonesia dalam RUU KUHP sekaligus menjadikan RUU KUHP bercita hukum Pancasila. Penelitian ini sejatinya berfokus pada rekonstruksi asas legalitas dalam pembaruan hukum pidana melalui penggalian nilai-nilai Pancasila dalam RUU KUHP.

Penelitian mengenai asas legalitas dalam hukum pidana pernah dilakukan penelitian sebelumnya, diantaranya oleh: (i) Asep Suherman (2020) tentang Esensi Asas Legalitas dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan yang berofkus pada orientas asas legalitas dalam hukum pidana lingkungan[7]. Selanjutnya dilakukan oleh (ii) Fasih Arrizall (2021) tentang Penerapan Asas Legalitas dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Atas Masyarakat Adat yang berfokus pada sanksi pidana adat berkaitan dengan asas legalitas[8]. Serta penelitian yang dilakukan oleh (iii) Vincentius Patria Setyawan dan Hyronimus Rhiti (2022) tentang Relasi Asas Legalitas Hukum Pidana dan Pemikiran Hukum Alam yang berfokus pada landasan kefilsafatan asas legalitas yang berkaitan dengan pemikiran hukum alam[9].

Dari ketiga penelitian sebelumnya tersebut, belum terdapat secara spesifik yang membahas mengenai asas legalitas dikaitkan dengan pembaruan hukum pidana sekaligus bagaimana nilai-nilai Pancasila sebagai cita hukum terimplementasikan dalam upaya merumuskan asas legalitas bercita keindonesiaan. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah yaitu: (i) Bagaimana hakikat asas legalitas dalam hukum pidana? Dan (ii) Bagaimana upaya melakukan rekonstruksi asas legalitas berbasis nilai-nilai Pancasila dalam RUU KUHP sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana?.

Metode

Penelitian yang berkaitan dengan asas legalitas, pembaruan hukum pidana, serta nilai Pancasila ini merupakan penelitian hukum normatif[10]. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian dengan karakter doktrinal yang berdasarkan logika koherensi antara asas, teori, konsep, serta aturan hukum[11]. Bahan hukum yang digunakan meliputi bahan hukum primer, sekunder, serta non-hukum. Bahan hukum primer meliputi: UUD NRI 1945 dan KUHP. Bahan hukum sekunder meliputi: RUU KUHP serta berbagai kajian serta hasil penelitian yang berkaitan dengan asas legalitas. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan konsep.

Hasil dan Pembahasan

Hakikat Asas Legalitas dalam Hukum Pidana : Apa dan Bagaimana?

Asas legalitas dalam hukum pidana sejatinya memiliki kedudukan yang vital. Bahkan, tidak mengherankan jika menyebut bahwa asas legalitas merupakan jantung dari hukum pidana[12]. Sebagai jantung dari hukum pidana, tentu asas legalitas meupakan pokok, prinsip, serta inti dari hukum pidana[13]. Hal ini berarti bahwa pembaruan hukum pidana memiliki implikasi terhadap asas legalitas. Hal ini menegaskan bahwa upaya melakukan pembaruan hukum pidana seyogyanya juga melakukan pembaruan atas asas legalitas[14]. Kedudukan asas legalitas yang fundamental dalam hukum pidana maka asas legalitas memiliki urgensi untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat menjadi dasar hukum untuk menjerat suatu tindak pidana yang terjadi. Dalam konteks ini, asas legalitas dalam hukum pidana menegaskan “apa hukumnya?” untuk kemudian hukum tersebut terimplementasikan dalam suatu peristiwa atau perbuatan hukum yang terjadi. Hal ini menunjukkan asas legalitas memiliki fungsi untuk menentukan apabila terjadi suatu tindak pidana, maka kemudian dilihat peraturan hukumnya sebelum dikaitkan secara logika koherensi dengan fakta hukum yang ada.[15]

Dalam KUHP yang masih berlaku, asas legalitas juga dapat dikatakan sebagai penyangga pokok dalam hukum pidana. Secara konstruktif, rumusan asas legalitas yang terdapat dalam Pasal 1 KUHP secara prinsipil menegaskan beberapa aspek yaitu: pertama, suatu perbuatan hukum tidak dapat dipidana kecuali atas peraturan atau hukum pidana yang telah mengatur terlebih dahulu. Kata kunci dalam hal ini adalah “aturan dulu baru peristiwa”. Kedua, jika terdapat suatu peraturan atau hukum pidana dan sesuai dengan suatu peristiwa pidana dan aturannya lebih dari satu, maka dipakai aturan yang paling meringankan terdakwa. Selain uraian tersebut, Moeljatno menambahkan bahwa sejatinya asas legalitas dalam Pasal 1 KUHP mengandung tiga pengertian pokok, yaitu[16]:

  1. Untuk dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana maka harus dinyatakan secara tegas dan lugas dalam suatu aturan undang-undang pidana. Hal ini menegaskan bahwa harus terdapat aturan terlebih dahulu baru kemudian ada peristiwa pidana.
  2. Larangan digunakannya analogi (kias). Hal ini sejatinya dapat dipahami bahwa analogi merupakan upaya konstruksi hukum yang bukan hanya memperluas suatu ketentuan pidana, tetapi lebih ke penciptaan suatu tindak pidana baru sehingga berpotensi menaburkan asas legalitas [17].
  3. Pengaturan hukum pidana bersifat ke depan (tidak berlaku surut). Hal ini mengindikasikan hukum pidana tidak boleh diterapkan bahwa ada peristiwa baru ada aturannya. Tetapi aturan harus mendahului peristiwa.

Dari kedua aspek di atas, terdapat dua aspek yang perlu dipertegas yaitu aspek larangan analogi dan aspek ketentuan pidana tidak berlaku surut. Terkait dengan larangan analogi, pandangan Moeljatno sejatinya diperkuat oleh Vos yang menegaskan bahwa analogi tidak diperkenankan dalam penemuan hukum pidana karena analogi memuat upaya untuk melakukan rechtsschepping atau upaya menciptakan delik baru dari hukum pidana.[18] Menciptakan delik baru sejatinya bukanlah tugas penegak hukum, tetapi merupakan pembentuk hukum (undang-undang). Meski menentang penggunaan analogi, namun Vos memperkenankan digunakannya interpretasi ekstensif. Interpretasi ini menekankan pada upaya perluasan makna pidana dari rumusan delik secara otentik [19]. Diperkenankannya interpretasi ekstensif oleh Vos sejatinya merupakan upaya hukum pidana untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Tidak dibolehkannya interpretasi ekstensif berpotensi membuat hukum pidana gagal berfungsi sebagai sarana melindungi masyarakat dari kejahatan. Hal ini karena perkembangan kejahatan sejalan dengan perkembangan realitas sosial-kemasyarakatan[20]. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perbedaan antara analogi dan interpretasi ekstensif terlihat pada aspek “pembuatan” atau “perluasan suatu delik”. Analogi yang berorientasi pada pembuatan delik baru seyogyanya tidak diperkenankan dalam hukum pidana sedangkan perluasan suatu delik seyogyanya dapat diterapkan tentu dengan memerhatikan kasus serta konteks tertentu. Selanjutnya, dari aspek tidak diperkenankannya hukum pidana berlaku surut sejatinya hal ini menimbulkan problematika khususnya ketika dikaitkan dengan adanya fenomena pelanggaran HAM berat[21]. Apakah tidak berlaku surut ini merupakan ketentuan mutlak yang tidak dapat disimpangi atau bagaimana?

Mengacu uraian tersebut, ketentuan aturan yang tidak dapat berlaku surut dalam hukum pidana sejatinya telah terkonsepsi dalam landasan konstitusional yaitu Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang secara tegas menunjukkan bahwa tidak dapat dituntut dengan aturan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi (non-derogable) sehingga hal ini merupakan hak konstitusional seklaigus merupakan hak asasi manusia[22]. Meski begitu, ketentuan tidak dapat dituntut oleh hukum yang berlaku surut menurut Eddy O.S. Hiariej sejatinya merupakan hal yang tegas tidak boleh disimpangi dalam hukum pidana nasional, tetapi hal ini menjadi berbeda jika ranahnya hukum pidana internasional[23]. Mengutip pandangan M. Cherif Bassiouni bahwa hukum pidana internasional bersumberkan pada sumber hukum internasional yang juga mengadopsi aspek kebiasaan (convention) internasional sebagai sumber hukum[24].Hal ini berarti asas legalitas dalam hukum pidana nasional berbeda dengan hukum pidana internasional[25].

Dalam hukum pidana nasional, asas legalitas sejatinya didasarkan pada aturan pidana yang tertulis (lex scripta) yang sejatinya tidak mengakomodasi berlakunya hukum yang tidak tertulis[26]. Akan tetapi, dalam hukum pidana internasional selain hukum tertulis diakui juga hukum tidak tertulis seperti kebiasaan internasional serta nilai kepatutan yang diakui dan diterima oleh bangsa-bangsa beradab[27]. Hal ini berimplikasi pada implementasi atas hak untuk tidak dapat dituntut berdasarkan hukum pidana yang berlaku surut sejatinya hanya berlaku bagi hukum pidana nasional, namun dalam hukum pidana internasional hal tersebut dapat dikecualikan dengan alasan tertentu misalnya adanya pelanggaran HAM berat. Dengan demikian, bahwa berkaitan dengan asas legalitas dalam KUHP sebagai hukum pidana nasional, maka hal tersebut sejatinya merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat disimpangi.

Hal tersebut sejatinya didasarkan pada sejarah dari tujuan asas legalitas dalam hukum pidana itu sendiri. Gagasan asas legalitas sejatinya pertama kali diperkenalkan oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch Dea Penlichen Recht yang menegaskan suatu adagium latin untuk menggambarkan asas legalitas yaitu “Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali” yang sejatinya bermakna bahwa suatu aturan pidana harus tertulis, jelas, tegas, tidak berwayuh arti, serta tidak boleh berlaku surut [28]. Pada awalnya, ketentuan asas legalitas dengan adagium latin tersebut dianggap merupakan bagian dari hukum Romawi. Padahal, dalam sejarah hukum dan kepustakaan hukum Romawi tidak dikenal ketentuan asas legalitas. J.E. Sahetapy menegaskan bahwa asas legalitas merupakan konstruksi dari Paul Johan Anselm von Feuerbach yang merupakan perkembangan dari tradisi hukum Jermanik yang menekankan adanya pembatasan atas kesewenang-wenangan Raja/Kaisar terhadap rakyatnya dalam menetapkan suatu pidana[29].

Hal tersebut menegaskan bahwa asas legalitas sejatinya bukanlah warisan hukum Romawi. Melainkan merupakan hasil dari konstruksi pemikiran atas tradisi hukum Jermanik yang dikaitkan dengan realitas pada saat itu. Dalam hukum Romawi, sejatinya tidak dikenal adanya asas legalitas. Hal ini salah satunya dibuktikan bahwa di Romawi Kaisar pernah memberlakukan suatu crimine extra ordinaria, yaitu suatu perbuatan pidana yang lahir bukan dari Undang-Undang tetapi dibuat langsung oleh pendapat subjektif Kaisar dengan dasar crimen stellionatus atau suatu perbuatan yang dianggap durjana atau jahat[30]. Adanya crimine extra ordinaria melalui keputusan subjektif Kaisar tersebut sejatinya berpotensi membuat Kaisar sewenang-wenang dalam menetapkan suatu hukum pidana.

Perihal di atas oleh karena crimine extra ordinaria tidak didasarkan pada aturan tertulis tetapi didasarkan pada pandangan subjektif Kaisar. Hal ini bahkan diperparah ketika Kaisar memiliki tendensi pribadi dengan pihak terkait maka klausul crimine extra ordinaria dapat diberlakukan bukan untuk menegakkan keadilan tetapi untuk melanggengkan kekuasaan[31]. Kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh Kaisar dan Raja-Raja saat itu kemudian pada perkembangan pemikiran hukum selanjutnya diperlukan suatu upaya untuk membatasi peran Kaisar dan Raja-Raja saat itu dalam menentukan seseorang dapat dipidana atau tidak. Secara konseptual, Montesquieu melalui L’esprit des Lois yang memperkenalkan adanya pembatasan terhadap kekuasaan negara[32]. Pembatasan tersebut meliputi pembatasan untuk menentukan seseorang patut dipidana atau tidak yang harus didasarkan pada ketentuan hukum tertulis.

Hal ini sejatinya tertuang dalam Declaration Des Droits De L’homme Et Du Citoyen dan ditindaklanjuti dalam Pasal 4 Penal Code di Perancis yang membatasi bahwa pemidanaan haruslah didasarkan pada hukum tertulis. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa Kaisar dan Raja-Raja saat itu tidak diperkenankan keluar dari pengaturan dalam aturan tertulis itu dalam menentukan seseorang dapat dipidana atau tidak[33]. Meski di satu sisi ketentuan asas legalitas itu baik untuk menjamin hak asasi manusia, namun dalam perkembangan hukum asas legalitas yang “kaku” dan “terkstual” tersebut di sisi lain menemukan beberapa problematika. Beberapa problematika dari asas legalitas yang sangat tekstual tersebut, diantaranya:

  1. Tekstualitas asas legalitas harus dimaknai sebagai perkembangan pemikiran pada saat dikemukakan ide untuk membatasi kesewenang-wenangan Kaisar/Raja. Namun, seiring dengan perkembangan hukum modern, maka aturan tertulis dalam hukum pidana sering tertinggal dengan realitas kenyataan hukum yang ada. Hal ini menegaskan bahwa di satu sisi asas legalitas ada untuk menjaga dan menjamin HAM, namun di sisi lain perkembangan kejahatan justru membuat adanya kejahatan baru yang luput dari pengaturan yang juga memiliki potensi pelanggaran HAM[34]. Hal ini menimbulkan problematika: mempertahankan asas legalitas untuk membela HAM tetapi justru menistakan HAM yang lain (dampak dari pekrembangan kejahatan).
  2. Asas legalitas dalam kelahirannya harus dimaknai sebagai “anak zaman” atau produk intelektualitas pada zamannya. Sebagai anak zaman, tentu pemikiran yang bagus pada zamannya harus diganti jika terdapat perkembangan zaman yang secara esensial memerlukan pembaruan hukum. Menyakralkan suatu konsep hukum di zaman yang telah berubah sama dengan mengorbankan keadilan untuk mempertahankan hukum. Yang menjadi pertanyaan adalah, mungkinkan hukum ditegakkan nir-keadilan?.
  3. Asas legalitas yang digagas oleh Paul Johan Anselm von Feuerbach sejatinya merupakan produk hukum bangsa tertentu pada masanya. Dalam hal ini, asas legalitas berkaitan erat denngan tradisi hukum bangsa Jermanik yang bahkan asas tersebut hanya dilaksanakan di negara dengan karakter homogen seperti Perancis, Jerman, dan Belanda[35]. Di negara dengan karakteristik heterogen seperti Indonesia pandangan dan pemahaman asas legalitas yang cenderung kaku dan tekstual tentu sangat sulit dilaksanakan[36]. Di negara dengan karakteristik heterogen seperti Indonesia, selain hukum tertulis, diakui juga keberlakuan hukum tidak tertulis yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Hal ini menegaskan secara ideal, asas legalitas di Indonesia selain mengacu pada hukum tertulis juga wajib mengacu pada nilai hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Dari uraian di atas, sejatinya dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya asas legalitas secara substantif menekankan adanya perlindungan terhadap HAM serta untuk meminimalisasi adanya kesewenang-wenangan negara maupun aparatur negara dalam menetapkan suatu tindak pidana maupun memidana seseorang. Meski secara substansi bagus, namun asas legalitas harus dipandang sebagai produk zaman yang dipengaruhi oleh kultur hukum suatu bangsa tertentu dalam hal ini bangsa Jermanik. Hal ini menegaskan jika diterapkan di negara lain tentu asas legalitas harus menyesuaikan dengan karakteristik negara tertentu. Dalam konteks penerapan asas legalitas di Indonesia, maka asas legalitas perlu direkonstruksi supaya sesuai dan relevan dengan karakteristik negara hukum Indonesia yang salah satunya dengan revisi terhadap KUHP. Hal ini karena selain mengakui hukum tertulis, di Indonesia juga terdapat hukum tidak tertulis yang diakui keberlakuannya serta memiliki kekuatan hukum yang sama dengan hukum tertulis. Oleh karena itu, asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia harus mampu memfasilitasi keberlakuan hukum pidana tertulis dan tidak tertulis tersebut.

Rekonstruksi Asas Legalitas: Upaya Pembaruan Hukum Pidana

Asas legalitas sebagai asas penting dari hukum pidana sejatinya memiliki konsekuensi bahwa ketika ingin melakukan pembaruan terhadap hukum pidana maka harus melakukan pembaruan juga terhadap asas legalitas[37]. Hal ini juga sejatinya menjadi hal yang sama ketika adanya revisi atau pembaruan terhadap asas legalitas juga membutuhkan upaya pembaruan hukum pidana. Asas legalitas, sebagaimana dijelaskan sebelumnya memang memiliki andil penting dalam pengembanan hukum pidana. Hal ini karena secara teoretik maupun praktik asas legalitas menjadi pemandu sekaligus pelaksana hukum pidana. Dalam konteks ini lah maka upaya untuk melakukan reformasi terhadap hukum pidana perlu dilakukan salah satunya dengan melakukan rekonstruksi terhadap asas legalitas [38]. Rekonstruksi terhadap asas legalitas sejatinya merupakan serangkaian upaya untuk mereformulasi asas legalitas sesuai dengan cita hukum keindonesiaan. Jika melihat pada KUHP yang masih berlaku khususnya dalam Pasal 1 KUHP, asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia jelas mengindikasikan dominannya peran cita hukum kolonial dibandingkan dimensi nasionalnya.

Cita hukum kolonial ini terlihat misalnya dalam rumusan Pasal 1 KUHP yang menegaskan asas legalitas bahwa segala sesuatu disebut tindak pidana apabila dicantumkan dalam kitab Undang-Undang Pidana atau Undang-Undang yang bersifat tertulis[39]. Konsekuensi dari rumusan ini adalah hukum pidana hanya bersifat tertulis sedangkan hukum yang tidak tertulis bukan dianggap bagian dari hukum pidana. Hal ini sejatinya menimbulkan problematika bagi masyarakat Indonesia. Problematika hukum bagi masyarakat Indonesia terkait asas legalitas yang hanya mengakui hukum pidana tertulis tersebut, diantaranya:

  1. Negara hukum Indonesia yang bercita hukum Pancasila sejatinya tidak hanya memberlakukan satu norma yaitu norma hukum negara. Di Indonesia, norma non-negara juga berlaku dan berkarakter tidak tertulis seperti norma hukum adat, norma agama, serta norma sosial. Hal ini menegaskan bahwa hanya mengakui hukum pidana tertulis saja sejatinya mengingkari karakter dan identita keindonesiaan yang mana juga mengakui dan mengadopsi hukum pidana tidak tertulis[40].
  2. Cita hukum Pancasila sebagai dasar penuntun dan pemandu hukum pidana Indonesia sejatinya berupaya meneguhkan nilai religious sekaligus nilai local wisdom yang sudah ada, tumbuh, dan berkembang[41]. Bahkan, di masyarakat adat tidak jarang masih diberlakukan tindak pidana dan hukum pidana adat yang tentunya berbeda dengan hukum pidana nasional. Yang lebih penting, hukum pidana adat pada umumnya tidak tertulis serta diubah berdasarkan konsensus adat dan ditetapkan oleh para pemuka adat. Karakter ini sejatinya “mirip” dengan karakter judge made law dalam sistem common law[42].
  3. Pembaruan hukum pidana salah satunya melalui RUU KUHP adalah upaya untuk mereformulasi asas legalitas yang pada awalnya bersifat formil sebagaimana rumusan KUHP menjadi lebih bersifat materil sehingga mengadopsi juga hukum yang hidup di masyarakat.

Dari ketiga aspek tersebut, dapat dipahami bahwa upaya pembaruan hukum pidana melalui penegsahan RUU KUHP adalah upaya untuk melakukan rekonstruksi atau perumusan dan pembaruan atas asas legalitas. Jika mengacu pada RUU KUHP sejatinya ketentuan mengenai asas legalitas harus dibaca secara sistematis yaitu dalam Pasal 1 dan Pasal 2 RUU KUHP. Pasal 1 RUU KUHP menegaskan bahwa asas legalitas harus dimaknai bahwa hukum pidana hanya mengakui hukum pidana tertulis. Akan tetapi, dalam Pasal 2 RUU KUHP ditegaskan bahwa selain hukum tertulis, hukum tidak tertulis juga dinyatakan berlaku dalam proses pemidanaan. Hal ini berarti hukum tidak tertulis juga dapat dijadikan sebagai salah satu standar dalam menilai suatu tindak pidana. Melalui pembacaan secara sistematis dalam Pasal 1 dan Pasal 2 RUU KUHP tersebut sejatinya terdapat beberapa hal yang menarik.

Pertama, dengan diakuinya hukum tidak tertulis sebagai standar dalam menentukan suatu perbuatan pidana, maka asas legalitas dalam RUU KUHP sejatinya bersifat materil. Hal ini sejatinya merupakan lompatan konseptual yang menempatkan asas legalitas dalam RUU KUHP lebih bersifat materi dan berbeda dengan KUHP yang menegaskan asas legalitas bersifat formil. Sifat formil dalam asas legalitas KUHP menitikberatkan pada “rule-centris” yang mana melihat aturan terlebih dahulu baru suatu perbuatan atau tindak pidananya[43]. Sedangkan dalam RUU KUHP lebih melihat pada “behavior-centris” yang melihat pada aspek perbuatan atau perilaku terlebih dahulu kemudian dilihat apakah dalam hukum positif ada yang mengaturnya dan jika tidak ada dilihat apakah merupakan suatu bentuk pelanggaran atas hukum tidak tertulis atau tidak[44]. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa karakter asas legalitas materil dalam RUU KUHP menegaskan adanya double standard dalam menentukan suatu tindak pidana yaitu standar pertama sama dengan KUHP yaitu melihat aturannya terlebih dahulu dan kemudian melihat apakah itu bertentangan atau tidak dengan hukum tidak tertulis.

Kedua, ketentuan dalam RUU KUHP sejatinya hanya bersifat spesifik pada hukum pidana adat sebagai hukum yang tidak tertulis (living law). Hal ini dapat diketahui dari penjelasan Pasal 2 RUU KUHP bahwa hukum yang hidup yang bersifat tidak tertulis dalam hal ini adalah hukum pidana adat. Menurut hemat penulis, hal ini sejatinya mereduksi makna hukum yang hidup di masyarakat karena selain pidana adat, hukum tidak tertulis juga meliputi nilai dan norma sosial bahkan termasuk norma keagamaan. Meski begitu, upaya RUU KUHP tetap patut dipresiasi karena tetap menempatkan pidana adat sebagai salah satu bagian dari asas legalitas. Hal ini juga berupaya meneguhkan masyarakat hukum adat beserta nilai-nilainya.

Ketiga, dalam Pasal 2 RUU KUHP ditegaskan bahwa hukum yang hidup di masyarakat (dalam hal ini pidana adat) harus slearas dengan prinsip hukum umum, nilai hak asasi manusia, serta Pancasila. Salah satu yang menarik dalam hal ini adalah Pancasila sebagai salah satu parameter untuk melihat keberlakuan suatu hukum yang hidup di masyarakat. Nilai Pancasila dalam hukum Indonesia merupakan cita hukum (rechtsidee) yang bersifat memandu, menguji, sekaligus membentuk hukum yang ada[45]. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa asas legalitas materil yang terdapat dalam RUU KUHP harus dijiwai serta dibentuk dari nilai-nilai Pancasila. Nilai-nilai Pancasila sejatinya bersifat meluas dan juga selalu menyesuaikan dengan perkembangan zaman (envolving ideology)[46]. Hal ini dapat dipahami bahwa sekalipun Pancasila memiliki lima nilai, namun esensi dari lima nilai itu bersifat universal dan general. Hal ini sejatinya juga menegaskan bahwa yang final dari Pancasila hanyalah rumusannya.

Penggalian dan pelaksanaan nilai Pancasila tidak boleh dan tidak pernah final[47]. Memberikan justifikasi final pada penggalian dan pelaksanaan nilai Pancasila adalah suatu sikap naïf yang justru mereduksi hakikat dari Pancasila itu sendiri. Jika mengacu pada asas legalitas materil dalam Pasal 1 dan 2 RUU KUHP, sejatinya upaya untuk mengakomodasi nilai dan norma pidana adat merupakan hal yang baik dan relevan. Hal ini dapat diketahui karena masyarakat hukum adat dengan adanya fenomena modernisasi hukum cenderung dianaktirikan bahkan norma hukum adat selalu dianggap lebih inferior dibandingkan dengan norma hukum negara[48]. Dengan adanya rumusan tersebut, sejatinya dapat semakin memperkuat kedudukan norma adat dalam penegakan hukum pidana. Hal ini sejatinya merupakan kristalisasi dari nilai sila kelima Pancasila yaitu terkait dengan esensi keadilan sosial.

Dalam pandangan Sukarno sebagai penggali Pancasila, esensi dari sila keadilan sosial adalah adanya kedudukan dan distribusi yang patut dan merata bagi semua golongan masyarakat Indonesia[49]. Dalam konteks hukum pidana, upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengakomodasi nilai-nilai adat sebagai salah satu bagian dari tindak pidana sekalipun dalam bentuk tidak tertulis. Upaya ini merupakan upaya penting supaya norma adat dapat secara bersama-sama dijalankan dengan norma hukum pidana nasional yang dibentuk oleh negara. Lebih lanjut, karakter norma hukum adat yang tidak tertulis juga melengkapi karakter tertulis dari hukum pidana nasional. Meski memiliki nilai positif, tentu hadirnya asas legalitas materil dalam RUU KUHP juga harus mendapatkan catatan tersendiri.

Pertama, sekalipun hukum tidak tertulis juga merupakan penilaian standar dalam menentukan suatu tindak pidana namun hukum tidak tertulis tersebut harus dibatasi supaya tidak disalahgunakan untuk memidana seseorang hanya karena alasan like and dislike. Pembatasan mengenai hukum tidak tertulis tersebut sejatinya memerlukan kajian tersendiri yang membutuhkan peran negara beserta aparatur penegak hukum dengan masyarakat hukum adat beserta aparatur adatnya. Kedua, sejatinya rumusan dalam Pasal 2 RUU KUHP mengenai asas legalitas materil menegaskan beberapa batasan dalam menentukan keberlakuan hukum tidak tertulis salah satunya adalah nilai-nilai Pancasila. Hal ini sekaligus membutuhkan pemahaman, pendalaman, serta pelatihan tersendiri khususnya bagi para hakim untuk menggali sekaligus menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pengujian terhadap eksistensi hukum yang hidup di masyarakat. Nilai-nilai Pancasila dalam praktiknya di pengadilan harus mendapatkan dimensi praksis yang tidak hanya berupa simbolisme nilai berupa lima sila, tetapi bagaimana kelima sila tersebut diejawentah oleh hakim melalui berbagai putusan yang bertujuan menilai eksistensi hukum yang hidup di masyarakat[50].

Hal tersebut lah yang sejatinya membutuhkan pelatihan secara mendalam dan lebih lanjut bagi para hakim dan aparatur penegak hukum lainnya pasca disahkannya RUU KUHP. Ketiga, upaya perumusan asas legalitas materil sebagai asas legalitas “khas Indonesia” atau bercita hukum Indonesia seyogyanya dibarengi dengan konstruksi atas kewajiban memerhatikan pandangan dari tokoh adat setempat. Rumusan dalam RUU KUHP masih menempatkan eksistensi hukum yang tidak tertulis hanya pada hakim dengan opsi dapat meminta pendapat dari tokoh adat. Padahal yang tepat bukan hanya sekadar opsi untuk meminta pendapat, tetapi wajib memerhatikan pandangan tokoh adat apakah suatu hukum tidak tertulis tersebut masih berlaku atau tidak.

Terlepas dari hal tersebut tentunya upaya untuk merekonstruksi asas legalitas tetap harus diapresiasi dan tentunya dapat disempurnakan untuk mewujudkan pembaruan hukum pidana yang bercita hukum Indonesia. Berdasarkan uraian di atas upaya melakukan rekonstruksi asas legalitas berbasis nilai-nilai Pancasila dalam RUU KUHP sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana yaitu dengan meneguhkan nilai Pancasila sebagai standar dalam menentukan suatu hukum tidak tertulis masih eksis atau tidak. Dalam konteks ini, maka nilai-nilai Pancasila yang ideal dan melangit harus diorientasikan dalam dimensi praksis. Dimensi praksis maksudnya supaya nilai-nilai Pancasila juga diterapkan oleh hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam menyikapi hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini lah yang memerlukan pelatihan dan pengkajian secara mendalam supaya nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan dalam dimensi praksis untuk menegaskan marwah asas legalitas materil yang bercita keindonesiaan.

Simpulan

Hakikat asas legalitas secara substantif menekankan adanya perlindungan terhadap HAM serta untuk meminimalisasi adanya kesewenang-wenangan negara maupun aparatur negara dalam menetapkan suatu tindak pidana maupun memidana seseorang. Meski secara substansi bagus, namun asas legalitas harus dipandang sebagai produk zaman yang dipengaruhi oleh kultur hukum suatu bangsa tertentu dalam hal ini bangsa Jermanik. Hal ini menegaskan jika diterapkan di negara lain tentu asas legalitas harus menyesuaikan dengan karakteristik negara tertentu. Dalam konteks penerapan asas legalitas di Indonesia, maka asas legalitas perlu direkonstruksi supaya sesuai dan relevan dengan karakteristik negara hukum Indonesia yang salah satunya dengan revisi terhadap KUHP. Hal ini karena selain mengakui hukum tertulis, di Indonesia juga terdapat hukum tidak tertulis yang diakui keberlakuannya serta memiliki kekuatan hukum yang sama dengan hukum tertulis. Oleh karena itu, asas legalitas dalam hukum pidana Indonesia harus mampu memfasilitasi keberlakuan hukum pidana tertulis dan tidak tertulis tersebut. Upaya melakukan rekonstruksi asas legalitas berbasis nilai-nilai Pancasila dalam RUU KUHP sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana yaitu dengan meneguhkan nilai Pancasila sebagai standar dalam menentukan suatu hukum tidak tertulis masih eksis atau tidak. Dalam konteks ini, maka nilai-nilai Pancasila yang ideal dan melangit harus diorientasikan dalam dimensi praksis. Dimensi praksis maksudnya supaya nilai-nilai Pancasila juga diterapkan oleh hakim dan aparat penegak hukum lainnya dalam menyikapi hukum yang hidup di masyarakat. Hal ini lah yang memerlukan pelatihan dan pengkajian secara mendalam supaya nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan dalam dimensi praksis untuk menegaskan marwah asas legalitas materil yang bercita keindonesiaan.

References

  1. F. P. Disantara, “Konsep Pluralisme Hukum Khas Indonesia sebagai Strategi Menghadapi Era Modernisasi Hukum,” Al-Adalah J. Huk. dan Polit. Islam, vol. 6, no. 1, pp. 1–36, 2021, doi: 10.35673/ajmpi.v6i1.1129.
  2. Z. Ergashev, “Democratic Legal Culture: How Strong are Values?,” J. Law Leg. Reform, vol. 2, no. 4, p. 625, 2021.
  3. L. A. DiMatteo, “‘Rule of Law’ in China: The confrontation of formal law with cultural norms,” Cornell Int. Law J., vol. 51, no. 2, pp. 391–444, 2018.
  4. N. Ab Aziz, N. Mohamad Amin, and Z. Ab Hamid, “Enhancing Plea Bargaining Process Through Mediation,” IJASOS- Int. E-journal Adv. Soc. Sci., vol. III, no. 7, pp. 306–306, 2017, doi: 10.18769/ijasos.320064.
  5. I. K. Seregig, T. Suryanto, B. Hartono, E. Rivai, and E. Prasetyawati, “Preventing the acts of corruption through legal community education,” J. Soc. Stud. Educ. Res., vol. 9, no. 2, pp. 138–159, 2018, doi: 10.17499/jsser.65190.
  6. D. G. G. Santosa, “Changes in Crininal Trial Proceeding During COVID-19: Challenges And Problems,” Indones. Law J., vol. 13, no. 2, pp. 123–135, 2020.
  7. A. Suherman, “Esensi Asas Legalitas dalam Penegakan Hukum Pidana Lingkungan,” Bina Huk. Lingkung., vol. 5, no. 1, p. 135, 2020.
  8. F. Arrizall, “Penerapan Asas Legalitas dalam Penjatuhan Sanksi Pidana Atas Masyarakat Adat,” Doktrina, vol. 4, no. 2, p. 103, 2021.
  9. H. R. Vincentius Patria Setyawan, “Relasi Asas Legalitas Hukum Pidana dan Pemikiran Hukum Alam,” Inov. Penelit., vol. 2, no. 12, p. 3814, 2022.
  10. G. Duke, “Law’s Normative Point,” Law Philos., vol. 38, no. 1, pp. 1–27, Feb. 2019, doi: 10.1007/s10982-018-9334-8.
  11. E. M. Al Amaren, A. M. A. Hamad, O. F. Al Mashhour, and M. I. Al Mashni, “An introduction to the legal research method: To clear the blurred image on how students understand the method of the legal science research,” Int. J. Multidiscip. Sci. Adv. Technol., vol. 1, no. 9, pp. 50–55, 2020.
  12. Bustomi, “The Legality Principle Application in Indonesian Criminal Law System,” Nurani Huk., vol. 4, no. 2, p. 31, 2021.
  13. E. O. S. Hiariej, Hukum Acara Pidana. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2015.
  14. M. Rusydianta, “Reformulating Fraud Crimes Under Article 378 Of The Criminal Code Based On Restorative Justice Values,” Prophet. Law, vol. 3, no. 2, p. 221, 2021.
  15. F. Casoria, F. Galeotti, and M. C. Villeval, “Perceived social norm and behavior quickly adjusted to legal changes during the COVID-19 pandemic,” J. Econ. Behav. Organ., vol. 190, pp. 54–65, Oct. 2021, doi: 10.1016/j.jebo.2021.07.030.
  16. E. O. S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana. Jakarta: Erlangga, 2019.
  17. I. N. S. dan I. A. P. W. Komang Dara Trimarlina, “Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia Terhadap Pemeriksaan Dalam Proses Penyidikan,” Analog. Huk., vol. 1, no. 3, p. 413, 2019.
  18. S. Roy, “Theory of Social Proof and Legal Compliance: A Socio-Cognitive Explanation for Regulatory (Non) Compliance,” Ger. Law J., vol. 22, no. 2, pp. 238–255, Mar. 2021, doi: 10.1017/glj.2021.5.
  19. M. Jamin, Mulyanto, and S. T. Widodo, “Reformulation of a legal policy affirming recognition of Indigenous community units,” Int. J. Innov. Creat. Chang., vol. 11, no. 8, pp. 473–490, 2020.
  20. K. Fu, “Institutionalizing Social Norms and Legal Culture: Social Dynamics under Legal Awareness Policy in Contemporary China,” Beijing Law Rev., vol. 12, no. 03, pp. 993–1015, Aug. 2021, doi: 10.4236/blr.2021.123051.
  21. H. Dancer, “Harmony with Nature: towards a new deep legal pluralism,” J. Leg. Plur. Unoff. Law, vol. 1, no. 1, pp. 1–21, 2020, doi: 10.1080/07329113.2020.1845503.
  22. M. Iovan, “Analysis of the Connections Between Law and Morals, Between Customs and Contemporaneity,” J. Legal Stud., vol. 25, no. 39, pp. 57–68, Jun. 2020, doi: 10.2478/jles-2020-0004.
  23. E. O. S. Hiariej, “United Nations Convention Against Corruption dalam Sistem Hukum Indonesia,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 31, no. 1, p. 112, 2019, doi: 10.22146/jmh.43968.
  24. M. Hirschboeck, “Conceptualizing the relationship between international human rights law and private international law,” Harvard Int. Law J., vol. 60, no. 1, pp. 181–199, 2019.
  25. A. S. Ratna Anggraini, I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani, “The Effectiveness of Political Law on the Development of Coastal Reclamation in Indonesia,” in 3rd International Conference on Globalization of Law and Local Wisdom, 2019, p. 187.
  26. R. Leider, “The Modern Common Law of Crime,” J. Crim. Law Criminol., vol. 111, no. 2, pp. 412–413, 2021.
  27. C. A. Rudi Natamiharja, Rudy, “Law Making Treaties: The Implication of International Law towards Indonesia’s Legislations,” Jambe Law J., vol. 3, no. 2, pp. 191–201, 2020.
  28. P. M. Devadasan, “Study On The Rationality Of Utilitratian Philosophy Of Law - An Analysis.,” Int. J. Case Stud. Business, IT Educ., vol. 2, no. 2, pp. 77–85, 2018, doi: 10.5281/ZENODO.1491398.
  29. D. E. Purwoleksono, Hukum Pidana, 1st ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2016.
  30. W. Desideria Nyinaq, Harkirtan Kaur, “Assessing The View Of Criminology Science In Seniority Violence Cases,” Int. J. Soc. Policy Law, vol. 2, no. 3, p. 30, 2021.
  31. J. Barton-Crosby, “The nature and role of morality in situational action theory,” Eur. J. Criminol., vol. 1, no. 1, pp. 1–17, 2020, doi: 10.1177/1477370820977099.
  32. B. Z. Tamanaha, A realistic theory of law, 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.
  33. A. F. Evan Wolfson , Jessica Tueller, “The Freedom To Marry In Human Rights Law Worldwide: Ending The Exclusion Of Same-Sex Couples From Marriage,” Indiana Int ’ l Comp . Law Rev., vol. 32, no. 1, pp. 4–5, 2022.
  34. C. M. Colombo, “State aid control in the modernisation era: Moving towards a differentiated administrative integration?,” Eur. Law J., vol. 25, no. 3, pp. 292–316, 2019, doi: 10.1111/eulj.12324.
  35. M. D. S. Nany Suryawati, “Harmonization of the Application of Customary Law and Positive Law in Village Communities of Malang Regency,” Int. J. Appl. Bus. Int. Manag., vol. 6, no. 2, p. 6, 2021.
  36. Peter Mahmud Marzuki, An Introduction to Indonesian Law, 1st ed. Malang: Setara Press, 2011.
  37. W. Yao and K. Chng, “An analysis of St . Thomas Aquinas ’ s position on the relationship between justice and legality,” Jurisprudence, vol. 37, no. 1, pp. 238–263, 2018.
  38. M. Vooren, I. Rud, I. Cornelisz, C. Van Klaveren, W. Groot, and H. Maassen van den Brink, “The effects of a restorative justice programme (Halt) on educational outcomes and recidivism of young people,” J. Exp. Criminol., vol. 1, no. 1, p. 6, 2022, doi: 10.1007/s11292-022-09502-4.
  39. S. B. Banerjee, “Decolonizing Deliberative Democracy: Perspectives from Below,” J. Bus. Ethics, no. 0123456789, 2021, doi: 10.1007/s10551-021-04971-5.
  40. J. Asshidiqie, Perkembangan Baru Tentang Konstitusi dan Konstitusionalisme dalam Teori dan Praktik, 1st ed. Yogyakarta: Genta Publishing, 2018.
  41. H. Habibi, “Protecting National Identity Based On The Value Of Nation Local Wisdom,” Int. J. Malay-Nusantara Stud., vol. 1, no. 2, pp. 24–40, 2018.
  42. C. R. Burset, “Why didn’t the common law follow the flag?.,” Va. Law Rev., vol. 105, no. 3, pp. 2305–2341, 2019.
  43. D. P. Dicky Eko Prasetio, Fradhana Putra Disantara, Nadia Husna Azzahra, “The Legal Pluralism Strategy of Sendi Traditional Court in the Era of Modernization Law,” Rechtsidee, vol. 8, no. 1, p. 4, 2021.
  44. M. Harun, “Philosophical Study of Hans Kelsen ’ s Thoughts on Law and Satjipto Rahardjo ’ s Ideas on Progressive Law,” Walisongo Law Rev., vol. 1, no. 2, pp. 195–220, 2019, doi: 10.21580/Walrev/2019.1.2.4815.
  45. M. Mustamam, “The Position Of Pancasila In The Arrangement Of The Types And Hierarchy Of Laws,” Int. J. Business, Econ. Law, vol. 23, no. 1, pp. 453–454, 2020.
  46. S. Sudjito, H. Muhaimin, and A. S. S. Widodo, “Pancasila and Radicalism: Pancasila Enculturation Strategies As Radical Movement Preventions,” J. Din. Huk., vol. 18, no. 1, p. 69, 2018, doi: 10.20884/1.jdh.2018.18.1.1686.
  47. D. E. P. Fradhana Putra Disantara, “The Little Vatican : Optimalisisasi DWIPA ( Desa Wisata Pancasila ) sebagai Upaya Meningkatkan Harmonisasi Sosial dan Tolerans,” Law, Dev. Justice Rev., vol. 3, no. 1, pp. 42–56, 2020.
  48. J. B. Murphy, Aquinas and Modern Law. Milton Park: Taylor & Francis, 2017.
  49. H. Hastangka, S. Tjahyadi, A. Djalu Sembada, and Y. T. Sinaga, “Education for Sustainable Develoment (ESD) – Pancasila di Desa Towangsan: Paradigma Pembangunan yang Berkelanjutan,” J. Pengabdi. Kpd. Masy. (Indonesian J. Community Engag., vol. 4, no. 2, p. 159, 2019, doi: 10.22146/jpkm.30134.
  50. A. Bedner and Y. Arizona, “Adat in Indonesian Land Law: A Promise for the Future or a Dead End?,” Asia Pacific J. Anthropol., vol. 20, no. 5, pp. 416–434, 2019, doi: 10.1080/14442213.2019.1670246.