Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v10i0.783

Lack of Protection for Non-Fungible Token (NFT) Creators in Indonesia: A Progressive Legal Study


Kurangnya Perlindungan Pencipta Non-Fungible Token (NFT) di Indonesia: Suatu Kajian Hukum Progresif

Universitas Muhammadiyah Malang
Indonesia

(*) Corresponding Author

Progressive Law Non Fungible Token Legal Protection

Abstract

This article presents a normative legal research that aims to provide legal protection guarantees for creators of Non-Fungible Token (NFT) works from a progressive legal perspective. The research used a statutory approach and concept approach to examine the implications of NFT on the existing legal framework. The results confirm that NFT requires special regulations to protect creators' rights, including revising the Copyright Law and developing regulations to affirm NFT's character. The study recommends that NFT works be included in copyright through extensive and futuristic interpretation, and the government's legal policy should specifically regulate NFT and issue certificates of NFT works to ensure legal protection and certainty. Overall, this research highlights the need for proactive legal responses to technological developments such as NFT, which can have economic value and require legal protection.

Highlights:

  1. Non-Fungible Tokens (NFT) require special legal protection for creators due to their economic value.
  2. Revising Copyright Law and developing regulations to affirm NFT's character are recommended.
  3. NFT works should be included in copyright through extensive interpretation and the government should issue certificates of NFT works to ensure legal protection and certainty.

Pendahuluan

Realitas kemasyarakatan merupakan ruang dinamis yang senantiasa berubah. Dalam hal ini, realitas kemasyarakatan identik dengan perkembangan dan perubahan yang selalu terjadi sesuai dengan perkembangan zaman [1]. Realitas kemasyarakatan yang identik dengan perubahan dan inovasi salah satunya adalah teknologi. Teknologi merupakan aspek yang selalu berubah mengikuti perkembangan zaman [2]. Perkembangan teknologi dengan demikian merupakan hal yang niscaya dengan semakin adanya orientasi dan inovasi dari manusia. Hal ini juga didukung dengan karakter teknologi yang berorientasi pada aspek praktis yang berupaya mempermudah setiap pekerjaan manusia [3]. Oleh karena itu, inovasi dan kreativitas membuat teknologi mudah berganti untuk disesuaikan dengan kebutuhan zaman sekaligus bidang pekerjaan manusia.

Perkembangan teknologi yang terus berubah menuntut hukum untuk berkarakter responsif sesuai dengan perkembangan zaman. Karakter responsif dalam menyikapi perkembangan teknologi tersebut dikarenakan hukum memiliki dua aspek penting dalam menyikapi perkembangan teknologi yaitu [4]: pertama, hukum berkarakter untuk memfasilitasi sekaligus mengatur berbagai aspek dalam perkembangan teknologi untuk dibingkai dan mendapatkan pengaturan dalam hukum. Hal ini sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum sekaligus memberikan jaminan perlindungan hukum atas berbagai karya atau inovasi di bidang teknologi yang memerlukan jaminan kepastian hukum melalui pengaturan yang diberikan oleh hukum [5]. Kedua, hukum memiliki karakter sebagai pemberi solusi atas adanya sengketa yang berkaitan dengan perkembangan teknologi [6]. Dalam konteks ini, hukum menawarkan berbagai mekanisme sekaligus prosedur penyelesaian sengketa apabila terdapat permasalahan hukum yang terjadi akibat perkembangan teknologi.

Pentingnya hukum sebagai “bingkai” dalam perkembangan teknologi salah satu aspek yang penting adalah bagaimana hukum memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terkait berbagai fenomena perkembangan teknologi yang membutuhkan kepastian serta perlindungan oleh hukum [7]. Salah satu perkembangan teknologi yang memerlukan jaminan kepastian dan perlindungan hukum adalah adanya perkembangan teknologi digital berupa hadirnya Non-Fungible Token (NFT). NFT sejatinya merupakan produk dari perkembangan digitalisasi yang dapat diperjualbelikan melalui di pasar digital seperti OpenSea dan sejenisnya [8]. Di Indonesia sendiri, NFT semakin terkenal dengan adanya fenomena “Ghozali Everyday” yaitu seorang pemuda yang menjual koleksi foto pribadinya melalui NFT yang mendapatkan keuntungan mencapai 1,7 Miliar Rupiah [9]. Tentunya, ini menjadi hal yang menarik meskipun di satu sisi hadirnya NFT termasuk pasar digitalnya patut diwaspadai dan diantisipasi karena di Indonesia sendiri belum terdapat pengaturan khusus mengenai NFT. Hal ini termasuk juga berdampak pada pembuat karya dalam NFT yang juga belum terdapat jaminan kepastian dan perlindungan hukum mengenai hak-hak yang didapat sebagai pembuat karya dalam konten NFT. Oleh karena itu penelitian ini berorientasi pada menjawab isu hukum berupa kekosongan hukum mengenai perlindungan hukum bagi pencipta karya di konten NFT dalam perspektif hukum progresif.

Perspektif hukum progresif dipilih karena hukum progresif identik dengan orientasi hukum untuk hadir memfasilitasi perkembangan zaman. Hukum progresif sejatinya bertumpu pada manusia sebagai subjek hukum [10]. Dalam hal ini, jika manusia selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman maka hukum juga harus berinisiatif untuk mengatur perkembangan zaman yang ada. Penelitian mengenai NFT sejatinya telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya, seperti: (i) Muhammad Usman Noor (2021) tentang NFT (Non-Fungible Token): Masa Depan Arsip Digital? Atau Hanya Sekedar Buble? yang berfokus mengenai analisis NFT dan potensinya sebagai ruang bisnis digital [11]. Penelitian ini masih berfokus pada prediksi perkembangan NFT di Indonesia. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh (ii) Vinanda Prameswati, Nabillah Atika Sari, dan Kartika Yustina Nahariyanti (2022) tentang Data Pribadi Sebagai Objek Transaksi di NFT pada Platform Opensea yang berfokus pada tinjauan data pribadi pada NFT [12]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh (iii) Dewi Sulistianingsih dan Apriliana Khomsa Kinanti (2022) tentang Hak Karya Cipta Non-Fungible Token (NFT) Dalam Sudut Pandang Hukum Hak Kekayaan Intelektual yang berfokus pada perlunya jaminan pengaturan NFT sebagai bagian dari hak kekayaan intelektual, khususnya hak cipta [13]. Meski begitu, dimensi teoretik serta orientasi kebijakan hukum belum dijelaskan lebih lanjut dalam penelitian ini.

Penelitian yang penulis lakukan sejatinya berfokus pada perlindungan hukum hak cipta dalam NFT sekaligus menawarkan kebijakan hukum yang seyogyanya dibuat oleh pemerintah untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum. Selain itu, penelitian yang penulis lakukan menggunakan optik hukum progresif yang berorientasi pada peran hukum dalam menghadapi perkembangan zaman, dalam hal ini NFT. Berdasarkan uraian di atas, penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang orisinal karena belum pernah dikaji secara khusus oleh ketiga penelitian sebelumnya. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Bagaimana Non-Fungible Token (NFT) dalam perspektif hukum progresif? Dan (ii) Bagaimana implementasi hukum progresif dalam melindungi pencipta karya Non-Fungible Token (NFT)?.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada pengkajian peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hak cipta serta pasar digital yang memiliki kaitan dengan NFT [14]. Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, meliputi: UUD NRI 1945, UU No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta), PP No. 80 Tahun 2019 Tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PP Perdagangan Melalui Sistem Elektronik), dan Permendag No. 99 Tahun 2018 Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) (Permendag Perdagangan Aset Kripto). Bahan hukum sekunder meliputi kajian dan penelitian mengenai aspek hukum NFT serta hukum progresif. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konsep dan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan

Non-Fungible Token (NFT) dalam Perspektif Hukum Progresif

Non-Fungible Token yang kemudian lazim disingkat sebagai NFT sejatinya merupakan bagian dari perkembangan dari teknologi digital yang memungkinkan adanya jual beli terkait berbagai hal yang memiliki orientasi ekonomis [15]. Secara umum, NFT dipahami sebagai serangkaian gambar, teks, video, maupun kombinasinya yang memiliki orientasi ekonomis sekaligus tercatat dan terkompilasi dalam sistem blockchain yang terintegrasi dengan internet. Dalam konteks ini, NFT memiliki orientasi aset digital yang sejatinya tidak hanya terbatas pada gambar, teks, video, maupun kombinasinya [16]. Salah satu aspek keunggulan dari NFT adalah terkait dengan gambar, teks, video, maupun kombinasinya yang dijual di NFT secara umum dapat dikategorisasikan sebagai karya asli.

Dilihat dari dimensi kesejarahan munculnya NFT, dapat dilihat bahwa NFT sejatinya mulai dikembangkan pada tahun 2012 yang merupakan perkembangan dan evolusi dari teknologi Colored Coins yang merupakan bagian dari blockchain [17]. Pada awalnya, NFT terbatas pada tujuan untuk melakukan verifikasi saham maupun surat berharga sebagaimana yang lazim dalam pasar modal. Pada taraf lebih lanjut, NFT juga diorientasikan untuk pembuatan, apresiasi, hingga penjualan karta seni digital [18]. Hal ini menegaskan bahwa sekalipun pada awalnya NFT hanya terbatas pada verifikasi saham dan surat berharga, namun kemudian berkembang menjadi penjualan karya seni digital yang meliputi musik, video, foto, gambar, maupun kombinasinya. Selain itu, dalam dunia kripto, NFT sejatinya sudah mulai berkembang sejak tahun 2019 dan menjadi perbincangan para pemerhati dan peminat kripto meskipun pada tahun 2019 NFT belum menyentuh popularitas sebagaimana tahun 2021 hingga tahun 2022 [19].

Meski pun NFT di Indonesia dikenal dengan peristiwa “Ghozali Effect” yaitu seorang pemuda yang menjual koleksi foto pribadinya hingga mendapatkan untung miliaran rupiah dari NFT namun sebelum adanya fenomena Ghozali tersebut sejatinya NFT sudah digandrungi beberapa pihak di Indonesia semenjak tahun 2021 [20]. Salah satu faktor popularitas NFT di tahun 2021 adalah adanya dampak pandemi COVID-19 yang memaksa masyarakat untuk mencari alternatif untuk mengekpresikan karya dan melakukan usaha maupun bisnis secara digital [21]. Hal ini dapat dipahami karena pandemi COVID-19 membatasi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Tercatat, pada bulan Maret 2021, Beeple, yang merupakan desainer grafis telah menjual karyanya yang berjudul “Everydays: The First 5000 Days” yang terjual mencapai 69 juta dolar AS [22]. Hal ini kemudian menaikkan popularitas NFT di Indonesia.

NFT di Indonesia kemudian menjadi viral dan perbincangan masyarakat ketika adanya fenomena Ghozali yang membuat masyarakat menjadi semakin penasaran dengan NFT. Secara umum, meningkatnya popularitas NFT di Indonesia didasarkan pada dua argumentasi, yaitu: pertama, bahwa NFT membuat masyarakat ingin tahu apa dan bagaimana cara kerjanya. Hal ini sejatinya didasarkan pada pola pikir masyarakat Indonesia yang cenderung “kepo” dan ingin tahu mengenai sesuatu hal yang baru. Kedua, dalam aspek bisnis, beberapa keuntungan dari orang yang menjual karya di NFT membuat beberapa orang bergairah bahkan ingin memanfaatkan adanya NFT untuk mendulang pundi-pundi keuntungan sebagaimana kisah Ghozali dan lainnya. Selanjutnya, dalam perspektif budaya populer di masyarakat, perkembangan NFT dapat dikatakan merupakan gambaran dari bekerjanya teori critical mass [23]. Teori ini menegaskan bahwa suatu platform digital harus berorientasi pada konsumsi kolaboratif, dalam hal ini menekankan pada “consument centre” atau menekankan pada kebutuhan dan keinginan konsumen khususnya terkait berbagai pilihan yang beragam sekaligus suatu platform harus mampu merangkul berbagai lapisan masyarakat [24].

Pentingnya platform yang merangkul berbagai lapisan masyarakat ini bertujuan supaya platform tersebut bersifat general-universal dan dapat merangkul berbagai lapisan masyarakat [25]. Jika mengacu pada konsep konsumsi kolaboratif dalam suatu platform tersebut sejatinya NFT sudah memiliki orientasi untuk dapat meangkul berbagai kalangan. Fenomena Ghozali yang mampu meraup miliaran rupiah menjadi salah satu contohnya karena Ghozali hanyalah masyarakat biasa yang memiliki akses serta mampu memanfaatkan NFT untuk meraih keuntungan. Meski begitu, kurangnya sosialisasi atau pun iklan-iklan mengenai NFT membuat pada tahun 2021 atau sebelum viralnya Ghozali, NFT masih diakses oleh para pihak yang aktif dalam dunia kripto dan belum populer di masyarakat umum. Fenomena Ghozali lah yang membuat NFT menjadi familiar di masyarakat umum. Popularitas NFT di masyarakat tentu tidak selamanya menghasilkan hal yang berdampak positif. NFT dalam praktiknya juga digunakan untuk hal-hal yang negatif dan cenderung melanggar hukum.

Pasca viralnya NFT akibat fenomena Ghozali, NFT kemudian menjadi populer di masyarakat dan salah satu dampaknya adalah dampak negative berupa orientasi pelanggaran hukum. Salah satu yang viral dari penyalahgunaan NFT adalah adanya fenomena jual beli KTP, yang mana KTP merupakan data pribadi dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan hukum tertentu [26]. Jika orientasi NFT adalah untuk memperjualbelikan karya maka sejatinya KTP tidak dapat diperjualbelikan karena KTP bukanlah karya dan tidak memiliki kualifikasi sebagai hak cipta. Hal ini diperparah dengan adanya problematika hukum mengenai NFT yaitu terbagi menjadi dua aspek: pertama, adanya kekosongan hukum pengaturan spesifik mengenai NFT. Hal ini membuat NFT yang merupakan pasar digital justru digunakan oleh segelintir “oknum” untuk melakukan transaksi gelap termasuk pelanggaran hukum melalui jual beli foto KPT yang sejatinya merupakan data pribadi [27]. Hal ini disebabkan oleh kurangnya responsivitas pemerintah terkait perkembangan NFT yang seyogyanya saat NFT mulai berkembang di tahun 2021, pemerintah menyiapkan instrumen hukum serta kebijakan tertentu untuk mengantisipasi adanya NFT.

Kedua, kurangnya kesadaran masyarakat mengenai pasar digital dan berbagai konsekuensinya [28]. Hal ini sejatinya menjadi problematika umum masyarakat Indonesia yang belum beradaptasi dengan baik dengan berbagai hal yang berkaitan dengan digitalisasi. Hal ini dapat dilihat dari realitas digital masyarakat Indonesia di media sosial, yang mana sebagai negara yang terkenal dengan kesantunannya yang tinggi khas kultur masyarakat ketimuran, Indonesia justru terkenal “bar-bar” di dunia maya [29]. Hal ini sejatinya sejalan dengan fenomena NFT yang mana NFT diorientasikan sebagai ruang dan pasar untuk mengoptimalkan berbagai potensi untuk meraih keuntungan. Sebagai ruang, NFT bisa dioptimalkan sebagai sarana dan ruang untuk mengasah kreativitas masyarakat, khususnya generasi milenial untuk berkarya melalui konten digital di NFT. Sebagai pasar, tentu karya-karya terbaik dan kreatif dapat dijadikan sebagai sarana untuk meraih keuntungan. Akan tetapi, kurangnya kesadaran masyarakat dan sosialisasi dari pemerintah ini lah yang kemudian membuat NFT justru disalahpahami sebagai “pasar gelap” yang bahkan digunakan tempat untuk membocorkan data pribadi yang seyogyanya hal tersebut merupakan pelanggaran hukum.

Fenomena perkembangan NFT tersebut sejatinya menarik dilihat dari aspek hukum progresif yang mana salah satu karakter utama hukum progresif adalah pro pada kemajuan zaman dan pro terhadap kemanfaatan bagi manusia [30]. Dalam kaitannya dengan perkembanga teknologi, hukum progresif sejatinya memiliki tiga kredo yang harus dijadikan penuntun dan panduan bagi hukum untuk memfasilitasi perkembangan teknologi, yaitu: pertama, dalam konteks perkembangan teknologi hukum progresif menempatkan hukum sebagai “skema sementara” yang terbuka untuk direvisi dan diubah untuk kemaslahatan manusia [31]. Dalam konteks NFT, maka berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan yang belum mengatur NFT seyogyanya perlu direvisi untuk kemudian memberikan pengaturan mengenai NFT. Hal ini bertujuan selain untuk menjamin kepastian hukum di masyarakat sekaligus sebagai sarana untuk melindungi masyarakat dari potensi pelanggaran hukum yang dilakukan dengan sarana NFT. Kedua, hukum progresif dalam kaitannya dengan perkembangan teknologi menekankan pentingnya dimensi kemanusiaan supaya hukum hadir sebagai produk kemanusiaan yang membingkai perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi apa pun jenisnya harus dipandang sebagai perkembangan yang secara logis linier bertumpu pada logika empirik yang nir nilai serta nilai kemanusiaan. Padahal, teknologi harus dimaknai sebagai “alat” yang artinya teknologi harus dimanfaatkan tapi jangan lupa untuk dikendalikan. Jiwa dan nurani kemanusiaan yang yang seharusnya menjadi sarana untuk mengendalikan perkembangan teknologi supaya berguna dan mendatangkan manfaat bagi manusia [32].

Ketiga, hukum progresif menekankan bahwa setiap perkembangan yang berkaitan dengan manusia harus dilihat secara holistik-komprehensif [33]. Dalam hal ini, termasuk perkembangan teknologi harus dilihat secara holistik-komprehensif yang dilihat dari berbagai aspek serta sektor termasuk juga dampaknya. Hal ini untuk memastikan supaya perkembangan teknologi tidak menjadi “bola liar” yang mengarahkan masyarakat pada hal-hal yang tidak baik bahkan bertendensi melakukan suatu perbuatan yang melanggar hukum. Dalam konteks NFT, hadirnya beberapa perilaku menyimpang yang menggunakan NFT sebagai sarana untuk melakukan pelanggaran hukum harus menjadi salah satu orientasi dari pemerintah, khususnya melalui berbagai kebijakan untuk dapat mengarahkan NFT sebagai ruang dan pasar untuk mewujudkan kemaslahatan masyarakat.

Berdasarkan tiga orientasi hukum progresif terhadap perkembangan teknologi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum progresif menuntut supaya berbagai peraturan perundang-undangan yang ada direvisi sekaligus membuat peraturan khusus mengenai NFT untuk meminimalisasi dampak negative dari NFT. Lebih lanjut, hukum progresif juga menekankan bahwa perkembangan teknologi, termasuk NFT tidak boleh menenggelamkan masyarakat dalam sikap-sikap yang negatif, khususnya yang bertendensi untuk melakukan pelanggaran hukum demi mendapatkan keuntungan. Hukum progresif menegaskan bahwa nurani kemanusiaan sejatinya harus dijadikan prioritas untuk menuntun praktik NFT. Hukum progresif sekaligus juga menegaskan bahwa memahami perkembangan NFT harus secara holsitik dan komprehensif tentunya dengan berbagai aspek dan faktor yang perlu diperhatikan khususnya dalam mengantisipasi dampak negatif dari NFT. Hal ini termasuk juga meneguhkan bahwa solusi dalam menghadapi NFT tidak berhenti pada solusi hukum saja, tetapi dapat bergulir secara komprehensif dengan melibatkan berbagai solusi di masing-masing sektor untuk mencegah maupun menanggulangi dampak negatif dari NFT.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Non-Fungible Token (NFT) dalam perspektif hukum progresif sejatinya merupakan keniscayaan karena perkembangan teknologi adalah hal yang lumrah dalam realitas kemasyarakatan. Dalam konteks ini, hukum progresif memiliki orientasi supaya NFT dapat memberikan manfaat di masyarakat sekaligus mengantisipasi dan menindak dampak negatif dari NFT khususnya yang berkaitan dengan pelanggaran hukum. Hukum progresif menghendaki supaya “kemaslahatan masyarakat” menjadi hukum tertinggi supaya NFT benar-benar memiliki dimensi kemanfaatan di masyarakat. Oleh karena itu, berbagai kebijakan serta mekanisme jaminan kepastian dan perlindungan hukum oleh pemerintah diperlukan untuk melindungi masyarakat dari dampak negatif dari NFT.

Implementasi Hukum Progresif dalam Melindungi Pencipta Karya Non-Fungible Token (NFT)

Gagasan hukum progresif sejatinya menegaskan orientasi untuk melakukan pembaruan hukum dalam menghadapi perkembangan zaman, salah satunya perkembangan teknologi [34]. Sebagai salah satu orientasi hukum progresif, pembaruan hukum merupakan hal yang niscaya untuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum [35]. Perlindungan hukum merupakan salah satu aspek penting karena berkaitan dengan hak setiap warga negara. Hak merupakan salah satu hal penting yang wajib diperhatikan dalam hukum karena salah satu fungsi dari hukum adalah memberikan perlindungan atas hak [36]. Hak hukum yang wajib dilindungi dalam menghadapi perkembangan teknologi digital salah satunya adalah hak kekayaan intelektual yang ada dalam NFT [37]. NFT sebagai pasar digital sejatinya menampilkan berbagai produk karya intelektual berbasis digital seperti musik, video, foto, gambar, maupun kombinasi diantaranya. Salah satu aspek penting dari NFT adalah bahwa karya tersebut dapat diperjualbelikan dan berorientasi pada keuntungan.

Fenomena Ghozali sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya sejatinya menjadi contoh nyata dari dimensi ekonomis dari NFT. UU Hak Cipta sejatinya secara umum telah memberikan konstruksi bahwa ciptaan yang mendapatkan jaminan hak cipta berdimensi luas yang meliputi setiap karya ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang diekspresikan dalam bentuk nyata [38]. Bentuk nyata ini secara interpretasi ektensif harus dimaknai sebagai manifestasi dari ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang diekspresikan dan dapat diindra. Hakikat nyata adalah dapat dinikmati oleh panca indra sehingga hal ini telah mengakomodasi aspek digital yang secara harfiah bukanlah bentuk nyata namun dapat diindra. Sejatinya, aspek digital yang kemudian identik dengan dunia maya bukanlah lawan dari dunia nyata. Dimensi digital adalah “bentuk lain” dari dunia nyata. Karena itu, interpretasi ekstensif atas “bentuk nyata” adalah segala bentuk ekspresi ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dapat diindra. Jika mengacu pada NFT, sejatinya beberapa produk karya dalam NFT sekalipun berbentuk digital seperti foto, gambar, video, dan sebagainya secara interpretasi ekstensif juga termasuk objek perlindungan hak cipta. Oleh sebab itu, seyogyanya terdapat dua orientasi mengenai UU Hak Cipta yaitu merevisi UU Hak Cipta dengan menambahkan beberapa ketentuan norma mengenai perkembangan digitalisasi serta mengatur lebih lanjut perkembangan digital beserta upaya perlindungan hukumnya melalui peraturan di bawah UU Hak Cipta.

Dari aspek interpretasi futuristik, UU Hak Cipta sejatinya memiliki aspek kelonggaran untuk mengatur pendaftaran hak cipta secara administratif melalui pembentukan peraturan di bawah UU Hak Cipta [39]. Hal ini berarti, UU Hak Cipta sejatinya telah mengantisipasi dengan memberikan pengaturan pencatatan hak cipta untuk diatur dalam peraturan di bawah UU Hak Cipta. Dalam hal ini, Pasal 73 UU Hak Cipta sejatinya secara tegas dan jelas menegaskan bahwa pendaftaran mengenai ciptaan diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah. Pengaturan pendaftaran ciptaan melalui Peraturan Pemerintah ini dapat dimaknai sebagai orientasi hukum progresif dalam UU Hak Cipta khususnya dalam aspek, pertama, pengaturan pencatatan ciptaan melalui Peraturan Pemerintah dianggap lebih futuristik dan fleksibel karena ketentuan mengenai ciptaan dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, salah satunya adalah adanya NFT. Hal ini meneguhkan orientasi hukum progresif bahwa hukum harus selalu berubah dan berkarakter korektif apabila tidak sesuai dengan perkembangan zaman [40]. Kedua, pengaturan mengenai pencatatan ciptaan melalui Peraturan Pemerintah sejatinya lebih mudah diubah dibandingkan dengan diatur melalui UU Hak Cipta. Peraturan Pemerintah yang kewenangan pembentukannya oleh Presiden sebagai kepala pemerintahan dianggap lebih mudah dalam proses pembuatan, revisi, hingga pencabutannya. Hal ini dianggap lebih mudah dan fleksibel dalam menghadapi tuntutan perkembangan zaman. Dalam dimensi hukum progresif, pengaturan ini menegaskan dimensi “hukum untuk manusia” karena orientasi dari hukum dalam hal ini adalah UU Hak Cipta adalah untuk memfasilitasi ciptaan yang sejatinya dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman [41].

Lebih lanjut, karakteristik utama dari hak cipta adalah dimensi moral dan ekonomisnya [42]. Dalam konteks karya di NFT, karya-karya baik berupa gambar, foto, video, dan sebagainya juga memiliki nilai moral dan nilai ekonomis. Nilai moral adalah bentuk pengakuan atas karya seseorang di NFT sedangkan nilai ekonomis adalah harga karya di NFT yang dapat diperjualbelikan. Dalam konteks ini, maka perlindungan hukum bagi pencipta karya di NFT telah memenuhi kualifikasi sebagaimana perlindungan hukum dalam UU Hak Cipta. Selain mendasarkan pengaturan dalam UU Hak Cipta, praktik NFT juga mendapatkan pengaturan dalam PP Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Ketentuan PP Perdagangan Melalui Sistem Elektronik perlu mendapatkan perhatian ketika melakukan transaksi berkaitan dengan NFT. Hal ini sebagaimana ditegaskan sebelumnya bahwa sekalipun memiliki berbagai dampak positif, NFT juga memiliki dampak negatif yang seyogyanya perlu mendapatkan pengaturan dari pemerintah. Lebih lanjut, praktik NFT memiliki karakter unik salah satunya adalah pembayarannya yang melalui uang kripto. Mengenai hal ini, Permendag Perdagangan Aset Kripto sejatinya telah menegaskan bahwa dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang ditetapkan dan diatur oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi. Hal ini sejatinya mengindikasikan bahwa uang kripto dapat dijadikan sebagai alat pembayaran dalam bidang tertentu. Permasalahan hukum di NFT adalah bahwa pembayaran yang menggunakan uang kripto di NFT belum mendapatkan pengaturan melalui peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hal ini sejatinya menimbulkan kekosongan hukum yang tidak memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat yang melakukan jual beli NFT. Hal ini karena transaksi jual beli di Indonesia hanya diperkenankan melalui mata uang yang sah dan berlaku.

Permasalahan hukum mengenai kekosongan hukum NFT sejatinya terdapat dua aspek, yaitu aspek kebijakan hukum pendaftaran dan pencatatan hak cipta NFT sebagaimana dalam ketentuan UU Hak Cipta dan kekosongan hukum mengenai pengaturan penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT. Menurut hemat penulis, kedua substansi kekosongan hukum di atas dapat diatur melalui instrumen Peraturan Pemerintah. Hal ini penulis dasarkan pada ketentuan Pasal 73 UU Hak Cipta yang mengatur mengenai kebijakan pencatatan dan pendaftaran suatu ciptaan yang harus melalui Peraturan Pemerintah. Selain itu, mengenai uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT juga secara pokok dapat diatur secara bersamaan dalam Peraturan Pemerintah yang membahas mengenai pencatatan dan pendaftaran suatu ciptaan. Meskipun nantinya, produk hukum berupa Peraturan Pemerintah harus mendapatkan tindak lanjut peraturan di bawahnya [43]. Tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kebijakan hukum pendaftaran dan pencatatan hak cipta NFT serta pengaturan penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT dapat ditindaklanjuti dengan dua peraturan di bawah Peraturan Pemerintah, yaitu: Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berfokus menjelaskan teknis pendaftaran hak cipta NFT serta Peraturan Menteri Perdagangan yang berfokus memberikan penjelasan dan pengaturan teknis atas penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT beserta berbagai mekanisme teknisnya.

Berdasarkan uraian di atas, implementasi hukum progresif dalam melindungi pencipta karya Non-Fungible Token (NFT) dapat dilakukan dengan mengoptimalkan orientasi hukum progresif yang menekankan bahwa hukum progresif merupakan hukum dalam arti menjadi yang berarti hukum dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman sekaligus hukum harus memfasilitasi praktik perkembangan teknologi yang ada. Dalam perkembangan NFT, adanya kekosongan hukum terkait perlindungan hukum mengenai pendaftaran ciptaan karya NFT sekaligus kekosongan pengaturan penggunaan uang kripto sebagai alay pembayaran. Berdasarkan optik hukum progresif, kekosongan hukum tersebut dapat diatasi dengan Peraturan Pemerintah yang membahas mengenai pencatatan dan pendaftaran suatu ciptaan. Peraturan Pemerintah yang dibentuk harus mendapatkan tindak lanjut peraturan di bawahnya. Tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kebijakan hukum pendaftaran dan pencatatan hak cipta NFT serta pengaturan penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT dapat ditindaklanjuti dengan dua peraturan di bawah Peraturan Pemerintah, yaitu: Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berfokus menjelaskan teknis pendaftaran hak cipta NFT serta Peraturan Menteri Perdagangan yang berfokus memberikan penjelasan dan pengaturan teknis atas penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT beserta berbagai mekanisme teknisnya.

Simpulan

Implementasi hukum progresif dalam melindungi pencipta karya Non-Fungible Token (NFT) dapat dilakukan dengan mengoptimalkan orientasi hukum progresif yang menekankan bahwa hukum progresif merupakan hukum dalam arti menjadi yang berarti hukum dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman sekaligus hukum harus memfasilitasi praktik perkembangan teknologi yang ada. Pada perkembangan NFT, adanya kekosongan hukum terkait perlindungan hukum mengenai pendaftaran ciptaan karya NFT sekaligus kekosongan pengaturan penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran. Berdasarkan optik hukum progresif, kekosongan hukum tersebut dapat diatasi dengan Peraturan Pemerintah yang membahas mengenai pencatatan dan pendaftaran suatu ciptaan. Peraturan Pemerintah yang dibentuk harus mendapatkan tindak lanjut peraturan di bawahnya. Tindak lanjut dari Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai kebijakan hukum pendaftaran dan pencatatan hak cipta NFT serta pengaturan penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT dapat ditindaklanjuti dengan dua peraturan di bawah Peraturan Pemerintah, yaitu: Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berfokus menjelaskan teknis pendaftaran hak cipta NFT serta Peraturan Menteri Perdagangan yang berfokus memberikan penjelasan dan pengaturan teknis atas penggunaan uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah dalam jual beli NFT beserta berbagai mekanisme teknisnya.

References

  1. J. Abbas, J. Aman, M. Nurunnabi, and S. Bano, “The impact of social media on learning behavior for sustainable education: Evidence of students from selected universities in Pakistan,” Sustain., vol. 11, no. 6, pp. 1–23, 2019, doi: 10.3390/su11061683.
  2. K. Siti and Y. Nurizzati, “Dampak Penggunaan Teknologi Informasi Dan Komunikasi Terhadap Perilaku Sosial Siswa Di Man 2 Kuningan,” Edueksos J. Pendidik. Sos. Ekon., vol. 7, no. 2, pp. 161–176, 2018, doi: 10.24235/edueksos.v7i2.3370.
  3. J. Lee, T. Suh, D. Roy, and M. Baucus, “Emerging technology and business model innovation: The case of artificial intelligence,” J. Open Innov. Technol. Mark. Complex., vol. 5, no. 3, 2019, doi: 10.3390/joitmc5030044.
  4. H. Matnuh, “Law as a Tool of Social Engineering,” in 1st International Conference on Social Sciences Education "Multicultural, 2018, vol. 147, no. Icsse 2017, pp. 118–120, doi: 10.2991/icsse-17.2018.28.
  5. A. P. Pebri Tuwanto, Kholis Roisah, “Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) terhadap Invensi di Ruang Angkasa,” Doponegoro Law J., vol. 5, no. 3, pp. 1–19, 2016.
  6. C. K. Theresia Anita Christiani, “The Weaknesses Of Alternative Institutions For Dispute Resolution In Financial Services Sector,” Int. J. Law Recontruction, vol. 5, no. 2, p. 201, 2021.
  7. Z. A. Rizky Syahputra, Doddy Kridasaksana, “Perlindungan Hukum Bagi Musisi Atas Hak Cipta Dalam Pembayaran Royalti,” Semarang Law Rev., vol. 3, no. 2022, pp. 84–97, 2022.
  8. S. A. Apostu, M. Panait, L. Vasa, C. Mihaescu, and Z. Dobrowolski, “NFTs and Cryptocurrencies—The Metamorphosis of the Economy under the Sign of Blockchain: A Time Series Approach,” Mathematics, vol. 10, no. 17, 2022, doi: 10.3390/math10173218.
  9. Z. Hardiansyah, “Ingin Seperti Ghozali Everyday? Berikut Cara Membuat NFT di OpenSea.” tekno.kompas.com, 2022.
  10. S. Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2010.
  11. M. U. Noor, “NFT (Non-Fungible Token): Masa Depan Arsip Digital? Atau Hanya Sekedar Buble?,” Pustakaloka, vol. 13, no. 2, p. 225, 2021.
  12. K. Y. N. Vinanda Prameswati, Nabillah Atika Sari, “Data Pribadi Sebagai Objek Transaksi di NFT pada Platform Opensea,” J. Civ. Huk., vol. 7, no. 1, p. 3, 2022.
  13. A. K. K. Dewi Sulistianingsih, “Hak Karya Cipta Non-Fungible Token (NFT) Dalam Sudut Pandang Hukum Hak Kekayaan Intelektual,” KRTHA BHAYANGKARA, vol. 16, no. 1, p. 199, 2022.
  14. E. M. Al Amaren, A. M. A. Hamad, O. F. Al Mashhour, and M. I. Al Mashni, “An introduction to the legal research method: To clear the blurred image on how students understand the method of the legal science research,” Int. J. Multidiscip. Sci. Adv. Technol., vol. 1, no. 9, pp. 50–55, 2020.
  15. L. Ante, “The non-fungible token (NFT) market and its relationship with Bitcoin and Ethereum,” SSRN Electron. J., vol. 1, no. 1, pp. 216–224, 2021, doi: 10.2139/ssrn.3861106.
  16. H. Bao and D. Roubaud, “Non-Fungible Token: A Systematic Review and Research Agenda,” J. Risk Financ. Manag., vol. 15, no. 5, 2022, doi: 10.3390/jrfm15050215.
  17. D. P. A. D. Rafli, “NFT Become a Copyright Solution,” Paulus Law J., vol. 1, no. 2, p. 45, 2022, doi: 10.51342/plj.v1i1.42.
  18. N. R. Febriandika, F. Fadli, and D. A. Mi’raj, “How are NFT (Non-Fungible Token) transactions reviewed according to Islamic law?,” Borobudur Law Rev., vol. 3, no. 1, pp. 1–12, 2022.
  19. D. S. Bloch, “Non-fungible tokens: A solution to the challenges of using blockchain bills of lading in the international sales of goods,” J. Law, Mark. Innov., vol. 1, no. 1, pp. 44–65, 2022.
  20. A. D. Sitompul, “Imposition of Tax Law on Cryptocurrencies and NFT in Indonesia,” Pancasila Law Rev., vol. 3, no. 1, pp. 43–54, 2022.
  21. W. Hadiwardoyo, “Kerugian Ekonomi Nasional Akibat Pandemi Covid-19,” Baskara J. Bus. Enterpreneursh., vol. 2, no. 2, pp. 83–92, 2020, doi: 10.24853/baskara.2.2.83-92.
  22. L. Maulida, “Melihat Perkembangan NFT di Indonesia, dari Awal Mula hingga Muncul ‘Ghozali Effect.’” tekno.kompas.com, 2022.
  23. R. Naidoo, “Building a critical mass of users for digital healthcare promotion programs: A teaching case,” J. Cases Inf. Technol., vol. 22, no. 4, pp. 44–59, 2020, doi: 10.4018/JCIT.2020100103.
  24. R. D. Yogaswara, “Artificial Intelligence Sebagai Penggerak Industri 4.0 Dan Tantangannya Bagi Sektor Pemerintah dan Swasra,” Masy. Telemat. dan Inf., vol. 10, no. 1, pp. 67–72, 2019.
  25. F. Giannakas, A. Papasalouros, G. Kambourakis, and S. Gritzalis, “A comprehensive cybersecurity learning platform for elementary education,” Inf. Secur. J. A Glob. Perspect., vol. 28, no. 3, pp. 81–106, May 2019, doi: 10.1080/19393555.2019.1657527.
  26. A. Widiatno and G. Pratama, “Cyberporn Dalam Pasar Digital Non-Fungible Tokens: Prespektif Undang-Undang Informasi Transaksi Elektronik Dan Pornografi,” J. Justiciabelen, vol. 2, no. 2, p. 91, 2022, doi: 10.35194/jj.v2i2.2110.
  27. D. B. Gidete, M. Amirulloh, and T. S. Ramli, “Pelindungan Hukum atas Pelanggaran Hak Cipta pada Karya Seni yang dijadikan Karya Non Fungible Token (NFT) pada Era Ekonomi Digital,” J. Fundamantal Justice, vol. 3, no. 1, p. 4, 2022.
  28. H. Khanchel, “The Impact of Digital Transformation on Banking,” J. Bus. Adm. Res., vol. 8, no. 2, p. 20, 2019, doi: 10.5430/jbar.v8n2p20.
  29. M. F. Anshori, “Diplomasi Digital Sebagai Dampak Pandemi Global Covid-19: Studi Kasus Diplomasi Indonesia Di Perserikatan Bangsa-Bangsa (Pbb),” MANDALA J. Ilmu Hub. Int., vol. 3, no. 2, pp. 1–6, 2020.
  30. S. Sayuti, “Arah Kebijakan Pembentukan Hukum Kedepan (Pendekatan Teori Hukum Pembangunan, Teori Hukum Progresif, dan Teori Hukum Integratif),” Al Risal., vol. 13, no. 2, pp. 11–22, 2018.
  31. Suteki, “Hukum Progresif: Hukum Berdimensi Transendental dalam Konteks Keindonesiaan.” publikasiilmiah.ums.ac.id, pp. 3–5, 2018.
  32. N. R. Wildan Nafis, “Hukum Progresif dan Relevansinya Pada Penalaran Hukum di Indonesia,” El Ahli J. Huk. Kel. Islam, vol. 1, no. 2, pp. 1–16, 2020.
  33. M. Harun, “Philosophical Study of Hans Kelsen ’ s Thoughts on Law and Satjipto Rahardjo ’ s Ideas on Progressive Law,” Walisongo Law Rev., vol. 1, no. 2, pp. 195–220, 2019, doi: 10.21580/Walrev/2019.1.2.4815.
  34. A. Y. Sulistyawan, “Urgensi Harmonisasi Hukum Nasional Terhadap Perkembangan Hukum Global Akibat Globalisasi,” Huk. Progresif, vol. 7, no. 2, p. 174, 2019.
  35. A. Hidayat and Z. Arifin, “Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia,” J. Ius Const., vol. 4, no. 2, pp. 147–159, 2019, doi: 10.26623/jic.v4i2.1654.
  36. G. Duke, “Law’s Normative Point,” Law Philos., vol. 38, no. 1, pp. 1–27, Feb. 2019, doi: 10.1007/s10982-018-9334-8.
  37. K. R. Purnama Hadi Kusuma, “Perlindungan Ekspresi Budaya Tradisional dan Indikasi Geografis: Suatu Kekayaan Intelektual Dengan Kepemilikan Komunal,” Pembang. Huk. Indones., vol. 4, no. 1, p. 110, 2022.
  38. R. B. B. Perangin-angin, R. Nababan, and P. G. Siahaan, “Perlindungan Pengetahuan Tradisional sebagai Hak Konstitusional di Indonesia,” J. Konstitusi, vol. 17, no. 1, p. 178, 2020, doi: 10.31078/jk1718.
  39. The Institute Of Company Secretaries Of India, Jurisprudence, Interpretation And General Laws. New Delhi: The Institute Of Company Secretaries Of India, 2018.
  40. M. L. Setiaji and A. Ibrahim, “Kajian Hak Asasi Manusia Dalam Negara the Rule of Law : Antara Hukum Progresif Dan Hukum Positif,” Lex Sci. Law Rev., vol. 2, no. 2, pp. 123–138, 2018, doi: 10.15294/lesrev.v2i2.27580.
  41. A. F. Susanto, Filsafat dan Teori Hukum Dinamika Tafsir Pemikiran Hukum di Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group, 2019.
  42. I Kadek Sukadana, G. Ayu, and P. Nia, “Perlindungan Hak Cipta Terhadap Ekspresi Budaya Tradisional Geguritan Bali Di Indonesia,” J. Media Komun., vol. 3, no. 2, pp. 108–120, 2021.
  43. B. D. Anggono, “Tertib Jenis, Hierarki, Dan Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan: Permasalahan Dan Solusinya,” Masal. Huk., vol. 47, no. 1, pp. 1–2, 2018.