International Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.784

Law Versus Humanity: Problems of the Non Refoulement Principle Regarding Refugees in Southeast Asia


Hukum Versus Kemanusiaan: Problematik Prinsip Non Refoulement Terkait Pengungsi di Asia Tenggara

Politeknik Imigrasi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia
Politeknik Imigrasi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia
Politeknik Imigrasi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia

(*) Corresponding Author

Humanity Refugees Non Refoulement Principle

Abstract

Legal issues related to refugees in Southeast Asia are influenced by the lack of regulations related to refugees in countries in Southeast Asia. This is related to the increasing number of refugees in Southeast Asia who are accepted by a country only based on humanitarian reasons. This study aims to examine the legal aspects related to the problem of refugees with the principle of non-refoulement related to refugees in Southeast Asia. This research is a normative legal research with a conceptual approach and legislation. The results of the study confirm that one of the legal aspects related to refugees in Southeast Asia is to strengthen regulations in each country in Southeast Asia. This includes also confirming the existence of the principle of non-refoulement by ratifying and becoming a party to the 1951 Convention and 1967 Protocol as an effort to provide legal certainty in implementing legal policies related to refugees. In addition, the role of the ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) plays an important role in providing welfare and protection for refugees from violence and discrimination. This is mainly by optimizing the involvement of ASEAN countries in providing direct assistance with the distribution of food, clothing and a decent living regardless of matters relating to citizenship. This is intended so that ASEAN countries' acceptance of refugees for humanitarian reasons is also limited and guided by legal products that guarantee legal certainty as well as the implementation of the principle of non-refoulement.

Pendahuluan

Permasalahan terkait mobilitas penduduk dunia senantiasa menjadi isu kompleks pada era globalisasi modern. Salah satu unsur penting yang mendukung hal tersebut ialah polarisasi migrasi yang hadir sebagai upaya menyelesaikan sebuah persoalan yang terkait ekonomi, pendidikan, maupun situasi politik [1]. Migrasi secara umum dimaknai sebagai aktivitas manusia dalam melakukan mobilitas tanpa batasan jarak tertentu dalam implementasinya. Migrasi sendiri menjadi salah satu permasalahan sosial kemasyarakatan yang masyhur dibicarakan dan diakui oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai salah satu persoalan yang paling pelik untuk dihadapi. Hal ini sendiri didasari oleh mereka yang melakukan aktivitas migrasi bukan hanya mereka yang berkeadaan stabil dari segi dorongan migrasi, tetapi terdapat pula pengungsi yang motif migrasinya didasari oleh ketidakstabilan politik, ekonomi, dan situasi sosial dari wilayah asalnya. Persatuan Bangsa-Bangsa terus berupaya untuk mencari solusi bagi menghadirkan efektifivitas dan efisiensi dalam melaksanakan perlindungan sekaligus membantu pengungsi sebagai kelompok rentan dengan cara mengagendakan Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1967 yang membahas mengenai status pengungsi dari mata internasional [2].

Mengacu kepada latar belakangnya, pengungsi sendiri dibagi menjadi dua bagian, jenis latar belakang [3]. Pertama ialah mereka yang mengungsi diakibatkan oleh bencana alam. Kemudian, yang kedua ialah mereka yang memilih mengungsi dikarenakan menghadapi kendala berupa konflik maupun kekerasan dari negaranya sendiri. Motif pengungsi yang ini sendiri biasanya dilatarbelakangi oleh tindakan represif yang dilakukan negaranya termasuk upaya genosida, persekusi, dan perang terbuka. Pengungsi yang dilatarbelakangi oleh konflik politik sendiri cenderung tidak akan mendapatkan perlindungan dari negara asal mereka, contoh nyata dari problematika ini sendiri ialah kasus pengungsi Rohingnya [4]. Konsep perlindungan terhadap pengungsi sendiri secara umum dipahami sebagai tanggung jawab dari seluruh negara.

Namun demikian, setiap negara yang meratifikasi Konvensi 1951 memiliki tanggung jawab yang jauh lebih besar dalam upaya melakukan penanganan dan perlindungan terhadap pengungsi [5]. Indonesia sendiri sebagai negara berdaulat tikak meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi maupun Konvensi 1965 terkait protokol pengungsi. Hal ini berdampak pada tidak adanya keterikatan antara Indonesia dan para pengungsi baik dari segi kebijakan maupun upaya penanganan. Meskipun demikian, sebagai bangsa berdaulat yang berlandas pada kesetaraan hak asasi manusia bagi seluruh manusia, Indonesia tetap melaksanakan upaya penanganan pengungsi atas dasar maklumat kemanusiaan. Sayangnya, semakin lama jumlah pengungsi di Indonesia semakin bertambah dan berimbas pada berbagai permasalahan yang muncul dalam upaya penanganan tersebut. Salah satu bentuk dari permaslaahan yang dihadapi ialah ketika menangani pengungsi Rohingnya asal Myanmar.

Pembantaian etnis Rohingnya pada awal 2016 menjadi serangan kejut bagi dunia internasional terutama regional Asia Tenggara sebagai lokasi terdekat. Masyhurnya perkembangan teknologi dunia yang diiringi dengan kebebasan pers dalam menyuarakan pendapat dan pemberitaan membuat problematika yang terjadi semakin mudah untuk terendus. Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia ini terjadi pada wilayah Rakhine yang berbatasan dengan negara Bangladesh serta India. Pelanggaran HAM yang dilakukan sendiri menjurus kearah genosida dan berimbas pada eksodus masal etnis Rohingnya menuju negara-negara sekitar Myanmar layaknya Malaysia, Indonesia, dan Thailand. Berdasarkan data dari United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), terdapat sekitar 150.000 etnis Rohingnya yang telah melakukan eksodus [6]. Genosida terhadap etnis Rohingnya sendiri dilatarbelakangi oleh munculnya gerakan eliminasi etnis Rohingnya yang bertujuan melakukan penghapusan terhadap keberadaan etnis Rohingnya di wilayah asal mereka Rakhine. Gerakan ini sendiri membuat puluhan ribu etnis Rohingnya harus kehilangan tempat tinggal dan terpaksa untuk hidup dibawah bayang-bayang kamp konsentrasi.

Peristiwa strategis yang menimpa etnis Rohingnya telah mengunggah rasa kemanusiaan, langkah represif yang ditempuh oleh pemerintah Myanmar menjadi perhatian dunia, bahkan hingga saat ini. Pemerintah Myanmar sendiri memilih untuk tidak mengakui setiap etnis Rohingnya yang tinggal di wilayah mereka sebagai warga negara mereka. Pemerintah Myanmar juga berlaku diskriminatif yang menjadi landasan utama eksodus masal yang dilakukan oleh etnis Rohingnya [7]. Selain itu, rangkaian aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) skala berat yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar diantaranya ialah pengerusakan, pemusnahan rumah ibadah, genosida masal secara struktur yang semakin menekan posisi etnis Rohingnya. Peristiwa ini pada dasarnya mendapatkan sorotan besar, termasuk dari negara-negara Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) yang merupakan tetangga Myanmar yang turut mendapatkan imbas dari peristiwa yang terjadi. ASEAN sebagai komunitas regional sendiri dapat mengambil langkah tegas dan efektif guna memecah persoalan yang telah berlarut-larut ini.

Asia Tenggara sendiri merupakan kawasan regional yang memiliki pengaruh besar dalam upaya penyelesaian isu global. Asia Tenggara dianggap cukup strategis mengingat posisinya yang berada pada wilayah perlintasan jalur dagang dunia. Kawasan regional ini sendiri turut menjadi kawasan transit dari tingginya arus pengungsi dunia hingga akhirnya tiba di negara tujuan layaknya Australia dan Amerika Serikat. Namun demikian, situasi geopolitik regional Asia Tenggara sendiri memandang isu pengungsi melalui perspektif stabilitas keamanan wilayah. Penanganan pengungsi sendiri dipengaruhi oleh geopolitik internasional. Dunia diplomatik internasional sendiri terus mengalami perubahan yang cukup masif dalam setiap diskursusnya. Pasca perang dingin selesai, pola diplomasi setiap negara di dunia sendiri berubah, yang awalnya bersifat bipolar dan kemudian beralih ke arah multipolar. Dewasa ini, setiap kawasan regional dunia terus bersaing antara satu dan lainnya, di mana setiap kawasan memiliki sisi kekuatan dan kerugian yang berbeda dengan kawasan lainnya. Hal tersebut berimbas pada upaya kerjasama demi memperoleh kebutuhan yang kawasan mereka inginkan.

Dalam hal ini, pengungsi kerap dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan dapat menimbulkan kerugian sosial ekonomi dan keamanan bagi negara tuan rumah, seperti meningkatkan- pengeluaran pemerintah dan menimbulkan ancaman bagi masyarakat. Melihat hal tersebut maka Indonesia wajib memainkan peran diplomasi serta penyesuaian terhadap berbagai macam permasalahan pengungsi terutama yang beredar di wilayah Asia Tenggara. Hal ini menjadi problematis jika melihat aspek kemanusiaan dan sekuritasasi. Disinilah peran sinergi antar negara Asia Tenggara sangat dibutuhkan dalam menyelesaikan isu sentral terkait pengungsi di Asia Tenggara. Faktanya, kawasan regional Asia Tenggara menempati posisi ketiga sebagai wilayah terbanyakan dalam menampung pengungsi, terutama mereka yang dikategorikan sebagai pengungsi jangka panjang [7]. Pengungsi jangka panjang sendiri dapat dipahami sebagai pengungsi yang diestimasikan memiliki waktu tinggal yang cukup lama sebagai dampak dari situasi tidak menentu di negara asalnya. Meskipun menempati posisi ketiga dalam menampung pengungsi, hanya terdapat tiga negara Asia Tenggara yang meratifikasi Kovensi 1951 terkait pengungsi, yaitu Filipina, Kamboja, dan Timor Leste [8].

Namun demikian, di sisi lain, ketiga negara tersebut hanya menampung kurang lebih 10 persen dari total pengungsi yang ada di Asia Tenggara, di mana 90 persen pengungsi di tampung di negara Indonesia, Malaysia, dan Thailand yang notabene tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 tersebut dan menjadi tempat transit utama bagi pengungsi di Asia Tenggara [8]. Selain itu, isu pengungsi di Asia Tenggara sendiri turut diselingi oleh minimnya regulasi terkait pengungsi pada negara-negara di Asia Tenggara. Hal ini berimbas pada pengklasifikasian pengungsi sebagai migran tidak resmi atau selaras dengan para pekerja ilegal dan korban penyelundupan. Namun demikian, permasalahan tersebut tertutupi melalui dalih kemanusiaan dan bahkan dimanfaatkan sebagai sraana diplomasi demi menggalang kekuatan politik.

Problem-nya, permasalahan pengungsi yang seringkali menyepelekan aspek hukum dan lebih meninggikan aspek kemanusiaan seringkali menjadi sarana politis dan syarat akan terjadinya tindak pidana penyelundupan manusia dan perdagangan orang. Disinilah permasalahan pengungsi wajib di selesaikan dengan baik dan perlu adanya regulasi yang jelas yang telah disepakati oleh masing-masing negara khususnya permasalahan pengungsi di wilayah Asia Tenggara. Hal inilah yang perlu didalami, melalui penelitian ini, diharapkan dapat menjadi refrensi yang konkrit terkait sumber literatur penyelesaian permasalahan pengungsi terkhusus di wilayah Asia Tenggara.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode penelitian kepustakaan atau normatif empiris dan metode penelitian yuridis. Metode penelitian hukum normatif merupakan metode penelitian yang digunakan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada [9]. Sedangkan metode penelitian yuridis yaitu metode yang memakai sumber-sumber data sekunder, yaitu peraturan perundang-undangan, konsepsi-konsepsi hukum, dan pendapat-pendapat para sarjana atau ahli hukum terkemuka, yang selanjutnya dianalisis serta dapat ditarik kesimpulan dari permasalahan yang akan digunakan untuk menguji dan mengkaji data sekunder tersebut.

Pembahasan

Kebijakan Hukum Pengungsi di Asia Tenggara : Implementasi Prinsip Non-Refoulement

Dekade ini, isu pengungsi menjadi salah satu isu yang sangat diperhatikan masyarakat internasional, hal ini terjadi mengingat relevansi antara isu pengungsi terhadap penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan terhadap pengungsi sendiri merupakan tanggung jawab bagi setiap negara yang ada. Konsep dari pengungsi sendiri pada dasarnya hadir sebagai wujud dari adanya rasa takut bagi para subjek pengungsi apabila harus tinggal di negara asal mereka yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, politik, maupun sosial budaya [10]. Faktor-faktor tersebut kemudian dapat dipilah menjadi permasalahan terhadap agama, etnis, maupun situasi politik yang tidak stabil. Hal ini berimbas pada ketidakinginan pengungsi untuk tetap tinggal di negara asal mereka dan memilih untuk mencari tempat yang mampu menghadirkan rasa aman bagi mereka, terutama rasa aman dalam penegakan Hak Asasi Manusia yang layak.

Dikaji dari segi geografis, Asia tenggara terletak pada wilayah yang begitu strategis. Asia tenggara terletak pada jalur lintas dagang laut dunia dan pelayaran utama bagi dunia internasional. Asia Tenggara sendiri merupakan wilayah regional ketiga di dunia setelah Eropa Barat dan Amerika Utara yang menampung pengungsi terbanyak. Meskipun demikian, tidak semua negara Asia Tenggara memiliki kewenangan resmi untuk menampung pengungsi. Hal ini terjadi mengingat dari sebelas negara yang terdapat di Asia Tenggara, hanya tiga negara saja yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 yaitu Filipina, Kamboja, dan Timor Leste. Meskipun demikian, sebagai upaya menegakkan hak asasi manusia, maka arus pengungsi yang berdatangan tidak dapat dicegat dan wajib hal nya dilindungi secara seksama. Hal ini dikarenakan setiap Negara di dunia patuh dalam prinsip non refoulment. Prinsip non refoulment ialah prinsip setiap negara yang tidak dibenarkan untuk mengusir pengungsi yang membutuhkan bantuan [11].

Prinsip ini, yang tercermin dalam berbagai badan hukum internasional, melindungi setiap orang agar tidak dipindahkan (dikembalikan, diusir, diekstradisi—istilah apa pun yang digunakan) dari satu otoritas ke otoritas lain ketika ada alasan kuat untuk meyakini bahwa orang tersebut akan berada dalam bahaya. mengalami pelanggaran hak-hak dasar tertentu. Prinsip ini memiliki banyak segi dan ruang lingkup serta penerapannya bervariasi dari konteks ke konteks sesuai dengan hukum yang berlaku. Prinsip non-refoulement mulanya dikenal sebagai kerangka perlindungan pengungsi yang melarang negara penerima untuk mengusir seseorang yang bersangkutan ke wilayah dimana ia akan mengalami kejahatan atau ketidakamanan [12]. Seiring dengan adanya perkembangan didalam hukum Hak Asasi Manusia Internasional, asas non-refoulement dijadikan metode pemenuh dan perlindungan hak-hak yang tidak diderogasi, salah satunya hak untuk bebas dari penyiksaan, perbuatan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan manusia [13]. Prinsip non refoulement sendiri merupakan bagian dari hukum internasional yang wajib ditaati setiap negara di dunia tanpa terkecuali. Hal ini dimaknai dengan prinsip ini mengikat seluruh negara di dunia baik yang meratifikasi Konvensi 1951 terkait pengungsi maupun tidak.

Prinsip non-refoulement paling sering disebut dalam konteks perlindungan pengungsi, mengingat kodifikasinya dalam Pasal 33 (Konvensi Pengungsi) dan dalam instrumen hukum pengungsi regional. Namun, selama beberapa dekade terakhir, prinsip tersebut juga telah dimasukkan dalam perjanjian hak asasi manusia, seperti (Pasal 3), (Pasal 16) dan dalam instrumen HAM regional [14]. Selain itu, telah mempertimbangkan bahwa non-refoulement merupakan komponen integral dari perlindungan terhadap penyiksaan atau bentuk lain dari perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, atau perampasan kehidupan secara sewenang-wenang. Menariknya, sudah pada tahun 1949, prinsip non-refoulement juga dimasukkan dalam , terutama berkaitan dengan pemindahan tahanan, tetapi juga untuk melindungi penduduk sipil. Pada intinya, prinsip non-refoulement dianggap sebagai bagian dari

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengekalkan prinsip non refoulement sebagai suatu bagian dari peremptory norm dalam hukum internasional yang merupakan sebuah prinsip dasar yang wajib diterima tanpa dikurangi pelaksanaannya dalam segala keadaan dan tidak dapat diubah sedikitpun [15]. Namun demikian, walaupun telah diterima, para pengungsi masih dihantui kendala dalam bentuk status yang tidak pasti dari UNHCR ditambah keterbatasan dari negara ketiga untuk menerima pengungsi yang membuat beberapa negara menjadi sasaran utama transit pengungsi. Hal ini merupakan dampak dari adanya akibat hukum peremptory norm. Dalam lingkup regional Asia Tenggara, proteksi terhadap pengungsi merupakan sebuah dogma hukum yang relatif baru. Dewasa ini, Asia Tenggara menghadapi cukup banyak tekanan dan dorongan untuk melakukan adopsi terhadap rangkaian nilai universal dari Hak Asasi Manusia terutama yang memiliki relevansi terhadap hak asasi manusia dari para pengungsi.

Prinsip non-refoulement berlaku terlepas dari apakah seseorang melarikan diri dari negara yang menikmati perdamaian atau negara yang terlibat dalam konflik bersenjata: jika ada alasan kuat untuk meyakini bahwa individu tersebut akan berada dalam bahaya menjadi sasaran pelanggaran hak-hak dasar tertentu, orang tersebut tidak dapat dikembalikan. Ini akan menjadi kasus, misalnya, untuk seorang pemimpin kelompok oposisi yang kemungkinan besar akan disiksa atau dieksekusi mati setelah kembali. Sementara prinsip non-refoulement secara tradisional dipahami sebagai perlindungan terhadap ancaman individual, prinsip ini juga dapat melindungi dari ancaman yang lebih situasional. Karena banyak konflik yang terjadi atas dasar agama, etnis atau politik, UNHCR bahwa warga sipil yang melarikan diri dari konflik bersenjata sering menghadapi penganiayaan atas salah satu alasan ini dan memenuhi syarat sebagai pengungsi. Instrumen regional, dan tidak mengikat secara hukum di dan , juga mengakui status pengungsi dan perlindungan bagi orang-orang yang melarikan diri dari konflik bersenjata atau situasi lain yang sangat mengganggu ketertiban umum. Selain itu, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa telah menemukan bahwa prinsip non-refoulement berlaku jika seseorang tidak ditargetkan secara individual, tetapi di mana ancamannya berasal dari 'kasus kekerasan umum yang paling ekstrem, di mana ada risiko nyata sakit -perlakuan [atau pelanggaran hak untuk hidup] hanya berdasarkan individu yang terkena kekerasan tersebut saat kembali'

Di bawah kebijakan hukum pengungsi, prinsip non-refoulement berlaku untuk pengungsi dan pencari suaka. Selain dilindungi dari refoulement, pengungsi berhak atas sejumlah hak lain yang diatur dalam undang-undang tersebut. Sebaliknya, perlindungan terhadap refoulement di bawah hukum hak asasi manusia berarti seseorang tidak dapat dikembalikan, tetapi tidak secara otomatis berarti bahwa orang tersebut harus diberikan status pengungsi dan diberikan semua hak yang menjadi hak pengungsi. Namun, dalam semua keadaan, suatu Negara harus menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia semua orang yang berada di bawah yurisdiksinya. Namun demikian, beberapa negara Asia Tenggara menyatakan diri mereka sebagai negara yang menjadi tempat transit non-imigran tentunya dengan berlandas kepada kedaulatan hak teritorial. Meskipun demikian, hadirnya organisasi regional yang berupa ASEAN melandasi rangkaian proses perlindungan pengungsi dilaksanakan dengan mengacu kepada hukum positif dan unilateral. Secara khusus, Ginsburg menyatakan bahwa negara-negara di Asia Tenggara dibangun atas dasar sovereignty-reinforcing regionalism[16]. Hal ini dicirikan dengan kondisi mayoritas negara Asia Tenggara yang menerima pengungsi dengan mengutamakan perspektif keamanan kawasan.

Pengungsi acap kali mendapatkan stigma negatif dalam bentuk mampu mengancam stabilitas keamanan nasional suatu negara layaknya konflik sosial maupun meningkatkan kriminalitas. Selain itu, pengungsi juga mampu mengancam keberlangsungan budaya suatu bangsa yang berelevansi terhadap isu agama, suku, dan etnis [3]. Kemudian, pengungsi juga dianggap menghadirkan beban ekonomi tambahan bagi negara bersangkutan. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa negara Asia Tenggara seperti Singapura tidak mau menerima kehadiran para pengungsi mengingat potensi kehadirannya dalam menghadirkan ketidakstabilan politik, sosial dan ekonomi. Sedangkan di sisi lain, para pengungsi mendapatkan stigma pelaku kriminal di negara Thailand dan justifikasi ancaman perpecahan etnis di Malaysia [6], meskipun kedua negara tersebut termasuk kedalam dua dari tiga negara yang menerima pengungsi dengan jumlah masif di Asia Tenggara selain Indonesia.

Sejak tahun 2015, Asia Tenggara harus berhadapan dengan salah satu permasalahan krisis pengungsi paling parah di dekade ini [4]. Ratusan ribu etnis Rohingnya yang menghadapi persekusi oleh pemerintah Myanmar melakukan eksodus besar-besaran dan memicu problematika pengungsi di regional Asia Tenggara. Sayangnya, ketidakmampuan ASEAN untuk bertindak cepat merupakan hal yang paling memalukan. ASEAN sendiri bertindak setelah mendapatkan tekanan luar biasa dari internasional untuk setuju menerima pengungsi Rohingnya dalam sementara waktu melalui pertemuan antara tiga negara yaitu Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Studi kasus dilakukan karena negara-negara tersebut tidak terikat oleh Konvensi Pengungsi 1951, tetapi dewasa ini semakin banyak upaya yang dilakukan untuk menyelaraskan kedaulatan dan norma perlindungan pengungsi dengan kepentingan nasional. Malaysia, Thailand, dan Indonesia adalah tiga negara transit pengungsi terkemuka yang melakukan upaya diplomatik imigran untuk melindungi pengungsi yang berdaulat melalui hukum domestik yang lebih canggih daripada negara lain di Asia Tenggara.

Studi kasus ini akan dilakukan untuk membuktikan bahwa kemauan politik bangsa yang didorong oleh kepentingan nasional masing-masing negara merupakan faktor dan sarana potensial dalam upaya perlindungan pengungsi di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara sendiri, hanya tiga negara yang mengidentifikasi diri mereka sebagai negara tuan rumah bagi para pengungsi. Filipina adalah negara pertama yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967-nya, termasuk Konvensi 1954 tentang Status Tanpa Kewarganegaraan. Filipina dikenal dengan sejarah panjang menerima pengungsi, terutama sejak krisis Indochina dan baru-baru ini Rohingya, dan hanya sebagian besar Filipina yang menyatakan kesediaannya untuk menerima pengungsi tersebut. Selain Filipina, Timor Leste dan Kamboja juga telah menandatangani Konvensi 1951, tetapi saat ini tidak menerima pengungsi sebanyak negara Asia Tenggara lainnya.

Dalam hal adanya konflik internal di Myanmar yang menyebabkan etnis Rohingya terdesak oleh negaranya sendiri, membuat Indonesia sebagai salah satu negara anggota ASEAN tidak bisa tinggal diam. ASEAN sendiri berupaya membangun citra positif terhadap pengakuan dunia dalam penanganan pengungsi. Hal ini dapat dilihat dari langkah pemerintah Indonesia yang mendirikan kamp pengungsi sementara untuk menampung pengungsi yang datang dari negara lain baik melalui jalur laut, darat, dan bahkan udara. Untuk jumlah pengungsi Rohingya sendiri saat ini terdapat sekitar 105 pengungsi dan ditempatkan di lokasi penampungan sementara yang ada di Lhokseumawe, Aceh [7]. Dalam hal penanganan pengungsi Myanmar, Indonesia juga sempat bekerja sama dengan Malaysia yaitu mengadakan reunifikasi atau penyatuan kembali keluarga pengungsi rohingya. Pada saat itu terdapat kurang lebih sekitar 60 kepala keluarga yang terpisah dengan keluarganya dan akan dipersatukan kembali melalui kerjasama ini [7]. Sehingga ada beberapa pengungsi yang pindah dari Indonesia ke Malaysia dan sebaliknya.

Nyatanya, dalam menangani pengungsi Indonesia tidak bisa berdiri sendiri, melainkan butuh kerjasama baik secara regional, bilateral, maupun multilateral. Namun, karena krisis pengungsi rohingya, ASEAN menjadi tidak bisa leluasa dalam mengambil keputusan akibat norma non-interfensi terhadap kedudukan politik Myanmar karena sebagai negara berdaulat yang berhak untuk menentukan politik negaranya sendiri [4]. Dengan keadaan tersebut, maka kerjasama dilakukan secara unilateral yaitu misalnya Malaysia, Thailand, dan Indonesia mengandalkan hukum domestik dengan standar yang berbeda-beda. Hal ini lantaran ketiga negara tersebut mendapatkan persebaran pengungsi rohingya terbanyak di antara negara-negara ASEAN. Berikut dapat dilihat tabel 1 persebaran pengungsi rohingya di negara ASEAN:

NEGARA JUMLAH PENGUNGSI ROHINGNYA
Malaysia 103.170
Thailand +5.000
Indonesia 1.545
Filipina +300
Vietnam -
Laos -
Singapura -
Brunei Darussalam -
Timor Leste -
Kamboja -
Table 1. Persebaran Eksodus Rohingnya di Wilayah Asia Tenggara Sejak 2015

Di indonesia sendiri, regulasi yang mengatur manajemen pengungsi tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan PengungsiDari Luar Negeri (selanjutnya disebut dengan Perpres PPDLN) termasuk operasi pencarian dan pertolongan terhadap kapal pengungsi, walaupun hanya dalam keadaan darat kemanusiaan. Indonesia tidak meratifikasi konvensi pengungsi sehingga tidak ada undang-undang pasti yang mengatur perihal pengungsi, oleh karena nyatanya hanya tiga negara di ASEAN yang meratifikasi konvensi pengungsi.

Berikut tabel 2 data negara ASEAN yang meratifikasi dan tidak meratifikasi konvensi pengungsi:

Negara Pilihan Meratifikasi
Brunei Darussalam Tidak Meratifikasi
Indonesia Tidak Meratifikasi
Filipina Meratifikasi
Kamboja Meratifikasi
Laos Tidak Meratifikasi
Malaysia Tidak Meratifikasi
Myanmar Tidak Meratifikasi
Singapura Tidak Meratifikasi
Thailand Tidak Meratifikasi
Timor Leste Meratifikasi
Vietnam Tidak Meratifikasi
Table 2.Negara ASEAN dan ratifikasi Konvensi Pengungsi PBB 1951

Meskipun Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 maupun Protokol 1967, namun dalam Perpres PPDLN Indonesia tetap menjunjung tinggi nilai HAM para pengungsi, contohnya seperti pengamanan terhadap pengungsi, kerjasama pemerintah Indonesia dengan organisasi internasional seperti UNHCR dan IOM, memberikan perhatian kepada kelompok yang rentan seperti wanita hamil, lansia, anak, dan lansia. Perpres PPDLN menyatakan keberpihakan yang kuat terhadap pemenuhan hak asasi manusia pada pengungsi khususnya rohingya yaitu dengan menerapkan prinsip non-refoulement. Dalam pemenuhan hak asasi manusia terhadap pengungsi, pemerintah Indonesia menyesuaikan dengan kemampuan negara dalam memberikan perlindungan kepada pengungsi dan sesuai dengan standar minimum internasional, seperti yang di utarakan dalam doktrin calvo yaitu orang asing hanya dapat menerima hak-haknya namun tidak melebihi hak yang diterima oleh warga negaranya sendiri [17].

Maka dari itu, dalam kasus Rohingya, bila dikaji dalam perspektif prinsip non-refoulement, untuk memastikan bahwa seseorang tidak dikembalikan ke tempat di mana dia akan berada dalam bahaya pelanggaran hak-hak dasar tertentu, perlindungan prosedural yang penting diperlukan. Di bawah hukum hak asasi manusia internasional dan regional, orang-orang dengan klaim yang dapat diperdebatkan bahwa mereka akan dikembalikan dengan melanggar prinsip non-refoulement memiliki hak atas pemulihan yang efektif. Hal ini setidaknya mengharuskan individu tersebut perlu diberitahu tentang keputusan pemindahan atau pengembalian secara tepat waktu dan dapat menantang keputusan tersebut di hadapan badan yang independen dan tidak memihak. Mengingat keseriusan bahaya yang dipertaruhkan, pengembalian harus ditangguhkan sambil menunggu keputusan.

Orientasi Kebijakan Hukum Pengungsi di Asia Tenggara: Antara Hukum dan Kemanusiaan

Semakin meningkat serta kompleks permasalahan global yang ada seperti climate change, peperangan, merasa terancam di negara asalnya, dan masih banyak faktor lainnya yang menyebapkan perpindahan manusia yaitu gelombang pengungsi. Permasalahan pengungsi masih menjadi salah satu isu yang belum terpecahkan, pada tahun 2015 terdapat peningkatan gelombang pengungsi yang diakibatkan pengungsi Rohingya dari Bangladesh singgah ke negara Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Di Indonesia pengungsi Rohingya tersebut masuk dengan menggunakan jalur laut dan terdampar di sumatera yaitu aceh. Dilansir dari data PBB angka pengungsi yang menggunakan jalur laut atau kapal dengan potensi perdagangan manusia bisa mencapai 25.000 peningkatan perpindahan penduduk dengan skala besar tersebut didasari oleh kebijakan pemerintah negara asal yang keras dan diskriminatif terhadap etnis Rohingya [17]. Kelompok etnis tersebut dianggap illegal keberadaannya dan sering mengalami kekerasan dimana mereka tidak mendapatkan hak kewarganegaraan, hak politik, hak asasi manusia bahkan dianggap sebagai imigran gelap di negaranya sendiri. dikarenakan tidak diakui sebagai bagian dari Warga Negara Myanmar serta diskriminasi yang kian memburuk mengakibatkan kelompok etnis Rohingya merasa terancam dan merasa khawatir atau tidak terlindungi di negara asalnya mengakibatkan kelompok tersebut mengungsi ke negara lain.

Fenomena di atas tentu menjadi pusat perhatian masyarakat global dikarenakan negara tempat para pengungsi tersebut dianggap mempermainkan nasib pengungsi kelompok Rohingya. Namun, perlu ditegaskan bahwa permasalahan pengungsi Rohingya ini tidaak hanya permasalahan bagi negara-negara ASEAN, tetapi juga menjadi tanggungjawab ranah Internasional mengingat permasalahan ini menyangkut krisis kemanusiaan; sehingga, apabila dibiarkan terus-menerus ribuan warga Rohingya mengungsi ke negara ASEAN dapat mengakibatkan ancaman yang besar terhadap stabilitas dan keamanan negara. Dalam mengatasi permasalahan tersebut ASEAN membentuk operasi Search and Rescue (SAR) dimana operasi ini memprioritaskan penyelamatan nyawa terhadap para pengungsi yang terkatung ditengah lautan. Negara anggota lainnya juga ikut berperan besar dalam meringankan permasalahan pengungsi Rohingya yaitu dengan penyaluran makanan serta obat-obatan melalui ASEAN Coordinating Center For Humanitarian Assistance (AHA Center). ASEAN juga masih terus melakukan pendekatan konstruktif terhadap Myanmar untuk berhenti melakukan dikriminasi terhadap kelompok etnis Rohingya [4]

Bagaimana keadaan para pengungsi di Indonesia? Sejatinya, para pengungsi yang ada datang ke Indonesia dengan tujuan ingin mencari kehidupan di negara ketiga. Namun, banyak dari para pengungsi yang datang ke Indonesia kebanyakan hidup menjadi menetap karena tidak ada kepastian dari negara tujuannya (Myanmar). Dalam menanggulangi permasalahan pengungsi ini, Indonesia telah banyak menyelamatkan 800 nyawa pengungsi yang terdampar, salah satunya di Aceh [18]. Pemerintah Indonesia bersama dengan UNHCR serta IOM terus berupaya untuk mencari tempat penampungan, dana dan fasilitas yang memadai. Tidak hanya itu, pemerintah Indonesia menyatukan anak-anak yang terpisah dari orangtuanya; dan bagi anak-anak yang tidak memiliki keluarga, maka akan ditampung di panti asuhan atau pesantren. Dalam penerapannya, Indonesia memiliki persyaratan bahwa negara Indonesia hanya akan menampung pengungsi selama satu tahun, setelahnya para pengungsi harus repatriasi ke negara asal atau diterima ke negara-negara tujuan sehingga tidak mengganggu kedaulatan negara Indonesia. Fenomena di atas seharusnya bagi Indonesia menolong atau memberi bantuan serta perlindungan terhadap pengungsi dengan didasari oleh Hak Asasi Manusia dinilai kurang tepat, karena Indonesia bukanlah tujuan utama para pengungsi tersebut melainkan hanyalah sebagai negara ‘singgah’. Di sisi lain, Indonesia ‘masih’ termasuk dalam negara berkembang [19], sehingga dinilai masih belum mampu untuk menerima pengungsi namun dengan kedatangan pengungsi Rohingya dengan kuota yang besar dapat mengakibatkan permasalahan yang baru atau lebih kompleks apabila tidak ditangani dengan tepat.

Pengungsi merupakan seseorang atau kelompok yang merasa tidak aman di negara asalnya atau merasa terancam yang disebapkan oleh peperangan, kebangsaan, agama, ras politik dan masih banyak lagi sehingga melarikan diri dari negaranya ke negara lain untuk mencari perlindungan dan kehidupan yang layak [20]. Pengungsi masih menjadi permasalahan global yang belum terpecahkan, pengungsi merupakan permasalahan yang menjadi tanggung jawab setiap negara terutama negara yang meratifikasi Perjanjian Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1965 memiliki kewajiban yang lebih dalam penanganan pengungsi. Walaupun Indonesia belum meratifikasi Perjanjian Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1965 Indonesia menerapkan asas Prinsip non refoulement yang melarang suatu negara untuk mengembalikan atau memulangkan pengungsi ke negara asalnya. Namun dengan seiring berjalannya waktu, realisasi pelaksanaan kewajiban negara yang meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol Pengungsi 1965 atau negara ketiga tidak berjalan sesuai dengan tujuan awal dimana negara-negara tersebut mulai kurang memperhatikan kesejahteraan pengungsi yang mana mengakibatkan meningkatnya jumlah pengungsi yang ada di negara trasnsit contohnya seperti Indonesia sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang beragam dalam penanganan pengungsi.

Australia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi 1951 atau konvensi terkait pengungsi namun negara Australia membentuk Operation Sovereign Border (OSB) yang berupakan suatu kebijakan pemerintah Australia yang membatasi atau menghentikan arus pengungsi atau pencari suaka yang masuk ke negaranya dengan menggunakan kekuatan militer. Sehingga hal tersebut menciptakan pertanyaan terhadap pelaksanaan kewajiban negara Australia sebagai peratifikasi konvensi terkait pengungsi. Hal yang menjadi dasar dalam pembentukan Operation Sovereign Border (OSB) adalah sebagai upaya negara Australia dalam membatasi terjadinya people smuggling dan human trafficking yang diakibatkan pengungsi yang masuk ke negara Australia dengan jalur illegal, Australia memiliki program pengungsi dan kemanusiaan yang sangat jelas sehingga pemerintah Australia tidak mentolerir pengungsi yang masuk secara illegal atau bekerja sama dengan smugglers[21]. Sehingga dengan adanya OSB ini pemerintah Australia menegaskan para pengungsi untuk menggunakan jalur yang legal guna untuk mencegah terjadinya kejahatan people smuggling dan human trafficking. Hal tersebut memang benar adanya bahwa dengan pengungsi menggunakan jalur illegal dapat memicu permasalahan lain yang lebih kompleks.

Namun perlu kita pahami juga bahwa kebanyakan pengungsi yang melarikan diri dari negara asalnya oleh karena mereka merasa putus asa, sehingga mereka akan rela dengan menggunakan cara apapun untuk bisa mencari perlindungan ke negara lain [22]. Ditambah lagi mereka biasanya tidak memiliki uang atau dana yang cukup untuk menggunakan jalur legal. Terutama seperti pengungsi Rohingya yang di negara asalnya saja mereka tidak diakui dan dianggap ilegal keberadaannya lalu bagaimana meraka dapat memiliki dokumen perjalanan yang sah dan uang yang cukup untuk masuk ke negara lain dengan menggunakan jalur yang legal. Walaupun dalam penanganan pengungsi ASEAN tidak memiliki metode khusus, namun ASEAN memiliki Lembaga yang dibentuk pada 23 Oktober 2009 yaitu ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) Lembaga ini memiliki tugas dan fungsi yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) [23]. Dalam pemberian kesejahteraan serta perlindungan kepada pengungsi dari kekerasan serta diskriminasi juga tentu berkaitan dengan pelanggaran HAM.

Mekanisme penanganan pengungsi di ASEAN memperhatikan ketentuan di dalam hukum Internasional. Penentuan status pengungsi diperoleh melalui mekanisme tertentu tahapan awal yaitu dengan pendaftaran, lalu identifikasi yang dilakukan dalam bentuk wawancara guna menentukan apakah ancaman yang dialami pencari suaka tersebut benar adanya, apakah penganiayaan atau diskriminasi yang dialaminya benar-benar terjadi, apakah resiko terhadap penganiayaan yang dialaminya mungkin terjadi atau dinilai memang cukup dimungkinakan. Apabila pencari suaka tersebut telah berhasil melalui beberapa tahapan seleksi tersebut dan mendapatkan status pengungsi maka akan dikirim ke negara pemberi suaka. Pencari suaka juga dapat mengajukan banding apabila permohonannya ditolak, apabila permohonan badingnya ditolak atau maka permohonan untuk memperoleh status pengungsi ditolak dan akan di deportasi. Tidak hanya itu tetapi juga ASEAN dengan negara-negara anggota berkerjasama dengan organisasi internasional seperti UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) dan IOM (International Organization for Migration) dalam penanganan pengungsi. ASEAN tentu saja memiliki hambatan dalam penanganan pengungsi dimana ASEAN tidak dapat memaksa negara anggotanya untuk menerima pengungsi atas dasar prinsip non-intervensi.

ASEAN hanya dapat memeberikan bantuan dalam bentuk bantuan kemanusiaan seperti pemberian bantuan sandang pangan[6]. Dalam penanganan pengungsi diperlukan Kerjasama secara global, mengingat bahwa permasalahan pengungsi tidak hanya permasalahan negara-negara ASEAN saja tetapi juga permasalahan seluruh negara sehingga dalam penyelesaiannya diperlukan Kerjasama antar negara dalam menciptakan mekanisme, perlindungan serta penyelesaian terhadap permasalahan pengungsi ini serta melaksanakan kewajiban baik sebagai negara peratifikasi konvensi pengungsi maupun negara penganut asas refoulement. Perlu kita tanamkan juga bahwa para pencari suaka tersebut tidak memilih untuk mencari perlindungan ke negara lain melainkan mereka tersudutkan atau terdesak dimana di negara asalnya mereka tidak mendapatkan keadilan, hak kewarganegaraan, hak kemanusiaan, didiskriminasi, bahkan tidak diakui yang membuat mereka terpaksa harus melarikan diri dari negara asalnya hanya untuk memperoleh kehidupan yang layak.

Simpulan

Meskipun Indonesia tidak meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967, tetapi Indonesia merasa tetap memiliki tanggungjawab dan kewajiban dalam perlindungan hak asasi manusia bagi pengungsi yang ada di wilayahnya. Kewajiban dan tanggungjawab ini bukan saja kewajiban konstitusional, tapi juga pelaksanaan prinsip non-refoulement yang diakui oleh seluruh negara di dunia. Namun, dengan belum menjadi pihak pada Konvensi Tahun 1951 dan Protokol 1967, maka Pemerintah Indonesia juga tidak mempunyai wewenang untuk memberikan penentuan status pengungsi atau yang disebut dengan Refugee Status Determination(RSD), sehingga pengaturan permasalahan berkaitan pengungsi ditetapkan oleh UNHCR yang merupakan badan PBB yang mengurusi masalah pengungsi sesuai mandat yang diterima berdasarkan Statuta UNHCR Tahun 1950. Semua negara termasuk yang belum meratifikasi Konvensi Tahun 1951 wajib menjunjung tinggi standar perlindungan pengungsi yang telah menjadi bagian dari hukum internasional umum, karena konvensi tersebut sudah menjadi jus cogens, dan tak seorang pengungsi pun dapat dikembalikan ke wilayah di mana hidup atau kebebasannya terancam..

References

  1. D. Alfaruqi, “Korelasi Hak Asasi Manusia dan Hukum Islam,” SALAM J. Sos. dan Budaya Syar-i, 2017, doi: 10.15408/sjsbs.v4i1.7869.
  2. F. P. Disantara, “The Joint Ministerial Decree (SKB) of Islamic Defenders Front (FPI): Quo Vadis The Rule of Law and Human Rights?,” Musamus Law Rev., vol. 3, no. 2, pp. 98–117, Apr. 2021, doi: 10.35724/mularev.v3i2.3572.
  3. J. Ramji-Nogales and I. Goldner Lang, “Freedom of Movement, Migration, and Borders,” J. Hum. Rights, vol. 19, no. 5, pp. 593–602, Oct. 2020, doi: 10.1080/14754835.2020.1830045.
  4. S. V. Muhamad, “MASALAH PENGUNGSI ROHINGYA, INDONESIA, DAN ASEAN,” Info Singk. Hub. Int., vol. 7, no. 10/P3DI, p. 13, 2015.
  5. I. Marzuki and F. Faridy, “RELEVANSI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DENGAN AGENDA REFORMASI: DIMENSI NASIONAL DAN INTERNASIONAL,” JCH (Jurnal Cendekia Hukum), vol. 5, no. 2, p. 350, Mar. 2020, doi: 10.33760/jch.v5i2.242.
  6. B. H. Bangun, “KONTRUKSI MEKANISME ASEAN DALAM PENANGANAN PENGUNGSI ROHINGYA.” pp. 10–15, 2019.
  7. A. R. Nasution, “The Crime of Genocide on the Rohingya Ethnic in Myanmar from the Perspective of International Law and Human Rights,” PADJADJARAN J. Ilmu Huk. (Journal Law), vol. 5, no. 1, pp. 182–206, May 2018, doi: 10.22304/pjih.v5n1.a10.
  8. B. Driss, “ROHINGYA MINORITY IN MYANMAR BETWEEN THE RELIGIOUS PERSECUTION AND THE REALITY OF CONSTITUTIONAL PROTECTION,” Brawijaya Law J., vol. 3, no. 2, pp. 221–241, Nov. 2016, doi: 10.21776/ub.blj.2016.003.02.07.
  9. D. O. Susanti and A. Efendi, Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2015.
  10. G. van Engelenhoven, “From Indigenous Customary Law to Diasporic Cultural Heritage: Reappropriations of Adat Throughout the History of Moluccan Postcolonial Migration,” Int. J. Semiot. Law, pp. 1–27, 2020, doi: doi.org/10.1007/s11196-020-09781-.
  11. E. Denza, Diplomatic Law: Commentary on the Vienna Convention on Diplomatic Relation, 4th ed. London: Oxford University Press, 2016.
  12. J. Gray and P. Potter, “Diplomacy and the Settlement of International Trade Disputes,” J. Conflict Resolut., vol. 64, no. 7–8, pp. 1358–1389, Aug. 2020, doi: 10.1177/0022002719900004.
  13. C. F. Moran, “Strengthening the principle of non-refoulement,” Int. J. Hum. Rights, vol. 25, no. 6, p. 1033, 2019.
  14. A. K. P. FX. Joko Priyono, “Non-Refoulment Principle And Prohibition Of Entry For Refugees Due To The Covid-19 Pandemic,” Diponegoro Law Rev., vol. 7, no. 1, p. 109, 2022.
  15. O. J. Sending, V. Pouliot, and I. B. Neumann, Diplomacy and the Making of World Politics. Cambridge: Cambridge University Press, 2015.
  16. A. Raphael, “Retroactive Diplomatic Immunity,” Duke Law J., vol. 69, no. 1, pp. 1425–1459, 2020.
  17. M. P. Hossain, “The Rohingya refugee crisis: analysing the international law implications of its environmental impacts on Bangladesh,” Int. J. Hum. Rights, pp. 1–20, May 2022, doi: 10.1080/13642987.2022.2081159.
  18. S. Rasyid, A. P. Prabandari, B. C. Daren, and C. Simanjuntak, “The Role of Indonesian Diplomacy in Managing the Conflict between The Myanmar Government and The Rohingya Muslim Ethnic,” Unnes Law J. J. Huk. Univ. Negeri Semarang, vol. 8, no. 1, pp. 159–178, 2022.
  19. G. M. Juwana, Stephanie, Gabriella Gianova Laidha, Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Perspektif Good Legislation Making, 1st ed. Jakarta: Indonesia Ocean Justice Initiative, 2020.
  20. R. E. Cipta Primadasa Primadasa, Mahendra Putra Kurnia, “Problematika Penanganan Pengungsi di Indonesia Dari Perspektif Hukum Pengungsi Internasional,” Risal. Huk., vol. 17, no. 1, p. 45, 2021.
  21. R. H. Hudan, “Kontradiksi Operation Sovereign Borders Australia Terhadap Peratifikasian Konvensi Pengungsi Tahun 1951,” 2019.
  22. N. Katagiri, “Why international law and norms do little in preventing non-state cyber attacks,” J. Cybersecurity, vol. 7, no. 1, pp. 1–9, Feb. 2021, doi: 10.1093/cybsec/tyab009.
  23. R. Amer, “The Association of Southeast Asian Nations’ (ASEAN) Conflict Management Approach Revisited: Will the Charter Reinforce ASEAN’s Role? Mechanisms for conflict management within ASEAN,” Aseas, vol. 2, no. 2, 2009.