International Law
DOI: 10.21070/jihr.v10i0.785

Legal Uncertainty Regarding the Application of The Principle of Territoriality in the Immigration Area


Ketidakpastian Hukum Penerapan Asas Teritorialitas pada Area Imigrasi

Politeknik Imigrasi Badan Pengembangan Sumber Data Manusia Hukum dan HAM Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia
Politeknik Imigrasi Badan Pengembangan Sumber Data Manusia Hukum dan HAM Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia
Politeknik Imigrasi Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Indonesia

(*) Corresponding Author

Territory Principle Immigration Area Legal Certainty

Abstract

The area of ​​immigration is an important aspect of immigration law enforcement and practice. This is because the immigration area preventively represents the sovereignty of a country. Even so, in the Immigration Law in Indonesia there are no special regulations regarding the immigration area. So there is the problem of a legal vacuum related to special regulations regarding the immigration area. This research is a normative legal research with a statutory and conceptual approach. The results of the study confirm that the principle of territoriality in the immigration area requires legal certainty. This is because in the practice of immigration, the principle of territoriality is an important principle, one of which is trying to prevent it from protecting the sovereignty of the state. In addition, the government needs to make a special legal product that regulates immigration areas in the form of Government Regulations and Presidential Regulations which can then be followed up technically with the regulations below. Technical follow-up to Government Regulations and Presidential Regulations can be in the form of a Regulation of the Minister of Home Affairs and specifically technical instructions regarding immigration areas can be formed for officers and law enforcement officers in the immigration sector who are specifically tasked with immigration areas.

Pendahuluan

Mobilitas merupakan salah satu perbuatan manusia yang secara natural melekat pada manusia sebagai makhluk sosial [1]. Sebagai makhluk sosial, manusia melakukan berbagai mobilitas serta perpindahan baik itu antarpulau, antarkota, bahkan hingga antarnegara. Mobilitas antarnegara ini yang kemudian dengan hadirnya eisksitensi negara moder disebut dengan istilah imigrasi. Proses imigrasi harus menaati setiap peraturan yang ada. Negara Indonesia adalah Negara yang mempunyai potensi lebih dilihat dari sumber daya dan potensi untuk mencari keuntungan. Indonesia bisa jadi menjadi destinasi utama untuk melebarkan sayap khususnya untuk para pebisnis. Jika dilihat dari posisi Indonesia juga menjadi salah satu yang strategis apalagi di bidang ekspor dan impor. Selain itu, posisi strategis ini menyebabkan Indonesia juga menjadi tujuan untuk para wisatawan keluar masuk sehingga perlintasan orang asing di Indonesia semakin marak terjadi dan semakin meningkat tiap tahunnya. Kehadiran Warga Negara Asing (WNA) di Indonesia jika sesuai peraturan yang berlaku dan tanpa menyebabkan gangguan di Indonesia akan menjadikan dampak positif bagi pemerintah Indonesia khususnya dalam bidang politik dan di sektor ekonomi.

Namun, tidak menutup mata bahwa semakin sering lalu lintas orang asing meningkat atau masuk Indonesia maka akan timbul juga permasalaan yang ada dan seiring meningkatnya WNA masuk Indonesia maka akan meningkat pula kerawanan yang ada di Indonesia yang disebabakan oleh WNA yang berdatangan [2]. Seringnya masyarakat salah kaprah mengenai fungsi keimigrasian menjadikan imigrasi dianggap hal yang sepele bagi beberapa kalangan. Di era globalisasi, imigrasi seolah hanya mengedepankan pelayanan masyarakat, terkesan kurang dalam penegakkan hukum. Permasalahan yang timbul dalam bidang pelayanan lebih terlihat daripada di balik layar yang mana mengenai penegakkan hukum. Imigirasi kini menghadapi masalah yang lebih kompleks dikarenakan seiring majunya zaman maka problematika yang ada kian berkembang dan semakin variatif. Sehingga pemerintah Indonesia khususnya imigrasi harus mempunyai langkah yang tegas dan paling bijak dalam mengatasi masalah yang ada, dan di era yang sekarang ini baiknya pihak imigrasi melakukan langkah preventif dalam menangani permasalahan yang muncul sehingga tidak semakin memperluas adanya kemungkinan terburuk terjadi di dalam wilayah Indonesia. Peran imigrasi sungguh mencolok dalam menciptakan integrasi dan meningkatkan kedaulatan dikarenakan ancaman dari luar pertama kali di seleksi atau di filter oleh pihak imigrasi sehingga menentukan akan apa yang terjadi di dalam wilayah Indonesia kelak.

Bukan hanya peran pengawasan keimigrasian saja yang menjadi tinjauan utama tulisan ini namun banyak faktor yang kian dipandang sebelah mata oleh negara bahkan pihak imigrasi tidak terlalu menganggap hal ini penting. Salah satu permasalahan dalam keimigrasian dalam hal ini adalah mengenai ketidakpastian hukum mengenai istilah area imigrasi dalam Tempat Pemeriksaan Imigrasi. Ketidakpastian hukum terkait istilah area imigrasi dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Kemigrasian (selanjutnya disebut dengan UU Imigrasi) menjadi hal yang berimplikasi pada praktik penegakan hukum pada aspek keimigrasian di suatu negara. Hal ini juga berimplikasi pada penerapan asas teritorialitas yang merupakan asas penting dalam hukum keimigrasian karena asas ini berkaitan dengan praktik penegakan hukum terhadap orang asing dalam hukum keimigrasian.

Penelitian mengenai area imigrasi sejatinya pernah dilakukan oleh dua penelitian sebelumnya; sebagaimana pernah dilakukan oleh Lidya Marsaulina Siregar dan Vita Nurul Fathya (2021) tentang Improving The Quality Of Community Services Especially Passport Issuance Through Eazy Passport Activities In The Area Immigration Office Class I Border Controli Balikpapan. Penelitian ini hanya berfokus pada kebijakan penerbitan passport di area imigrasi Kelas I TPI Balikpapan. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Wihardiasty Sekar Kinasih Wihardiasty Sekar Kinasih dan Sujianto Sujianto (2022) tentang Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas Korupsi Dan Wilayah Birokrasi Bersih Melayani Di Kantor Imigrasi Kelas I Tpi (Tempat Pemeriksaan Imigrasi) Pekanbaru yang berfokus pada orientasi zona integritas dan upaya membangun reformasi yang bebas korupsi pada Kantor Imigrasi Kelas I TPI (Tempat Pemeriksaan Imigrasi) Pekanbaru.

Dari kedua penelitian tersebut, sejatinya belum terdapat kajian mengenai definisi area imigrasi serta penerapan asas teritorialitas sebagaimana yang penulis lakukan. Dengan demikian, penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang orisinal karena khusus membahas mengenai penerapan asas teritorialitas dan kekosongan hukum mengenai ketentuan area imigrasi. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) bagaimana orientasi asas teritotialitas terhadap kepatuhan hukum di dalam Tempat Pemeriksaan Imigrasi, dan (ii) Bagaimana solusi hukum atas ketidakpastian hukum terkait ketentuan area imigrasi dalam UU Keimigrasian?.

Metode

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan kekosongan hukum pengaturan mengenai area imigrasi [3]. Bahan hukum primer menggunakan UU Imigrasi, bahan hukum sekunder menggunakan buku serta berbagai hasil penelitian dan kajian yang berkaitan dengan keimigrasian, serta bahan non-hukum adalah kamus bahasa. Penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual dan perundang-undangan.

Pembahasan

Orientasi Asas Teritorialitas: Rel asi terhadap Kepatuhan Hukum di Tempat Pemeriksaan Imigrasi

Asas hukum sejatinya menempati aspek terpenting dalam kajian hukum. Asas hukum dapat dipandang sebagai “jantungnya” kajian hukum [4]. Hal ini dikarenakan bahwa hukum (khususnya hukum positif) mendasarkan keberlakuannya pada asas hukum. Asas hukum menjadi tempat hukum positif bernaung sekaligus digali esensinya [5]. Asas hukum dalam hal ini juga berfungsi sebagai pemandu hukum positif untuk dapat melayani masyarakat. Secara umum, asas hukum bertujuan supaya hukum positif tidak kehilangan nilai dan orientasinya. Asas hukum juga berperan dalam melakukan justifikasi atas keberlakuan hukum positif [6]. Dengan demikian, apabila terdapat hukum positif yang bertentangan dengan asas hukum maka hukum positif tersebut kehilangan keberlakuannya. Asas hukum juga seyogyanya melihat bidang hukum tertentu yang diatur dalam hukum positif. Hal ini untuk menegaskan bahwa asas hukum dapat disesuaikan dengan pembahasan sesuai dengan bidang hukum yang diatur.

Dalam konteks imigrasi, salah satu asas yang penting untuk diperhatikan adalah asas teritorialitas [7]. Hal ini dikarenakan asas teritorialitas merupakan salah satu asas penting dalam kegiatan keimigrasian. Asas teritorialitas juga berkaitan dengan eksistensi kedaulatan negara. Hal ini karena kegiatan keimigrasian sejatinya merupakan early warning system sebagai upaya preventif dalam menjaga kedaulatan negara [8]. Asas teritorial mengakui bahwa seorang penguasa memiliki kekuasaan untuk mengadopsi hukum pidana yang berlaku di dalam perbatasannya. Di bawah prinsip teritorial, kejahatan di dalam batas-batas kedaulatan merupakan elemen penting. Jika kejahatan itu tidak memiliki situsnya di dalam batas-batas kedaulatan, berdasarkan prinsip ini kedaulatan tidak akan diakui memiliki kekuasaan untuk menetapkan hukum pidana yang berlaku untuknya. Prinsip teritorial memiliki dua aspek, yaitu aspek subjektif dan aspek objektif [9].

Di bawah aspek subjektif dari yurisdiksi teritorial, seorang penguasa diakui memiliki kekuatan untuk mengadopsi hukum pidana yang berlaku untuk kejahatan yang dilakukan secara fisik di dalam batas teritorialnya [10]. Jadi, misalnya, Britania Raya dapat mengadopsi undang-undang yang menjadikannya kejahatan bagi siapa pun untuk melakukan tindakan pembunuhan di dalam perbatasannya dan aspek subjektif dari prinsip teritorial akan mengakui kekuatan negara. Britania Raya untuk membuat instrumen hukum seperti itu. Di bawah aspek objektif yurisdiksi teritorial, kedaulatan diakui memiliki kekuatan untuk mengadopsi hukum pidana yang berlaku untuk kejahatan yang berlaku di dalam perbatasannya bahkan jika pelaku melakukan tindakan di luar perbatasannya [10]. Internet dan gelombang kejahatan dunia maya yang telah dipupuk oleh Internet telah membuat aspek obyektif dari prinsip teritorial semakin penting. Berdasarkan asas teritorial, tempat terjadinya kejahatan ditentukan oleh tempat terjadinya tindak pidana. Apabila suatu tindak pidana mulai berlaku di dalam batas-batas wilayah kedaulatan, maka tindak pidana tersebut dianggap mempunyai situs di dalam batas-batas tersebut.

Asas teritorialitas sendiri merupakan asas yang biasanya dipergunakan dalam hukum positif, khususnya yang berkaitan dengan hukum internasional ataupun mengenai hukum pidana [11]. Asas ini sendiri yakni sering muncul dalam istilah hukum yang berlaku yakni hukum internasional dan hukum pidana. Mungkin, masyarakat awam akan bertanya-tanya, dikarenakan jika dilihat secara kasat mata, jenis hukum kedua hukum positif tersebut berbeda. Menjadi poin terpenting disini yakni mengenai asas territorial adalah suatu perumpaan atau diksi yang sering diambil yang mana berhubungan dengan wilayah suatu negara [12]. Meskipun demikian, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), asas sendiri mempunyai arti sebagai patokan atau tunpuan; dan jika dilihat artinya secara harfiah, kata “asas” sendiri mempunyai definisi hukum dasar. Pada KBBI, territorial sendiri mempuyai definisi yakni mengenai atau menyangkut bagian suatu wilayah; dan spesifiknya, dalam kasus ini adalah negara yang mempunyai daerah hukum tersendiri dan kerap diatur sesuai hukum positif yang berlaku dalam negara tersebut [13]. Jika diasumsikan sesuai definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diatas, maka bisa disebutkan bahwa asas teritorialitas sendiri merupakan negara melaksanakan hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayahnya.

Akan tetapi, apabila subjek tersebut berada di luar wilayah tersebut, maka yang berlaku adalah hukum asing (hukum internasional). Asas teritorialitas sendiri mempunyai landasan kedaulatan negara, yang mana secara gambling disebutkan jika semua negara yang berdaulat harus dan wajib menjamin tegaknya hukum dan menciptakan suatu ketertiban sesuai nilai dan norma yang berlaku di wilayahnya; atau di negaranya dan siapa saja yang melanggar mengenai ketentuan dari asas teritorialitas ini suatu negara berhak dan bisa melakukan pemidaan pada si pelanggar yang melakukan perbuatan tersebut [14]. Penerapannya pada negara negara di dunia banyak menjadikan asas ini sebagai asas pokok dalam penegakan hukum positifnya. Di Indonesia sendiri implementasi mengenai asas ini sendiri tercantum pada Pasal 2 dan Pasal 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Pasal 2 KUHP menjelaskan menenai “ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang dalam wilayah Indonesia melakukan suatu tindak pidana”. Bisa ditarik kesimpulan, bahwa asas ini sangat mengikat siapapun dikarenakan dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang bisa dikenai pidana tanpa terkecuali dan negara berhak atas proses pemidanaan sesuai ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia.

Fenomena di atas menunjukkan bila setiap negara memiliki kekuasaan berdaulat untuk membuat undang-undang, yaitu menetapkan hukum. Ini berarti bahwa hukum tersebut bersifat teritorial, sehingga berlaku dalam suatu negara atau zona geografis yang lebih terbatas (Prinsip Teritorial). Dengan tidak adanya hukum internasional yang sebenarnya, suatu negara akan berurusan dalam domain hukum dengan berbagai macam hukum nasional paralel yang ada [15]. Sementara negara-negara bebas untuk membuat undang-undang mereka sendiri, mereka juga dapat menandatangani perjanjian internasional di antara mereka sendiri. Ini dapat dilihat sebagai "hukum" yang berlaku untuk sejumlah negara dan memiliki tujuan yang berbeda. Salah satu tujuannya adalah harmonisasi undang-undang negara-negara yang telah menandatangani perjanjian dengan mengadopsi pedoman umum. Ini disebut "hukum internasional publik" [2]. Tujuan lainnya adalah untuk mengadopsi peraturan umum untuk menentukan pengadilan yang kompeten, menyelesaikan konflik hukum dan menangani situasi yang melibatkan status orag asing. Ini disebut "hukum internasional swasta".

Namun, tidak selalu ada perjanjian untuk menyelesaikan konflik hukum. Oleh sebab itu, di satu sisi setiap negara dapat mengadopsi peraturan tentang hukum internasional perdata di tingkat nasional yang akan berfungsi untuk menyelesaikan situasi lintas batas [9]. Di sisi lain, sebuah perjanjian mungkin ada tetapi mungkin tunduk pada interpretasi, yang berarti bahwa setiap negara dapat menerapkannya secara berbeda di dalam wilayahnya. Saat ini misalnya, dalam hukum pidana, negara-negara common law lebih menekankan prinsip teritorial dibandingkan negara-negara Eropa continental [12]. Oleh karena di negara-negara yang terakhir keadilan substantif secara historis dianggap lebih penting daripada standar proses pembuktian dan yurisdiksi ekstrateritorial tidak umum dalam common law, karena teritorialitas telah menjadi landasan tatanan yurisdiksi dalam common law, dan yurisdiksi ekstrateritorial telah dijauhi, tidak mengherankan bahwa negara-negara common law, khususnya Amerika Serikat, telah menafsirkan prinsip teritorial secara lebih luas untuk memahami dengan tantangan yang ditimbulkan oleh kejahatan transnasional dan globalisasi ekonomi.

Dalam hal asas teritorialitas yakni tindak pidana yang ada dilakukan dalam lingkup atau wilayah Indonesia, sebenarnya bukan suatu yang menjadi tolak ukur bahwa pelaku melakukannya di dalam batas batas Indonesia secara harfiah. Maka dari itu, ada kasus yang marak terjadi yang mana memungkinkan bahwa suatu tindak pidana bisa dilakukan seseorag tetapi ia berada diluar ketentuan hukum milik Indonesia. Kemudian disebutkan kembali pada pasal 3 KUHP mengenai asas teritorialitas sebagaimana menjadikan perluasan atas definsi asas tersebut (dalam konteks ke-imigrasian), yang memandang kendaraan air atau pesawat udara Indonesia juga merupakan sebagai tempat diterapkan atau berlakunya hukum pidana; namun disini bukan berarti memperluas wilayah[16]. Di dalam Pasal 3 KUHP juga diterangkan bahwa "Ketentuan pidana dalam perundang undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia".

Kemudian, berlakunya hukum pidana sesuai Pasal 2 dan Pasal 3 KUHP ini sendiri berlaku sesuai dengan peraturan namun batas dari pemberlakuan dari hukum tersebut yaitu dengan adanya hukum internasional (terdapat sebuah pengecualian). Menurut Pasal 22 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Kemigrasian dijelaskan bahwa area imigrasi yang dimaksud adalah suatu area di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, yang dimulai dari tempat antrean pemeriksaan Keimigrasian pada keberangkatan sampai dengan alat angkut atau dari alat angkut sampai dengan konter pemeriksaan Keimigrasian pada kedatangan [17]. Jika dalam definisi tersebut, dapat disimpulkan bila keberadaan dari area imigrasi ini merupakan hal penting sebagaimana harus ada di setiap TPI di semua wilayah Indonesia tanpa terkecuali [18]. Apalagi, area imigrasi sering disebut sebagai area yang steril atau steril area dan mempunyai pemahaman bahwa area imigrasi ini menentukan orang asing ini sudah masuk atau sudah keluar dari wilayah Indonesia maka dari itu biasanya juga disebut sebagai “wilayah internasional” [19].. Dengan definisi seperti ini amatlah penting untuk menerapkan area imigrasi dengan maksimal di seluruh TPI di seluruh wilayah Indonesia. Namun, beberapa peristiwa terakhir, area imigrasi keberadaannya dianggap kurang efektif di beberapa TPI, dikarenakan masih banyak masih kurang dipatuhinya mengenai standar standar penegakan hukum seperti SOP, penempatan, dan penerapannya.

Efektifitas area imigrasi sendiri seperti sebatas hanya di TPI besar saja diterapkan dengan maksimal, namun bertolak belakang dengan TPI yang tidak berbasis internasional khususnya [20]. Bahkan kian sering ditemukan di TPI laut tidak memenuhi standar sebagaimana hal tersebut berpotensi melahirkan ketimpangan dalam penegakan hukum di TPI [21]. Padahal, Area imigrasi diaanggap sebagai area yang terbatas. Dengan asumsi tersebut area imigrasi hanya bisa dilalui atau diakses oleh orang orang yang mempunyai kepentingan di dalamnya yakni para penumpang, awak alat angkut atau yang biasa disebut crew yang hendak memasuki atau meninggalkan wilayah NKRI dan didalamnya juga terdapat petugas atau pejabat yang berwenang yakni pihak imigrasi [22]. Sehingga, dapat disimpulkan, tidak ada hukum negara yang berlaku di luar wilayahnya sendiri: jika situasi lintas batas muncul, faktor penghubung diperlukan untuk menentukan hukum yang relevan untuk diterapkan dalam situasi ini. Faktor penghubung dapat berhubungan dengan aspek subjek (misalnya kewarganegaraan orang yang terlibat) atau aspek objek (misalnya tempat di mana layanan diberikan atau kerusakan yang ditimbulkan).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bila tidak semua orang bisa melalui area imigrasi dengan ‘mudah’, dan yang tidak memiliki kepentingan tentu tidak diperbolehkan memasuki area tersebut [23]. Singkatnya, area imigrasi dapat disimpulkan bahwa hanya sebatas garis imajiner saja, namun, menurut asas teritorialitas, area tersebut juga berfungsi sebagai pilar negara untuk menjaga marwah dan wibawa negaranya dengan memberikan tindakan tegas terhadap pelanggaran yang berhubungan dengan imigrasi. Asas Teritorialitas memiliki spirit agar setiap negara yang mempunyai kedaulatannya melakukan atau menegakkan produk produk hukumnya sebagai hukum nasional sebuah negara berdaulat untuk menyelesaikan perkara imigrasi [24]. Pada konteks asas teritorialitas, setiap negara diakui mempunyai batas batasnya, kemudian negara memiliki hak untuk menegakkan hukum sesuai hukum positif yang berlaku dalam wilayahnya ataupun menegakkan hukum internasional yang berlaku, sebagaimana hal tersebutlah penerapan asas teritorial [25].

Di sisi lainnya, masyarakat internasional mempunyai paham yang mana setiap wilayah atau negara tersebut punya hak ekslusif yang biasa disebut dengan reserved domain/domestic jurisdiction of state yang disebabkan dengan adanya asas teritorialitas dalam batas wilayah negara sebagaimana tidak adanya kaitan atau ikatan dalam pembtasan hukum internasional. Orientasi asas teritorialitas terkait dengan area imigrasi bahwa asas teritorialitas memerlukan kepastian hukum mengenai ketentuan terkait dengan area imigrasi. Hal ini karena dalam praktik keimigrasian, asas teritorialitas merupakan asas penting yang salah satunya berupaya secara preventif untuk menjaga kedaulatan negara. Selain itu, asas teritorialitas juga penting sebagai upaya suatu negara untuk menegakkan hukum keimigrasian yang berlaku di suatu negara. Upaya penegakan hukum keimigrasian sejatinya mendasarkan pada penerapan asas teritorialitas. Dalam hal ini, asas teritorialitas menjadi “jantung” dari penerapan hukum positif yang mengatur mengenai keimigrasian.

Solusi Hukum Atas Ketidakpastian Hukum Terkait Ketentuan Area Imigrasi Dalam UU Keimigrasian

Kepastian hukum merupakan salah satu aspek penting dari hukum supaya hukum dapat diterapkan dan dijalankan secara optimal di masyarakat. Dimensi kepastian hukum, tentu harus dilihat dari spesifikasi hukum yang berupa hukum tertulis atau lazim disebut sebagai hukum positif. Hukum tertulis dengan berbagai manifestasinya sejatinya telah menunjukkan pentingnya peran hukum tertulis di negara modern. Hukum tertulis selain berfungsi untuk melindungi dan menjamin hak-hak masyarakat juga dapat memberikan jaminan bagi aparat penegak hukum untuk menjalankan substansi hukum sebagaimana termaktub dalam hukum tertulis. Dalam konteks penegakan hukum keimigrasian, maka hukum positif yang mengatur adalah UU Keimigrasian beserta peraturan di bawahnya. Upaya menjamin kepastian hukum di bidang keimigrasian salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan penataan pengaturan di bidang keimigrasian. Penataan pengaturan terkait area imigrasi diperlukan untuk membangun sistem hukum keimigrasian yang lebih baik. Dalam konteks ini, penataan peraturan perundang-undangan menjadi hal penting termasuk bentuk produk hukum apa yang tepat mengatur mengenai area imigrasi [26].

Bentuk produk hukum seyogyanya harus sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan. Dalam konteks ini, maka UU Keimigrasian harus tetap menjadi panduan dalam menyusun berbagai produk hukum untuk menata pengaturan ke depannya. Penataan pengaturan menjadi hal penting jika dikaitkan dengan belum terdapatnya aturan spesifik mengenai area imigrasi [27]. Hal ini dapat berdampak pada praktik yang berkaitan dengan area imigrasi. Untuk itu, pengaturan ke depan mengenai area imigrasi diperlukan sebagai sarana untuk mengefektifkan penegakan hukum keimigrasian. Area imigrasi sendiri masih belum ditegakkan secara efektif jika dilihat dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Kemigrasian. Namun, jika ditinjau dengan asas hukum yang ada dan merujuk pada hukum interasional yang berlaku, maka petugas imigrasi seharusnya paham akan hal ini. Selain itu, bukan hanya pada pihak imigrasi saja yang memberikan penegakan hukum di area imigrasi namun masyarakat juga belum aware akan adanya area imigrasi [28].

Terlebih, masyarakat masih belum mengetahui konsep area imigrasi dan tidak mengerti akan betapa ekslusifnya area imigrasi ini, sehingga kerap kali mereka melakukan pelanggaran namun beralasan dengan ketidaktahuan yang menjadikan penegakan area imigrasi dirasa kurang tegas juga dikarenakan kasus kasus seperti demikian. Perlunya untuk pihak imigrasi memberikan informasi mengenai area imigrasi semakin menjadikan eksistensi area imigrasi di TPI di seluruh Indonesia menjadi lebih berjalan dengan cepat dan lebih efektif. Masih banyak didapati tidak adanya area imigrasi dalam TPI. Bahkan, di TPI sama sekali tidak di dapati adanya yellow line atau bahkan crew yang melaksanakan clearence di TPI. Di lapangan yang ada hanya agen dari mereka yang turun kemudian memberikan pesyaratan untuk masuk wilayah Indonesia sesuai izin tinggal mereka yang berlaku seperti membawa crew list, paspor, last port dan masih banyak yang lain.

Maka dari itu, Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Kemigrasian seharusnya mengakomodasi konsep area imigrasi yang jelas di TPI, sebagaimana nyatanya praktik di lapangan seringkali diacuhkan. Hal tersebut bisa menjadi masalah di kemudian hari jika tidak diterapkan mengenai hal yang telah dituangkan dalam Pasal 22 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Kemigrasian. Seharusnya, crew atau awak alat angkut dilakukan pemeriksaan dokumen perjalanan dan dilakukan profiling mengenai kesesuaian dokumen tersebut [29]. Bila merujuk pada Peraturan Menteri HukumdanHAM Nomor 44 Tahun 2015tentang Tata Cara Pemeriksaan Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, perlu diketahui bahwa dalam area imigrasi yang dimaksud harus didapati pada area kedatangan dan area keberangkatan sebagaimana berlokaso pada terminal penumpang di TPI dan didalamnya didudkung dengan SIMKIM (Sistem Informasi Keimigrasian) yang memadai sesuai standar yang ada [30].

Pada area imigrasi wajib dilengkapi dengan konter dan beberapa ruang, diantaranya yakni terdapat ruang Antrian, ruang Utama dan ruang pendukung telah memiliki standardisasi [31]. Jika hal demikian tidak didapati pada suatu TPI, maka seharusnya Kepala Kantor Imigrasi wajib menyampaikan usulan mengenai kurangnya salah satu sarana dan prasarana sebagai penunjang kinerja imigrasi [32]. Usulan tersebut ditujukan pada pengelola pelabuhan laut agar sarana dan prasarana tersebut bisa dipenuhi [33]. Kemudian, jika pada tenggat waktu satu tahun tidak dapat balasan atau tidak diberikan hal tersebut, kepala kantor imigrasi kemudian memberikan usulan untuk pencabutan status TPI pada suatu kantor tersebut. Terlebih, Pasal 135 Peraturan Menteri HukumdanHAM Nomor 44 Tahun 2015tentang Tata Cara Pemeriksaan Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia di Tempat Pemeriksaan Imigrasi menyebutkan bila kewajiban dan tanggung jawab pengelola pelabuhan laut untuk menyediakan sarana prasarana penunjang kinerja keimigrasian salah satunya dengan maksud pemenuhan fasilitas dalam area imigrasi [34].

Jika sarana dan prasarana di area imigrasi masih menjadi problematiK, maka peristiwa tersebut berpotensi menghilangkan martabat instansi kemigrasian negara, dan instansi tersebut terkesan kehilangan ketegasan dalam melaksanakan fungsinya. Terlebih, salah satu faktor kurang dipahaminya area imigrasi sebagai tempat krusial adalah karena kurangnya aturan yang membahas tentang area imigrasi ini [17], sehingga konsep ‘area imigrasi’ masih menjadi ambigu dan kurang mempunyai makna yang luas dan pasti. Di tambah, minimnya aturan untuk mengatur Standar Operasional Prosedur pada area imigrasi dan kurangnya peraturan turunan yang membahas area imigrasi dengan detil menjadi persoalan dalam hal ini. Bahkan, di dalam Peraturan Menteri HukumdanHAM Nomor 44 Tahun 2015tentang Tata Cara Pemeriksaan Masuk dan Keluar Wilayah Indonesia di Tempat Pemeriksaan Imigrasi tidak membahas mengenai konsep area imigrasi sedikitpun. Maka dari itu, diperlukan instrumen hukum yang pasti dan detil mengenai Area Imigrasi, baik dalam arti sempit dan dalam arti luas. Sehingga, konsep area imigrasi tidak menyebabkan ambigu dan kekosongan hukum dalam pengaturan area Imigrasi, seperti mengenai sanksi dan berbagai aspek lainnya dalam bidang keimigrasian.

Berdasarkan uraian di atas, solusi hukum atas ketidakpastian hukum terkait ketentuan area imigrasi dalam UU Keimigrasian dapat dilakukan dengan melakukan penataan terkait hukum positif atau peraturan perundang-undangan mengenai keimigrasian. Dalam hal ini, ketidakpastian hukum mengenai istilah area imigrasi dapat diberikan definisi serta lingkup operasional dengan membentuk produk hukum yang secara hierarkis di bawah UU Keimigrasian. Menurut hemat penulis, produk hukum yang menjelaskan secara spesifik mengenai definisi serta lingkup operasional area imigrasi dapat berbentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang kemudian dapat ditindaklanjuti secara teknis dengan aturan di bawahnya. Tindak lanjut teknis dari Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden dapat berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri serta secara khusus dapat dibentuk SOP mengenai area imigrasi bagi petugas dan aparat penegak hukum di bidang keimigrasian yang khususnya bertugas di area imigrasi.

Simpulan

Orientasi asas teritorialitas terkait dengan area imigrasi bahwa asas teritorialitas memerlukan kepastian hukum mengenai ketentuan terkait dengan area imigrasi. Hal ini karena dalam praktik keimigrasian, asas teritorialitas merupakan asas penting yang salah satunya berupaya secara preventif untuk menjaga kedaulatan negara. Adanya temuan ini diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk membuat suatu produk hukum yang menjelaskan secara spesifik mengenai definisi serta lingkup operasional area imigrasi. Dapat berbentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang kemudian dapat ditindaklanjuti secara teknis dengan aturan di bawahnya. Tindak lanjut teknis dari Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden dapat berupa Peraturan Menteri Dalam Negeri serta secara khusus dapat dibentuk SOP mengenai area imigrasi bagi petugas dan aparat penegak hukum di bidang keimigrasian yang khususnya bertugas di area imigrasi.

References

  1. J. Barton-Crosby, “The nature and role of morality in situational action theory,” Eur. J. Criminol., vol. 1, no. 1, pp. 1–17, 2020, doi: 10.1177/1477370820977099.
  2. H. Kissinger, Diplomacy Law. New York: Simon and Schuster, 2011.
  3. G. Duke, “Law’s Normative Point,” Law Philos., vol. 38, no. 1, pp. 1–27, Feb. 2019, doi: 10.1007/s10982-018-9334-8.
  4. S. Rokilah Rokilah, “Penerapan Asas Hukum Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan,” Ajudikasi J. Ilmu Huk., vol. 5, no. 2, pp. 179–190, 2021.
  5. K. E. Himma and B. Bix, Law and Morality. Routledge, 2017.
  6. K. E. Himma, Morality and the Nature of Law. Oxford: Oxford University Press, 2019.
  7. M. A. Hamdi, “Punishment for Foreign Citizens That Make an Abuse of Free Visit Visa,” J. Ilm. Kaji. Keimigrasian, vol. 2, no. 1, pp. 85–92, 2019, doi: 10.52617/jikk.v2i1.65.
  8. B. Z. Tamanaha, A realistic theory of law, 1st ed. Cambridge: Cambridge University Press, 2017.
  9. J. Ezenwajiaku, State Territory and International Law. New York: Routledge, 2020.
  10. N. Krisch, “Jurisdiction Unbound: (Extra)territorial Regulation as Global Governance,” Eur. J. Int. Law, vol. 33, no. 2, pp. 481–514, Sep. 2022, doi: 10.1093/ejil/chac028.
  11. H. Hannum, D. L. Shelton, and R. C. S. James Anaya, International Human Rights: Problems of Law, Policy, and Practice. Alphen aan den Rijn: Wolters Kluwer Law & Business, 2017.
  12. J. S. W. Park, Immigration Law and Society. New York: Polity Press, 2018.
  13. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2008.
  14. M. Syahrin, Perbatasan Imajiner Indonesia dalam Prinsip Hukum Keimigrasian, no. August. 2020.
  15. Y. K. Spies, “The Law of Diplomacy,” in Global Diplomacy and International Society, Cham: Springer International Publishing, 2019, pp. 101–142.
  16. D. E. Purwoleksono, Hukum Pidana, 1st ed. Surabaya: Airlangga University Press, 2016.
  17. S. T. Indarti, “Kebijakan Keimigrasian Di Masa Covid-19: Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia,” HAM, vol. 12, no. 1, p. 26, 2021.
  18. G. A. Made Widnyani, “Eksistensi Area Imigrasi Pada Tempat Pemeriksaan Imigrasi Di Indonesia,” J. Magister Huk. Udayana (Udayana Master Law Journal), vol. 5, no. 1, p. 101, 2016, doi: 10.24843/jmhu.2016.v05.i01.p10.
  19. E. N. Zahara, “Dirjen Imigrasi: Waspadai Ancaman ‘Multiple Criminal Act,’” Majalah BhumiPura. KEMENTERIAN HUKUM DAN HAM RI DIREKTORAT JENDERAL IMIGRASI, p. 8, 2019.
  20. R. N. S. Kresna, I Gusti Putu Anom and M. A. Alfarizi, “Potret Hukum Tindakan Administrasif Keimigrasian,” J. Law Bord. Prot., vol. 4, no. 1, pp. 33–43, 2022.
  21. J. L. Reasoning, M. R. Qalandy, U. Sriwijaya, M. A. Syahrin, P. Imigrasi, and I. Tinggal, “Law Enforcement Instrument for Foreign Workers who Abuse Immigration Stay Permit,” J. Leg. Reason., vol. 4, no. 1, pp. 1–16, 2021.
  22. R. H. Hudan, “Kontradiksi Operation Sovereign Borders Australia Terhadap Peratifikasian Konvensi Pengungsi Tahun 1951,” 2019.
  23. S. I. G. Agaton, “The Kantian Categorical Imperative and Marawi Refugees: Affirming the Importance of the Anti-Terrorism Law,” Masyarakat, Kebud. Dan Polit., vol. 35, no. 2, p. 233, 2022.
  24. H. Fernando, “Penerapan Asas Teritorial Tindak Pidana Penangkapan Ikan Secara Illegal Oleh Kapal Asing,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, pp. 1–56, 2013.
  25. K. Kittichaisaree, International Human Rights Law and Diplomacy. Cheltenham: Edward Elgar Publishing, 2020.
  26. B. D. Anggono, “TERTIB JENIS, HIERARKI, DAN MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:PERMASALAHAN DAN SOLUSINYA,” Masal. Huk., vol. 47, no. 1, pp. 1–9, 2018.
  27. B. D. Anggono, Pokok-Pokok Pemikiran Penataan Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia, 1st ed. Jakarta: Konstitusi Press, 2020.
  28. H. Wijayanti, Hukum Kewarganegaraan dan Hukum Keimigrasian, 1st ed. Malang: Bayumedia Publishing, 2010.
  29. K. R. Aisyah Nurannisa Muhlisa, “Penegakan Hukum Keimigrasian Terhadap Penyalahgunaan Visa Izin Tinggal Kunjungan Lewat Batas Waktu (Overstay) Pada Warga Negara Asing,” Pembang. Huk. Indones., vol. 2, no. 2, p. 147, 2020.
  30. D. Rahmawati, Atma, Lia, Hariani, “Analisis Penerapan E-Government Pada Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (Simkim) Di Kantor Imigrasi Kelas 1 Kota Semarang,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699, 2019.
  31. G. A. dan A. D. Basniwati, Hukum Keimigrasian, 1st ed. Mataram: Pustaka Bangsa, 2020.
  32. Aprianis, “Pengaruh Standar Operasional Prosedur (Sop) Dan Kualitas Pelayanan Terhadap Kinerja Pegawai Pada Kantor Imigrasi Kelas I Tempat Pemeriksaan Imigrasi (Tpi) Bandar Lampung,” J. Ilmu Manaj. Saburai, vol. 7, no. 1, p. 48, 2021.
  33. M. A. Syahrin, “Polarisasi Penegakan Hukum Keimigrasian Kontemporer: Aksiologi Normatif - Empiris,” Maj. Huk. Nas., vol. 49, no. 1, p. 60, 2019.
  34. Y. Y. Mohd Feri Andria, Muhammad Nasir, “Analisis Peran Pengawasan Kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe Terhadap Keberadaan Orang Asing,” Suloh, vol. 9, no. 2, p. 49, 2021.