Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v10i0.787

Crypto Asset as a Transaction Tool in the Perspective of Economic Analysis of Law: Legal Consequences and Ius Constituendum


Aset Kripto sebagai Alat Transaksi dalam Perspektif Analisis Hukum Ekonomi: Konsekuensi Hukum dan Ius Constituendum

Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia
Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Indonesia

(*) Corresponding Author

Crypto Assets Digital Business Economic Analysis of Law

Abstract

This normative legal research examines the economic and legal aspects of using crypto assets as a means of business transactions in Indonesia. The study uses a concept and legislation approach to analyze the legal consequences of crypto assets as transaction tools in digital business transactions. The research finds that crypto assets can be traded as goods in accordance with existing regulations, but cannot be used as legal tender in digital business transactions. Any digital transaction that uses only crypto assets as currency is null and void, and subject to criminal sanctions. To regulate the use of crypto assets as transaction tools, the study suggests breaking down the substance of Bappebti Regulation into two characters, regeling and beshikking. The implication of this research is that further studies and proposals are needed from Bappebti to determine whether crypto assets can be used as currency in the future, and to ensure that future regulation aligns with the principles of Economic Analysis of Law.


Highlights:

  1. Crypto assets can be traded as goods in accordance with regulations.
  2. Crypto assets cannot be used as legal tender in digital business transactions.
  3. Regulation of crypto assets as a transaction tool needs to be further developed and clarified.

Pendahuluan

Perkembangan teknologi mengaruskan hukum harus responsif dalam upayanya untuk memberikan perlindungan bagi masyarakat [1]. Dalam hal ini, perkembangan teknologi yang merupakan suatu keniscayaan di masyarakat memerlukan orientasi hukum untuk membingkai perkembangan teknologi. Upaya hukum untuk membingkai perkembangan teknologi dimaksudkan supaya hak-hak masyarakat dapat terjamin oleh hukum seiring dengan hadirnya perkembangan teknologi [2]. Dalam pandangan Richard Susskind, perkembangan teknologi memang memiliki implikasi hukum berupa potensi adanya penyalahgunaan teknologi yang dapat merugikan hak-hak masyarakat [3]. Meski begitu, di sisi lain perkembangan teknologi juga dapat melahirkan suatu “revolusi” cara dan praktik berhukum yang mana praktik hukum harus berorientasi pada upaya digitalisasi untuk mengakomodasi perkembangan zaman.

Perkembangan teknologi yang berimplikasi pada aspek hukum salah satunya adalah adanya praktik transaksi dalam bisnis dengan menggunakan aset kripto. Aset kripto atau lazimnya disebut cryptocurrency sejatinya merupakan aset digital yang dikembangkan dari teknologi blockchain atau teknologi rantai-blok [4]. Perkembangan inventasi terkait dengan aset kripto di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 4,7 juta pengguna [5]. Lebih lanjut, di tahun 2022, inventasi terkait dengan aset kripto di Indonesia meningkat mencapai 16,27 juta orang pengguna dan lebih banyak dibandingkan dengan invenstasi di bidang pasar modal yang hanya mencapai 9,1 juta orang [6]. Berdasarkan uraian tersebut, sejatinya terdapat perkembangan signifikan mengenai perkembangan praktik transaksi dalam bisnis dengan menggunakan aset kripto di Indonesia.

Perkembangan aset kripto dalam transaksi bisnis di Indonesia sejatinya menimbulkan problematika salah satunya ketika aset kripto digunakan sebagai alat transaksi, khususnya sebagai alat pembayaran. Dalam hal ini, sejatinya belum terdapat pengaturan khusus mengenai diperbolehkan atau tidaknya aset kripto sebagai alat transaksi, khususnya sebagai alat pembayaran. Jika mengacu pada Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang (selanjutnya UU Mata Uang) hanya menegaskan bahwa dalam konteks Indonesia pembayaran yang sah adalah menggunakan mata uang Rupiah. Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) melalui Peraturan Bappebti No. 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto (selanjutnya disebut Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik) hanya menegaskan mengenai daftar aset kripto yang dapat diperdagangkan namun secara spesifik belum membahas mengenai bagaimana eksistensi aset kripto sebagai alat transaksi, khususnya sebagai alat pembayaran. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aset kripto sebagai alat transaksi yang dilihat dari perspektif Economic Analysis of Law (EAL). Gagasan mengenai EAL menjadi fokus dari tulisan ini karena EAL mengorientasikan aspek ekonomi (termasuk perkembangan ekonomi dan bisnis) yang memiliki implikasi dan relevansi dengan aspek hukum [7]. Dalam konteks ini, perspektif EAL sejatinya relevan sebagai “pisau analisis” dalam memahami perkembangan aset kripto sebagai alat transaksi.

Penelitian mengenai aset kripto sebagai alat transaksi sejatinya pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, seperti: (i) Afrizal dan Marliyah (2021) yang mengkaji mengenai Analisis Terhadap Cryptocurrency (Perspektif Mata Uang, Hukum, Ekonomi Dan Syariah) dengan fokus pada aset kripto ditinjau dari praktik ekonomi dan aspek hukum [8]. Selanjutnya, kajian yang dilakukan oleh (ii) Prima Dwi Priyatno dan Isti Nuzulul Atiah (2021) yang mengkaji mengenai Melirik Dinamika Cryptocurrency dengan Pendekatan Ushul Fiqih dengan fokus aset kripto dalam perkembangan bisnis ditinjau dari ushul fiqih[9]. Lebih lanjut, kajian yang dilakukan oleh Kadek Dyah Pramitha Widyarani, Ida Ayu Putu Widiati, dan Ni Made Puspasutari Ujianti (2022) tentang Kajian Yuridis Penggunaan Koin Kripto Sebagai Alat Pembayaran Di Indonesia dengan fokus analisis penggunaan aset kripto sebagai alat pembayaran [10]. Dari ketiga penelitian sebelumnya tersebut, penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang orisinal karena membahas mengenai aset kripto sebagai alat transaksi dalam perspektif Economic Analysis of Law (EAL) yang belum dibahas oleh ketiga peneliti sebelumnya. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Apakah akibat hukum penggunaan aset kripto sebagai alat transaksi dalam perspektif Economic Analysis of Law? dan (ii) Apa pengaturan ke depan yang tepat berkaitan dengan aset kripto sebagai alat transaksi dalam perspektif Economic Analysis of Law?.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berfokus pada teori hukum, khususnya dengan mengacu pada teori Economic Analysis of Law[11]. Pengkajian mengenai teori hukum dimaksudkan untuk menganalisis koherensi antara teori dan aturan hukum yang ada. Dalam konteks ini, teori Economic Analysis of Law dijadikan pisau analisis untuk mengkaji berbagai peraturan mengenai aset kripto sebagai alat transaksi. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang (selanjutnya UU Mata Uang), Undang-Undang No. 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (selanjutnya disebut UU Perdagangan), Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018 Tentang Kebijakan Umum Penyelenggaraan Perdagangan Berjangka Aset Kripto (Crypto Asset) (selanjutnya disebut Permendag Aset Kripto) dan Peraturan Bappebti No. 11 Tahun 2022 Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto Yang Diperdagangkan di Pasar Fisik Aset Kripto (selanjutnya disebut Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik). Bahan hukum sekunder meliputi kajian dan hasil penelitian mengenai aset kripto dan teori Economic Analysis of Law. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep.

Pembahasan

Akibat Hukum Aset Kripto Sebagai Alat Transaksi dalam Perspektif Economic Analysis of Law

Aset kripto atau lazim disebut sebagai cryptocurrency sejatinya merupakan bagian dari perkembangan teknologi digital. Dalam praktik transaksi, aset kripto juga lazim disenut sebagai mata uang digital. Tentu, pemahaman aset kripto sebagai mata uang digital dapat dipahami mengingat aset kripto sering dijadikan alat tukar dalam transaksi bisnis digital [12]. Dalam sistem yang berkembang dalam bisnis digital, aset kripto mendapatkan perlindungan dari sandi rahasia atau dalam hal ini disebut dengan kriptografi. Hal ini berarti, aset kripto memiliki mekanisme tertentu untuk melindunginya dari berbagai aspek dalam bisnis digital. Dalam praktiknya, transaksi yang melibatkan aset kripto dilakukan dengan cara peer to peer dengan menghubungkan antara satu perangkat gawai dengan perangkat lainnya dengan tanpa adanya server [13]. Hal ini dilakukan dengan tujuan pemilik aset kripto dapat lebih mudah melakukan transaksi secara digital face to face sehingga tidak memerlukan adanya pihak ketiga[14].

Meski tidak memerlukan pihak ketiga, namun setiap transaksi digital yang melibatkan aset kripto dipantau sekaligus dicatat oleh sistem jaringan yang bernama blockchain atau teknologi rantai-blok yang merupakan sistem khusus dalam transaksi aset kripto yang secara khusus memiliki fungsi untuk mencatat setiap kegiatan bisnis yang dilakukan dengan aset kripto[15]. Dalam prinsipnya, blockchain atau teknologi rantai-blok adalah sebuah sistem komputasi yang berbasis digital dan merupakan aspek terpenting yang melahirkan transaksi bisnis dengan aset kripto. Salah satu keunggulan dari blockchain atau teknologi rantai-blok adalah kemampuannya untuk mendistribusikan berbagai informasi digital mengenai transaksi yang terjadi dan bukan hanya sekadar mencatatnya[16].

Informasi yang dihadirkan oleh blockchain atau teknologi rantai-blok sejatinya bersifat rahasia dengan adanya kode tertentu sebagai identitas pribadi pengguna transaksi aset kripto. Dengan demikian, ada jaminan kerahasiaan dalam praktik bisnis digital terkait transaksi aset kripto. Dalam perkembangannya, aset kripto pertama kali sejatinya dikembangkan oleh David Chaum di tahun 1983 di Amerika Serikat [17]. Perkembangan ini diawali dengan dikembangkannya kriptografi sebagai uang elektronik yang secara resmi dikembangkan lebih lanjut di tahun 1995 dengan hadirnya digicash. Digicash sejatinya semacam sistem bisnis digital yang masih sederhana dan dikembangkan di tahun 1995 meskipun praktik penggunaan digicash masih sederhana dan terbatas karena dalam praktiknya digicash memerlukan hardware dan software khusus untuk melakukannya sehingga lebih bersifat tertutup dan terbatas sehingga tidak semua orang dapat melakukannya[18].

Perkembangan aset kripto sebagai alat transaksi bisnis digital semakin berkembang pada tahun 2009 dengan diperkenalkannya Bitcoin oleh Satoshi Nakamoto[19]. Bitcoin sejatinya dikembangkan oleh Satoshi Nakamoto sebagai mata uang kripto memiliki karakter terdesentralisasi sehingga mudah digunakan di berbagai platform digital tanpa memerlukan perangkat khusus[20]. Perangkat yang dibutuhkan untuk mengakses Bitcoin hanyalah dengan syarat terhubung secara optimal dengan akses internet. Diterimanya Bitcoin sebagai mata uang aset kripto menjadikan masifnya perkembangan aset kripto dalam bisnis digital. Salah satu dampak dari masifnya perkembangan aset kripto dalam bisnis digital adalah dengan semakin familiarnya masyarakat dengan internet. Perkembangan internet yang masif menyebabkan masyarakat kian aktif menggunakan aset kripto sebagai alat transaksi.

Perkembangan aset kripto tersebut berimplikasi pada perlunya fasilitas regulasi yang sesuai dengan perkembangan teknologi dan investasi digital. Menyikapi hal tersebut beberapa negara memilih opsi untuk melarang maupun memperbolehkan penggunaan aset kripto sebagai alat alat transaksi. Salah satu negara yang tegas melarangnya adalah China bahkan hingga melakukan penelusuran dan investigasi yang mendalam kepada perusahaan dan individu yang masih melakukan transaksi dengan menggunakan aset kripto[21]. Selain itu, berbanding terbalik dengan sikap China, negara El Salvador justru memperbolehkan penggunaan aset kripto sebagai alat transaksi bahkan menjadi mata uang digital [22]. Hal ini didasarkan pada Keputusan Presiden Nayib Bukele untuk menjadikan mata uang kripto sebagai alat pembayaran yang sah. Hal ini bahkan diperkuat dengan 2.300 bitcoin milik El Salvador bernilai setengah dari harga belinya [23]. Selain China dan El Salvador yang memiliki sikap berbeda terkait dengan perkembangan transaksi dengan menggunakan aset kripto, terdapat juga negara yang memilih sikap “moderat” terkait dengan perkembangan aset kripto, salah satunya Indonesia.

Indonesia dapat dikatakan bersikap lebih moderat mengenai perkembangan aset kripto hal ini dikarenakan Indonesia dengan produk hukum yang ada sejatinya memfasilitasi praktik perkembangan aset kripto namun belum secara tegas terkait pembolehan penggunaan aset kripto sebagai mata uang digital. Hal ini dapat dilihat dari diterbitkannya Permendag Aset Kripto dan Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik yang sejatinya memperbolehkan penjualan aset kripto sebagai bagian dari perkembangan bisnis digital. Namun, terkait dengan upaya menjadikan aset kripto sebagai alat pembayaran maka berdasarkan UU Mata Uang bahwa alat pembayaran yang sah adalah Rupiah, maka sejatinya aset kripto tidak diperkenankan menjadi mata uang digital berdasarkan hukum positif di Indonesia. Sikap hati-hati dari Pemerintah Indonesia mengenai perkembangan aset kripto adalah hal yang wajar, setidaknya dengan didasarkan pada dua argumentasi.

Pertama, upaya pemerintah memberi ruang pada pengembangan bisnis digital menggunakan aset kripto sejatinya didasarkan pada pandangan bahwa hukum tidak boleh “menutup mata” terkait dengan perkembangan zaman [24]. Salah satu karakter hukum menurut Lon Fuller adalah terakomodasinya kebutuhan hukum masyarakat yang salah satunya merupakan pengejawentahan dari perkembangan zaman[25]. Dengan demikian, sikap hati-hati Pemerintah Indonesia dapat dipahami sebagai upaya untuk memfasilitasi perkembangan zaman namun tetap menjamin terpenuhinya hak masyarakat dari potensi adanya perkembangan zaman yang bersifat destruktif.

Kedua, upaya Pemerintah Indonesia untuk tidak memperbolehkan aset kripto sebagai mata uang dalam transaksi digital dapat dipahami sebagai upaya untuk menunjukkan sikap hati-hati Pemerintah Indonesia terkait kebijakan yang berpotensi berdampak luas bagi masyarakat. Selain itu, secara teoretik, belum diakomodasikannya aset kripto sebagai alat pembayaran dapat dipahami berdasarkan konsep syarat-syarat uang yang meliputi[26]: (i) mudah dibawa, dalam hal ini aset kripto berbentuk tidak berwujud serta penggunaannya hanya membutuhkan media internet. Dalam konteks ini, sejatinya memenuhi syarat mudah dibawa. Selanjutnya, syarat uang adalah (ii) tahan lama, hal ini dapat dilihat bahwa aset kripto yang tidak berbentuk fisik, maka daya tahannya dapat dikatakan lama. Selanjutnya, syarat uang adalah (iii) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, dalam konteks ini, aset kripto sejatinya dapat dipecah menjadi bagian yang lebih kecil dengan metode dan cara-cata tertentu.

Lebih lanjut, syarat uang adalah (iv) dapat distandarisasi, yang dalam konteks ini harus ditentukan oleh Bank Sentral suatu negara yang dalam konteks Indonesia adalah Bank Indonesia. Aspek ini sejatinya tidak dapat dipenuhi oleh aset kripto karena selain bersifat opensource, aset kripto juga belum mendapatkan persetujuan dari Bank Indonesia sebagai mata uang digital. Selanjutnya, syarat uang adalah (v) memiliki nilai yang relatif stabil. Dalam konteks ini, aset kripto sejatinya tidak memiliki nilai yang stabil karena fluktuasi nilai yang cenderung drastis dan tidak dapat diprediksi. Nilai suatu aset kripto dapat naik dengan drastis pada suatu waktu,begitu pula sebaliknya dapat turun dengan drastis. Dengan demikian, sejatinya aset kripto tidak memenuhi aspek nilai yang stabil sebagai salah satu syarat uang. Dari kelima syarat uang di atas, dapat disimpulkan bahwa aset kripto tidak memenuhi dua aspek yaitu aspek standarisasi dan nilai yang stabil. Dengan demikian maka wajar jika aset kripto belum dapat menjadi mata uang dalam transaksi bisnis digital. Dalam perspektif Economic Analysis of Law (EAL), EAL mengedepankan nilai keadilan sebagai basic virtue dari hukum dengan tetap melihat perkembangan aspek ekonomis (aspek non-hukum) [27].

Perspektif EAL berpandangan bahwa keadilan dalam aspek ekonomi (economic justice) harus didasarkan pada tiga elemen dasar yang meliputi efisiensi (efficiency), nilai (value), serta kegunaan (utility) [28]. Dari ketiga elemen dasar tersebut, dalam pandangan Richard Posner, hukum seyogyanya dibuat dan diterapkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum berdasarkan the economic conception of justice dengan mengedepankan maximizing overall social utility[29]. Mengenai sikap Indonesia yang di satu sisi memfasilitasi perkembangan bisnis digital berupa aset kripto namun di sisi lain justru belum memperkenankan aset kripto sebagai mata uang maka dalam perspektif EAL apa yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah upaya untuk menjaga tiga elemen dasar the economic conception of justice tanpa mengabaikan fakta dan realita perkembangan bisnis digital. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa hukum harus memfasilitasi perkembangan teknologi namun jangan sampai hukum “tenggelam” oleh “hukum besi” teknologi yang dapat mendegradasi nilai kepatutan dan keadilan [30].

Di sini lah, sejatinya peran Pemerintah Indonesia sudah tepat berdasarkan perspektif EAL dalam menyikapi aset kripto. Terkait dengan akibat hukum penggunaan aset kripto sebagai alat transaksi, hal ini sejatinya dapat dilihat sebagai apakah aset kripto dalam transaksi bisnis digital. Sebagai barang yang dapat diperjualbelikan tentu aset kripto dapat menjadi barang yang diperjualbelikan sesuai dengan ketentuan Permendag Aset Kripto dan Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik. Akan tetapi, sebagai mata uang pembayaran dalam transaksi bisnis digital, tentu aset kripto sejatinya tidak dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah, karena jika mengacu pada UU Mata Uang maka alat pembayaran yang sah adalah Rupiah. Dengan demikian, maka setiap transaksi digital yang hanya menggunakan aset kripto sebagai mata uang adalah batal demi hukum serta berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang maka setiap transaksi bisnis yang tidak menggunakan Rupiah mendapatkan sanksi pidana kurungan maksimal satu tahun dan/atau denda maksimal dua ratus juta Rupiah.

Berdasarkan uraian pemaparan dan analisis di atas, akibat hukum aset kripto sebagai alat transaksi dalam perspektif Economic Analysis of Law yaitu perlu dilihat terlebih dahulu sebagai apakah aset kripto dalam transaksi bisnis digital. Sebagai barang yang dapat diperjualbelikan tentu aset kripto dapat menjadi barang yang diperjualbelikan sesuai dengan ketentuan Permendag Aset Kripto dan Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik. Akan tetapi, sebagai mata uang pembayaran dalam transaksi bisnis digital, tentu aset kripto sejatinya tidak dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah, karena jika mengacu pada UU Mata Uang maka alat pembayaran yang sah adalah Rupiah. Dengan demikian, maka setiap transaksi digital yang hanya menggunakan aset kripto sebagai mata uang adalah batal demi hukum serta berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (1) UU Mata Uang maka setiap transaksi bisnis yang tidak menggunakan Rupiah mendapatkan sanksi pidana kurungan maksimal satu tahun dan/atau denda maksimal dua ratus juta Rupiah.

Aset Kripto Sebagai Alat Transaksi dalam Perspektif Economic Analysis of Law : Ius Constituendum

Responsivitas hukum mengenai perkembangan teknologi dan digitalisasi merupakan aspek terpenting supaya hukum dapat memfasilitasi perkembangan realitas kemasyarakatan [31]. Dalam konteks perkembangan kripto dalam bisnis digital, perkembangan proses ekonomis seyogyanya harus diimbangi dengan progresivitas hukum. Dalam perspektif Economic Analysis of Law(EAL), relasi antara ekonomi dan hukum dipandang dekat dan saling memengaruhi [32]. Salah satu fokus kajian dari EAL adalah perluasan dimensi hukum dalam konteks yang lebih luas dengan melengkapi ajaran keadilan melalui konsepsi keadilan ekonominya [29]. Oleh karena itu, dalam hal menanggulangi perkembangan bisnis digital dengan realitas hadirnya aset kripto tentu penataan dan fasilitasi hukum diperlukan untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi. EAL dalam analisisnya selalu menempatkan prinsip-prinsip ekonomi termasuk perkembangannya yang dapat mempengaruhi perkembangan hukum.

Pengaruh ekonomi terhadap hukum sejatinya bukanlah hal yang lumrah sekalipun dalam prinsipnya, esensi keadilan ekonomi harus tetap menjadi aspek penting dalam analisis EAL[33]. Hal ini berarti, EAL menempatkan perkembangan ekonomi sebagai “aspek pendukung” dari perkembangan hukum. Terkait dengan legalitas dan legitimitas hukum itu sendiri konsep keadilan ekonomi harus terus diperhatikan dan dijadikan sebagai orientasi pemandu analisis EAL. Jika mengacu secara saksama gagasan dari Richard Posner mengenai EAL, sejatinya relevansi antara ekonomi dan hukum terbagi menjadi dua aspek yaitu: perkembangan ekonomi yang harus difasilitasi oleh hukum dan perkembangan ekonomi yang mengharuskan adanya perubahan dan penataan hukum [34]. Dalam konteks analisis EAL, gagasan Richard Posner yang menekankan the economic conception of justice sejatinya berkaitan dengan aspek dalam kondisi seperti apa hukum harus memfasilitasi perkembangan ekonomi serta dalam kondisi apa hukum harus diubah dan membuat produk hukum baru untuk memfasilitasi perkembangan ekonomi.

Dalam konteks hukum harus harus memfasilitasi perkembangan ekonomi, dalam konteks ini sejatinya proses hukum dan ekonomis sudah berjalan secara teratur dan saling berkelindan, hanya saja, hukum dituntut untuk lebih tegas dan jelas dalam mengatur mengenai perkembangan ekonomi[35]. Dalam konteks ini, sebagai fasilitator kegiatan ekonomi maka hukum harus menetapkan kebijakan yang menunjang dan menopang perkembangan ekonomi. Hal ini tentu berbeda dengan adanya relasi yang tidak seimbang antara hukum dan ekonomi, yang mana dapat saja terjadi perkembangan ekonomi berkembang pesat sehingga membuat hukum tertinggal dari perkembangan ekonomi [36]. Tertinggalnya hukum dalam realitas ekonomi berimplikasi pada hadirnya kekosongan hukum di masyarakat. Kekosongan hukum secara sederhana berarti luputnya hukum dalam menjamin serta mengatur perkembangan ekonomi[37]. Luputnya pengaturan hukum tersebut berpotensi menyebabkan beberapa hak-hak hukum masyarakat terabaikan dan bahkan hukum besi ekonomi bisa berlaku yaitu bahwa pihak yang kaya (kuat secara ekonomis) akan menindas pihak yang secara ekonomis lemah [38].

Hal ini seyogyanya akan menjauhkan esensi the economic conception of justice dalam praktiknya. Dalam realitas perkembangan aset kripto, maka dilihat dari analisis EAL dengan karakter hukum yang memfasilitasi dan hukum yang menjamin kekosongan hukum tersebut maka untuk saat ini langkah Pemerintah Indonesia dalam perspektif EAL sejatinya sudah tepat. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan yang terdapat dalam Permendag Aset Kripto dan Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik yang menegaskan bahwa sebagai barang yang dapat diperjualbelikan tentu aset kripto dapat menjadi barang yang diperjualbelikan sesuai dengan ketentuan. Akan tetapi, sebagai mata uang pembayaran dalam transaksi bisnis digital, tentu aset kripto sejatinya tidak dapat dipergunakan sebagai alat pembayaran yang sah, karena jika mengacu pada UU Mata Uang maka alat pembayaran yang sah adalah Rupiah. Dalam analisis EAL, kebijakan hukum Pemerintah Indonesia cenderung untuk memfasilitasi perkembangan aset kripto. Hal ini dikarenakan, melarang perkembangan aset kripto adalah tidak mungkin yang mungkin bagi Indonesia adalah memfasilitasi dan mengatur perkembangan aset kripto.

Selain itu, dalam perspektif EAL, hadirnya Permendag Aset Kripto yang disahkan tahun 2018 sejatinya merupakan langkah progresif untuk mengisi kekosongan hukum pengaturan mengenai aset kripto. Lebih lanjut, karena perkembangan aset kripto merupakan perkembangan realitas ekonomi yang komprehensif, maka perlu dibentuk badan khusus yang diisi para ahli di bidang aset kripto untuk mengaturnya. Dalam hal ini lah, berdasarkan Permendag Aset Kripto lahirlah lembaga Bappebti. Bappebti dalam hal ini harus didudukkan sebagai delegasi menteri dalam mengatur perkembangan aset kripto dan di sisi lain, merupakan para ahli (expert) yang dianggap memiliki kualitas dan kualifikasi untuk mengatur perkembangan aset kripto. Dalam konteks ini, maka dalam perspektif EAL, yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan adalah hal yang tepat. Meski begitu, dengan mengacu rumusan Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik yang diterbitkan pada tahun 2022, sejatinya memerlukan beberapa pembaruan ke depannya, diantaranya: pertama, jika mengacu susbtansi Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik, maka sejatinya dalam aturan tersebut terdapat dua jenis aturan yang seyogyanya diatur secara berbeda, yaitu Peraturan Bappebti yang bersifat regeling dan ketetapan Kepala Bappebti, khususnya yang berkaitan dengan daftar aset kripto yang seharusnya berkarakter beshikking.

Karakter beshikking dimaksudkan supaya penetapan tersebut dapat dengan mudah diubah khususnya dengan melihat perkembangan daftar aset kripto yang dengan perkembangan zaman hal tersebut sangat mungkin berubah[39][40]. Kedua, dengan adanya karakter regeling dan beshikking dalam satu Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik maka dapat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika terdapat perkembangan daftar aset kripto maka Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik harus diubah, padahal jika mengacu pada dua karakter dalam Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik, maka seyogyanya cukup yang karakter beshikking saja yang mudah diganti untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Terkait dengan pengaturan ke depan mengenai aset kripto sebagai alat transaksi, khususnya sebagai mata uang, menurut hemat penulis selama kelima syarat uang yang meliputi (i) mudah dibawa, (ii) tahan lama, (iii) dapat dipecah menjadi unit-unit yang lebih kecil, (iv) dapat distandarisasi dan (v) memiliki nilai yang relatif stabil maka potensi ke depan terkait dijadikannya aset kripto sebagai alat transaksi, khususnya sebagai mata uang digital sangat dimungkinkan, khususnya dengan memerhatikan kajian dan usulan dari Bappebti untuk ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia. Hal ini penting karena perkembangan teknologi digital dimungkinkan juga menyertakan perkembangan mengenai aset kripto yang pada masa dan saatnya telah memenuhi syarat sebagai uang. Dalam perspektif EAL, hukum tidak boleh menutup diri untuk melihat perkembangan ekonomi digital yang kian masif di masyarakat.

Oleh karena itu, kajian dan usulan dari Bappebti menjadi penting untuk menentukan apakah ke depan aset kripto dapat dijadikan sebagai mata uang. Tentu, tidak lanjut dari kajian Bappebti harus disampaikan pada Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bagi DPR, adanya perkembangan aset kripto ke depannya juga memerlukan responsivitas DPR dalam menentukan pembuatan produk hukum Undang-Undang termasuk merevisi Undang-Undang yang ada seperti revisi atas UU Mata Uang.

Berdasarkan uraian di atas, maka pengaturan ke depan aset kripto sebagai alat transaksi dalam perspektif Economic Analysis of Law harus dilakukan dengan memecah susbtansi Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik menjadi dua karakter yaitu karakter regeling dan beshikking. Adanya karakter regeling dan beshikking dalam satu Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik maka dapat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan tersebut. Hal ini dapat dilihat misalnya ketika terdapat perkembangan daftar aset kripto maka Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik harus diubah, padahal jika mengacu pada dua karakter dalam Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik, maka seyogyanya cukup yang karakter beshikking saja yang mudah diganti untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Terkait dengan pengaturan ke depan mengenai aset kripto sebagai alat transaksi, khususnya sebagai mata uang, harus dilihat pada perkembangan praktik digital yang ada khususnya dengan memerhatikan kajian dan usulan dari Bappebti untuk ditindaklanjuti oleh Bank Indonesia. Hal ini penting karena perkembangan teknologi digital dimungkinkan juga menyertakan perkembangan mengenai aset kripto yang pada masa dan saatnya telah memenuhi syarat sebagai uang. Dalam perspektif EAL, hukum tidak boleh menutup diri untuk melihat perkembangan ekonomi digital yang kian masif di masyarakat. Oleh karena itu, kajian dan usulan dari Bappebti menjadi penting untuk menentukan apakah ke depan aset kripto dapat dijadikan sebagai mata uang. Tentu, tidak lanjut dari kajian Bappebti harus disampaikan pada Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bagi DPR, adanya perkembangan aset kripto ke depannya juga memerlukan responsivitas DPR dalam menentukan pembuatan produk hukum Undang-Undang termasuk merevisi Undang-Undang yang ada seperti revisi atas UU Mata Uang.

Simpulan

Pengaturan ke depan aset kripto sebagai alat transaksi dalam perspektif Economic Analysis of Law harus dilakukan dengan memecah susbtansi Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik menjadi dua karakter yaitu karakter regeling dan beshikking. Adanya karakter regeling dan beshikking dalam satu Peraturan Bappebti Tentang Penetapan Daftar Aset Kripto di Pasar Fisik maka dapat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan peraturan tersebut. Selain itu, kajian dan usulan dari Bappebti menjadi penting untuk menentukan apakah ke depan aset kripto dapat dijadikan sebagai mata uang. Tentu, tidak lanjut dari kajian Bappebti harus disampaikan pada Bank Indonesia, Kementerian Perdagangan, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bagi DPR, adanya perkembangan aset kripto ke depannya juga memerlukan responsivitas DPR dalam menentukan pembuatan produk hukum Undang-Undang termasuk merevisi Undang-Undang yang ada seperti revisi atas UU Mata Uang.

References

  1. A. Harding, “Theories of Law and Development,” Asian J. Soc. Sci., vol. 46, no. 4–5, pp. 421–444, Sep. 2018, doi: 10.1163/15685314-04604003.
  2. N. Katagiri, “Why international law and norms do little in preventing non-state cyber attacks,” J. Cybersecurity, vol. 7, no. 1, pp. 1–9, Feb. 2021, doi: 10.1093/cybsec/tyab009.
  3. R. Susskind, The Future of the Professions: How Technology Will Transform the Work of Human Experts. Oxford: Oxford University Press, 2015.
  4. D. P. A. D. Rafli, “NFT Become a Copyright Solution,” Paulus Law J., vol. 1, no. 2, p. 45, 2022, doi: 10.51342/plj.v1i1.42.
  5. K. Safitri, “Kilas Balik Perkembangan Kripto di Indonesia Sepanjang 2021, Artis hingga Pejabat Berlomba Jualan NFT.” money.kompas.com, Jakarta, 2021.
  6. S. Hartono and R. Budiarsih, “Potensi Kesuksesan Penerapan Pajak Penghasilan Terhadap Transaksi Aset Kripto Di Indonesia,” J. Pajak dan Keuang. Negara, vol. 4, no. 1, pp. 132–146, 2022, doi: 10.31092/jpkn.v4i1.1740.
  7. P. M. Devadasan, “Study On The Rationality Of Utilitratian Philosophy Of Law - An Analysis.,” Int. J. Case Stud. Business, IT Educ., vol. 2, no. 2, pp. 77–85, 2018, doi: 10.5281/ZENODO.1491398.
  8. M. Afrizal, “Analisis Terhadap Cryptocurrency (Perspektif Mata Uang, Hukum, Ekonomi Dan Syariah),” Ekon. Manajemen, dan Bisnis, vol. 22, no. 2, p. 15, 2021.
  9. I. N. A. Dwi Priyatno, “Melirik Dinamika Cryptocurrency dengan Pendekatan Ushul Fiqih,” Ilm. Ekon. Islam, vol. 7, no. 3, p. 1683, 2021.
  10. N. M. P. U. Kadek Dyah Pramitha Widyarani, Ida Ayu Putu Widiati, “Kajian Yuridis Penggunaan Koin Kripto Sebagai Alat Pembayaran Di Indonesia,” J. Prefer. Huk. |, vol. 3, no. 2, p. 301, 2022.
  11. G. Duke, “Law’s Normative Point,” Law Philos., vol. 38, no. 1, pp. 1–27, Feb. 2019, doi: 10.1007/s10982-018-9334-8.
  12. M. Najibur Rohman, “Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum TINJAUAN YURIDIS NORMATIF TERHADAP REGULASI MATA UANG KRIPTO (CRYPTO CURRENCY) DI INDONESIA,” J. Supremasi, vol. 11, no. 2, pp. 1–10, 2021.
  13. H. S. Jati and A. A. Zulfikar, “Transaksi Cryptocurrency Perspektif Hukum Ekonomi Syariah,” J. Al-Adalah, vol. 6, no. 2, pp. 137–148, 2021.
  14. S. Sihombing, M. Rizky Nasution, and I. Sadalia, “Analisis Fundamental Cryptocurrency terhadap Fluktuasi Harga: Studi Kasus Tahun 2019-2020,” J. Akuntansi, Keuangan, dan Manaj., vol. 2, no. 3, pp. 213–224, 2021, doi: 10.35912/jakman.v2i3.373.
  15. N. Huda and R. Hambali, “Risiko dan Tingkat Keuntungan Investasi Cryptocurrency PENDAHULUAN Latar Belakang Di Era Revolusi 4 . 0 Perkembangan Dunia teknologi semakin pesat dan telah membawa dunia menuju ke arah yang baru pada hampir keseluruh aspek kehidupan manusia termasuk dala,” J. Manaj. dan Bisnis Performa, vol. 17, no. 1, pp. 72–84, 2020.
  16. S. Sajidin, “Legalitas Penggunaan Cryptocurrency Sebagai Alat Pembayaran Di Indonesia,” Arena Huk., vol. 14, no. 2, pp. 245–267, 2021, doi: 10.21776/ub.arenahukum.2021.01402.3.
  17. S. Rahmah and M. Jannah, “Identitas Cryptocurrency : Halal Dan Haram,” Ar-Ribh J. Ekon. Islam, vol. 4, no. 2, pp. 198–205, 2021, doi: 10.26618/jei.v4i2.6237.
  18. S. Puspasari, “Perlindungan Hukum bagi Investor pada Transaksi Aset Kripto dalam Bursa Berjangka Komoditi,” Jurist-Diction, vol. 3, no. 1, p. 303, 2020, doi: 10.20473/jd.v3i1.17638.
  19. M. U. Noor, “NFT (Non-Fungible Token): Masa Depan Arsip Digital? Atau Hanya Sekedar Buble?,” Pustakaloka, vol. 13, no. 2, p. 225, 2021.
  20. D. S. Bloch, “Non-fungible tokens: A solution to the challenges of using blockchain bills of lading in the international sales of goods,” J. Law, Mark. Innov., vol. 1, no. 1, pp. 44–65, 2022.
  21. M. Habiburrahman, A. Atsar, F. Hukum, U. Mataram, P. Konsumen, and J. Education, “Perlindungan hukum bagi pengguna transaksi cryptocurrency di indonesia,” J. Educ. Dev., vol. 10, no. 2, pp. 697–706, 2022.
  22. M. H. Shinta Yulia Sari, Juwita, “Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Cryptocurrency Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen,” Syntax Lit. J. Ilm. Indones., vol. 7, no. 4, p. 2543, 2022.
  23. M. S. Ramadhan, T. Murty, A. Nugraha, and M. Z. Arifin, “Legitimasi Cryptocurrency (Mata Uang Digital) Sebagai Aset Korporasi,” Rechtidee, vol. 16, no. 2, pp. 246–266, 2021, doi: 10.21107/ri.v16i2.11862.
  24. M. Z. Aulia, “Hukum Pembangunan dari Mochtar Kusuma-atmadja: Mengarahkan Pembangunan atau Mengabdi pada Pembangunan?,” Undang J. Huk., vol. 1, no. 2, pp. 363–392, 2018.
  25. N. A. Muhamad, “The Legal Philosophy of Lon L. Fuller: Profile,” Soc. Contract J. SCJ, vol. 1, no. 1, p. 2, 2020.
  26. A. Arum, Global Currency Initiative: Merintis Mata Uang Global Demokrasi, 1st ed. Jakarta: Gramedia, 2019.
  27. J. J. Biser, “Locke Versus Hobbes: Political Economy of Property Rights,” J. Econ. Educ., vol. 20, no. 1, pp. 1–27, 2020.
  28. R. A. Posner, “Utilitarianism, Economics, and Legal Theory,” J. Legal Stud., vol. 8, no. 1, pp. 103–140, Jan. 1979, doi: 10.1086/467603.
  29. R. Posner, Economic Approach to Law, 9th ed. New York: Wolters Kluwer Law and Business, 2012.
  30. M. M. Vivian, “Law, justice and Reza Banakar’s legal sociology,” Onati Socio-Legal Ser., vol. 11, no. 1, pp. 1–29, 2021, doi: 10.35295/osls.iisl/0000-0000-0000-1169.
  31. S. A. Apostu, M. Panait, L. Vasa, C. Mihaescu, and Z. Dobrowolski, “NFTs and Cryptocurrencies—The Metamorphosis of the Economy under the Sign of Blockchain: A Time Series Approach,” Mathematics, vol. 10, no. 17, 2022, doi: 10.3390/math10173218.
  32. Z. Muhammad Al Ikhwan Bintarto, Sayang Bidul, “Analysis of Economic Analysis of Law Principle In Purchase Fuel By Application (Study of MyPertamina),” J. Huk. Bisnis Bonum Commune, vol. 5, no. 2, pp. 203–210, 2022.
  33. M. Armansyah Akbar Andi, “Legal and Economic Analysis: A Case Study of Convict Self-Development,” SIGn J. Huk., vol. 4, no. 2, p. 175, 2022.
  34. S. Hartati, “The Concept of Populist Economy based on Transcendental Law,” Leg. Br., vol. 10, no. 2, pp. 131–139, 2021.
  35. D. S. Kristianti, “Prinsip Kebersamaan Dalam Hukum Investasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja: Politik Hukum Kepentingan Investasi Ataukah Kesejahteraan Masyarakat,” PAMALI Pattimura Magister Law Rev., vol. 1, no. 2, pp. 90–113, Oct. 2021, doi: 10.47268/pamali.v1i2.619.
  36. K. A. Emina, “John Rawls Concept of Person and Society: A Critique,” Pinisi, vol. 1, no. 3, p. 77, 2021.
  37. D. G. Ignuta, “The General Theory of Law In The Context of New Realities Particular To The 21st Century,” AGORA Int. J. Juridical Sci., vol. 1, no. 1, pp. 12–17, 2020.
  38. B. Kusumohamidjojo, Teori Hukum: Dilema Antara Hukum dan Kekuasaan, 1st ed. Bandung: Yrama Widya, 2016.
  39. W. F. van H. H.E. Bröring, “Gratie: een bestuursbevoegdheid getoetst: Een beschouwing naar aanleiding van het arrest van de Hoge Raad van 6 november 2020,” Ned. Tijdschr. voor Strafr., vol. 14, no. 1, pp. 6–19, 2021.
  40. S. N. Susanto, “Komponen, Konsep Dan Pendekatan Hukum Administrasi Negara,” Adm. Law Gov. J., vol. 4, no. 1, pp. 144–157, 2021.