Notarial Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.789

Triadism Perspective on Payment of Debt Taxes in Complete Systematic Hold Registration Program: What and How?


Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya
Indonesia

(*) Corresponding Author

Gustav Radbruch The Complete Systematic Land Registration Program (PTSL) Triadism

Abstract

The Complete Systematic Land Registration Program (PTSL) actually has an orientation to provide guarantees of legal certainty. However, the formulation of rules in Ministerial Regulation No. 6/2018 regarding PTSL provides space for not fulfilling three values that must be met by law. This study aims to analyze PTSL Regulations in the perspective of Gustav Radbruch's triadism. This research is a juridical-normative research by prioritizing conceptual and statutory approaches. The results of the study confirmed that from the aspects of fairness, benefit, and legal certainty, the regulation of the payment of taxes payable for the transfer of rights to certified land from the PTSL program as stated in the PTSL Ministerial Regulation has the potential to prevent the three basic legal values from being realized. The non-realization of the three basic legal values above in the formulation of arrangements for payment of taxes payable for the transfer of land rights certified from the PTSL program has the potential to cause injustice in society while minimizing the beneficial aspects of the PTSL program as well as creating legal uncertainty in society regarding the implementation of the PTSL program which has the potential to harm human rights. community as PTSL participants. Revisions to the PTSL Ministerial Regulation, specifically Article 33 paragraph (1) of the PTSL Ministerial Regulation in conjunction with Article 40 paragraph (1) of the PTSL Ministerial Regulation actually aim to fulfill the three basic legal values put forward by Gustav Radbruch, for ensuring justice, expediency, and legal certainty.

Pendahuluan

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap yang lazim disebut PTSL sejatinya merupakan program pendaftaran dan pembuatan sertifikat bagi masyarakat secara massal [1]. Massal dalam konteks ini berarti dilakukan secara bersama-sama dan terkoordinir. Dalam praktiknya, program PTSL yang merupakan program dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga melibatkan berbagai pihak seperti Pemerintah Kabupaten/Kota hingga pada tataran Pemerintah Desa atau Kelurahan setempat. Pelibatan para pihak seperti Pemerintah Desa atau Kelurahan setempat dalam program PTSL sejatinya untuk mendukung pelaksanaan program PTSL termasuk membentuk tim ajudikasi dan tim lainnya untuk menyukseskan pelaksanaan program PTSL.

Program PTSL dalam realitanya sejatinya memiliki manfaat bagi masyarakat, khususnya terkait dengan jumlah tanah yamg terdaftar[2]. Di tahun 2017, program PTSL telah melakukan pengukuran dan pendaftaran terhadap 5,2 juta bidang tanah yang secara keseluruhan dan akumulatif telah mendaftarkan 51 juta bidang tanah di Indonesia[3]. Lebih lanjut, di tahun 2018, program PTSL meningkat dengan 9,4 juta sertifikat tanah yang telah terdaftar. Jumlah tersebut kembali meningkat di tahun 2019, yang mana sertifikat tanah yang telah terdaftar mencapai 11 juta sertifikat[4]. Meningkatnya jumlah sertifikat tanah yang telah terdaftar tiap tahunnya tersebut sejatinya menegaskan bahwa program PTSL memberikan manfaat bagi masyarakat khususya berkaitan dengan pendaftaran tanah yang menjamin kepastian hukum masyarakat[5].

Meski secara umum memiliki dampak positif, program PTSL juga memiliki beberapa dampak negatif salah satunya adalah adanya pungutan liar (pungli) yang dilakukan oleh beberapa oknum di tingkat desa[6]. Pungli dalam program PTSL berlangsung cukup masif dan terjadi hampir di berbagai daerah di Indonesia. Secara yuridis, pengaturan mengenai program PTSL sejatinya telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2018 Tentang Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (selanjutnya disebut Permen PTSL) serta terkait biaya persiapan program PTSL diatur dalam Surat Keputusan Bersama Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi No. 25/SKB/V/2017, No. 590-3167A tahun 2017, No. 34 tahun 2017 (selanjutnya disebut SKB Biaya PTSL).

Dari kedua aturan tersebut sejatinya terdapat permasalahan hukum bahwa terdapat ketidakpastian hukum terkait pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program pendaftaran tanah sistematis lengkap. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kedua aturan tersebut dalam perspektif triadism Gustav Radbruch. Triadism Gustav Radbruch dijadikan sebagai pisau analisis karena gagasan Gustav Radbruch mengakomodasi tiga nilai dasar hukum, yaitu kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.

Penelitian dan kajian mengenai pengaturan terhadap program PTSL pernah dilakukan oleh Aditya Nurahmani dan Mohammad Robi Rismansyah (2020) tentang Analisis Pengaturan Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Sebagai Upaya Percepatan Reforma Agraria dengan fokus analisis terhadap kebijakan hukum pendaftaran tanag sistematis lengkap dalam kaitannya dengan reforma agraria[7]. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Ni Luh Juliani dan I Gusti Ngurah Dharma Laksana (2021) tentang Fungsi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Di Kabupaten Tabanan Dalam Rencana Tata Ruang Terhadap Masyarakat yang berfokus pada analisis terhadap pelaksanaan program PTSL dikaitkan dengan rencana tata ruang[8]. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Siti Nurhayati,Onny Medaline, Ayumi Kartika Sari (2022) tentang Implementasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Sebagai Kesejahteraan Masyarakat yang berfokus pada implementasi kebijakan PTSL dalam kaitannya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat[9]. Dari ketiga penelitian sebelumnya tersebut, sejatinya penelitian mengenai pengaturan ketidakpastian hukum terkait pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program pendaftaran tanah sistematis lengkap, khususnya dalam perspektif triadism Gustav Radbruch, sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) apakah pengaturan mengenai pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program pendaftaran tanah sistematis lengkap telah menjamin tiga nilai dasar hukum yang berupa triadism Gustav Radbruch? Serta (ii) apakah oientasi ke depan pengaturan mengenai pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program pendaftaran tanah sistematis lengkap supaya memenuhi tiga nilai dasar hukum berdasarkan triadism Gustav Radbruch?.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian dengan jenis yuridis-normatif dengan fokus kajian berupa konsep triadism Gustav Radbruch dikaitkan dengan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL[10]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD NRI 1945, UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), Permen PTSL, serta SKB Biaya PTSL. Bahan hukum sekunder meliputi penelitian dan kajian mengenai program PTSL serta konsep triadism Gustav Radbruch. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Penelitian ini menggunakan pendekatan konsep dan perundang-undangan.

Hasil dan Pembahasan

Triadism Gustav Radbruch dalam Pengaturan Pembayaran Pajak Terutang Peralihan Hak Atas Tanah Bersertifikat dari Program PTSL

Gustav Radbruch sebagai seorang pemikir filsafat hukum sejatinya telah menggagaskan pemahaman mengenai tiga nilai dasar dalam hukum. Gagasan mengenai tiga nilai dasar dalam hukum tersebut salah satunya dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam buku yang berjudul “einführung in die rechtswissenschaften” [11]. Dalam buku tersebut, Gustav Radbruch menekankan bahwa terdapat tiga nilai dasar dalam hukum yang meliputi kepastian (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), serta keadilan (gerechtigkeit) [12]. Gagasan mengenai tiga nilai dasar dalam hukum tersebut sejatinya menegaskan bahwa dalam suatu produk hukum ketiga hal tersebut haruslah ada atau setidak-tidaknya menjadi fokus utama dari suatu produk hukum. Meski begitu, dalam perkembangannya gagasan Gustav Radbruch mengenai tiga nilai dasar dalam hukum sering disalahartikan menjadi gagasan mengenai tujuan hukum.

Dalam berbagai literatur, terdapat beberapa pandangan yang menegaskan bahwa gagasan mengenai tiga nilai dasar dalam hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dianggap sebagai gagasan tentang tujuan hukum[13]. Pandangan ini bahkan dianggap sebagai pandangan yang “lumrah” terlebih lagi ketika terdapat anggapan bahwa hukum sejatinya bertujuan untuk mewujudkan kepastian, kemanfaatan, sekaligus keadilan[14]. Menurut hemat penulis, adanya kesalahpahaman mengenai gagasan mengenai tiga nilai dasar dalam hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch yang direduksi menjadi gagasan mengenai tujuan hukum setidaknya menimbulkan tiga implikasi, yaitu: pertama, dengan menegaskan bahwa Gustav Radbruch memberikan pandangan mengenai tujuan hukum yang meliputi kepastian, kemanfaatan, sekaligus keadilan, maka hal ini berpotensi mengaburkan esensi dan hakikat dari tujuan hukum. Hal ini dikarenakan, dalam pandangan Gustav Radbruch, tiga nilai dasar tersebut dalam penerapannya terdapat suatu spannungverhaltnis yang artinya adanya saling tumpang tindih antara ketiga nilai dasar tersebut dalam praktik hukum (dimensi dogmatis). Hal ini jika pandangan Gustav Radbruch dianggap sebagai pandangan hukum menjadi berbahaya dan rancu karena justru hendak menegaskan bahwa tujuan hukum itu memiliki dimensi saling tumpang tindih. Padahal, sekalipun dalam prosesnya terdapat saling tumpang tindih antara ketiga nilai di atas, namun dalam dimensi tujuannya hukum tetap memiliki orientasi untuk mewujudkan damai sejahtera pada masyarakat.

Kedua, gagasan Gustav Radbruch yang dianggap sebagai tujuan hukum ini juga menimbulkan problematika tersendiri khususnya mengenai tujuan hukum yang “dianggap” meliputi kepastian, kemanfaatan, sekaligus keadilan. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa dalam tujuan hukum terdapat “pluralitas” yang berbeda antara satu dengan yang lain[15]. Tujuan hukum berupa kepastian jelas memiliki aspek yang berbeda dengan kemanfaatan dan begitu juga dengan keadilan. Hal ini berpotensi meneguhkan suatu pandangan bahwa, “jika tujuan hukum berbeda, maka seyogyanya cara untuk mencapainya juga berbeda-beda”. Jika hal ini terjadi, maka terjadi suatu fenomena kekacauan hukum yang mana hukum kemudian secara ekstrem dimaknai secara “liar” sesuai kehendak masing-masing. Hal ini berdampak pada, alih-alih mewujudkan ketiga nilai tujuan hukum, hukum dengan pemahaman yang salah dengan menempatkan tiga nilai Gustav Radbruch sebagai tujuan hukum maka berpotensi membuat hukum semakin menjauh dengan tujuannya. Ketiga, kesalahpahaman mengenai gagasan tiga nilai Gustav Radbruch sebagai tujuan hukum sejatinya menimbulkan suatu kekosongan pemahaman mengenai cara untuk mencapai tujuan hukum. Jika hukum sejatinya memiliki tujuan maka seyogyanya cara untuk mencapainya juga diberi standar dan kualifikasi tertentu. Kesalahpahaman mengenai gagasan tiga nilai Gustav Radbruch sebagai tujuan hukum justru mengarahkan pandangan bahwa tujuan hukum memiliki standarisasi dan kualifikasi tertentu, tetapi tidak degan cara untuk mencapainya. Dari ketiga argumentasi di atas, sejatinya perlu adanya pelurusan mengenai gagasan Gustav Radbruch bukan sebagai gagasan tujuan hukum, melainkan gagasan tiga nilai dasar hukum.

Gagasan tiga nilai dasar hukum dalam pandangan Gustav Radbruch sejatinya berorientasi untuk memandu hukum positif supaya dapat mengadopsi ketiga nilai yaitu kepastian, kemanfaatan, sekaligus keadilan [16]. Meski dalam praktiknya terdapat antinomi antara ketiga nilai tersebut, maka penilaian mana nilai yang harus diprioritaskan dalam hukum oleh Gustav Radbruch diserahkan pada masing-masing jurist yang melakukan pengembanan hukum[17]. Meski begitu, ketiga nilai yaitu kepastian, kemanfaatan, sekaligus keadilan menjadi nilai utama yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam perumusan suatu hukum positif. Hal ini berarti bahwa jika salah satu nilai dasar hukum sebagaimana pandangan Gustav Radbruch tidak terpenuhi maka dipastikan suatu hukum positif tersebut adalah cacat atau setidak-tidaknya tidak dapat disebut sebagai hukum [18]. Hal ini dikarenakan, pada era modernisasi hukum, kedudukan hukum positif berupa peraturan perundang-undangan menjadi hal penting dalam kehidupan manusia. Meski begitu, hukum positif memiliki kelemahan salah satunya esensi nilai dalam hukum seringkali terabaikan dalam penyusunan hukum positif sehingga hukum positif seringkali hanya dominan pada aspek rule and procedure.

Gejala positivisasi tersebut menuntut supaya hukum menjadi lebih responsif terhadap nilai-nilai yang mendasarinya sehingga di era modernisasi hukum hukum positif tetap eksis tanpa meninggalkan nilai dasar hukum yang melingkupinya[19]. Hal ini lah yang sejatinya menjadi aspek penting dalam gagasan tiga nilai dasar hukum yang digagaskan oleh Gustav Radbruch supaya hukum positif tidak meninggalkan kerangka tiga nilai dasar yang melingkupinya[20]. Hal ini berarti, tidak terpenuhinya salah satu aspek dari kepastian, kemanfaatan, sekaligus keadilan sebagai nilai dasar hukum berpotensi membuat hukum menjadi kehilangan nilai validitasnya sebagai hukum (invalid)[21]. Mengacu pada tiga nilai dasar hukum sebagaimana ditegaskan oleh Gustav Radbruch, sejatinya ketiga nilai tersebut memiliki karakteristik masing-masing.

Karakteristik ketiga nilai dasar hukum sebagaimana ditegaskan oleh Gustav Radbruch tersebut, meliputi keadilan yang oleh Gustav Radbruch dianggap sebagai nilai dasar hukum yang sejatinya sulit diwujudkan dalam kerangka hukum positif yang berupa peraturan perundag-undangan. Gagasan mengenai keadilan sejatinya merupakan gagasan tertua mengenai hukum. Hukum dalam dimensi keadilan dipandang sebagai “Justice is the suprime virtue which harmonization all other virtues” yang bermakna bahwa keadilan itu identik dengan konkretisasi nilai-nilai dalam praktik. Nilai-nilai tersebut bukanlah sesuatu yang melangit tetapi harus dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini relevan dengan pandangan Plato yang menegaskan bahwa karena urusan keadilan berkaitan dengan nilai, maka pertimbangan moral menjadi pertimbangan yang wajib dalam hukum[22]. Gagasan Plato mengenai keadilan itu juga sejatinya diperkuat oleh Aristoteles yang meneguhkan bahwa keadilan itu harus dilihat dalam dimensi spesifik, yang maksudnya antara suatu kasus/permasalahan tertentu nilai keadilan yang diterapkan bisa saja berbeda satu sama lain[23]. Hal ini sejatinya mengisyaratkan bahwa keadilan itu sesuai konteksnya masing-masing.

Selain gagasan dari Plato dan Aristoteles di atas, gagasan mengenai keadilan juga dikemukakan oleh Thomas Aquinas yang mengidentikkan keadilan sebagai integritas masing-masing individu untuk bersikap kepada pihak lainnya. Integritas ini menekankan masing-masing pihak pada etika untuk hidup bersama sehingga masing-masing individu memiliki batasan bagaimana cara dan upaya untuk menghargai masing-masing orang atau pihak tertentu[24]. Dengan demikian, pandangan Thomas Aquinas mengidentikkan bahwa keadilan adalah bagaimana setiap orang dapat bersikap secara patut terhadap orang yang lain. Gagasan keadilan dari Thomas Aquinas juga sejatinya menemukan penegmbangannya pada gagasan keadilan oleh John Rawls yang mengidentikkan keadilan sebagai fairness[25]. Dalam Black’s Law Dictionary, fairness didefinisikan sebagai, “The level of even handedness used in dispensing justice where claims are recognized in order of legal and contractual priority” yang pada prinsipnya bahwa keadilan sebagai fairness merupakan bagaimana sepatutnya memperlakukan orang lain untuk mewujudkan persamaan.[26] Dari berbagai gagasan dan pandangan mengenai keadilan di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan dalam perspektif Gustav Radbruch sejatinya memiliki dimensi nilai, moral, serta kepatutan kepada para pihak. Hal ini berarti, suatu peraturan perundang-undangan yang adil adalah peraturan perundang-undangan yang secara substansi mencerminkan nilai, moral, serta kepatutan di dalamnya.

Gagasan selanjutnya mengenai tiga nilai dasar hukum adalah terkait dengan kemanfaatan. Gagasan kemanfaatan sejatinya berkaitan dengan pandangan dalam filsafat utilitarianism yang menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang bermanfaat bagi masyarakat[27]. Dalam perkembangannya, gagasan kemanfaatan ini dipengaruhi oleh pandangan beberapa pemikir seperti Jeremy Bentham serta John Stuart Mill. Dalam pandangan Jeremy Bentham, hukum yang bermanfaat adalah hukum yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya bagi masyarakat[28]. Pemahaman mengenai “sebanyak-banyaknya” ini harus terukur dan dapat diprediksi yang artinya manfaat seperti apa yang akan didapatnya oleh mayoritas masyarakat atas hukum tersebut. Lebih lanjut, dalam pandangan John Stuart Mill kemanfaatan diidentikkan sebagai upaya hukum untuk menjaga hak-hak individu yang dimiliki oleh manusia, khususnya mengenai hak milik. Hal ini berarti, hukum yang bermanfaat adalah hukum yang dapat menjaga mayoritas hak individu masyarakat[29]. Di Indonesia, gagasan mengenai kemanfaatan hukum juga digagas oleh Sudikno Mertokusumo yang mengidentikkan kemanfaatan hukum sebagai konsistensi antara teks hukum dengan penegakan serta pelaksanaan hukum[30]. Dari berbagai pandangan mengenai kemanfaatan sebagai salah satu nilai dasar dalam hukum tersebut penulis menyimpulkan bahwa kemanfaatan berkaitan dengan aspek upaya untuk menjaga hak individu sebanyak-banyaknya masyarakat yang dikaitkan dengan konsistensi antara teks hukum dengan praktik hukum di masyarakat.

Aspek yang tidak kalah pentingnya dalam tiga nilai dasar hukum adalah kepastian. Kepastian dalam kaitannya dengan hukum positif menjadi hal terpenting. Hal ini karena kepastian merupakan jantungnya hukum positif. Dalam pandangan Van Apeldoorn, kepastian hukum berkaitan dengan kejelasan rumusan yang mempermudah pelaksanaan hukum[31]. Dalam hal ini, hukum positif tidak boleh berwayuh arti serta diinterpretasi sesuka hati oleh para penegak hukum. Hal ini menegaskan bahwa salah satu unsur kepastian hukum adalah adanya kejelasan dalam perumusan hukum. Kejelasan dalam perumusan hukum berarti bahwa perumusan hukum dilakukan secara tepat, dengan rumusan yang jelas, serta tidak menimbulkan multitafsir.

Terkait dengan ketiga nilai dasar hukum sebagaimana digagaskan oleh Gustav Radbruch di atas, maka ketiga nilai berupa kepastian, kemanfaatan, serta keadilan yang akan menjadi pisau analisis terkait dengan pengaturan mengenai kebijakan PTSL. PTSL sejatinya merupakan program pemerintah untuk inventarisasi sekaligus upaya menjamin kepastian hukum bagi masyarakat untuk mendaftarkan tanahnya beserta pembayaran pajaknya. Secara konstitusional, program PTSL merupakan pengejawentahan dari amanat konstitusi Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa setiap masyarakat berhak atas jaminan kepastian dan perlindungan hukum. Hadirnya program PTSL sejatinya memiliki orientasi untuk terpenuhinya Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang mana masyarakat dapat secara pasti terkait jaminan hak milik atas tanahnya. Selanjutnya, ketentuan PTSL juga merupakan pengejawentahan dari semangat UUPA yang berupaya menghadirkan reformasi agraria bagi masyarakat[32]. Salah satu aspek reformasi agraria dalam aspek pertanahan adalah adanya upaya untuk menjamin kepastian dan keadilan dalam memberikan jaminan atas hak tanah. Secara khusus pembiayaan terkait PTSL juga diatur dalam Permen PTSL dan SKB Biaya PTSL. Terkait dengan pembiayaan persiapan pendaftaran, secara khusus telah diatur dalam SKB Biaya PTSL sedangkan dalam pembayaran lainnya diatur secara tegas dalam Permen PTSL.

Pengaturan mengenai pembiayaan dalam Permen PTSL sejatinya diatur dalam Pasal 40 Permen PTSL. Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sejatinya menegaskan berbagai sumber pendanaan dari kegiatan PTSL yang secara umum meliputi dana dari pemerintah, swasta (salah satunya melalui CSR), dan swadaya dari masyarakat. Akan tetapi, terkait dengan sumber pendanaan tersebut sejatinya menimbulkan problematika hukum, khususnya dalam frasa, “Sumber pembiayaan PTSL dapat berasal dari….”. Kata “dapat” dalam kaidah legislative drafting sejatinya merujuk pada kebolehan atau diskresi dari lembaga tertentu [33]. Konsekuensi kata dapat ini adalah bahwa ketentuan dalam kata dapat boleh disimpangi atau tidak dijalankan karena merupakan kebolehan. Implikasinya yaitu ketentuan Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL terkait sumber dana program PTSL berpotensi memberatkan masyarakat karena bisa jadi kelima sumber dana dalam PTSL enggan mendanai PTSL mengingat ketentuan “dapat” dalam Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL adalah bersifat opsional atau pilihan.

Terkait dengan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL sejatinya juga merupakan satu kesatuan pengaturan dengan ketentuan dalam Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL. Lebih lanjut Pasal 40 ayat (2) Permen PTSL juga menegaskan bahwa sumber dana program PTSL tidak terbatas dari kelima sumber sebagaimana dalam ayat (1), tetapi dapat berasal dari pihak lain asalkan dapat dipertanggungjawabkan dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Terkait dengan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL, sejatinya telah ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL yang pada prinsipnya menegaskan bahwa seandainya peserta PTSL belum dapat melunasi pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL maka tetap dapat diterbitkan sertifikat hak atas tanah asalkan yang bersangkutan membuat surat penyataan BPHTB terhutang sebagaimana dalam ketentuan Pasal 33 ayat (2) Permen PTSL.

Terkait dengan pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL, maka perlu ditilik dalam konsep triadism yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Konsep triadism yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch mengedepankan tiga nilai dasar hukum yang wajib dipenuhi oleh hukum positif, dalam hal ini Permen PTSL, khususnya yang berkaitan dengan pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL[34]. Dilihat dari aspek keadilan, suatu peraturan perundang-undangan yang adil adalah peraturan perundang-undangan yang secara substansi mencerminkan nilai, moral, serta kepatutan di dalamnya. Jika mengacu pada rumusan pada Permen PTSL, perlu dilihat bahwa salah satu orientasi dari program PTSL adalah terjaminnya pendaftaran tanah secara terpadu dan sistematis yang memiliki dua manfaat yaitu bagi pribadi pemilik hak atas tanah maka program PTSL dapat secara efektif dan efisien karena secara ekonomis lebih hemat serta menjamin kepastian hukum dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah yang dalam dimensi keadilan dapat menjamin sekaligus meneguhkan hak masyarakat terkait dengan hak atas tanah. Lebih lanjut, bagi negara PTSL bermanfaat selain sebagai upaya untuk menyejahterakan kesejahteraan umum sebagaimana amanat UUD NRI 1945, juga bermanfaat pada pendapatan negara yang berasal dari pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL. Jika mengacu pada rumusan Permen PTSL, Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL, maka rumusan kata “dapat” dari kedua pasal tersebut berpotensi menimbulkan ketidakadilan.

Hal ini dikarenakan rumusan kata “dapat” dalam Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sejatinya bermakna diskresi atau kebolehan, sehingga jika tidak dijalankan sejatinya tidak memiliki implikasi hukum berupa sanksi tertentu. Lebih lanjut, terkait dengan Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL, kata “dapat” ini berpotensi berimplikasi pada dapat dimungkinkan suatu peserta PTSL belum dapat melunasi pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL maka memiliki potensi tidak diterbitkan sertifikat hak atas tanah berkaitan dengan karakteristik kata “dapat” yang bersifat opsional. Kata “dapat” dalam rumusan Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL juga berpotensi menimbulkan sikap berbeda antara petugas PTSL di suatu tempat tertentu dengan tempat yang lain. Hal ini karena karakter kata “dapat” disesuaikan dengan kewenangan masing-masing petugas.

Dari aspek kemanfaatan, yang mana karakteristik utama hukum yang memiliki orientasi kemanfaatan adalah untuk menjaga hak individu sebanyak-banyaknya masyarakat yang dikaitkan dengan konsistensi antara teks hukum dengan praktik hukum di masyarakat. Mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL di atas, kata “dapat” dalam rumusan Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL juga berpotensi tidak menjamin kemanfaatan hukum karena hanya dilihat dari perspektif masing-masing petugas PTSL di masing-masing tempat. Kata “dapat” yang memiliki karakter opsional dan diskresional sejatinya berpotensi menimbulkan perlakuan berbeda karena pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL dengan rumusan pengaturan kata “dapat” berpotensi melanggar semangat dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL yang orientasinya adalah untuk memberikan aspek kemanfaatan pada masyarakat.

Dari aspek kepastian hukum, rumusan kata “dapat” dalam Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL kata “dapat” dapat dimaknai kewajiban bagi petugas PTSL terhadap peserta PTSL yang belum dapat melunasi pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL maka dapat diterbitkan sertifikat hak atas tanah. Akan tetapi, rumusan kata “dapat” dalam Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL juga dapat dimaknai sebagai “kebolehan” petugas PTSL terhadap peserta PTSL yang belum dapat melunasi pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah untuk menerbitkan atau tidak menerbitkan sertifikat hak atas tanah dalam PTSL. Problematika rumusan kata “dapat” dalam Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL ini lah yang dalam konsep hukum menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi pada penerapan yang tidak konsisten serta justru berdampak pada ketidakpastian hukum di masyarakat.

Berdasarkan analisis atas triadism Gustav Radbruch dalam pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL di atas, maka dilihat dari aspek keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL di atas, khususnya dalam kata “dapat” berpotensi membuat tidak terwujudnya ketiga nilai dasar hukum di atas. Tidak terwujudnya ketiga nilai dasar hukum di atas dalam rumusan pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL berpotensi menimbulkan ketidakadilan di masyarakat sekaligus meminimalisasi aspek kemanfaatan atas program PTSL serta menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat atas penerapan program PTSL yang berpotensi merugikan hak-hak masyarakat sebagai peserta PTSL.

Orientasi Ke Depan Pengaturan Pembayaran Pajak Terutang Peralihan Hak Atas Tanah Bersertifikat dari Program PTSL

Problematika terkait pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL dengan mengacu pada Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sebagaimana dipertegas di atas sejatinya tidak memenuhi ketiga nilai dasar hukum sebagaimana digagas oleh Gustav Radbruch. Meski begitu, bukan berarti program PTSL merupakan program yang tidak baik akan tetapi yang perlu dipertegas di sini adalah terkait dengan pengaturan program PTSL. Program PTSL sejatinya memiliki orientasi dan dampak positif di maysarakat khususnya terkait upaya untuk membantu masyarakat dalam mendaftarkan dan mendapatkan sertifikat ha katas tanah[35]. Sebagai bukti kuat hak milik atas tanah, sertifikat hak milik memiliki nilai aspek ekonomis bagi pemiliknya selain sebagai sarana untuk menjamin kepastian hukum[36]. Meski begitu, jika mengacu pada analisis di atas, pengaturan mengenai pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL sejatinya tidak memenuhi ketiga nilai dasar hukum sebagaimana digagas oleh Gustav Radbruch.

Tidak terpenuhinya tiga nilai dasar hukum sebagaimana digagas oleh Gustav Radbruch dalam pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL sejatinya berimplikasi bagi negara (dalam hal ini pemerintah) dan bagi masyarakat (yang dalam hal ini peserta PTSL). Bagi negara, tidak terpenuhinya tiga nilai dasar hukum sebagaimana digagas oleh Gustav Radbruch dalam pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL sejatinya telah mereduksi upaya pemerintah untuk menghadirkan PTSL sebagai program yang progresif bagi masyarakat[37]. Progresivitas program PTSL dapat dilihat dari adanya pelibatan Kabupaten/Kota hingga desa dan kelurahan sebagai unsur dalam upaya menyukseskan program PTSL. Meski begitu, niat baik dari pemerintah seharusnya didukung oleh perumusan dan penormaan dalam peraturan perundang-undangan yang baik [38]. Jika mengacu ketentuan pada Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL terjadi permasalahan dalam perumusan dan penormaan dalam peraturan perundang-undangan.

Upaya mengatasi hal tersebut salah satunya adalah melakukan revisi atas Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL. Revisi terhadap Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL harus didasarkan pada tiga orientasi yaitu: upaya untuk menyukseskan program PTSL, menjamin hak dan kepastian hukum masyarakat, serta sesuai dengan rumusan dan bahasa hukum yang tepat[39]. Dari aspek untuk menyukseskan program PTSL, harus dipahami bahwa revisi Permen PTSL ditujukan untuk mempermudah sekaligus menyederhanakan program PTSL supaya efektif dan efisien di masyarakat. Selain itu, dalam aspek upaya menjamin hak dan kepastian hukum masyarakat yang harus dikedepankan bahwa revisi Permen PTSL adalah untuk menjamin hak-hak masyarakat yang berkaitan atas tanah. Hal ini termasuk berkaitan dengan jangan sampai masyarakat merasa terbebani dengan proses dan program PTSL yang telah dijalankan. Dari aspek sesuai dengan rumusan dan bahasa hukum yang tepat, maka revisi Permen PTSL seyogyanya juga harus melibatkan legal drafter atau ahli hukum di bidang perancangan peraturan perundang-undangan supaya menjamin kepastian hukum serta praktik di lapangan[40].

Mengacu pada upaya revisi terhadap Permen PTSL, khususnya pada Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL, maka terkait dengan rumusan Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL dapat dikonstruksi menjadi dua, yaitu rumusan kata “wajib” dan “dapat”. Rumusan kata “wajib” terkait sumber pendanaan PTSL sebagaimana Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL ditujukan pada pemerintah baik pusat maupun daerah. Hal ini diharapkan, pendanaan PTSL wajib diberikan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Terkait dengan besaran pendanaan program PTSL yang diberikan oleh pemerintah baik pusat maupun daerah, maka terkait hal ini disesuaikan dengan kemampuan pemerintah baik pusat maupun daerah dalam memberikan pendanaan program PTSL. Selanjutnya, terkait dengan rumusan kata “dapat” tetap dapat diberlakukan dengan fokusnya pada pendanaan program PTSL yang di luar pemerintah baik daerah maupun pusat (non-pemerintah daerah) yang meliputi: swadaya masyarakat, CSR perusahaan, atau sumber lain yang sah, dapat dipertanggungjawabkan, serta tidak bertentangan dengan hukum. Jika dikaitkan dengan tiga nilai dasar hukum (triadism) sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch, revisi atas Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sejatinya telah memenuhi ketiga nilai dasar hukum sebagaimana dikemukakan oleh Gustav Radbruch.

Dari aspek keadilan, revisi Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sebagaimana yang penulis tawarkan sejatinya berupaya menjamin keadilan di masyarakat karena pendanaan PTSL yang utama merupakan kewajiban bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Selain itu, dari aspek kemanfaatan, rumusan wajib bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah terkait sumber pendanaan PTSL membuat pemerintah daerah dapat berpartisipasi menentukan anggaran untuk ikut menyukseskan program PTSL. Dari aspek kepastian hukum, revisi Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sebagaimana yang penulis tawarkan juga semakin mempertegas kedudukan biaya swadaya masyarakat yang mana masyarakat tetap dikenai biaya namun dengan jumlah terjangkau dan bagi masyarakat tidak mampu tetap terdapat mekanisme tertentu untuk mempermudah masyarakat dalam proses PTSL.

Revisi juga diharapkan pada ketentuan Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL khususnya dengan menghapus kata “dapat” yang pada awalnya berbunyi, “…yang bersangkutan maka “tetap dapat” diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah”, menjadi dihapus sama sekali sehingga menjadi, “yang bersangkutan tetap diterbitkan Sertipikat Hak atas Tanah”. Penghapusan kata “dapat” dalam ketentuan tersebut dilihat dalam gagasan tiga nilai hukum (triadism) sebagaimana dikonstruksikan oleh Gustav Radbruch sejatinya telah menjamin keadilan, kemanfaatan, serta kepastian hukum. Dalam aspek keadilan, penghapusan kata dapat menegaskan bahwa sekalipun masyarakat tidak mampu membayar biaya penerbitan Sertipikat Hak atas Tanah, namun tetap mendapatkan Sertipikat Hak atas Tanah dengan adanya surat penyataan BPHTB terhutang. Penghapusan kata dapat ini menjamin hak amsyarakat untuk mendapatkan Sertipikat Hak atas Tanah sekalipun belum melunasi biaya penerbitan. Dari aspek kemanfaatan, dihapuskannya kata dapat justu memberikan kemanfaatan pada masyarakat sehingga masyarakat dapat menikmati bukti hak kepemilikan atas tanah berupa Sertipikat Hak atas Tanah sekalipun belum melunasi biaya penerbitan. Dari aspek kepastian hukum, dihapuskannya kata dapat semakin mempertegas bahwa hak untuk mendapatkan Sertipikat Hak atas Tanah sekalipun belum melunasi biaya penerbitan adalah hak masyarakat. Hal ini juga sebagai “jaring pengaman” untuk menghindari dari praktik-praktik pelanggaran hukum yang dilakukan oleh petugas PTSL di daerah khususnya terkait potensi adanya “pungli” atau upaya lain yang berpotensi merugikan masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, revisi terhadap Permen PTSL, khususnya pada Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sejatinya bertujuan untuk memenuhi tiga nilai dasar hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Hal ini supaya pengaturan mengenai program PTSL dapat sejalan dengan tujuan serta orientasi program PTSL yang ditujukan untuk menjamin kepadilan, kemanfaatan, kepastian, serta hendak menyejahterakan masyarakat.

Simpulan

Dilihat dari aspek keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL di atas, khususnya dalam kata “dapat” berpotensi membuat tidak terwujudnya ketiga nilai dasar hukum di atas. Tidak terwujudnya ketiga nilai dasar hukum di atas dalam rumusan pengaturan pembayaran pajak terutang peralihan hak atas tanah bersertifikat dari program PTSL berpotensi menimbulkan ketidakadilan di masyarakat sekaligus meminimalisasi aspek kemanfaatan atas program PTSL serta menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat atas penerapan program PTSL yang berpotensi merugikan hak-hak masyarakat sebagai peserta PTSL. Revisi terhadap Permen PTSL, khususnya pada Pasal 33 ayat (1) Permen PTSL juncto Pasal 40 ayat (1) Permen PTSL sejatinya bertujuan untuk memenuhi tiga nilai dasar hukum yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch. Hal ini supaya pengaturan mengenai program PTSL dapat sejalan dengan tujuan serta orientasi program PTSL yang ditujukan untuk menjamin kepadilan, kemanfaatan, kepastian, serta hendak menyejahterakan masyarakat.

References

  1. D. Ekawati, D. K. Wardhani, D. E. Prastiwi, S. Prayitno, and A. Purwanto, “Prosedur Peralihan Kepemilikan Hak Atas Tanah di Indonesia,” JAMAIKA J. Abdi Masy. Progr. Stud. Tek. Inform. Univ. Pamulang, vol. 2, no. 1, pp. 90–101, 2020.
  2. U. Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
  3. S. Esdarwati, “Pentingnya Kepastian Hukum Dalam Pendaftaran Tanah Sistematik Lengkap (Ptsl) Untuk Masyarakat,” J-PeHI J. Penelit. Huk. Indones., vol. 2, no. 1, p. 42, 2021.
  4. N. Rahmawati, “Pendaftaran Tanah Berbasis Desa Lengkap,” Tunas Agrar., vol. 5, no. 2, pp. 127–141, 2022, doi: 10.31292/jta.v5i2.177.
  5. M. Y. L. D. R. Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Mandar Maju, 2008.
  6. A. N. Fuad and D. Erowati, “Pengawasan Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Tengah Terhadap Maladministrasi Pungutan Liar Program Nasional Agraria di Kabupaten Kudus Tahun 2017,” J. Penelit., vol. 13, no. 1, p. 173, 2019, doi: 10.21043/jp.v13i1.5404.
  7. M. Nurahmani, Aditya Robi Rismansyah, “Analisis Pengaturan Kebijakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap Sebagai Upaya Percepatan Reforma Agraria,” Padjadjaran Law Rev., vol. 8, no. 1, pp. 1–19, 2020.
  8. N. L. Juliani, G. Ngurah, and D. Laksana, “Fungsi Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (Ptsl) Di Kabupaten Tabanan Dalam Rencana Tata Ruang Terhadap Masyarakat,” J. Kertha Negara, vol. 9, no. 1, p. 12, 2021.
  9. S. Nurhayati, O. Medaline, and A. K. Sari, “Implemen tasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) Sebagai Kesejahteraan Masyarakat,” in Seminar of Social Sciences Engineering & Humaniora, 2022, p. 567.
  10. C. H. Eka N.A.M. Sihombing, Penelitian Hukum, 1st ed. Malang: Setara Press, 2022.
  11. G. Radbruch, “Law’s Image of the Human,” Oxf. J. Leg. Stud., vol. 40, no. 4, pp. 667–681, Dec. 2020, doi: 10.1093/ojls/gqaa026.
  12. D. O. S. A’an Efendi, Ilmu Hukum, 1st ed. Jakarta: Prenadamedia Group, 2021.
  13. I. M. G. W. Murti, “Melihat Berbagai Sistem Hukum di Dunia Dalam Kajian Pengantar Ilmu Hukum,” e-Journal Komunitas Yust. Univ. Pendidik. Ganesha, vol. 4, no. 3, p. 960, 2021.
  14. Holijah, Studi Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2021.
  15. J. Vega, “Legal Philosophy as Practical Philosophy,” Revus, no. 34, pp. 57–68, Jun. 2018, doi: 10.4000/revus.3859.
  16. S. H. Tan, “Radbruch’s Formula Revisited: The Lex Injusta Non Est Lex Maxim in Constitutional Democracies,” Can. J. Law Jurisprud., vol. 34, no. 2, pp. 461–491, Aug. 2021, doi: 10.1017/cjlj.2021.12.
  17. D. Kurniawan, “Pendekatan Restorative justice Melalui Mediasi Penal dalam Menangani Tindak Pidana Penganiayaan,” Idea Huk., vol. 8, no. 1, p. 4, 2022.
  18. G. Radbruch, “Statutory Lawlessness and Supra-Statutory Law (1946),” Oxf. J. Leg. Stud., vol. 26, no. 1, pp. 1–11, Jan. 2006, doi: 10.1093/ojls/gqi041.
  19. S. Shidarta, “Bernard Arief Sidharta: Dari Pengembanan Hukum Teoretis ke Pembentukan Ilmu Hukum Nasional Indonesia,” Undang J. Huk., vol. 3, no. 2, pp. 441–476, Dec. 2020, doi: 10.22437/ujh.3.2.441-476.
  20. S. Al-Fatih, “Penerapan Threshold Dalam Pemilu Menurut Perspektif Gustav Radbruch Dan Hans Kelsen,” Audit. Comp. Law J., vol. 1, no. 2, pp. 80–82, 2020.
  21. Z. Liao, “The validity of exemption clauses in contract law: Cases, rules, legislation intervention and implications,” SISU Law Rev., vol. 1, no. 1, p. 2, 2021.
  22. Z. A. Muabezi, “Negara Berdasarkan Hukum (Rechtsstaats) Bukan Kekuasaan (Machtsstaat),” J. Huk. dan Peradil., vol. 6, no. 3, p. 421, 2017, doi: 10.25216/jhp.6.3.2017.421-446.
  23. H. Cairns, Legal Philosophy from Plato to Hegel. Maryland: Johns Hopkins University Press, 2019.
  24. F. P. Disantara, B. D. Anggono, and A. Efendi, “Mendudukkan Norma Etika: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat terhadap Relasi Etika dan Hukum,” Rechtsidee, vol. 10, no. 2, pp. 1–13, 2022, doi: 10.21070/jihr.v10i0.773.
  25. M. Y. Said and Y. Nurhayati, “a Review on Rawls Theory of Justice,” Int. J. Law, Environ. Nat. Resour., vol. 1, no. 1, pp. 29–36, 2021, doi: 10.51749/injurlens.v1i1.7.
  26. B. A. Garner and H. C. Black, Black’s Law Dictionary, 11th ed. Minnesotta: West Publishing Co, St. Paull, 2019.
  27. F. Fuad, “Socio Legal Research Dalam Ilmu Hukum,” Widya Pranata Huk. J. Kaji. dan Penelit. Huk., vol. 2, no. 2, pp. 32–47, 2020, doi: 10.37631/widyapranata.v2i2.261.
  28. P. Tarantino, Philosophy, Obligation and the Law: Bentham’s Ontology of Law, 1st ed. New York: Routledge, 2018.
  29. J. Gray, “Two faces of On Liberty: Liberal institutions are becoming more censorial. Is the philosopher John Stuart Mill to blame?,” Sage Publ., vol. 49, no. 4, pp. 66–69, 2020.
  30. S. Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Yogyakarta: Liberty, 2002.
  31. A. Hidayat and Z. Arifin, “Politik Hukum Legislasi Sebagai Socio-Equilibrium Di Indonesia,” J. Ius Const., vol. 4, no. 2, pp. 147–159, 2019, doi: 10.26623/jic.v4i2.1654.
  32. K. F. Sulaiman, “Polemik Fungsi Sosial Tanah dan Hak Menguasai Negara Pasca UU Nomor 12 Tahun 2012 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012,” J. Konstitusi, vol. 18, no. 1, p. 091, 2021, doi: 10.31078/jk1815.
  33. M. Morley, “Defeating the Executive Nondelegation Doctrine,” Florida, 902, 2019. [Online]. Available: https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3292007.
  34. N. A. Susanto, “Dimensi Aksiologis Dari Putusan Kasus ‘ST’ Kajian Putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012,” Yudisial, vol. 7, no. 97, pp. 213–235, 2014.
  35. A. T. D. Jayasa Putra Rajagukguk, Azmiati Zuliah, “Akibat Hukum Jual Beli Atas Tanah Dengan Sertifikat Hak Milik Dalam Akta Di Bawah Tangan,” Dharmawangsa, vol. 15, no. 2, p. 201, 2021.
  36. Y. Hetharie, “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” Sasi, vol. 25, no. 1, p. 29, 2019.
  37. D. F. . . M. Addi Fauzani, Fandi Nur Rohman, “Pemberlakuan Peraturan Dasar Sebagai Wadah Haluan Negara (Gagasan Redesain Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Prespektif Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia),” Penegakan Huk. dan Keadilan, vol. 2, no. 1, p. 58, 2021.
  38. A. Redi, Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, 1st ed. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
  39. A. Martira and H. Nursadi, “Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah Dalam Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional,” J. Huk. Pembang., vol. 50, no. 1, p. 177, 2020, doi: 10.21143/jhp.vol50.no1.2490.
  40. R. Satria, “Penerapan Metode Regulatory Impact Assessment (Ria) Dalam Penyusunan Regulasi Daerah,” Masalah-Masalah Hukum, vol. 44, no. 2. p. 178, 2015, doi: 10.14710/mmh.44.2.2015.178-189.