Business Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.790

The Business Judgment Rule in a Progressive Legal Perspective: Essence and Implications in Indonesia


Business Judgment Rule dalam Perspektif Hukum Progresif: Esensi dan Implikasinya di Indonesia

Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Indonesia
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Indonesia
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Indonesia
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Airlangga
Indonesia

(*) Corresponding Author

Business Judgment Rule Business Law Progressive Law

Abstract

The business judgment rule is a concept of business law to provide protection for the directors and commissioners of the company regarding liability due to decisions or policies that harm the company. This concept is important to realize creative and innovative directors in carrying out business practices. This study aims to explore the progressive legal aspects of the business judgment rule concept. This research is a normative legal research oriented to the study of the concept of business judgment rule and the theoretical study of progressive law. The primary legal materials in this study include: the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the PT Law, and the POJK on the Board of Directors and Board of Commissioners of Issuers or Public Companies. Secondary legal materials include: the results of studies and research that discusses the concept of business judgment rule and progressive law. Non-legal materials include legal dictionaries. The results of the study confirm that the essence of the concept of business judgment rule is to optimize the effectiveness and efficiency of the company. This includes providing guarantees for protection and legal certainty for directors and commissioners regarding liability for company losses that can be excluded through the concept of a business judgment rule. The implications of the business judgment rule in the perspective of progressive law can be done by revising Article 97 paragraph (5) of the Limited Liability Company Law to guarantee the limits of the business judgment rule more specifically so as to ensure legal certainty, prioritizing human values ​​in progressive law as guiding values ​​in reading the formulation of Article 97 paragraph (5) PT Law, as well as the role of judges in court through their decisions to develop the concept of a business judgment rule in practice.

Pendahuluan

Konsekuensi Indonesia sebagai negara hukum menempatkan hukum sebagai pengatur sekaligus pelindung berbagai tindakan dan aktivitas manusia. Dalam hal ini, hadirnya hukum adalah berupaya untuk memberikan kepastian serta perlindungan kepada setiap orang untuk menjalankan aktivitasnya. Memberikan kepastian dalam hal ini bahwa hukum menentukan aturan main sekaligus memberikan batasan-batasan yang jelas mengenai setiap aktivitas yang dilaksanakan. Selain itu, dalam aspek perlindungan hukum juga memberikan mekanisme upaya hukum yang dapat ditempuh apabila terdapat pelanggaran dalam menjalankan aturan.[1] Dalam konteks ini, upaya hukum untuk memberikan kepastian dan perlindungan kepada setiap orang salah satunya dalam aspek bisnis.

Bisnis merupakan salah satu aspek terpenting dalam kehidupan manusia. Hal ini karena bisnis bertujuan untuk mencari keuntungan yang mana keuntungan tersebut digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia.[2] Karena bisnis merupakan aktivitas terpenting manusia maka hukum hadir untuk melindungi dan membingkai aktivitas bisnis manusia.[3] Hukum yang membingkai setiap aktivitas bisnis manusia ini lah yang lazim disebut hukum bisnis. Salah satu aspek penting dalam hukum bisnis adalah hukum di bidang korporasi atau perusahaan. Hukum perusahaan menjadi penting untuk diberi bingkai aturan main karena perusahaan merupakan instrument yang menjalankan bisnis.[4]

Salah satu isu hukum penting dalam hukum perusahaan adalah terkait pertanggungjawaban pengurus perusahaan. Dalam hal ini, terdapat perdebatan konseptual maupun praktik mengenai kapan dan dalam kondisi apa seorang pengurus (berupa direksi atau komisaris) perusahaan perseroan terbatas (PT) bertanggungjawab terhadap segala kesalahan yang berdampak pada perusahaan. Dalam konteks ini, kemudian mengemuka konsep business judgement rule. Business judgement rule sejatinya merupakan konsep yang menegaskan kapan dan dalam kondisi apa pengurus (berupa direksi atau komisaris) perusahaan perseroan terbatas (PT) bertanggungjawab terhadap kendala atau kerugian perusahaan.[5] Hal ini untuk melindungi supaya direksi dan komisaris tidak selalu dimintai pertanggungjawaban atas setiap kerugian perusahaan. Hal ini karena ada kerugian perusahaan yang disebabkan oleh kesalahan direksi atau komisaris namun terdapat juga kesalahan dan kerugian perusahaan yang disebabkan oleh aspek lainnya. Penelitian ini bertujuan menggali konsep business judgement rule dalam perspektif hukum progresif. Perspektif hukum progresif diperlukan sebagai upaya untuk meneguhkan hakikat hukum sebagai sarana untuk memenuhi dimensi kemanusiaan. Hal ini relevan dikaitkan dengan pertanggungjawaban yang dilakukan oleh direksi dan komisaris dalam kerugian perusahaan.

Penelitian mengenai business judgement rule beberapa diantaranya pernah dilakukan oleh Dhaifina Fitriani (2020) tentang Perlindungan Direksi Melalui Business Judgment Rule (Studi Analisis Kasus Karen Agustiawan Mantan Dirut Pertamina) yang berfokus pada studi kasus penerapan konsep business judgement rule dalam kasus mantan direksi Pertamina.[6] Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Selamat Lumban Gaol (2021) tentang Aturan Kebijakan Bisnis (Business Judgment Rule) Sebagai Alasan Penghapus Pertanggungjawaban Pidana Pribadi Direksi Perseroan Terbatas Atas Kerugian Perseroan Terbatas Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Di Luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengaitkan konsep business judgement rule dengan alasan penghapus pertanggungjawaban pidana.[7] Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Eko Priyono, Agus Surono, dan Sadino (2022) Konsep Business Judgment Rule Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Direksi BUMN (Studi Kasus PT. PLN) yang berfokus pada penerapan konsep business judgement rule dalam kasus di PT. PLN.[8] Berdasarkan ketiga penelitian sebelumnya, penelitian yang membahas konsep business judgement rule dalam perspektif hukum progresif belum ada padahal dimensi teoretis dari konsep business judgement rule perlu dibedah khususnya dari perspektif hukum progresif. Dengan demikian penelitian yang penulis lakukan merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Bagaimana esensi konsep business judgement rule dalam hukum bisnis, dan (ii) Bagaimana implikasi business judgement rule dalam perpspektif hukum progresif?.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang berorientasi pada kajian konsep business judgement rule serta kajian teoretik hukum progresif. Penelitian hukum normatif meurpakan penelitian yang berorientasi pada koherensi antara konsep huku, asas hukum, dengan aturan hukum.[9] Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD NRI 1945, Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT), serta Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/Pojk.04/2014 Tentang Direksi Dan Dewan Komisaris Emiten Atau Perusahaan Publik (POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik). Bahan hukum sekunder meliputi: hasil kajian dan penelitian yang membahas mengenai konsep business judgement rule dan hukum progresif. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum.

Hasil dan Pembahasan

Esensi Business Judgement Rule dalam Hukum Bisnis

Hukum bisnis sejatinya merupakan bidang hukum yang kompleks karena menyangkut berbagai aspek kehidupan manusia yang berkaitan dengan keuntungan dan kegiatan bisnis.[10] Dalam konteks ini, bisnis yang lazimnya dilaksanakan oleh perusahaan menuntut hukum bisnis juga mengatur berbagai aspek terkait hukum perusahaan. Salah satu perusahaan yang relevan dengan bisnis adalah perseroan terbatas (PT). PT merupakan salah satu bentuk badan usaha yang berorientasi untuk menjalankan berbagai kegiatan ekonomis untuk mendapatkan keuntungan.[11] Dalam perkembangan ilmu hukum, PT beserta badan hukum perusahaan lainnya menjadi bagian dari subjek hukum.[12] Ilmu hukum kemudian membagi subjek hukum menjadi naturlijke person dan rechtsperson.

Naturlijke person merupakan subjek hukum yang secara alamiah melekat pada setiap orang yang memenuhi syarat dan ketentuan hukum untuk melakukan perbuatan hukum.[13] Hal ini berbeda dengan rechtsperson yang berdasarkan fiksi hukum suatu institusi atau badan hukum dipersamakan sebagai layaknya “orang” yang dapat melakukan perbuatan hukum.[14] Tentu, badan hukum yang dianggap sama dengan orang yang dapat melakukan perbuatan hukum tersebut memiliki hak dan kewajiban layaknya orang yang melakukan perbuatan hukum dan tentunya dijalankan oleh organ khusus dalam badan hukum. Organ khusus tersebut lazimnya disebut sebagai pengurus badan hukum yang dalam bahasa badan hukum PT identik dengan nama direksi maupun komisaris.

PT sebagai badan hukum tentu dijalankan oleh organ perusahaan yang dalam hal ini berupa direksi maupun komisaris.[15] Upaya direksi maupun komisaris dalam menjalankan PT tersebut kemudian berpotensi dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat kerugian atau suatu implikasi hukum yang menimpa suatu perusahaan atau PT. Hal ini lah yang lazim disebut sebagai pertanggungjawaban korporasi atau perusahaan. Pertanggungjawaban perusahaan sejatinya merupakan bentuk akibat hukum dari suatu perbuatan atau peristiwa hukum tertentu yang menimpa perusahaan yang mmebuat perusahaan merugi atau perusahaan dinyatakan melanggar hukum.[16] Bentuk pertanggungjawaban hukum perusahaan dapat berbeda-beda sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan. Dalam konteks ini, pertanggungjawaban perusahaan dapat beraspek perdata, beraspek administrasi, hingga beraspek pidana.[17]

Adanya pertanggungjawaban perusahaan tersebut berpotensi membuat direksi dan komisaris mudah untuk dimintai pertanggungjawaban karena bisa saja sebagai pelaksana kegiatan perusahaan direksi dan komisaris diharuskan untuk menanggung semua kerugian maupun pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan. Hal ini lah yang sejatinya merugikan para direksi maupun komisaris karena dalam hubungannya dengan posisinya di perusahaan ada perbuatan hukum yang dilakukan secara pribadi dan ada yang dilakukan berdasarkan kedudukannya di perusahaan. Perbedaan kedudukan dalam dalam melakukan suatu perbuatan hukum ini lah yang sejatinya berdampak pada kapan suatu direksi maupun komisaris dituntut melakukan pertanggungjawaban yang idealnya hanya yang berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan posisinya di perusahaan. Upaya untuk melindungi direksi maupun komisaris atas pertanggungjawaban yang sangat luas tersebut maka dalam ilmu hukum bisnis lahir konsep mengenai business judgement rule.[18]

Business judgement rule adalah konsep yang secara prinsip menegaskan bahwa direksi maupun komisaris perusahaan tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas segala keputusan dan/atau kebijakan yang merugikan perusahaan selama kebijkan tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur dan demi kepentingan perusahaan.[19] Pemahaman ini sejatinya diperkuat oleh Black’s Law Dictionary yang menegaskan bahwa pada konsepya business judgement rule berupaya melindungi direksi maupun komisaris perusahaan dalam setiap pengambilan keputusan selama dalam pengambilan keputusan tersebut didasarkan pada kedudukan dan kewenangannya di perusahaan, didasarkan pada iktikad baik, serta berdasarkan kehati-hatian.[20] Secara yuridis, pengaturan mengenai business judgement rule dalam hukum positif di Indonesia telah diatur dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT sejatinya telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban bagi direksi atau komisaris dikecualikan apabila direksi atau komisari dapat membuktikan bahwa: (i) kerugian yang dialami oleh perusahaan bukan merupakan kesalahan atau kelalaian direksi maupun komisaris, (ii) melaksanakan keputusan atau kebijakan perusahaan dengan hati-hati dan berdasarkan iktikad baik, (iii) menjalankan segala keputusan dan/atau kebijakan sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan, (iv) tidak secara langsung maupun tidak langsung memiliki benturan kepentingan, serta (v) telah melakukan upaya antisipasi atau penanggulangan kerugian perusahaan berdasarkan tugas dan kewenangannya.[21] Jika melihat rumusan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT penulis dapat menyimpulkan mengenai tiga hal, yaitu: pertama, rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT menegaskan konsep business judgement rule secara kumulatif yang berarti salah satu aspek saja dalam ketentuan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT tidak dilaksanakan maka direksi atau komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban. Hal yang menjadi permasalahan hukum misalnya jika seorang direksi atau komisaris telah berhati-hati dan beriktikad baik tetapi kemudian melakukan kelalaian yang menyebabkan kerugian perusahaan apakah dengan demikian tetap dimintai pertanggungjawaban?. Menurut hemat penulis ketentuan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT mengenai implementasi konsep business judgement rule harus seyogyanya harus dibaca secara alternatif, yang berarti cukup salah satu aspek saja terpenuhi sehingga dapat menghindarkan direksi atau komisaris dari pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan.

Kedua, rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT dalam penjelasannya juga kurang memberikan batasan maupun penjelasan khusus mengenai konsep business judgement ruleseperti batasan yang tidak jelas mengenai standar iktikad baik dan kehati-hatian serta sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.[22] Rumusan norma “sesuai dengan maksud dan tujuan” perseroan juga sejatinya menimbulkan kekaburan hukum yang karena tidak memiliki batasan maka dapat ditafsirkan secara luas maupun sempit sesuai dengan kebutuhan sehingga berpotensi menimbulkan adanya ketidakpastian hukum dalam konsep business judgement rule.[23] Ketiga, rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT juga sejatinya kurang memberikan batasan atau limitasi yang jelas sehingga berpotensi inkonsisten dalam penerapannya. Hal ini misalnya kalimat “benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung” bagaimana standar langsung maupun tidak langsung tersebut yang jika tidak dimaknai secara limitatif bisa menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya. Hal ini berdampak pada tidak adanya kepastian hukum dalam rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Padahal, sebagaimana pandangan Gustav Radbruch bahwa kepastian hukum adalah salah satu nilai dasar yang harus dipenuhi dalam perumusan norma hukum.

Lebih lanjut, rumusan konsep business judgement rule juga terdapat dalam POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik, khususnya dalam Pasal 13 ayat (2). Rumusan Pasal 13 ayat (2) POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik sejatinya mirip dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT. Yang membedakan hanyalah pada karakteristik kedua dari business judgement rule yang dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT hanya menegaskan mengenai iktikad baik dan kehati-hatian serta sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan sedangkan dalam Pasal 13 ayat (2) POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik menambahi dengan rumusan “penuh tanggung jawab”. Jika ditelaah secara lebih saksama, ketentuan dalam Pasal 13 ayat (2) POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik yang menambahi rumusan “penuh tanggung jawab” adalah sesuatu yang contradictio in terminis.[24] Hal ini karena ketentuan dalam pasal tersebut sudah menegaskan mengenai pengecualian tanggung jawab direksi dan komisaris terhadap kerugian perusahaan. Hal ini berarti direksi dan komisaris emiten atau perusahaan publik tidak diwajibkan bertanggungjawab selama dia bertanggung jawab. Pemahaman ini tentu menimbulkan kerancuan pemahaman yang menimbulkan adanya kekaburan pemahaman (vague norm) atas istilah pertanggungjawaban dalam Pasal 13 ayat (2) POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik. Menurut hemat penulis, seyogyanya rumusan dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT cukup ditulis apa adanya ditambah dengan spesifikasi khusus mengenai beberapa aspek yang belum diperjelas dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT.[25]

Meski secara umum konsep business judgement rule dalam UU PT maupun dalam Pasal 13 ayat (2) POJK Tentang Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik telah terumuskan, namun beberapa kelemahan penormaan (wording and drafting) dalam UU PT sejatinya ke depan perlu diperbaiki. Hal ini seperti kriteria iktikad baik dan kehati-hatian yang memerlukan standar secara lebih spesifik. Selain itu, bentuk benturan kepentingan juga harus dipertegas bagaimana contoh dari benturan kepentingan secara langsung maupun tidak langsung yang dapat merugikan perusahaan. Lebih lanjut, penuangan konsep business judgement rule juga perlu menambahkan standar serta sesuai dengan perkembangan hukum dan putusan pengadilan. Kalimat yang menegaskan mengenai kesesuaian dengan perkembangan hukum dan putusan pengadilan sejatinya merupakan klausul progresif yang membuka terbukanya tafsir baru atas konsep business judgement rule melalui peran putusan pengadilan.[15] Hal ini dikarenakan konsep business judgement rule secara historis lahir di negara-negara common law yang mengedepankan pembuatan atau relevansi hukum melalui tafsir pengadilan (judge made law).[26] Hal ini lah yang sejatinya dapat menambah relevansi konsep business judgement rule untuk melindungi direksi dan komisaris dalam menjalankan perusahaan dari pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi konsep business judgement ruleadalah untuk pengoptimalan sekaligus efektivitas dan efisiensi perusahaan. Hal ini termasuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi direksi dan komisaris terkait pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan yang dapat dikecualikan melalui konsep business judgement rule. Tentunya, sekalipun memiliki tujuan untuk melindungi direksi dan komisaris terkait pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan, namun perlu perbaikan rumusan atas konsep business judgement rule di berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini supaya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sekaligus memberikan batasan yang pasti terkait adanya perluasan tafsir dalam rumusan norma konsep business judgement rule yang berpotensi menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya.

Implikasi Business Judgement Rule dalam Per spektif Hukum Progresif

Konsep business judgement rule sebagaimana dijelaskan sebelumnya sejatinya telah terimplementasikan dalam hukum positif di Indonesia, khususnya dalam UU PT.[27] Meski begitu, dalam UU PT sejatinya rumusan business judgement rule juga masih belum ideal sehingga berpotensi lahirnya inkonsistensi dalam penerapannya sekaligus berpotensi bersifat multi interpretasi.[28] Potensi adanya multi interpretasi tersebut tentu menimbulkan ketidakpastian hukum di satu sisi karena terbua ruang penafsiran yang sangat terbuka. Hal ini lah yang sejatinya menjadi salah satu problematika dalam hukum positif. Hukum positif dalam konteks business judgement rule adalah rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT yang telah menetapkan bahwa dalam kondisi apa suatu direksi atau komisaris dianggap bertanggung jawab terhadap kerugian perusahaan. Perumusan konsep business judgement rule dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT sejatinya adalah upaya untuk menuangkan ketentuan konseptual secara praksis dalam suatu norma hukum.

Penuangan konsep, asas, serta aspek filosofis dalam suatu norma hukum sejatinya merupakan hal lazim di era hukum modern yang menekankan pentingnya norma hukum positif. Era hukum modern dalam praktik hukum bisnis juga menghendaki setiap transaksi bisnis diatur berdasarkan hukum positif.[29] Dalam konteks perusahaan sebagai salah satu sarana mewujudkan tujuan bisnis, tentu membutuhkan rumusan pengaturan yang dibuat oleh negara. Rumusan pengaturan tersebut berfungsi supaya praktik bisnis berlangsung secara tertib, proporsional, sekaligus dapat memberikan keuntungan bagi para pihak. Tentunya, pengaturan mengenai business judgement rule sejatinya juga bertujuan untuk melindungi dan memperlancar praktik bisnis.

Dalam praktiknya, hukum dan bisnis memiliki orientasi yang berbeda. Dalam hukum sebagaimana disampaikan oleh Lon Fuller, konsistensi hukum menjadi penting sebagai salah satu syarat menjamin kepastian hukum serta koherensi dengan penerapannya.[30] Meski begitu, konsistensi hukum tidak dapat dimaknai sebagai suatu sikap pragmatis yang anti terhadap perubahan. Konsistensi hukum tetap memfasilitasi adanya perubahan hukum secara berkala baik melalui regulasi, proses legislasi, hingga penemuan hukum oleh lembaga pengadilan.[31] Meski begitu, karakter hukum yang menekankan pada konsistensi tentu berbeda dengan karakter dari bisnis. Bisnis berkarakter lebih cair dan dituntut untuk selalu berubah mengikuti perkembangan zaman.[32] Karakter bisnis yang serba berubah dan cair ini lah yang menegaskan bahwa bisnis tidak dapat konsisten sebagaimana hukum. Karakter bisnis yang mudah berubah ini juga menimbulkan permasalahan hukum diantaranya ketertinggalan aturan hukum karena masifnya perkembangan dunia bisnis.[33] Mengacu pada hal tersebut, sejatinya konsep business judgement rule berupaya untuk menjadi jembatan atas konsistensi hukum dengan praktik bisnis yang penuh inovasi dan perubahan.

Konsep business judgement rule sejatinya bertujuan untuk memfasilitasi berbagai keputusan bisnis yang harus disesuaikan dengan perkembangan dunia bisnis supaya tidak ketinggalan.[34] Hal ini sejatinya merupakan tuntutan dunia bisnis untuk selalu berubah dan berinovasi. Bahkan, tak jarang keputusan bisnis juga berujung pada kerugian sekalipun sudah terdapat analisis dan kalkulasi secara presisi.[35] Berdasarkan uraian tersebut, konsep business judgement rule sejatinya hadir untuk memfasilitasi para direksi maupun para komisaris untuk dapat menjalankan bisnis secara maksimal dan tidak takut mengambil keputusan. Hal ini lah yang membuat konsep business judgement rule sejatinya merupakan sarana pelrindungan bagi direksi maupun para komisaris dalam membuat keputusan bisnis bagi perusahaan.

Karakter bisnis yang identik dengan segala perubahan dan inovasi tersebut menuntut hukum untuk memberikan sarana perlindungan serta berbagai upaya untuk membingkai setiap kegiatan bisnis. Perspektif hukum progresif sejatinya merupakan perspektif yang relevan dalam menganalisis konsep business judgement rule dalam praktik bisnis. Menurut hemat penulis, setidaknya terdapat tiga argumentasi mengapa perspektif hukum progresif relevan dalam menganalisis konsep business judgement rule dalam praktik bisnis, yaitu:[36] pertama, dalam pandangan Satjipto Rahardjo, hukum progresif memiliki karakter untuk selalu mengikuti riak perkembangan zaman. Hukum tidak boleh menjadi skema yang mutlak dan final, tetapi harus berorientasi untuk selalu menjadi institusi yang melayani kemanusiaan.[37] Dalam konteks hukum bisnis dan keberlakuan konsep business judgement rule maka perspektif hukum progresif relevan dalam upaya untuk menjadikan hukum sebagai bingkai dari kegiatan bisnis yang terus berubah sekaligus memberikan perlindungan bagi pelaku bisnis. Kedua, hukum progresif menitikberatkan pada nurani kemanusiaan sehingga hukum harus dimaknai secara komprehensif antara aturan dan perilaku sekaligus (rule and behavior).[38] Dalam konteks hukum bisnis dan penerapan konsep business judgement rule, maka nurani kemanusiaan sejatinya harus menjadi salah satu batu uji dalam menilai keberlakuan konsep business judgement rule. Rumusan konsep business judgement rule yang secara tegas tertuang dalam Pasal 97 ayat (5) UU PT sejatinya merupakan rumusan yang bersifat terbuka dan dapat dimaknai secara berbeda dalam kondisi tertentu dan dengan demikian, maka hakikat nurani kemanusiaan dari hukum progresif dapat menjadi salah satu indikator dalam menilai keberlakuan konsep business judgement rule. Ketiga, hukum progresif menekankan pada upaya untuk melakukan pendobrakan aturan (rule breaking) supaya sesuai dengan hukum maupun praktik hukum di masyarakat.[39] Dalam konteks hukum bisnis dan penerapan konsep business judgement rule hukum progresif dapat dijadikan pedoman dan paradigma bagi hakim di pengadilan untuk mengadili direksi maupun komisaris perusahaan melalui konsep business judgement rule. Hukum progresif bahkan mengupayakan peran hakim di pengadilan untuk melampaui aturan maupun putusan-putusan sebelumnya apabila terdapat kasus-kasus tertentu (hard case) yang memerlukan pertimbangan moralitas hukum yang lebih mendalam serta menghasilkan putusan yang bersifat landmark decision atau dapat menjadi yurisprudensi bagi hakim selanjutnya.[40]

Peran penting hakim dalam menangani konsep business judgement rule sebagai salah satu orientasi dari hukum progresif menjadi penting karena sejatinya konsep business judgement rule pada awalnya berkembang di negara dengan karakter common law.[41] Pada awalnya, business judgement rule di negara-negara common law yang berakar dari konsep pertanggungjawaban direksi atau yang lazim dikenal sebagai fiduciary duty.[42] Konsep fiduciary duty inilah yang menegaskan bahwa setiap direksi wajib bertanggung jawab atas setiap keputusan perusahaan. Hal ini tentu tidak relevan dengan perkembangan bisnis yang menuntut pengambilan keputusan secara cepat dan jika konsep fiduciary duty dilaksanakan secara mutlak maka akan berpotensi menimbulkan stagnasi perusahaan karena setiap direksi akan takut mengambil keputusan.

Untuk memberikan keamanan bagi para direksi ini lah lahir konsep business judgement rule sebagai penyeimbang dari konsep fiduciary duty.[43] Dengan demikian, konsep fiduciary duty dalam pelaksanaannya dibatasi oleh konsep business judgement rule. Dilihat dari perspektif hukum progresif, sejatinya kelahiran konsep business judgement rule merupakan upaya yang hadir untuk mengahadapi kebuntuan hukum. Yurisprudensi maupun aturan mengenai fiduciary duty didobrak oleh penemuan hukum para hakim dan dikembangkan dengan konsep business judgement rule. Sebagaimana lahirnya konsep business judgement rule yang bertendensi progresif, perspektif hukum progresif juga harus mendapatkan tempat dalam melakukan kritik serta praktik konsep business judgement rule. Hal ini didasarkan pada rumusan konsep business judgement rule dalam norma hukum yang cenderung mudah ditafsirkan secara luas. Hal yang ditakutkan adalah bahwa konsep business judgement rule dapat dimanipulasi menjadi konsep untuk melindungi para “mafia” di tubuh perusahaan. Oleh karena itu, perspektif hukum progresif berupaya memandu sekaligus menuntun perkembangan konsep business judgement rule serta pelaksanaannya.

Nindyo Pramono berpendapat bahwa sejatinya konsep business judgement rule merupakan pengejawentahan beberapa asas hukum bisnis seperti asas kehati-hatian (prudent), asas itikad baik, serta asas pertanggungjawaban (responsibility).[44] Lebih lanjut ditegaskan oleh Erman Rajagukguk bahwa konsep business judgement rule berupaya melahirkan direksi yang berani, tangguh, responsif, dan progresif dalam menjalankan perusahaan berdasarkan realitas bisnis yang menuntut keputusan yang cepat, inovasi, serta mengakomodasi berbagai perubahan yang ada.[45] Dari pandangan para ahli tersebut sejatinya konsep business judgement rule merupakan konsep yang progresif sehingga harus dipandu dan didukung oleh perspektif hukum progresif.

Peran hukum progresif dapat dilakukan dalam konsep business judgement rule dengan mengedepankan: pertama, hukum progresif dengan karakter yang pro-perubahan dan pro terhadap kemajuan zaman berupaya memandu konsepsi business judgement rule sebagai sarana mewujudkan kreativitas bagi para direksi untuk terus berinovasi dalam praktik bisnis. Dalam konteks ini, revisi terhadap rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT untuk lebih menjamin kepastian hukum serta batasan konsepsi business judgement rule yang lebih pasti. Kedua, hukum progresif yang mengedepankan penalaran “nilai kemanusiaan” juga dapat menjadikan spirit progresif dan nilai kemanusiaan sebagai salah satu nilai yang memandu pembacaan atas rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Jika hanya dibaca secara tekstual dan miskin makna, maka Pasal 97 ayat (5) UU PT akan menimbulkan celah hukum dan konsep business judgement rule akan tereduksi menjadi konsep yang melindungi para “mafia” perusahaan yang memang memiliki tujuan untuk memperkaya pribadi maupun kelompoknya. Oleh karena itu, nilai kemanusiaan dan spirit hukum progresif harus dijadikan panduan dalam membaca secara paripurna rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT. Ketiga, hukum progresif menekankan pada peran hakim di pengadilan melalui putusan-putusannya untuk secara kontekstual menilai dan mengembangkan konsep business judgement rule dalam praktik. Peran penting hakim di pengadilan dalam mengembangkan konsep business judgement rule diperlukan supaya dalam kasus tertentu terdapat pembaruan konsep business judgement rule sesuai perkembangan zaman serta sesuai dengan kasus yang dihadapi. Pentingnya peran hakim yang progresif ini selain diharapkan terbentuk pada internal hakim di pengadilan juga dapat dilakukan dengan revisi terhadap Pasal 97 ayat (5) UU PT yang menegaskan salah satu batasan dalam konsep business judgement rule adalah perkembangan ilmu hukum dan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan uraian di atas, implikasi business judgement rule dalam perspektif hukum progresif dapat dilakukan dengan beberapa langkah dan upaya seperti revisi terhadap Pasal 97 ayat (5) UU PT untuk menjamin batasan business judgement rule secara lebih spesifik sehingga menjamin kepastian hukum, mengedepankan nilai kemanusiaan dalam hukum progresif sebagai nilai pemandu dalam membaca rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT sehingga konsep business judgement rule dapat diterapkan secara optimal dan tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, serta peran hakim di pengadilan khususnya melalui putusannya untuk mengembangkan konsep business judgement rule dalam praktik sehingga lahirlah yurisprudensi yang monumental di pengadilan sekaligus mengembangkan konsep business judgement rule sesuai dengan perkembangan bisnis dan perkembangan masyarakat.

Simpulan

Esensi konsep business judgement ruleadalah untuk pengoptimalan sekaligus efektivitas dan efisiensi perusahaan. Hal ini termasuk memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi direksi dan komisaris terkait pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan yang dapat dikecualikan melalui konsep business judgement rule. Tentunya, sekalipun memiliki tujuan untuk melindungi direksi dan komisaris terkait pertanggungjawaban atas kerugian perusahaan, namun perlu perbaikan rumusan atas konsep business judgement rule di berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Hal ini supaya dapat memberikan jaminan kepastian hukum sekaligus memberikan batasan yang pasti terkait adanya perluasan tafsir dalam rumusan norma konsep business judgement rule yang berpotensi menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya.

Implikasi business judgement rule dalam perspektif hukum progresif dapat dilakukan dengan beberapa langkah dan upaya seperti revisi terhadap Pasal 97 ayat (5) UU PT untuk menjamin batasan business judgement rule secara lebih spesifik sehingga menjamin kepastian hukum, mengedepankan nilai kemanusiaan dalam hukum progresif sebagai nilai pemandu dalam membaca rumusan Pasal 97 ayat (5) UU PT sehingga konsep business judgement rule dapat diterapkan secara optimal dan tidak dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pribadi, serta peran hakim di pengadilan khususnya melalui putusannya untuk mengembangkan konsep business judgement rule dalam praktik sehingga lahirlah yurisprudensi yang monumental di pengadilan sekaligus mengembangkan konsep business judgement rule sesuai dengan perkembangan bisnis dan perkembangan masyarakat.

References

  1. M. M Husein, “Penegakan Hukum Dan Perlindungan Negara,” J. Ilmu Polit. dan Komun., vol. VII, no. 1, pp. 21–30, 2017.
  2. B. S. Yustina Dhian Novita, “Urgensi Pembaharuan Regulasi Perlindungan Konsumen di Era Bisnis Digital,” Pembang. Huk. Indones., vol. 3, no. 1, p. 48, 2021.
  3. R. C. Bird, “On the Future of Business Law,” J. Leg. Stud. Educ., vol. 35, no. 2, p. 304, 2018.
  4. S. Bayern, “Business Law Beyond Business,” J. Corp. Law, vol. 46, no. 1, p. 6, 2016.
  5. Y. Y. W. Rissy, “Business Judgement Rule: Ketentuan Dan Pelaksanaannya Oleh Pengadilan Di Inggris, Kanada Dan Indonesia,” Mimb. Huk. - Fak. Huk. Univ. Gadjah Mada, vol. 32, no. 2, p. 275, 2020, doi: 10.22146/jmh.56117.
  6. D. Fitriani, “Perlindungan Direksi Melalui Business Judgment Rule (Studi Analisis Kasus Karen Agustiawan Mantan Dirut Pertamina),” Al - Muamalat J. Huk. Dan Ekon. Syariah, vol. 5, no. 2, p. 75, 2020.
  7. S. L. Gaol, “Aturan Kebijakan Bisnis (Business Judgment Rule) Sebagai Alasan Penghapus Pertanggungjawaban Pidana Pribadi Direksi Perseroan Terbatas Atas Kerugian Perseroan Terbatas Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Di Luar Kitab Undang-Undang,” J. Ilm. Huk. Dirgant., vol. 12, no. 1, p. 52, 2021.
  8. S. Eko Priyono, Agus Surono, “Doktrin Business Judgment Rule Dalam Memberikan Perlindungan Hukum Kepada Direksi BUMN (Studi Kasus PT. PLN),” J. Huk. dan Kesejaht., vol. 7, no. 2, p. 30, 2022.
  9. E. M. Al Amaren, A. M. A. Hamad, O. F. Al Mashhour, and M. I. Al Mashni, “An introduction to the legal research method: To clear the blurred image on how students understand the method of the legal science research,” Int. J. Multidiscip. Sci. Adv. Technol., vol. 1, no. 9, pp. 50–55, 2020.
  10. S. C. Mirande Valbrune, Renee de Assis, Business Law I Essentials. Texas: Rice University, 2019.
  11. S. Handoyo and M. Fakhriza, “Efektivitas Hukum Terhadap Kepatuhan Perusahaan dalam Kepesertaan BPJS Kesehatan,” J. Facto, vol. 4, no. 2, pp. 134–151, 2018.
  12. Holijah, Studi Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group, 2021.
  13. Y. Hetharie, “Perjanjian Nominee sebagai Sarana Penguasaan Hak Milik atas Tanah oleh Warga Negara Asing (WNA) Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,” Sasi, vol. 25, no. 1, p. 29, 2019.
  14. D. P. Rahayu, Faisal, A. C. Kurnia, W. Kusuma, and K. J. Ferdian, “Urgensi Badan Hukum Pada Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) Berbentuk Perkumpulan (Studi Pokdarwis Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka),” Perspekt. Huk., vol. 21, no. 2, p. 185, 2021.
  15. A. Keay, J. Loughrey, T. McNulty, F. Okanigbuan, and A. Stewart, “Business judgment and director accountability: a study of case-law over time,” J. Corp. Law Stud., vol. 20, no. 2, pp. 359–387, 2020, doi: 10.1080/14735970.2019.1695516.
  16. F. P. Alviolita, “Pertanggungjawaban Pidana Oleh Pengurus Korporasi Dikaitkan dengan Asas Geen Straf Zonder Schuld,” Refleks. Huk., vol. 3, no. 1, pp. 1–16, 2018.
  17. T. Harnowo, “Law as Technological Control of the Infringement of Intellectual Property Rights in the Digital Era,” Corp. Trade Law Rev., vol. 2, no. 1, pp. 65–79, 2022.
  18. Y. Marpi, Erlangga, B. T. Endaryono, and K. Noviani, “Legal effective of putting ‘Business as Usual’ clause in agreements,” Int. J. Criminol. Sociol., vol. 10, no. 1, pp. 58–70, 2021, doi: 10.6000/1929-4409.2021.10.09.
  19. S. T. Louis Pahlow, “Introduction: Business and the Law,” Manag. Organ. Hist., vol. 14, no. 4, p. 312, 2019.
  20. B. A. Garner and H. C. Black, Black’s Law Dictionary, 11th ed. Minnesotta: West Publishing Co, St. Paull, 2019.
  21. A. Wijaya, “Implementation of the Doctrine of the Business Judgment Rule on Bankruptcy Law in Indonesia,” Yuridika, vol. 35, no. 1, p. 1, 2019, doi: 10.20473/ydk.v35i1.12436.
  22. G. V. M. and E. S. Fields, “The Business Judgment Rule,” Michigan Bar J., vol. 1, no. 1, pp. 30–34, 2020.
  23. S. Suswoto, “Kajian Kritis Terhadap Teori Positivisme Hukum Dalam Mencari Keadilan Substantif,” J. Ilm. Ilmu Huk. QISTIE, vol. 11, no. 1, pp. 108–136, 2018.
  24. M. Bedke, “What Normativity Cannot Be,” J. Ethics Soc. Philos., vol. 18, no. 2, pp. 211–227, Mar. 2020, doi: 10.26556/jesp.v18i2.1020.
  25. B. Deffains and C. Fluet, “Social Norms and Legal Design,” J. Law, Econ. Organ., vol. 36, no. 1, pp. 139–169, Aug. 2019, doi: 10.1093/jleo/ewz016.
  26. M. P. Z. Januarsyah, D. Priyatno, A. S. Winata, and K. Hidayat, “Penerapan Doktrin Business Judgment Rule Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi Karen Agustiawan,” J. Ius Const., vol. 7, no. 1, p. 143, 2022, doi: 10.26623/jic.v7i1.4922.
  27. Y. Y. W. Rissy, “Ketentuan Dan Pelaksanaan Business Judgement Rule Di Amerika, Australia Dan Indonesia,” Masal. Huk., vol. 49, no. 2, pp. 160–171, 2020, doi: 10.14710/mmh.49.2.2020.160-171.
  28. The Institute Of Company Secretaries Of India, Jurisprudence, Interpretation And General Laws. New Delhi: The Institute Of Company Secretaries Of India, 2018.
  29. L. G. Lerman, P. G. Schrag, and R. Rubinson, Ethical Problems in the Practice of Law, 5th ed. New York: Wolters Kluwer Law & Business, 2020.
  30. N. A. Muhamad, “The Legal Philosophy of Lon L. Fuller: Profile,” Soc. Contract J. SCJ, vol. 1, no. 1, p. 2, 2020.
  31. S. U. Arimuladi, “The Ecocracy Of Water Resources On Water Cultivation Rights In Realizing Soil And Water Conservation,” Pembaruan Huk., vol. 9, no. 2, p. 175, 2022.
  32. A. Gurrea-martinez, “Institutional Knowledge at Singapore Management University Re-examining the law and economics of the business judgment rule : Notes for its implementation in non-US jurisdictions Re-examining the law and economics of the business judgment rule : notes for,” pp. 417–438, 2018.
  33. G. S. Hartanto, D. K. Sugiharti, and A. Afriana, “Aktualisasi Mitigasi Risiko Bisnis Berdasarkan Prinsip Fiduciary Duty dan Business Judgment Rule,” J. Sains Sosio Hum., vol. 5, no. 2, pp. 1191–1202, 2021, doi: 10.22437/jssh.v5i2.16535.
  34. M. S. Villsen, “The Business Judgment Rule – Reglens ophav og dens indmarch i dansk retspraksis The Business Judgment Rule - The origin of the rule and its entrance into Danish Jurisprudence,” pp. 1–43, 2021.
  35. L. R. Andika, N. Vanida, J. Aprilia, and M. G. Irjanto, “Relevance of Good Corporate Governance Towards the Principle of Business Judgement Rule for State-owned Enterprises’ Corruption Cases: A Legal Perspective,” Asia Pacific Fraud J., vol. 6, no. 1, p. 96, 2021, doi: 10.21532/apfjournal.v6i1.197.
  36. N. R. Wildan Nafis, “Hukum Progresif dan Relevansinya Pada Penalaran Hukum di Indonesia,” El Ahli J. Huk. Kel. Islam, vol. 1, no. 2, pp. 1–16, 2020.
  37. S. Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas, 2007.
  38. G. P. and E. İ. Gönenç Gürkaynak, Esq., “Business Judgment Rule: a Legal Theory or a Real Protection for the Board Members in Turkey?,” vol. 23, no. 1. pp. 77–100, 2020.
  39. J. Barton-Crosby, “The nature and role of morality in situational action theory,” Eur. J. Criminol., vol. 1, no. 1, pp. 1–17, 2020, doi: 10.1177/1477370820977099.
  40. M. A. Mahfud, “the Relevance of Ronald Dworkin ’s Theory for Creating Agrarian Justice in Indonesia,” Yustisia, vol. 8, no. 3, pp. 385–399, 2019, doi: 10.20961/yustisia.v8i3.27386.
  41. M. R. Bima, “Implementation of State of Emergency Within the Constitusional Law System in Indonesia,” Diponegoro Law Rev., vol. 4, no. 1, p. 405, 2019, doi: 10.14710/dilrev.4.1.2019.405-418.
  42. M. Seenacherry, “Liability of Company Directors: the Business Judgment Rule As Developed in the Us and Adopted By Germany Compared To the Netherlands’ Approach,” Amsterdam Law Forum, vol. 12, no. 1, p. 75, 2020, doi: 10.37974/alf.345.
  43. R. Panjaitan, M. Anggusti, and R. Nababan, “Penerapan Prinsip Business Judgment Rule Terhadap Direksi Yang Melakukan Kebijakan Yang Merugikan Perusahaan,” J. Huk. PATIK, vol. 10, no. 1, pp. 1–14, 2021, doi: 10.51622/patik.v10i1.217.
  44. Rizky Novian Hartono, Sriwati, and Wafia Silvi Dhesinta Rini1, “Kerugian Keuangan Negara pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam Perspektif Doktrin Business Judgement Rule,” KELUWIH J. Sos. dan Hum., vol. 2, no. 1, pp. 23–33, 2021, doi: 10.24123/soshum.v2i1.4392.
  45. H. S. Disemadi, M. A. Yusro, and A. I. Shaleh, “Perlindungan Hukum Keputusan Bisnis Direksi BUMN Melalui Business Judgement Rule Doctrine,” J. Jurisprud., vol. 10, no. 1, pp. 127–145, 2020, doi: 10.23917/jurisprudence.v10i1.11006.