Labor Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.791

The Legal Position of the Security Unit in the Perspective of Labor Law


Kedudukan Hukum Satuan Pengamanan dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

Fakultas Hukum, Universitas Nasional
Indonesia
Fakultas Hukum, Universitas Nasional, Indonesia
Indonesia

(*) Corresponding Author

labor law security guard SATPAM

Abstract

This study aims to examine the legal position of security guards in relation to labor law aspects. This research is a normative legal research with a concept and statutory approach. The results of the study confirm that the legal position of a security guard in employment law is that in terms of duties and authorities, a security guard actually carries out the duties of the police, but in terms of rights and obligations in general, such as those related to wages, leave, overtime and so on, they should be based on labor provisions as stipulated in the Labor Law and the Job Creation Law. Regarding the guarantee of employment rights for security guards in the perspective of labor law based on the principle of ejusdem generis in general it can be equated with rights for workers in general, such as: the right to adequate wages, the right to leave, the right to health insurance, the right to severance pay, as well as the right to legal protection. However, there are rights that need to get special arrangements related to security guards in their position as special workers such as the right to associate and assemble which need to be further regulated through government regulations and presidential regulations which contain: the position of independent security guards, especially security guards, rights and obligations, as well as efforts and legal mechanisms.

Highlights:

  • Dual Role: Security guards perform police duties and have labor law rights.
  • Employment Rights: Guards' rights align with general workers.
  • Special Regulations: Specific rights need further government regulation.

Keywords: labor law, security guard, SATPAM

 

 

 

Pendahuluan

Satuan pengamanan (Satpam) sejatinya merupakan salah satu tenaga keamanan yang secara umum menjalankan tugas sebagai pembantu Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) secara terbatas di wilayah tertentu seperti perusahaan maupun institusi tertentu[1]. Mengacu pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (selanjutnya disebut UU Kepolisian), Satpam sejatinya menjalankan tugas sebagai pengamanan swakarsa atau lazim juga disebut pam swakarsa[2]. Pengamanan swakarsa merupakan bentuk pengamanan sebagai pengemban fungsi kepolisian yang didasarkan pada kebutuhan, kesadaran, serta kepentingan masyarakat sendiri[3]. Dengan demikian, sekalipun Satpam merupakan pelaksana fungsi Kepolisian, akan tetapi Satpam memiliki lingkup dan fungsi yang terbatas sesuai dengan lingkup kewenangannya.

Mengacu pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa (selanjutnya disebut dengan Perkapolri Pengamanan Swakarsa), maka Satpam dikonstruksikan sebabagai pengemban fungsi kepolisian yang merupakan bagian dari pengamanan swakarsa dengan karakter non-yustisial serta direkrut oleh jasa pengamanan tertentu dalam melaksanakan fungsi kepolisian di bidang pengamanan swakarsa di lingkungan kerja. Dari konstruksi singkat ketentuan dalam Perkapolri Pengamanan Swakarsa, Satpam setidaknya berkaitan dengan beberapa aspek, yaitu: fungsi kepolisian, pengamanan swakarsa, non-yustisial, di tempat/lingkungan kerja. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketentuan mengenai Satpam menimbulkan irisan khususnya antara kedudukan Satpam sebagai pelaksana fungsi Kepolisian dengan tempat kerja Satpam yang diangkat serta menjalankan tugas melalui mekanisme ketenagakerjaan.

Adanya irisan antara aspek ketenagakerjaan dan fungsi pengamanan swakarsa dalam Satpam menimbulkan problematika tersendiri dalam aspek hukum[4]. Terlebih lagi, ketika jumlah Satpam semakin meningkat sebagai salah satu orientasi pentingnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pengamanan swakarsa khususnya di perusahaan atau industri. Dari tahun 2019 hingga tahun 2022, jumlah Satpam yang terdata di seluruh Indonesia mencapai sekitar 1,6 Juta personil[5]. Hal ini bahkan untuk kepentingan pengamanan swakarsa ke depannya jumlah tersebut dapat bertambah sesuai kebutuhan. Meski memiliki jumlah yang berpotensi naik tiap tahunnya, namun Satpam memiliki problematika hukum terkait kedudukannya karena berada dalam ranah irisan antara pelaksana tugas kepolisian di bidang pengamanan swakarsa dengan kedudukannya sebagai tenaga kerja. Irisan tersebut berpotensi mengaburkan kedudukan hukum Satpam dan dapat berimplikasi pada jaminan hak-hak Satpam yang seyogyanya dapat terpenuhi secara optimal. Penelitian ini bertujuan mengkaji kedudukan hukum Satpam dikaitkan dengan aspek hukum ketenagakerjaan.

Penelitian mengenai Satpam dalam aspek hukum pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya seperti: Ahmad Khoirun Ni’am, Anang Dony Irawan, Chaeruli Anugrah Dewanto (2021) tentang Upaya Mewujudkan Pemuliaan Profesi Satuan Pengamanan Ditinjau Dari Peraturan Kepolisian Nomor 4 Tahun 2020 yang berfokus bagaimana perlunya pembentukan produk hukum yang menegaskan standar dan kualifikasi tertentu bagi Satpam untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitasnya[6]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Zakiah Noer dan Ari Setiawan (2022) tentang Kewenangan Satuan Pengaman Dalam Melaksanakan Tugas Dan Wewenang Kepolisian Terbatas yang berfokus pada aspek kewenangan terbatas Satpam dalam menjalankan wewenang dari kepolisian secara terbatas[7]. Dari kedua penelitian sebelumnya tersebut, sejatinya penelitian dan kajian mengenai kedudukan hukum Satpam dalam hukum ketenagakerjaan sejatinya belum terdapat kajian khusus yang secara spesifik membahasnya. Dengan demikian, penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian in berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Bagaimana kedudukan hukum Satpam dalam hukum ketenagakerjaan?, (ii) Bagaimana jaminan hak-hak ketenagakerjaan bagi Satpam dalam perspektif hukum ketenagakerjaan?.

Metode

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif dengan fokus kedudukan hukum Satpam dalam hukum ketenagakerjaan[8]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UU Kepolisian, UU Ketenagakerjaan, UU Cipta Kerja, serta Perkapolri Pengamanan Swakarsa. Bahan hukum sekunder meliputi penelitian dan kajian mengenai Satpam dalam aspek hukum serta kajian hukum ketenagakerjaan. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Untuk mengoptimalkan penelitian ini, digunakan pendekatan konsep dan perundang-undangan.

Pembahasan

Kedudukan Hukum Satuan Pegamanan (Satpam)

Satpam sejatinya merupakan bagian dari pengamanan swakarsa (pam swakarsa) yang melaksanakan sebagian kecil fungsi dari Kepolisian[9]. Hal ini sebagaimana dipertegas dalam Pasal 3 UU Kepolisian bahwa pengamanan swakarsa merupakan bagian dari bentuk pengamanan yang membantu fungsi kepolisian. Mengenai definisi pengamanan swakarsa berdasarkan interpretasi otentik dalam penjelasan Pasal 3 UU Kepolisian yang menegaskan bahwa pengamanan swakarsa memiliki beberapa ciri, diantaranya: (i) didirikan berdasarkan kesadaran, kebutuhan, dan kemauan masyarakat (mandiri), (ii) memiliki kewenangan Kepolisian yang terbatas, (iii) kewenangannya didasarkan pada tempat tertentu (teritoir gebied/ruimte gebied), (iv) diatur, dibina, serta dikoordinasikan oleh Kapolri sesuai dengan peraturan perundang-undangan[10].

Mengacu pada empat ciri pengamanan swakarsa tersebut, Satpam sebagai pengamanan swakarsa sejatinya juga telah memenuhi keempat ciri tersebut. Pertama, didirikan berdasarkan kesadaran, kebutuhan, dan kemauan masyarakat (mandiri) hal ini dapat dilihat bahwa Satpam didirikan oleh institusi atau perusahaan untuk menjalankan tugas keamanan tertentu berdasarkan inisiatif dan kebutuhan perusahaan[11]. Secara konseptual, dapat dipahami bahwa aspek keamanan dapat dilakukan dengan inisiasi oleh negara atau pemerintah serta berdasarkan inisiasi oleh masyarakat[12]. Inisiasi oleh negara dalam hal ini keamanan dilakukan oleh aparatur negara seperti Kepolisian, Satpol PP, serta aparatur negara lainnya[13]. Sedangkan aspek keamanan yang didasarkan pada inisiasi masyarakat salah satu contohnya adalah penyediaan jasa Satpam serta berbagai pengamanan pam swakarsa lainnya, termasuk pengamanan tradisional masyarakat yang telah ada, tumbuh, dan berkembang di masyarakat. Meski secara konsep aspek keamanan dapat dilakukan berdasarkan inisiasi oleh negara maupun non-negara, namun koordinasi dalam aspek keamanan tetap berpuncak pada institusi Kepolisian (Polri) yang diatur serta dibina oleh Kapolri. Koordinasi dan pembinaan dari Kapolri terkait dengan pengamanan swakarsa dimaksudkan supaya terdapat hierarki serta tanggung jawab yang jelas terkait dengan pengamanan swakarsa[14].

Kedua, memiliki kewenangan Kepolisian yang terbatas yang dimaksudkan bahwa pengamanan swakarsa memiliki kewenangan Kepolisian tetapi secara terbatas (tidak penuh). Mengacu pada Pasal 4 UU Kepolisian yang menegaskan terkait dengan tujuan dibentuknya institusi Kepolisian, maka dari tujuan tersebut pengamanan swakarsa hanya berkaitan dengan dua aspek yaitu upaya menciptakan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat sekaligus memberikan pelayanan pada masyarakat. Khusus berkaitan dengan tugas dan kewenangan Satpam, maka Satpam hanya berfokus pada upaya menciptakan keamanan dan ketertiban di lingkup kerjanya (lingkungan perusahaan atau instansi tertentu), serta memberikan pelayanan kepada masyarakat yang berkaitan dengan bidang kerja instansi/perusahaan tempat Satpam bekerja.

Ketiga, kewenangannya didasarkan pada tempat tertentu (teritoir gebied/ruimte gebied) menjadi karakter utama pengamanan pam swakarsa jika dibandingkan dengan kewenangan Kepolisian pada umumnya. Jika Kepolisian berorientasi pada upaya menjaga keamanan dan ketertiban bagi seluruh wilayah Indonesia, maka hal ini tentu berbeda dengan Satpam yang hanya bertanggungjawab pada keamanan dan ketertiban di wilayah tertentu, khususnya yang berkaitan dengan lingkungan kerjanya[15]. Keempat, diatur, dibina, serta dikoordinasikan oleh Kapolri sesuai dengan peraturan perundang-undangan merupakan karakter utama dari pengamanan swakarsa. Peran Kapolri dalam membina sekaligus mengatur pengamanan swakarsa, khususnya bagi Satpam menjadi penting setidaknya didasarkan pada tiga aspek, yaitu peningkatan integritas, kapasitas, serta profesionalitas[6].

Dalam aspek peningkatan integritas, peran Kapolri menjadi penting khususnya dalam membentuk Satpam yang berintegritas serta berorientasi pada pelayanan dan jaminan keamanan dan ketertiban di lingkungan kerjanya[16]. Dari aspek kapasitas, peran Kapolri juga penting khususnya dikaitkan dengan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi Satpam maupun pengamanan swakarsa lainnya khususnya berkaitan dengan jenis materi pelatihan beserta kurikulum pelatihan Satpam yang berorientasi pada peningkatan kapasitas dan pengoptimalan fungsi Satpam secara maksimal. Selanjutnya, dari aspek profesionalitas, pelatihan serta uji kompetensi yang diatur oleh Kapolri memiliki peran penting khususnya berkaitan dengan upaya mencetak Satpam dan pengamanan swakarsa lainnya yang profesional serta memahami tugas serta batas-batas kewenangannya[17].

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan swakarsa lainnya, khususnya Satpam diatur dalam Perkapolri Pengamanan Swakarsa sebagaimana amanat dalam Pasal 3 UU Kepolisian. Secara umum, Satpam memiliki tugas yaitu sebagai pembantu Kepolisian dalam menjamin sekaligus mengoordinasikan aspek keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja. Selain itu, Satpam juga merupakan pembantu pimpinan instansi atau perusahaan dalam menjamin sekaligus mengoordinasikan aspek keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja. Dengan demikian, secara umum, Satpam memiliki dua tugas sekaligus, yaitu sebagai tindak lanjut atas fungsi Kepolisian di bidang keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja sekaligus sebagai pelaksana dan penanggungjawab bidang keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja yang bertanggungjawab pada pimpinan instansi atau perusahaan[10].

Tugas dan tanggungjawab di bidang keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja tersebut menuntut Satpam untuk bekerja secara profesional dengan standar dan ketentuan-ketentuan tertentu yang harus ditaati dan diimplementasikan. Hal ini dikarenakan, apabila terdapat gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja maka dalam hal ini menjadi tugas Satpam setempat dalam menanganinya. Akan tetapi, jika gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja tersebut bersifat masif serta meluas dan berada di luar tugas Satpam, maka Satpam wajib berkoordinasi dengan Kepolisian dalam menangani permasalahan gangguan keamanan dan ketertiban tersebut[18].

Satpam yang juga lazim disebut sebagai security secara umum memiliki beberapa tugas umum yang bersifat pokok dalam suatu institusi atau perusahaan, seperti: patroli terkait properti maupun aset perusahaan, menjaga kondusivitas kerja khususnya kondusivitas para karyawan, serta menjaga kawasan kerja dari berbagai ancaman keamanan dan ketertiban seperti adanya penerobosan orang yang tidak dikenal, ancaman senjata baik senjata api, tajam, maupun benda tumpul, serta berbagai jenis ancaman lainnya[4]. Secara umum, dalam praktiknya, terdapat tujuh tugas utama Satpam di lingkungan kerja yang meliputi: pengaturan, penjagaan, pengawalan, patroli, penyelidikan dan penyidikan, pelaporan serta pengamanan[19].

Dari aspek pengaturan, Satpam memiliki tugas untuk menegakkan aturan maupun tata tertib yang ada di lingkungan kerja atau di lingkungan tugasnya baik secara preventif maupun represif[20][21]. Secara preventif, Satpam akan melakukan berbagai upaya pencegahan dengan mengatur hal-hal tertentu yang berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban di lingkup tugasnya. Lebih lanjut, secara represif, Satpam dapat melakukan tindakan-tindakan tertentu sesuai dengan tugas dan kewenangannya untuk melakukan tindakan atas pelanggaran yang berkaitan dengan aturan maupun tata tertib yang ada di lingkungan kerja atau di lingkungan tugasnya. Dengan demikian, dari aspek pengaturan, Satpam memiliki tugas baik secara preventif maupun represif dalam menjaga keamanan dan ketertiban di lingkungan tugasnya.

Dari aspek penjagaan, Satpam memiliki tugas tertentu khususnya dalam rangka melakukan penjagaan terhadap setiap aspek institusi atau perusahaan baik aset maupun hal-hal berharga institusi lainnya. Dalam aspek penjagaan ini, Satpam berdasarkan atas jadwal atau ketentuan yang ditetapkan oleh institusi atau perusahaan. Selanjutnya, dari aspek pengawalan, Satpam melakukan pengawalan terhadap objek tertentu dan dalam momentum tertentu. Hal ini misalnya ada kunjungan kerja pimpinan perusahaan ke tempat kerja maka pimpinan perusahaan tersebut juga wajib mendapatkan pengawalan dari Satpam.

Tugas selanjutnya dari Satpam adalah berkaitan dengan patroli. Patroli merupakan tugas yang berkaitan dengan upaya pencegahan dengan melakukan inspeksi secara langsung terhadap potensi atau gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja[22]. Patroli ini biasanya dijalankan secara rutin sebagai upaya untuk menanggulangi berbagai permasalahan keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja. Selanjutnya adalah berkaitan dengan tugas penyidikan dan penyelidikan yang berkaitan dengan fungsi Kepolisian dari adanya suatu peristiwa yang menganggu ketertiban dan keamanan. Meski begitu, dalam menjalankan tugas penyidikan dan penyelidikan, Satpam dalam hal ini lebih banyak berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait khususnya Kepolisian. Selanjutnya adalah tugas Satpam yang berkaitan dengan laporan yang mana dalam menjalankan setiap tugas dan kewenangannya, Satpam diharuskan memberikan laporan rutin pada atasan perusahaan. Laporan rutin dimaksudkan sebagai upaya perusahaan untuk mengetahui, memetakan, sekaligus menentukan kebijakan dalam menanggulangi masalah keamanan dan ketertiban di lingkungan kerja. Tugas selanjutnya bagi Satpam adalah berkaitan dengan tugas pengamanan, khususnya dalam membantu pihak yang berwenang berkaitan dengan adanya pencarian sekaligus penjagaan atas alat bukti dan sebagainya. Dari berbagai tugas di atas, sejatinya tugas Satpam sangat kompleks karena berkaitan dengan aspek keamanan dan ketertiban di suatu lingkungan kerja.

Dari berbagai fungsi di atas, sejatinya terdapat permasalahan bagi Satpam khususnya dengan kedudukan hukumnya dalam ranah hukum ketenagakerjaan. Hal ini dikarenakan Satpam seolah-olah berdiri pada dua kaki, di satu sisi merupakan pelaksana fungsi Kepolisian di bidang pengamanan swakarsa sedangkan di sisi lain merupakan pekerja yang mendapatkan upah sebagaimana dalam ketentuan hukum ketenagakerjaan. Mengenai istilah kedudukan hukum, sejatinya kedudukan hukum dapat dipahami sebagai kapasitas hukum yang dimiliki oleh subjek hukum khususnya dalam menuntut terpenuhinya hak-hak yang seyogyanya diterima oleh subjek hukum. Ringkasnya, kedudukan hukum merupakan sarana legitimasi dan legalitas bagi subjek hukum dalam memperjuangkan hak-hak nya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kedudukan hukum memilili korelasi dengan jaminan terpenuhinya hak-hak hukum.

Sebagaimana dalam pandangan Salmond, hak dipandang sebagai salah satu aspek esensial dalam ilmu hukum[23]. Bahkan, sejatinya terdapat dua kualifikasi dari hak yaitu hak yang secara esensial lahir sebelum atau mendahului hukum, yang lazim disebut hak kodrat atau hak asasi manusia serta hak yang lahir sebagai implikasi dari jaminan atas hukum seperti hak bagi pegawai, hak bagi pejabat dan sebagainya yang didasarkan atas ketentuan hukum[24][25]. Mengacu pada kedudukan hukum Satpam dalam ranah hukum ketenagakerjaan, maka perlu dianalisis dan dilihat terlebih dahulu pada aspek, (i) pengaturan, (ii) pengadaan atau rekrutmen, serta (iii) hak dan kewajiban yang melekat. Dari aspek pengaturan, ketentuan mengenai Satpam sebagai bagian dari pengamanan swakarsa diatur dalam Perkapolri Pengamanan Swakarsa, sehingga berkaitan dengan tugas dan kewenangannya maka Satpam merupakan pelaksana tugas Kepolisian. Dari aspek pengadaan dan rekuitmen Satpam dilakukan melalui metode tertentu yang biasanya diselenggarakan oleh industri jasa keamanan sehingga Satpam merupakan pekerja alih daya (outsourcing) yang bekerja di suatu instansi atau perusahaan atas kerjasama dengan industri jasa keamanan[26]. Dalam konteks perjanjian kerja yang berimplikasi pada ha katas upah, maka Satpam terikat pada industri jasa keamanan yang memperkerjakannya sedangkan berkaitan dengan tugas di lapangan berkaitan dengan suatu instansi atau perusahaan tempatnya bekerja[27]. Selanjutnya, mengacu pada aspek hak dan kewajiban yang melekat maka seyogyanya Satpam mendapatkan hak dan kewajiban yang secara umum sama dengan pekerja sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja meskipun untuk hak dan aspek tertentu perlu dibedakan sebagaimana pekerja biasanya seperti: hak berserikat buruh, jam kerja, serta standar kompetensi Satpam yang seyogyanya memiliki penekanan tersendiri berkaitan dengan tugas, hak, dan kewajibannya.

Berdasarkan uraian di atas, maka kedudukan hukum Satpam dalam hukum ketenagakerjaan adalah secara tugas dan kewenangan Satpam sejatinya melaksanakan tugas Kepolisian akan tetapi secara hak dan kewajiban secara umum seperti terkait upah, cuti, lembur dan sebagainya seyogyanya harus didasarkan atas ketentuan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Meski begitu, terdapat hak-hak yang mendapatkan pengecualian dari Satpam yang tidak sama dengan hak-hak pekerja pada umumnya seperti hak untuk mogok maupun hak untuk mengikuti serikat pekerja. Hal ini dikarenakan status Satpam sebagai pengemban tugas Kepolisian di bidang pengamanan swakarsa, maka Satpam idealnya tidak boleh mengikuti serikat pekerja, tetapi dapat difasilitasi dengan adanya semacam perkumpulan Satpam perusahaan hingga perkumpulan Satpam yang diinisiasi hingga tingkat nasional.

Jaminan Hak-Hak Ketenagakerjaan Bagi Satpam Dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan

Kedudukan Satpam dalam hukum ketenagakerjaan sejatinya “dapat dipersamakan” dengan pekerja pada umumnya, meskipun terdapat beberapa hak dalam pekerja yang perlu mendapatkan pengaturan tersendiri pada Satpam berkaitan dengan tugas dan kewenangannya. Kedudukan Satpam yang “dapat dipersamakan” dengan pekerja ini menurut hemat penulis perlu untuk dipertegas khususnya berkaitan dengan hak-hak yang wajib dijamin dan dipenuhi kepada Satpam. Terkait dengan kedudukan Satpam yang “dapat dipersamakan” dengan pekerja ini, penulis memiliki tiga argumentasi mengapa kedudukan Satpam yang “dapat dipersamakan” dengan pekerja yaitu: pertama, Satpam dalam aspek kedudukan hukum “dapat dipersamakan” dengan pekerja yang artinya secara substansial terdapat persamaan antara Satpam dan pekerja[28].

Meski begitu, antara Satpam dan pekerja tetap tidak dapat dianggap “sama” karena ada beberapa aspek yang berbeda, khususnya yang berkaitan dengan tugas dan kewenangannya. Kedudukan hukum Satpam yang “dapat dipersamakan” dengan pekerja dimaksudkan secara esensial Satpam memiliki beberapa hak yang sama dengan pekerja seperti ha katas upah yang layak, hak cuti, serta hak atas peningkatan kompetensi kerja melalui pelatihan atau aspek lain yang sejenisnya[29]. Meski begitu, terdapat beberapa hak dalam pekerja yang perlu diatur tersendiri atau dirumuskan tersendiri bagi Satpam. Hal tersebut contohnya adalah hak pekerja untuk berserikat, berkumpul, dan berorganisasi. Secara umum, pekerja memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan serikat pekerja atau serikat buruh. Dalam sejarahnya, pekerja atau buruh memang identik dengan perkumpulan. Bahkan, dapat dikatakan bahwa berkumpul atau berserikat adalah “jantungnya” pekerja. Tanpa hak berserikat dan berkumpul secara layak dan patut, maka pekerja sejatinya telah dikebiri eksistensinya[30].

Jaminan hak berserikat dan berkumpul tersebut bagi pekerja memang sejatinya secara jelas dan tegas ditentukan dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Akan tetapi, bagi Satpam, jaminan hak berserikat dan berkumpul menurut hemat penulis tetap patut dberikan namun bukan dalam ranah membentuk serikat pekerja, tetapi semacam membentuk perkumpulan profesi atau perkumpulan Satpam tingkat nasional atau tingkat perusahaan masing-masing. Hal ini penulis landasi bahwa sebagai pihak yang melaksanakan fungsi keamanan dari Kepolisian, tentu Satpam tidak dapat dipersamakan secara keseluruhan dengan pekerja. Berkaitan dengan hak berserikat dan berkumpul bagi pekerja, hal tersebut dapat berlaku secara mutatis mutandis bagi Satpam tentunya dengan berbagai penyesuaian dan karakteristik tertentu yang sesuai dengan tugas dan kewenangan dari Satpam. Dengan demikian, menurut hemat penulis, sekalipun Satpam memiliki hak untuk berserikat dan berkumpul namun hak untuk berserikat dan berkumpul bagi Satpam harus dirumuskan dan diatur tersendiri dan tidak dappat disamakan sepenuhnya dengan hak untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana pekerja seperti biasanya.

Kedua, upaya yang mendudukkan antara Satpam yang dipersamakan dengan pekerja sejatinya didasarkan pada unsur esensial dari pekerja yaitu adanya pekerjaan, adanya perjanjian, serta adanya upah[31]. Tiga unsur esensial dalam pekerjaan tersebut juga sejatinya terdapat dalam Satpam. Terkait dengan perjanjian kerja bagi Satpam, sejatinya juga terkandung tiga unsur esensial dalam ketenagakerjaan. Dalam perjanjian kerja bagi Satpam, terdapat bidang pekerjaan tertentu beserta lingkup pekerjaan beserta waktunya, terdapat pula perjanjian kerja secara tertulis, serta Satpam juga mendapatkan upah tertentu dari pekerjaannya. Dengan demikian, menegaskan bahwa kedudukan Satpam yang dipersamakan dengan pekerja pada umumnya adalah sebuah langkah progresif dikarenakan hal ini dapat meningkatkan kesejahteraan sekaligus dapat memperkuat kedudukan hukum Satpam.

Ketiga, mengacu pada asas ejusdem generis yang kurang lebih bermakna bahwa suatu kata atau istilah harus dibatasi dengan mengacu pada genus dan species-nya[32]. Jika mengacu pada asas tersebut, maka pekerja dapat dikatakan sebagai genus dari Satpam. Hal ini berarti, Satpam adalah species dari genus yang bernama pekerja. Sebagai species, maka Satpam harus memiliki karakteristik tertentu yang membedakannya dengan pekerja pada umumnya[33]. Dengan demikian, maka Satpam dapat dikategorisasikan sebagai “pekerja khusus” yang secara umum tunduk pada hukum ketenagakerjaan, akan tetapi dalam hal tertentu perlu mendapatkan pengaturan tersendiri dikarenakan karakteristiknya yang khas dilihat dari tugas, dan kewenangannya. Jika melihat pada karakter Satpam sebagai “pekerja khusus” atau species dari genus yang bernama pekerja, maka terdapat beberapa hak yang tidak dapat dipenuhi secara sama antara Satpam dan pekerja. Hal ini berarti, terdapat beberapa hak yang secara penuh dimiliki oleh pekerja dan dapat diterapkan bagi Satpam, namun terdapat pula hak yang hanya berlaku bagi pekerja tetapi bagi Satpam hak tersebut dapat dipenuhi dengan cara dan mekanisme tertentu.

Secara umum, Satpam layak mendapatkan hampir semua hak yang dijaminkan pada pekerja pada umumnya seperti: hak atas upah yang layak, hak untuk cuti, hak atas jaminan kesehatan, hak atas pesangon, serta hak atas perlindungan hukum. Meski begitu, terdapat beberapa hak yang perlu mendapatkan pengaturan tersendiri bagi Satpam karena memiliki karakteristik tertentu yang berbeda dengan pekerja pada umumnya. Hak tersebut diantaranya hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul serta hak untuk melakukan pemogokan kerja. Menurut hemat penulis, kedua hak tersebut perlu mendapatkan pengaturan tersendiri dalam kaitannya dengan Satpam. Terkait dengan hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, penulis sependapat bahwa Satpam sejatinya dilarang atau tidak diperkenankan mengikuti serikat pekerja. Hal ini dikarenakan, Satpam tidak berstatus sebagai pekerja pada umumnya, tetapi menurut hemat penulis Satpan merupakan “pekerja khusus” yang berdasarkan asas ejusdem generis memiliki kualifikasi tertentu sehingga dalam beberapa aspek harus dibedakan dengan pekerja pada umumnya. Dalam konteks pemenuhan atas hak kebebasan berserikat dan berkumpul, menurut hemat penulis Satpam dapat diformulasikan untuk dapat mendirikan organisasi persatuan profesi Satpam baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal hingga di tingkat masing-masing perusahaan.

Pendirian organisasi persatuan profesi Satpam baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal hingga di tingkat masing-masing perusahaan dimaksudkan sebagai upaya untuk menjamin hak berserikat dan berkumpul bagi Satpam dengan diberikan ruang tertentu yang dibedakan dengan ruang untuk membentuk dan mengikuti serikat pekerja sebagaimana pekerja pada umumnya. Selanjutnya, terkait dengan hak atas pemogokan, menurut hemat penulis perlu didiskusikan secara mendalam khususnya dengan melibatkan Satpam serta pihak Kepolisian yang membina pengamanan swakarsa. Hal ini perlu dikaji tersendiri secara mendalam, apakah sejatinya pengamanan swakarsa diperkenankan untuk melakukan mogok kerja atau sejenisnya. Meski mmebutuhkan pengkajian secara lebih mendalam, namun menurut hemat penulis seyogyanya hak yang berkaitan dengan mogok kerja bagi Satpam maupun pengamanan swakarsa lainnya lebih baik tidak diberikan dan diganti dengan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Hak menyampaikan pendapat bagi Satpam dapat diberikan salah satunya dengan memanfaatkan pembentukan organisasi persatuan profesi Satpam baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal hingga di tingkat masing-masing perusahaan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat. Dengan demikian, menurut hemat penulis, Satpam tetap tidak diperkenankan untuk mendapatkan hak mogok kerja, tetapi hak tersebut dapat diganti dengan hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum.

Selanjutnya, penegasan bahwa Satpam merupakan pekerja dengan karakteristik khusus sejatinya telah diamini oleh Pasal 1 Ayat 4 Perkapolri Pengamanan Swakarsa yang secara umum menegaskan bahwa pengamanan swakarsa dipersiapkan serta dilatih secara khusus dan diberi status ketenagakerjaan sesuai peraturan perundang-undangan. Meski telah menjelaskan mengenai kedudukan Satpam sebagai bagian dari tenaga kerja, namun Perkapolri Pengamanan Swakarsa belum secara presisi menempatkan Satpam dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pekerja dengan karakteristik seperti apa. Oleh karena itu, untuk menjamin kepastian hukum serta menegaskan hak-hak bagi Satpam menurut hemat penulis perlu dibuatkan produk hukum tertentu yang menegaskan Satpam serta pengamanan swakarsa pada umumnya sebagai pekerja yang secara umum tunduk pada hukum ketenagakerjaan, namun terdapat ketentuan pengecualian yang diatur secara khusus.

Langkah realistis yang dapat dilakukan oleh pemerintah dalam menjamin kepastian hukum serta menegaskan hak-hak bagi Satpam adalah membentuk Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang menegaskan kedudukan pengamanan swakarsa, khususnya Satpam sebagai pekerja dengan karakteristik khusus. Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang dibuat diharapkan memuat: kedudukan pengamanan swakarsa, khususnya Satpam, hak dan kewajiban, serta upaya dan mekanisme hukum apabila terdapat sengketa dalam pengamanan swakarsa, khususnya bagi Satpam. Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang telah terbentuk tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Menteri Ketenagakerjaan dan Kapolri untuk merumuskan regulasi yang dapat menaungi Satpam beserta pengamanan swakarsa lainnya beserta hak-hak yang melekat bagi Satpam beserta pengamanan swakarsa lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, jaminan hak-hak ketenagakerjaan bagi Satpam dalam perspektif hukum ketenagakerjaan berdasarkan asas ejusdem generis secara umum dapat dipersamakan dengan hak-hak bagi pekerja pada umumnya, seperti: hak atas upah yang layak, hak untuk cuti, hak atas jaminan kesehatan, hak atas pesangon, serta hak atas perlindungan hukum. Akan tetapi, terdapat hak-hak yang perlu mendapatkan pengaturan khusus terkait dengan Satpam dalam kedudukannya sebagai pekerja khusus seperti hak untuk berserikat dan berkumpul yang dalam hal ini dapat diorientasikan pembentukan organisasi persatuan profesi Satpam baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal hingga di tingkat masing-masing perusahaan. Selanjutnya, terkait dengan hak atas mogok kerja, menurut hemat penulis bagi Satpam hal tersebut diganti saja dengan hak untuk menyampaikan pendapat. Pengaturan mengenai jaminan hak bagi Satpam dan pengamanan swakarsa dapat diorientasikan dengan pembentukan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang memuat: kedudukan pengamanan swakarsa, khususnya Satpam, hak dan kewajiban, serta upaya dan mekanisme hukum apabila terdapat sengketa dalam pengamanan swakarsa, khususnya bagi Satpam. Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang telah terbentuk tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Menteri Ketenagakerjaan dan Kapolri untuk merumuskan regulasi yang dapat menaungi Satpam beserta pengamanan swakarsa lainnya beserta hak-hak yang melekat bagi Satpam beserta pengamanan swakarsa lainnya.

Simpulan

Kedudukan hukum Satpam dalam hukum ketenagakerjaan adalah secara tugas dan kewenangan Satpam sejatinya melaksanakan tugas Kepolisian akan tetapi secara hak dan kewajiban secara umum seperti terkait upah, cuti, lembur dan sebagainya seyogyanya harus didasarkan atas ketentuan ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU Cipta Kerja. Meski begitu, terdapat hak-hak yang mendapatkan pengecualian dari Satpam yang tidak sama dengan hak-hak pekerja pada umumnya seperti hak untuk mogok maupun hak untuk mengikuti serikat pekerja. Hal ini dikarenakan status Satpam sebagai pengemban tugas Kepolisian di bidang pengamanan swakarsa, maka Satpam idealnya tidak boleh mengikuti serikat pekerja, tetapi dapat difasilitasi dengan adanya semacam perkumpulan Satpam perusahaan hingga perkumpulan Satpam yang diinisiasi hingga tingkat nasional.

Jaminan hak-hak ketenagakerjaan bagi Satpam dalam perspektif hukum ketenagakerjaan berdasarkan asas ejusdem generis secara umum dapat dipersamakan dengan hak-hak bagi pekerja pada umumnya, seperti: hak atas upah yang layak, hak untuk cuti, hak atas jaminan kesehatan, hak atas pesangon, serta hak atas perlindungan hukum. Akan tetapi, terdapat hak-hak yang perlu mendapatkan pengaturan khusus terkait dengan Satpam dalam kedudukannya sebagai pekerja khusus seperti hak untuk berserikat dan berkumpul yang dalam hal ini dapat diorientasikan pembentukan organisasi persatuan profesi Satpam baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal hingga di tingkat masing-masing perusahaan. Selanjutnya, terkait dengan hak atas mogok kerja, menurut hemat penulis bagi Satpam hal tersebut diganti saja dengan hak untuk menyampaikan pendapat. Pengaturan mengenai jaminan hak bagi Satpam dan pengamanan swakarsa dapat diorientasikan dengan pembentukan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang memuat: kedudukan pengamanan swakarsa, khususnya Satpam, hak dan kewajiban, serta upaya dan mekanisme hukum apabila terdapat sengketa dalam pengamanan swakarsa, khususnya bagi Satpam. Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden yang telah terbentuk tersebut dapat ditindaklanjuti oleh Menteri Ketenagakerjaan dan Kapolri untuk merumuskan regulasi yang dapat menaungi Satpam beserta pengamanan swakarsa lainnya beserta hak-hak yang melekat bagi Satpam beserta pengamanan swakarsa lainnya.

References

  1. M. B. Caroles, “Hak Berserikat Satuan Pengamanan (Satpam) sebagai Pekerja dalam Hukum Positif Indonesia,” J. Mhs. Fak. Huk. Univ. Brawijaya, vol. 1, no. 1, pp. 1–19, 2014.
  2. A. A. Farrel Eden Surbakti, “Perbandingan Kedudukan Dan Kewenangan Kepolisian Dalam Konstitusi Yang Pernah Berlaku Di Indonesia,” Huk. dan Pembang., vol. 51, no. 1, p. 147, 2021, doi: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol51.no1.3012.
  3. S. Suatmiati and E. Kastro, “Legal and Institutional Framework on Counter-Terrorism in Indonesia,” J. Media Huk., vol. 27, no. 1, pp. 68–78, 2020, doi: 10.18196/jmh.20200143.
  4. M. H. Mustofa, A. Timan, and W. Zulkarnain, “Analisis Pengembangan Karir Personel Satuan Pengamanan Universitas Negeri,” J. Adm. dan Manaj. Pendidik., vol. 2, no. 4, pp. 172–180, 2019, doi: 10.17977/um027v2i42019p172.
  5. E. A. Retaduari, “Awal Mula Keberadaan Satpam, Didirikan Polri untuk Antisipasi Yakuza dan Mafia.” nasional.kompas.com, Jakarta, 2022.
  6. A. K. Ni’am, A. D. Irawan, and C. A. Dewanto, “Upaya Mewujudkan Pemuliaan Profesi Satuan Pengamanan Ditinjau Dari Peraturan Kepolisian Nomor 4 Tahun 2020,” Media Law Sharia, vol. 2, no. 3, pp. 254–271, 2021, doi: 10.18196/mls.v2i3.11870.
  7. A. S. Zakiah Noer, “Kewenangan Satuan Pengaman Dalam Melaksanakan Tugas Dan Wewenang Kepolisian Terbatas,” J. Pro Huk., vol. 11, no. 1, pp. 72–82, 2022.
  8. E. M. Al Amaren, A. M. A. Hamad, O. F. Al Mashhour, and M. I. Al Mashni, “An introduction to the legal research method: To clear the blurred image on how students understand the method of the legal science research,” Int. J. Multidiscip. Sci. Adv. Technol., vol. 1, no. 9, pp. 50–55, 2020.
  9. A. Pristiono, “Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dengan Konsep Mediasi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum (Penipuan Dan Penggelapan) Pada Bagwassidik Ditreskrimum Polda Sumut,” J. Ilm. Muqoddimah J. Ilmu Sos. Polit. dan Hummanioramaniora, vol. 4, no. 1, p. 34, 2020, doi: 10.31604/jim.v4i1.2020.34-43.
  10. H. Mardiansa and V. Sunarti, “Persepsi Peserta Pelatihan Satuan Pengamanan Gada Pratama Terhadap Pelaksanaan Program Di PT Wiratama Jaya Perkasa,” J. Fam. Educ., vol. 2, no. 2, pp. 167–176, 2022, doi: 10.24036/jfe.v2i2.50.
  11. A. Mulyadi, “First Responder Emergency Training Dan Perilaku Petugas Satuan Pengamanan Dalam Penanganan Korban Kegawatdaruratan,” J. Appl. Nurs. (Jurnal Keperawatan Ter., vol. 4, no. 1, p. 6, 2018, doi: 10.31290/jkt.v(4)i(1)y(2018).page:6-13.
  12. S. K. Siti Sumartini, Nurwahyuni, “Kedudukan Hukum Dalam Perspektif Negara Hukum Modern,” J. Suara Huk., vol. 4, pp. 224–242, 2021.
  13. M. M Husein, “Penegakan Hukum Dan Perlindungan Negara,” J. Ilmu Polit. dan Komun., vol. VII, no. 1, pp. 21–30, 2017.
  14. S. S. Erdi Erdi, Surya Perdana, “Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Dalam Melaksanakan Hak Dan Kewajiban Ingkar Notaris Pada Saat Penyidikan Kepolisian Negara Republik Indonesia,” Lega Lata, vol. 5, no. 2, pp. 165–166, 2020.
  15. E. Putra, “Menuju Industrial Security Dalam Mewujudkan Tenaga Satpam Profesional, Modern Dan Terpercaya Di Indonesia,” Maleo Law J., vol. 3, no. 2, pp. 149–164, 2020.
  16. A. Agustia, “Kepuasan Kerja Satuan Pengamanan (Satpam) Universitas Padjadjaran: Ditinjau Dari Aspek Job Description Index (Jdi),” Personifikasi, vol. 9, no. 2, pp. 248–253, 2018.
  17. F. Ariani, P. Cendekia, A. K. Puspa, E. Erlangga, and Y. Aprilinda, “Sistem Rekomendasi Metode Simple Additive Weight Untuk Penentuan Personel Pengamanan Vip Direktorat Pamobvit Polda Lampung,” Explor. Sist. Inf. dan Telemat., vol. 12, no. 2, p. 247, 2021, doi: 10.36448/jsit.v12i2.2265.
  18. N. S. P. J. Appludnopsanji, Hari Sutra Disemadi, “Reformasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berwawasan Pancasila,” Kertha Wicaksana, vol. 15, no. 1, p. 4, 2021, doi: https://doi.org/10.22225/kw.15.1.2021.1-10.
  19. R. Akbar, D. Asmaul, S. Feni, and W. Trisnadi, “Simulasi Penggunaan Alat Pemadam Api Ringan Terhadap Satuan Pengamanan Perumahan Daan Mogot Simulation of the Use Light Fire Extinguishers of Daan Mogot Housing Security Unit,” J. Abdi Masy. Indones., vol. 3, no. 2, pp. 175–180, 2021.
  20. K. R. Aisyah Nurannisa Muhlisa, “Penegakan Hukum Keimigrasian Terhadap Penyalahgunaan Visa Izin Tinggal Kunjungan Lewat Batas Waktu (Overstay) Pada Warga Negara Asing,” Pembang. Huk. Indones., vol. 2, no. 2, p. 147, 2020.
  21. S. Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas, 2010.
  22. A. OCTAVIAN, J. WIDJAYANTO, I. N. PUTRA, A. P. SUMARNO, and H. J. R. SARAGIH, “Sishankamrata Development Strategy In Maintaining The Sustainability Of Indonesia’s Strategic Interests,” J. Def. Resour. Manag., vol. 12, no. 1, p. 118, 2021.
  23. E. Alistar (Hîrlav), “The Relation Between Law and Morality,” in Research Association For Interdisciplinary Studies, 2019, no. 3, pp. 2–4, doi: 10.2139/ssrn.3388103.
  24. J. Oh, “Evolutionary synthesis of human rights and global health: beyond companionship,” J. Glob. Heal. Sci., vol. 2, no. 2, pp. 3–5, 2020, doi: 10.35500/jghs.2020.2.e23.
  25. L. Henkin, The Right of Man Today, 1st ed. Oxon: Routledge, 2019.
  26. I. S. Bahri, Perlindungan Upah Bagi Pekerja Badan Usaha Milik Desa, 1st ed. Yogyakarta: Bahasa Rakyat, 2020.
  27. D. G. G. Santosa, “Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pasca Undang-Undang Cipta Kerja: Implementasi Dan Permasalahannya,” Ilmu Huk., vol. 17, no. 2, pp. 178–191, 2021.
  28. I. Afrita, Hukum Ketenagakerjaan dan Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial di Indonesia. Bantul: Absolute Media, 2015.
  29. D. R. I. H. Kemal Juniardi, Komariah, “Penerapan Asas Kebebasan Berkontrak dan Proporsionalitas dalam Perjanjian Kerja antara Pengusaha dan Pekerja di Banjarmasin,” Indones. Law Reform J., vol. 1, no. 2, p. 257, 2021.
  30. A. P. R. P. Banjaransari, “Regulation of The Use of Foreign Workers in Indonesia After The Job Creation Act: Problems and Solutions,” Constitutionale, vol. 3, no. 1, pp. 43–58, 2022, doi: 10.25041/constitutionale.v3i1.2558.
  31. N. R. Izzati, “Deregulation in Job Creation Law: The Future of Indonesian Labor Law,” Padjadjaran J. Ilmu Huk., vol. 9, no. 2, pp. 191–209, 2022, doi: 10.22304/pjih.v9n2.a3.
  32. T. S. D. Hadjon, Philipus M, Argumentasi Hukum, 5th ed. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2011.
  33. J. Wexler, “Fun with reverse ejusdem generis,” Arthropoda Sel., vol. 105, no. 1, pp. 1–38, 2020, doi: 10.2139/ssrn.3473314.