Criminal Law
DOI: 10.21070/jihr.v11i0.792

Reconstruction of the Role From the Prosecutor Based on the Socio-Legal Approach


Rekonstruksi Peran Jaksa Berdasarkan Pendekatan Sosio-Legal

Fakultas Hukum, Universitas Tadulako
Indonesia

(*) Corresponding Author

The Prosecutor. Law Enforcement Socio-Legal

Abstract

The prosecutor is one of the law enforcement officers who have an orientation to enforce the law in society. The prosecutor in this case does not only apply the law in the form of written texts in the Act, but also looks at the context in social-societal reality. This study aims to explore the socio-legal aspects in implementing the duties of the prosecutor in realizing justice in society. This research is a normative legal research by prioritizing socio-legal aspects. This study uses primary legal materials, namely: the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the Prosecutor's Law, the Prosecutor's Regulation on Restorative Justice. Secondary legal materials include: books, journal articles, as well as various research results on law enforcement by the Attorney General's Office. Non-legal materials include: various results of non-legal studies on law enforcement by the Attorney General's Office. The approach in this study uses a conceptual approach and a statutory approach. The results of the study confirm that prosecutors in law enforcement in Indonesia are oriented towards law enforcement tasks in the field, which means that prosecutors need to look at non-legal aspects and understand several aspects of social reality in society to maximally enforce the law in society. The urgency of the socio-legal approach regarding the role of prosecutors in Indonesia is to make prosecutors more comprehensive in understanding legal issues that develop in society.

Pendahuluan

Penegakan hukum dipahami sebagai kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai hukum dalam praktik hukum di masyarakat.[1] Dalam hal ini, penegakan hukum tidak dapat dipahami secara sempit hanya sekadar menerapkan Undang-Undang atau peraturan tertulis yang berlaku. Penegakan hukum memiliki orientasi yang “sarat nilai” dalam hal ini aspek nilai atau normatif suatu aturan menjadi titik pijak dalam penegakan hukum.[2] Dalam hal ini lah, penegakan hukum memerlukan para penegak hukum yang cerdas, berintegritas, profesional, serta senantiasa menegakkan kode etik.[3] Dalam proses penegakan hukum, peran penegak hukum penting serta menjadi sentral dalam penegakan hukum.

Penegak hukum dalam hal ini dipahami sebagai institusi atau pihak-pihak yang memiliki kewenangan untuk melakukan penegakan hukum dalam kasus serta permasalahan hukum tertentu.[4] Penegak hukum singkatnya dipahami sebagai institusi yang memiliki kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum. Dalam praktiknya, penegak hukum sering terkendala dengan penegakan hukum yang diidentikkan dengan penegakan Undang-Undang dan aturan (rules and order oriented).[5] Padahal, penegakan hukum tidak hanya sekadar menerapkan dan melaksanakan aturan, penegakan hukum harus dimaknai sebagai penegakan atas nilai hukum di masyarakat.[6] Dalam hal ini, penegakan hukum harus hadir sebagai “nilai” yang menjalankan hukum di masyarakat.

Penegakan hukum dalam praktiknya di masyarakat salah satunya dilakukan oleh institusi Kejaksaan. Kejaksaan dalam hal ini terdiri dari berbagai Jaksa yang memiliki berbagai tugas dan kewenangan untuk menegakkan hukum.[7] Meski begitu, kendala bagi Jaksa dalam menegakkan hukum tentunya adalah pada orientasi tegaknya aturan yang terkadang justru tidak relevan dengan nilai keadilan dan hukum dalam masyarakat. Hal ini dapat dipahami karena cara berpikir aparat penegak hukum yang mengandalkan orientasi positivistik, yaitu berfokus pada logika peraturan dan hukum positif yang masih menjadi orientasi dan “primadona” dari aparat penegak hukum.[8] Padahal, dalam menegakkan hukum orientasi untuk menegakkan nilai-nilai hukum diperlukan usaha lebih yang tidak hanya mengandalkan peraturan tertulis sebagai panduannya. Dalam hal ini, penting bagi Jaksa dalam menegakkan hukum untuk melihat aspek socio-legal dalam pelaksanaannya sehingga dapat memberikan keadilan bagi masyarakat.

Aspek socio-legal dipahami sebagai upaya dan orientasi menegakkan hukum dengan melihat faktor-faktor non-hukum sebagai sarana untuk menegakkan hukum.[9] Dalam hal ini, menegakkan hukum memang berfokus pada hukum, tetapi tetap melihat aspek non-hukum sebagai tempat di mana hukum itu bekerja dan berjalan. Aspek socio-legal menjadi hal penting dalam penegakan hukum karena sebagai susbsitem sosial-kemasyarakatan, hukum tidak dapat teralineasi dari masyarakat tempat hukum hidup dan tumbuh.[10] Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memberikan preskripsi atas peran Jaksa secara progresif melalui penerapan aspek socio-legal dalam penegakan hukum. Penelitian mengenai penegakan hukum oleh Jaksa pernah dilakukan oleh Ook Mufrohim dan Ratna Herawati (2020) tentang Independensi Lembaga Kejaksaan Sebagai Legal Sctructure di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) di Indonesia yang berfokus pada pembenahan terhadap kewenangan dan institusi Kejaksaan khususnya terkait independensinya dalam proses penegakan hukum.[11] Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Gita Santika Ramadhani (2021) tentang Peran Kejaksaan Mewujudkan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan yang berfokus pada berbagai peran Kejaksaan dalam menyukseskan program restorative justice.[12] Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Azzam Rewabawadewa (2022) tentang Efektivitas Kinerja Jaksa Pengacara Negara dalam Penyelamatan Aset Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kejaksaan Negeri Makassar yang berfokus pada peran penegakan hukum Jaksa Pengacara Negara dalam upaya menyelamatkan aset pemerintah daerah.[13] Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, penelitian mengenai penegakan hukum Jaksa lebih berfokus pada kasus-kasus tertentu serta belum terdapat kajian yang komprehensif terkait peran Kejaksaan berkaitan dengan upaya melihat serta mempertimbangkan aspek socio-legal dalam penegakan hukum. Berdasarkan uraian tersebut, maka penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini berupaya menjawab serta menganalisis dua rumusan masalah, yaitu: (i) kewenangan dan peran Jaksa dalam penegakan hukum di Indonesia, serta (ii) urgensi socio-legal approach terkait peran Jaksa di Indonesia.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan mengedepankan aspek socio-legal.[14] Aspek socio-legal dalam penelitian ini bukan berarti menggunakan metode dan teknik penelitian dari ilmu sosial, tetapi menggunakan beberapa konsep serta teori dari ilmu sosial untuk membantu dalam menjawab isu hukum.[15] Penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, yaitu: UUD NRI 1945, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan), UU No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Perubahan UU Kejaksaan), Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif). Bahan hukum sekunder meliputi: buku, artikel jurnal, serta berbagai hasil penelitian mengenai penegakan hukum oleh Kejaksaan. Bahan non-hukum meliputi: berbagai hasil kajian secara non-hukum mengenai penegakan hukum oleh Kejaksaan. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan konseptual dan pendekatan perundang-undangan.

Pembahasan

Jaksa dalam Penegakan Hukum di Indonesia

Jaksa sebagai bagian dari penegak hukum tentu memiliki orientasi dan kewenangan dalam menegakan hukum di Indonesia.[16] Dalam hal ini, Jaksa memiliki peran penting dalam menjaga eksistensi negara hukum Indonesia. Jaksa dalam upaya penegakan hukum memiliki urgensi dalam mewujudkan nilai hukum in concreto. Penerapan nilai hukum in concreto harus dipahami sebagai upaya untuk mengejawentahkan nilai-nilai hukum supaya terwujud dalam kasus-kasus tertentu di masyarakat.[17] Hal ini menjadi penting karena merupakan salah satu orientasi dari kewenangan Jaksa.

Terkait dengan penerapan nilai hukum in concreto, Bagir Manan berpandangan bahwa nilai hukum in concreto tidak hanya menjadi dominasi dan monopoli dari lembaga tertentu.[18] Hal ini wajar karena pada umumnya penegakan hukum diidentikkan dengan peran hakim dengan upaya penemuan hukumnya. Dalam hal ini, nilai hukum in concreto menjadi kewenangan semua lembaga penegak hukum.[19] Khususnya dalam sistem peradilan pidana, peran dan koordinasi antar aparat penegak hukum menjadi penting karena berkaitan dengan efektivitas dan dimensi substantif dalam memberikan keadilan bagi masyarakat.[20] Dalam konteks penegak hukum, peran Kepolisian dan Kejaksaan menjadi penting sebagai bagian untuk “mencerahkan” suatu permasalahan hukum sehingga dapat diterapkan secara optimal di masyarakat.[21] Hal ini dipertegas dalam Bab III UU Kejaksaan yang menegaskan tugas dan wewenang Kejaksaan yang meliputi aspek perdata, pidana, tata usaha negara, ketenteraman umum, serta ketertiban. Dari berbagai tugas dan wewenang tersebut, sejatinya terkait penegakan hukum Kejaksaan menemui urgensi untuk menghadirkan keadilan bagi masyarakat.[22]

Secara umum, Kejaksaan identik dengan tugas di bidang pidana khususnya berkaitan dengan penuntutan maupun terkait dengan pelaksanaan putusan hakim. Meski begitu, secara umum tugas dan wewenang kejaksaan lebih luas dari sekadar penuntutan maupun terkait dengan pelaksanaan putusan hakim. Akan tetapi, dalam konteks penegakan hukum tugas dan wewenang Kejaksaan sebagai penuntut umum menemui relevansi untuk menghadirkan keadilan di masyarakat. Sebagai penuntut umum, Jaksa diharapkan memiliki pengetahuan serta pemahaman terkait proses yang dilakukan oleh penyidik dari awal hingga akhir kemudian dilakukan penuntutan melalui dakwaan. Pengetahuan yang diharapkan dari Jaksa harus didasarkan pada dua aspek, yaitu aspek pengetahuan hukum dan keterampilan hukum praktis.[23] Pengetahuan hukum dalam hal ini adalah terkait dengan penguasaan hukum teoretis dan konseptual secara presisi. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya untuk menganalisis atas fakta hukum yang ada.[24] Dalam aspek keterampilan praktis, Jaksa juga diharapkan memiliki keterampilan praktis hukum berupa pengalaman atas berbagai kasus yang berkaitan dengan tugas dan fungsi Jaksa dalam penegakan hukum.

Tugas Jaksa salah satunya adalah sebagai penuntut umum khususnya dalam perkara pidana. Hal ini tentunya berkaitan dengan fungsi Jaksa sebagai salah satu fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.[25] Secara konstitusional, fungsi Jaksa dapat dipahami dari konstruksi Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945. Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 menegaskan bahwa adanya pengaturan melalui Undang-Undang khusus bagi lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Jika mengacu pada fungsi Jaksa, maka jelas bahwa Jaksa merupakan salah satu lembaga negara yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Mengenai fungsi Jaksa yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, setidaknya dapat dipahami dari tiga argumentasi, yaitu: pertama, mengacu pada interpretasi sistematis serta berdasarkan asas titulus est lex, duprica est lex yang menegaskan bahwa judul suatu bab memiliki relevansi dengan pasal dan substansi maka pengaturan Pasal 24 ayat (3) UUD NRI 1945 yang membahas mengenai lembaga yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman berada dalam BAB IX yaitu berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.[26] Hal ini berarti, sifat dan karakter kelembagaan yang memiliki fungsi berkaitan dengan lembaga kekuasaan kehakiman juga memiliki sifat dan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Dalam konteks ini, Jaksa yang terkategorisasi merupakan lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sejatinya juga memiliki beberapa karakter dan fungsi dari lembaga kekuasaan kehakiman.

Karakter utama dari lembaga kekuasaan kehakiman adalah karakter independen atas kekuasaan eksekutif maupun legislatif. Independensi kekuasaan kehakiman ini dapat dipahami karena kekuasaan kehakiman merupakan lembaga yang secara otoritatif memberikan tafsir dan ketentuan final atas hukum sehingga harus bersifat independen dan merdeka dari kedua kekuasaan lainnya.[27] Karakter independen lembaga kekuasaan kehakiman tersebut sejatinya secara mutatis mutandis memiliki karakter dengan persamaan substansi dengan lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan lembaga kekuasaan kehakiman. Karakter tersebut yaitu karakter independen dan merdeka lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan lembaga kekuasaan kehakiman. Hal ini termasuk juga dengan fungsi Jaksa yang dalam menjalankan tugasnya berkaitan dengan fungsi yang berkaitan dengan lembaga kekuasaan kehakiman. Hal ini sejatinya menegaskan bahwa karakter independen lembaga kekuasaan kehakiman juga berlaku bagi lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.

Kedua, meski fungsi lembaga yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman memiliki karakter independen sebagaimana dengan lembaga kekuasaan kehakiman, namun tentu terdapat perbedaan dengan fungsi lembaga yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. Perbedaan utama antara karakter independen fungsi lembaga yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dengan lembaga kekuasaan kehakiman adalah pada ranah independensinya. Jika lembaga kekuasaan kehakiman memiliki ranah independensi yang bersifat komprehensif baik dari aspek finansial maupun fungsional, maka lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tentu tidak dapat secara komprehensif sebagaimana independensi lembaga kekuasaan kehakiman. Hal ini berarti, lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman hanya secara fungsional bersifat independen, akan tetapi untuk urusan lain seperti finansial ataupun administrasinya tentu lembaga yang memiliki fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman tidak bersifat independen, atau berada dalam cabang kekuasaan lainnya.[28] Dalam konteks fungsi Jaksa, maka dapat dipahami bahwa Jaksa memiliki sifat independen pada aspek menjalankan fungsinya, namun dari aspek penggajian maupun administrasinya Jaksa tetap tunduk pada salah satu cabang kekuasaan negara, dalam hal ini cabang kekuasaan eksekutif.

Ketiga, secara khusus, mengacu pada Pasal 1 angka 1 UU Kejaksaan dipertegas bahwa Jaksa memiliki karakter fungsional. Karakter fungsional dalam hal ini berarti Jaksa memiliki karakter profesional dalam menjalankan fungsinya khususnya berkaitan dengan tugas sebagai penuntut umum serta sebagai pelaksana putusan pengadilan. Selain itu, karakter independen dalam tugas Jaksa juga dipertegas dalam Pasal 2 ayat (2) UU Kejaksaan yang menegaskan bahwa dalam menjalankan fungsinya Jaksa bertugas secara “merdeka” yang dalam hal ini merdeka identik dengan karakter independen. Selain itu, aspek profesionalitas dalam Jaksa juga berkaitan dengan aspek etis dalam tugas Jaksa. Hal ini juga menegaskan bahwa Jaksa juga memiliki kode etik sebagai upaya menjaga profesionalitas tugas Jaksa.[29]

Berdasarkan ketiga aspek di atas, dapat dipahami bahwa Jaksa memiliki orientasi profesional yang mana dalam menjalankan tugasnya bersifat merdeka serta berdasarkan atas hukum dan kode etik profesi. Selain itu, dalam konteks penegakan hukum, Jaksa juga memiliki orientasi pada pendekatan-pendekatan non-hukum yang dapat menunjang tugasnya sebagai penegak hukum. Dalam hal ini, Jaksa tentu berbeda dengan hakim yang hanya bertugas menguji fakta hukum dengan aspek hukum seperti aturan hukum, konsep, maupun asas-asas hukum. Dalam hal ini, hakim di pengadilan bertugas secara “in the bench” dan bersifat pasif. Hal ini berbeda dengan Jaksa yang dalam penegakan hukum bertugas secara “in the field” yang berhadapan dengan realitas hukum di masyarakat.[30] Hal ini berarti, pendekatan-pendekatan yang bersifat non-hukum dapat dan memiliki urgensi untuk dipahami Jaksa dalam mengoptimalkan tugasnya dalam menegakkan hukum. Berdasarkan uraian di atas, Jaksa dalam penegakan hukum di Indonesia memiliki karakter dan sifat independen yang berarti terbebas dari kekuasaan negara mana pun secara fungsional, akan tetapi secara administratif Jaksa termasuk dalam ranah eksekutif. Selain itu, dari aspek penegakan hukum Jaksa juga berorientasi pada tugas penegakan hukum di lapangan (in the field) yang artinya Jaksa perlu melihat aspek non-hukum dan memahami beberapa aspek realitas sosial di masyarakat untuk secara maksimal menegakkan hukum di masyarakat.

Urgensi Socio-Legal Approach Terkait Peran Jaksa di Indonesia

Peran dan fungsi Jaksa jika mengacu pada UU Kejaksaan jelas mengindikasikan aspek Jaksa untuk ikut melihat dimensi kemasyarakatan atas hukum. Peran dan fungsi Jaksa dalam hal ini adalah menegakkan hukum di ranah masyarakat (law in society).[31] Hal ini juga menuntut Jaksa untuk bersifat progresif serta menggali nilai-nilai keadilan dan nilai-nilai sosial di masyarakat. Dalam realitanya, tugas Jaksa hanya dipahami sebatas melihat peraturan perundang-undangan. Jaksa telah dianggap bertugas apabila segala hal yang dieja dalam peraturan perundang-undangan dianggap telah dilaksanakan. Dalam konteks ini, tugas Jaksa sejatinya berdimensi kemanusiaan yang artinya Jaksa harus menyelami makna hukum dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kejaksaan.[32]

Realitas berhukum memang memiliki problematika tersendiri. Di masyarakat, hukum tidak dapat ditegakkan dengan logika mesin otomat dengan sekadar menerapkan pasal-pasal yang miskin makna.[33] Tugas pertama penegakan hukum adalah menggali makna hukum untuk kemudian menerapkan makna yang dipenuhi ide-ide normatif dalam realitas di masyarakat.[34] Secara singkat, penegakan hukum adalah upaya untuk menggali idealitas hukum untuk kemudian diterapkan dalam realitas di masyarakat.[35] Dalam pandangan Satjipto Rahardjo, penegakan hukum adalah penuangan nilai-nilai hukum menjadi berdimensi praktis hukum di masyarakat tanpa kehilangan esensi dari nilai hukum tersebut.[36] Dari pandangan tersebut sejatinya dapat disimpulkan bahwa kata kunci dari penegakan hukum adalah koherensi atas nilai hukum serta upaya melihat sekaligus peduli dengan realitas sosial-kemasyarakatan.

Penegakan hukum dalam konteks koherensi atas nilai hukum dimaksudkan supaya penegakan hukum tidak kehilangan substansi dan esensinya. Penegakan hukum bukan sekadar menerapkan hukum secara prosedural yang hanya ditentukan berdasarkan peraturan dan hukum tertulis (black letter law).[37] Penegakan hukum harus dilihat serta dipandang sebagai kegiatan hukum yang bersifat holistik dan sarat nilai. Hal ini berarti, koherensi nilai dalam penegakan hukum mengindikasikan supaya esensi nilai hukum harus dijadikan panduan bagi Jaksa dalam melakukan penegakan hukum. Dalam hal ini, Jaksa diharapkan dapat memerhatikan aspek substantial letter law yaitu menggali aspek substansi hukum secara mendalam dari teks peraturan perundang-undangan.[38] Selanjutnya, dari aspek perlunya melihat realitas sosial-kemasyarakatan hal ini tentu dapat dilihat dari bekerjanya hukum di lapangan atau di masyarakat yang mana hukum tidak berdiri sendiri sebagai satu-satunya subsistem sosial di masyarakat. Terkadang, hukum harus berhadapan dengan berbagai subsistem sosial-kemasyarakatan yang lain seperti ekonomi, politik, maupun budaya dan bahkan tak jarang hukum kemudian “terkebiri” nilainya oleh subsistem kemasyarakatan lainnya.[39] Dalam hal ini, pentingnya Jaksa melihat aspek sosial-kemasyarakatan dalam menegakkan hukum adalah untuk mempermudah Jaksa dalam menegakkan hukum karena proses penegakan hukum yang dilakukan Jaksa telah relevan dengan kondisi sosial masyarakat. Hal ini lah yang sejatinya urgen dilakukan oleh Jaksa dalam setiap penegakan hukum selain memerhatikan koridor hukum dalam peraturan perundang-undangan juga wajib menggali dan melihat aspek non-hukum tempat hukum itu berkembang dan dijalankan.

Robert B. Seidman dan William J. Chambliss memandang bahwa bekerjanya hukum salah satunya dipengaruhi oleh kekuatan sosial-personal (social-personal force).[40] Kekuatan sosial-personal dapat dilihat dalam realitas bekerjanya hukum di masyarakat. Dalam praktiknya, pengaruh kekuatan sosial-personal dapat berpengaruh negatif maupun positif dalam penegakan hukum.[41] Di satu sisi, kekuatan sosial-personal dapat berimplikasi negatif bahwa hal ini dapat mengganggu proses penegakan hukum termasuk mereduksi nilai-nilai hukum yang menjadi pemandu dalam proses penegakan hukum. Namun di sisi yang lain, penegakan hukum dapat berpengaruh positif ketika dapat dibaca, dipahami, serta dijadikan “sarana” untuk menegakkan hukum supaya lebih substantif dan berkeadaban. Dalam konteks ruang lingkup Jaksa, maka pendalaman dan pemahaman atas bekerjanya hukum di masyarakat menjadi penting khususnya pada aspek sosial-personal. Aspek sosial-personal dengan pemahaman dan pendalaman tertentu sejatinya dapat dimaksimalkan dan dioptimalkan oleh Jaksa sebagai sarana untuk mempermudah proses penegakan hukum. Hal ini sejatinya mengisyaratkan bahwa Jaksa perlu memahami aspek socio-legal dari hukum untuk mengoptimalkan peran dan kewenangannya di masyarakat.

Pemahaman aspek socio-legal bagi pengemban profesi hukum dalam hal ini Jaksa sejatinya bukanlah suatu gagasan yang baru. Hal ini khususnya dikaitkan dengan perkembangan sosial-kemasyarakatan yang begitu masif ditambah dengan arus perkembangan teknologi dan digitalisasi yang semakin konstruktif. Hal ini menjadikan hukum tidak hanya berdimensi normatif yang hanya menegaskan sesuatu “boleh” atau “dilarang” untuk dilakukan. Hukum dalam konteks yang lebih modern harus dibaca secara komprehensif, termasuk menyangkut aspek kognitif.[42] Jika secara normatif hukum bersifat general, maka secara kognitif hukum bersifat spesifik yang tentu melihat realitas sosial, budaya, serta peradaban di masyarakat. Dalam aspek normatif hukum cukup berbicara mengenai “pencurian” secara umum, namun dalam aras kognitif, hukum harus berbicara mengenai berbagai bentuk pencurian khususnya yang berkembang di suatu masyarakat tertentu. Tentu, hal ini penting untuk dikaji dan didalami oleh para Jaksa khususnya dalam menegakkan hukum di masyarakat. Dalam konteks penyusunan dakwaan misalnya, Jaksa harus secara presisi melihat konteks kejahatan yang berkembang di masyarakat secara spesifik, untuk dapat digeneralisasi secara hukum sesuai dengan konstruksi Undang-Undang. Dalam hal ini lah, maka Jaksa harus melihat aspek normatif dan kognitif hukum secara bersamaan melalui pendekatan atas aspek socio-legal.

Gagasan socio-legal menurut Banakar dan Travers merupakan kajian yang sejatinya mendapatkan perhatian dari para penstudi hukum, khususnya para akademisi hukum.[43] Bagi akademisi hukum, pemahaman serta pendalaman atas hukum yang berdimens normatif-preskriptif justru mempersempit cara bekerja hukum di masyarakat. Gagasan socio-legal menawarkan pengkajian ilmu hukum secara holistik dengan menggali hukum sebagai bagian dari subsistem kemasyarakatan yang bersama-sama bekerja di masyarakat untuk mewujudkan nilai-nilai yang hendak diwujudkan oleh masyarakat.[44] Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa secara teoretik maupun pengembangan hukum yang bersifat konseptual, pandangan socio-legal dapat memperkaya khasanah pemahaman hukum. Namun yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan para praktisi dan profesional hukum, perlukah pengkajian atau setidak-tidaknya memahami aspek socio-legal?. Salah satu pemahaman mengenai pentingnya pengkajian socio-legal dalam praktik hukum dikemukakan oleh Richard Susskind yang menegaskan bahwa praktik hukum seyogyanya harus mengikuti riak perkembangan di masyarakat.[45] Berbagai perkembangan di masyarakat itu dapat berbentuk teknologi, budaya, maupun berbagai inovasi bagi profesi hukum.

Bagi Jaksa pengkajian aspek socio-legal menempati urgensi tersendiri, khususnya dikaitkan dengan salah satu tugas Jaksa sebagaimana dalam Peraturan Kejaksaan tentang Keadilan Restoratif. Dalam peraturan tersebut, Jaksa bahkan diharapkan aktif dalam mempromosikan konsepsi restorative justice.[46] Restorative justice atau keadilan restoratif dipahami sebagai upaya untuk menyeimbangkan penyelesaian sengketa secara lebih humanis serta lebih bersifat non-litigasi atau di luar pengadilan.[47] Keadilan restoratif menekankan hubungan proporsionalitas antara pelaku dan korban suatu tindak pidana yang bertujuan untuk memberikan ganti rugi secara patut bagi korban serta memberikan pembinaan kepada pelaku.[48] Gagasan keadilan restoratif ini jika dilihat pada kewenangannya Jaksa diberikan upaya untuk menghentikan proses dakwaan atau proses hukum lain jika keadilan restoratif telah terlaksana. Sekilas, jika diperhatikan aspek keadilan restoratif bagi Jaksa tidak hanya menekankan dimensi normatif dari hukum tetapi termasuk aspek kognitif dari hukum. Hal ini membuat Jaksa harus melihat, memahami, sekaligus menggali nilai-nilai keadilan yang tumbuh di masyarakat dalam melaksanakan keadilan restoratif.[49] Dalam aspek ini, maka Jaksa seyogyanya harus memahami aspek socio-legal dalam menerapkan praktik keadilan restoratif.

Pentingnya aspek socio-legal dalam menerapkan praktik keadilan restoratif bagi Jaksa tentunya dapat memberikan manfaat serta kualifikasi tertentu bagi Jaksa yaitu beberapa diantaranya sebagai berikut: pertama, aspek socio-legal dalam menerapkan praktik keadilan restoratif bagi Jaksa dapat membuat Jaksa lebih komprehensif dalam memahami permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat. Dalam hal ini, pemahaman yang komprehensif bagi Jaksa bermanfaat dalam kaitannya dengan upaya untuk menghasilkan praktik keadilan restorative yang menjadi penyelesai masalah hukum di masyarakat. Kedua, aspek socio-legal dapat mempermudah tugas Jaksa dalam menerapkan praktik keadilan restoratif khususnya bagi masyarakat yang memiliki hukum adat atau hukum lokal yang masih berlaku secara tradisional di masyarakat. Hal ini tentu bermanfaat bagi Jaksa serta menunjang profesionalitas Jaksa dalam menjalankan praktik keadilan restoratif. Ketiga, aspek socio-legal dapat mmebuat Jaksa untuk melibatkan diri dengan masyarakat atas kasus hukum yang sedang diatasi. Dalam hal ini, mengajak pelibatan masyarakat dalam praktik keadilan restoratif tentu menjadi hal penting supaya praktik keadilan restoratif menjadi upaya utama bagi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hukum, khususnya hukum pidana.

Dari ketiga keutamaan aspek socio-legal dalam menerapkan praktik keadilan restoratif bagi Jaksa sejatinya memiliki berbagai urgensi yang dapat diterapkan oleh Jaksa khususnya dalam upaya melaksanakan tugas dan kewenangan Jaksa yang berkaitan dengan praktik keadilan restoratif. Oleh karena itu, urgensi pendekatan socio-legal terkait peran Jaksa di Indonesia yaitu membuat Jaksa lebih komprehensif dalam memahami permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat, mempermudah tugas Jaksa dalam menerapkan praktik keadilan restoratif khususnya bagi masyarakat yang memiliki hukum adat atau hukum lokal yang masih berlaku secara tradisional di masyarakat, serta Jaksa dapat mengoptimalkan pelibatan masyarakat dalam praktik keadilan restoratif tentu menjadi hal penting supaya praktik keadilan restoratif menjadi upaya utama bagi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hukum, khususnya hukum pidana.

Simpulan

Jaksa dalam penegakan hukum di Indonesia memiliki karakter dan sifat independen yang berarti terbebas dari kekuasaan negara mana pun secara fungsional, akan tetapi secara administratif Jaksa termasuk dalam ranah eksekutif. Selain itu, dari aspek penegakan hukum Jaksa juga berorientasi pada tugas penegakan hukum di lapangan (in the field) yang artinya Jaksa perlu melihat aspek non-hukum dan memahami beberapa aspek realitas sosial di masyarakat untuk secara maksimal menegakkan hukum di masyarakat.

Urgensi pendekatan socio-legal terkait peran Jaksa di Indonesia yaitu membuat Jaksa lebih komprehensif dalam memahami permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat, mempermudah tugas Jaksa dalam menerapkan praktik keadilan restoratif khususnya bagi masyarakat yang memiliki hukum adat atau hukum lokal yang masih berlaku secara tradisional di masyarakat, serta Jaksa dapat mengoptimalkan pelibatan masyarakat dalam praktik keadilan restoratif tentu menjadi hal penting supaya praktik keadilan restoratif menjadi upaya utama bagi masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan hukum, khususnya hukum pidana.

References

  1. M. M Husein, “Penegakan Hukum Dan Perlindungan Negara,” J. Ilmu Polit. dan Komun., vol. VII, no. 1, pp. 21–30, 2017.
  2. M. A. Syahrin, “Polarisasi Penegakan Hukum Keimigrasian Kontemporer: Aksiologi Normatif - Empiris,” Maj. Huk. Nas., vol. 49, no. 1, p. 60, 2019.
  3. Z. Zulqarnain, M. Ikhlas, and R. Ilhami, “Perception of college students on civic and anti-corruption education : Importance and relevance,” Integritas J. Antikorupsi, vol. 8, no. 1, pp. 123–134, 2022.
  4. K. S. Wahyuningrum, H. S. Disemadi, and N. S. P. Jaya, “INDEPENDENSI KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI: BENARKAH ADA?,” Refleks. Huk. J. Ilmu Huk., vol. 4, no. 2, pp. 239–258, Jul. 2020, doi: 10.24246/jrh.2020.v4.i2.p239-258.
  5. M. Iovan, “Analysis of the Connections Between Law and Morals, Between Customs and Contemporaneity,” J. Legal Stud., vol. 25, no. 39, pp. 57–68, Jun. 2020, doi: 10.2478/jles-2020-0004.
  6. D. Rato, “Realisme Hukum: Peradilan Adat dalam Perspektif Keadilan Sosial,” J. Kaji. Pembaruan Huk., vol. 1, no. 2, p. 285, Jul. 2021, doi: 10.19184/jkph.v1i2.24998.
  7. S. Bella Andreyani, Hidayatullah, “Kewenangan Rangkap Jaksa Sebagai Penyidik, Penuntut Umum Dan Saksi Pelapor (Verbalisan) Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Terpadu,” Suara Keadilan, vol. 20, no. 2, pp. 147–160, 2019.
  8. A. Budiono and W. V. Izziyana, “Ilmu Hukum Sebagai Keilmuan Perspektif Paradigma Holistik,” J. Huk. Nov., vol. 9, no. 1, p. 89, 2018, doi: 10.26555/novelty.v9i1.a6916.
  9. D. McQuoid-Mason, “Could traditional dispute resolution mechanisms be the solution toreducing the volume of litigation in post-colonial developing countries– particularly in Africa?,” Oñati Socio-Legal Ser., vol. 11, no. 2, p. 591, 2021.
  10. H. Matnuh, “Law as a Tool of Social Engineering,” in 1st International Conference on Social Sciences Education "Multicultural, 2018, vol. 147, no. Icsse 2017, pp. 118–120, doi: 10.2991/icsse-17.2018.28.
  11. R. H. Ook Mufrohim, “Independensi Lembaga Kejaksaan Sebagai Legal Sctructure di dalam Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice Sytem) di Indonesia,” Pembang. Huk. Indones., vol. 2, no. 3, p. 375, 2020.
  12. S. Ramadhani, “Peran Kejaksaan Mewujudkan Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Penanggulangan Kejahatan,” Huk. Progresif, vol. 15, no. 1, p. 78, 2021.
  13. A. Rewabawadewa, “Efektivitas Kinerja Jaksa Pengacara Negara dalam Penyelamatan Aset Pemerintah Daerah: Studi Kasus Kejaksaan Negeri Makassar,” Lex Theory, vol. 3, no. 1, p. 95, 2022.
  14. S. G. A. Doederlein and R. A. da Costa, “The development of the Sociology of Law in Brazil,” Oñati J. Emergent Socio-legal Stud., vol. 11, no. 1, pp. 49–79, 2021.
  15. R. Banakar and M. Travers, “Introduction to Theory and Method in Socio-Legal Research,” in THEORY AND METHOD IN SOCIAL-LEGAL RESEARCH, Oxford: Hart Publishing, 2005, pp. 1–8.
  16. A. Angkasa, R. Windiasih, and O. Juanda, “Efektivitas Rancangan Undang-UndangPenghapusan Kekerasan Seksual Sebagai Hukum Positif dalam Perspektif Viktimologi” J. USM LAW Rev., vol. 4, no. 1, p. 117, Jun. 2021, doi: 10.26623/julr.v4i1.2696.
  17. S. Tyrer, “An Australia-Indonesia Arrangement on Refugees: Exploring the structural, legal and diplomatic Dimensions,” Adelaide Law Rev., vol. 38, no. 1, pp. 113–147, 2017.
  18. B. Manan, “Peranan Hukum dalam Mewujudkan Cita-Cita Keadilan Sosial Menurut UUD 1945,” Varia Peradil., no. 340, p. 5, 2014.
  19. M. Chairul Huda, “Meneguhkan Pancasila Sebagai Ideologi Bernegara: Implemetasi Nilai-Nilai Keseimbangan dalam Upaya Pembangunan Hukum di Indonesia,” Resolusi J. Sos. Polit., vol. 1, no. 1, pp. 78–99, 2018, doi: https://doi.org/10.2489/resolusi.v1i1.160.
  20. S. Munandar, “Pelaksanaan Perlindungan Hukum terhadap Hak Anak yang Berkonflik dengan Hukum pada Tahap Penyidikan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (Studi di Wilayah Hukum Polresta Padang),” Pagaruyuang Law J., vol. 2, no. 1, pp. 42–63, 2018.
  21. A. Pristiono, “Kebijakan Kriminal (Criminal Policy) Dengan Konsep Mediasi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Umum (Penipuan Dan Penggelapan) Pada Bagwassidik Ditreskrimum Polda Sumut,” J. Ilm. Muqoddimah J. Ilmu Sos. Polit. dan Hummanioramaniora, vol. 4, no. 1, p. 34, 2020, doi: 10.31604/jim.v4i1.2020.34-43.
  22. R. R. Antasari, “Telaah Terhadap Perkembangan Tipe Tatanan Hukum Di Indonesia Perspektif Pemikiran Nonet-Selznick Menuju Hukum Yang Berkeadilan,” Nurani J. Kaji. Syari’ah dan Masy., vol. 19, no. 1, pp. 103–118, 2019, doi: 10.19109/nurani.v19i1.3344.
  23. Sulaiman, “Pengembanan Hukum Teoretis dalam Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia,” Kanun, vol. 17, no. 3, pp. 585–601, 2015, doi: 10.24815/kanun.v17i3.6088.
  24. A. Efendi and D. O. Susanti, Logika & Argumentasi Hukum. Jakarta: Kencana, 2020.
  25. E. O. S. Hiariej, Hukum Acara Pidana. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka, 2015.
  26. J. C. Thompson, “Law’s Autonomy and Moral Reason,” Laws, vol. 8, no. 1, p. 6, Feb. 2019, doi: 10.3390/laws8010006.
  27. R. S. Rico Yodi Tri Utama, “Independensi Dan Urgensi Restrukturisasi Sistem Peradilan Pidana Indonesia Berdasarkan Aspek Kekuasaan Kehakiman,” Ajudikasi J. Ilmu Huk., vol. 5, no. 1, pp. 52–70, 2017.
  28. E. Safudin, “Harmonisasi Hukum Dalam Antinomi Hukum (Analisis Terhadap Penerapan Pasal 20 Ayat 2 Huruf B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,” Al-Syakhsiyyah J. Law Fam. Stud., vol. 2, no. 2, pp. 203–204, 2020.
  29. C. Horn, “Aristotle on the Legal and Moral Aspects of Law,” in Ethics in Ancient Greek Literature, De Gruyter, 2020, pp. 81–100.
  30. I. S. Latif and I. A. Pangestu, “Problematika Penyalahgunaan Bantuan Sosial Pada Masa Pandemi,” Justisi, vol. 8, no. 2, pp. 95–107, 2022, doi: 10.33506/js.v8i2.1612.
  31. H. Christianto, “Norma Persatuan Sebagai Batasan Perbuatan Pidana Penyebaran Ujaran Kebencian Melalui Internet,” Verit. Justitia, vol. 6, no. 1, pp. 94–126, 2020, doi: 10.25123/vej.3501.
  32. N. M. Nggilu, “Menggagas Sanksi atas Tindakan Constitution Disobedience terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi,” J. Konstitusi, vol. 16, no. 1, p. 43, 2019, doi: 10.31078/jk1613.
  33. Sofyan Hadi, “Kekuatan Mengikat Hukum dalam Perspektif Mazhab Hukum Alam dan Mazhab Positivisme Hukum,” J. Ilmu Huk., vol. 14, no. 28, pp. 76–84, 2019.
  34. D. E. Prasetio, “Menelisik Perjuangan Artidjo Alkostar: dari Paradigma Hukum Profetik Hingga Penegakan Hukum Korupsi Politik.” syakal.iainkediri.ac.id, Kediri, p. 3, 2021.
  35. M. A. Mahfud, “the Relevance of Ronald Dworkin ’s Theory for Creating Agrarian Justice in Indonesia,” Yustisia, vol. 8, no. 3, pp. 385–399, 2019, doi: 10.20961/yustisia.v8i3.27386.
  36. S. Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
  37. N. R. Wildan Nafis, “Hukum Progresif dan Relevansinya Pada Penalaran Hukum di Indonesia,” El Ahli J. Huk. Kel. Islam, vol. 1, no. 2, pp. 1–16, 2020.
  38. R. S. Markus Marselinus Soge, “Kajian Hukum Progresif Terhadap Fungsi Pemasyarakatan Dalam Rancangan Undang-Undang Pemasyarakatan,” Leg. J. Huk. dan Perundang-Undangan, vol. 2, no. 2, pp. 5–24, 2022.
  39. I. Rahmatullah, “Filsafat Hukum Utilitarianisme: Konsep dan Aktualisasinya Dalam Hukum di Indonesia,” Adalah Bul. Huk. Keadilan, vol. 5, no. 2, pp. 19–32, 2021, doi: 10.15408/adalah.v5i2.22026.
  40. Suteki, Desain Hukum Di Ruang Sosial. Yogyakarta: Thafa Media, 2015.
  41. S. Syaripuddin, “Maslahat as Considerations of Islamic Law in View Imam Malik,” Samarah J. Huk. Kel. dan Huk. Islam Vol., vol. 4, no. 1, pp. 1–23, 2020.
  42. S. Irianto, “Praktik Penelitian Hukum: Perspektif Sosiolegal,” in Metode Penelitian Hukum: Konstelasi & Refleksi, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011, pp. 1–38.
  43. F. Afandi, “Penelitian Hukum Interdisipliner Reza Banakar: Urgensi dan Desain Penelitian Sosio-legal,” Undang J. Huk., vol. 5, no. 1, p. 240, 2022.
  44. S. Roy, “Theory of Social Proof and Legal Compliance: A Socio-Cognitive Explanation for Regulatory (Non) Compliance,” Ger. Law J., vol. 22, no. 2, pp. 238–255, Mar. 2021, doi: 10.1017/glj.2021.5.
  45. R. Susskind, The Future of the Professions: How Technology Will Transform the Work of Human Experts. Oxford: Oxford University Press, 2015.
  46. B. S. Panjaitan, “Restorative Justice Sebagai Penyelesaian Perkara Pidana Berbasis Korban,” Doktrina, vol. 5, no. 1, p. 159, 2022.
  47. L. J. Leonard, “Can Restorative Justice Provide a Better Outcome for Participants and Society than the Courts?,” Laws, vol. 11, no. 1, p. 3, 2022, doi: 10.3390/laws11010014.
  48. V. S. Ariani Hasanah Soejoeti, “Diskusi Keadilan Restoratif dalam Konteks Kekerasan Seksual di Kampus,” Deviance, vol. 4, no. 1, pp. 67–83, 2020.
  49. A. Mardatillah, “Jaksa Agung Sampaikan Konsep Keadilan Restoratif dengan Hati Nurani.” hukumonline.com.