Legal provisions that live in society are one of the controversial provisions in the ratification of the Draft Criminal Code (RKUHP). That is because the law in the community is related to legal values written and unwritten in society. This study aims to analyze the legal aspects of culture in RKUHP. This research is normative legal research that puts forward legal issues on the implications of legal arrangements regarding living law in the RKUHP and focuses on using a conceptual and statutory approach. The results of the study confirm that the construction of living law in the community (living law) in the RKUHP, which emphasizes that the living law is customary law, is also formulated simultaneously with the regional role in establishing regional regulations based on the substance of local customary law. In addition, the construction of regional rules to accommodate Article 2 of the RKUHP to regulate the importance of customary law raises legal ambiguity, namely regional rules at the provincial or regency/city level that have the authority to regulate them; so that there is no disharmony of customary law arrangements in the formulation of regional regulations as a follow-up to Article 2 RKUHP. Furthermore, the legal implications related to living law arrangements in the RKUHP, namely the lack of clarity in Article 2 of the RKUHP, including the need for regulation at the regional level through regional regulations, have the potential to cause criminalization based on regional principles
Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi “kado” akhir tahun bagi Negara Indonesia. Hal ini dikarenakan pada tanggal 6 Desember 2022 RKUHP disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR RI[1]. Disahkannya RKUHP menjadi Undang-Undang sejatinya menjadi “babak baru” dalam reformasi hukum pidana di Indonesia. Pasalnya, sejak tahun 1918, atau sekitar 104 tahun hingga tahun 2022, Indonesia menggunakan KUHP Belanda yaitu Wetboek van Strafrecht (WvS)[2]. Bahkan, saat Indonesia memperoklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, berdasarkan asas konkordansi Wetboek van Strafrecht (WvS) juga masih diterapkan sebagai peraturan hukum pidana di Indonesia[3].
Meski gagasan pembaruan hukum pidana termasuk juga revisi atas KUHP lama yang berdasarkan atas Wetboek van Strafrecht (WvS) sejatinya telah dilakukan sejak tahun 1963, namun adanya perdebatan sengit serta orientasi pengaturan dalam RKUHP yang dituntut sesuai dengan perkembangan zaman dan tetap memertahankan esensi keindonesiaan menjadi hambatan tersendiri untuk segera mengesahkan RKUHP[4]. Dengan demikian, disahkannya RKUHP di akhir tahun 2022 memiliki orientasi tersendiri dalam pembaruan dan pelaksanaan hukum pidana di masyarakat.
Salah satu orientasi dalam disahkannya RKUHP adalah adanya cita keindonesiaan dengan berdasarkan pada cita hukum Pancasila[5]. Cita hukum Pancasila diharapkan menjadi pemandu dalam perumusan sekaligus penerapan norma hukum pidana dalam RKUHP. Salah satu substansi dalam RKUHP yang memiliki orientasi untuk menerapkan cita hukum Pancasila adalah adanya pengaturan hukum yang hidup di masyarakat[6]. Hukum yang hidup di masyarakat salah satunya diatur dalam Pasal 2 RKUHP yang substansinya menegaskan bahwa selain ketentuan hukum pidana sebagaimana yang tercantum dalam RKUHP, ketentuan hukum pidana juga melihat serta mengacu pada hukum yang hidup di masyarakat. Meski begitu, salah satu problematikanya adalah bagaimana dan seperti apa pengaturan hukum pidana dalam RKUHP termasuk implikasinya. Oleh karena itu, penelitian bertujuan menganalisis aspek hukum yang hidup di masyarakat dalam RKUHP.
Penelitian mengenai aspek hukum yang hidup di masyarakat pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, seperti: Tongat, Said Noor Prasetyo, Nu’man Aunuh, dan Yaris Adhial Fajrin (2020) tentang Hukum yang Hidup dalam Masyarakat dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional yang berfokus bahwa pentingnya pembaruan hukum pidana di Indonesia untuk mengakomodasi perkembangan hukum yang hidup di masyarakat sebagai salah satu hukum “khas” bangsa Indonesia[7]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Nella Sumika Putri (2021) tentang Memikirkan Kembali Unsur “Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat” dalam Pasal 2 RKUHP Ditinjau Perspektif Perspektif Asas Legalitas yang berfokus pada bagaimana formulasi yang tepat mengenai hukum yang hidup di masyarakat dikaitkan dengan pengaturan hukum pidana dalam RKUHP[8]. Dari kedua penelitian terdahulu tersebut, kajian kritis sekaligus upaya mengetahui implikasi adanya pengaturan hukum yang hidup di masyarakat belum pernah dilakukan sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang orisinal. Penelitian ini juga berorientasi untuk menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Bagaimana konstruksi hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP?, serta (ii) Apa implikasi hukum terkait pengaturan hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP?.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang mengedepankan isu hukum implikasi pengaturan hukum mengenai hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP[9]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini meliputi: UUD NRI 1945, KUHP, serta RKUHP yang disahkan pada tanggal 6 Desember 2022. Bahan hukum sekunder meliputi: hasil penelitian dan kajian mengenai hukum yang hidup di masyarakat (living law) serta kajian lain yang relevan seperti kajian mengenai hukum adat. Bahan non-hukum meliputi kamus hukum. Upaya pengoptimalan dalam penelitian ini berfokus pada pendekatan konsep dan pendekatan perundang-undangan.
Pengesahan RKUHP sejatinya merupakan bagian panjang dari pembaruan hukum pidana. Pembaruan hukum pidana sejatinya merupakan upaya negara untuk melakukan penyempurnaan atau pengaturan ulang mengenai substansi hukum pidana di suatu negara[10]. Dalam hal ini, pembaruan hukum pidana identik dengan politik hukum pidana. Politik hukum pidana merupakan upaya negara untuk menentukan garis-garis kebijakan hukum pidana di suatu negara yang didasarkan pada kebutuhan hukum masyarakat sekaligus sebagai upaya untuk menata pengaturan hukum pidana yang berkeadilan sesuai dengan cita negara[11]. Dalam konteks Indonesia, maka pembaruan hukum pidana dan politik hukum pidana sejatinya diorientasikan untuk menyesuaikan dengan substansi cita hukum negara, yaitu Pancasila. Pancasila dalam konteks ini penting bukan hanya kedudukannya sebagaimana staatfundamentalnorm, melainkan juga sebagai cita hukum yang memandu substansi hukum pidana di masyarakat[12].
Pancasila sebagai cita hukum (rechtsidee) menjadi penting khususnya dalam pengesahan RKUHP yang merupakan manifestasi dari pembaruan hukum pidana[13]. Sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana, maka pengesahan RKUHP menempati aspek penting khususnya yang berkaitan dengan pembaruan hukum pidana dalam aspek substansi hukum. Pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RKUHP sejatinya merupakan salah satu upaya dari upaya pembaruan hukum pidana. Hal ini berarti, selain pada upaya untuk mengesahkan RKUHP, pembaruan hukum pidana harus mengedepankan beberapa aspek lainnya. Pembaruan hukum pidana dengan mengacu pada konsepsi sistem hukum Lawrence M. Friedman, sejatinya memerlukan tiga aspek yaitu aspek substansi, struktur, serta kultur hukum yang dapat mengoptimalkan pembaruan hukum pidana[14].
Mengacu pada konsep sistem hukum Lawrence M. Friedman tersebut, pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RKUHP sejatinya hanya secara sempit berkaitan dengan aspek substansi hukum saja. Aspek struktur dan kultur hukum memerlukan upaya serta kebijakan hukum lanjutan yang tidak hanya sekadar pengesahan RKUHP[15]. Salah satu orientasi pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RKUHP adalah dengan merumuskan ketentuan hukum yang hidup di masyarakat. Hukum yang hidup di masyarakat, yang dalam beberapa istilah disebut living law sejatinya memiliki dua makna, yaitu makna luas dan makna yang sempit[16]. Makna yang luas dari hukum yang hidup di masyarakat yaitu berkaitan dengan setiap ketetuan aturan hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang berlaku di masyarakat (ius constitutum)[17]. Ketentuan aturan hukum ini tidak hanya yang dibuat oleh negara, tetapi termasuk juga yang dibuat oleh non-negara seperti masyarakat. Selain itu, hukum yang hidup secara luas juga meliputi hukum kebiasaan yang dianggap mengikat diakrenakan dilakukan secara terus-menerus serta dianggap penting untuk selalu diterapkan oleh komunitas masyarakat tertentu[18]. Dengan demikian, maka hukum yang hidup di masyarakat secara luas meliputi seluruh ketentuan hukum yang berlaku di masyarakat termasuk juga hukum kebiasaan.
Secara sempit, hukum yang hidup di masyarakat biasanya dipahami sebagai hukum yang berlaku di komunitas tertentu dan bersifat tidak tertulis (unwritten law)[19]. Hukum yang hidup secara sempit ini lazimnya disebut dengan hukum adat atau istilah lain yang sejenis. Mengacu pada konsepsi mengenai hukum yang hidup dalam arti luas dan sempit di atas, maka perlu ditilik dan dilihat bagaimana RKUHP yang sudah disahkan mengatur ketentuan mengenai hukum yang hidup di masyarakat. Mengacu pada Pasal 2 ayat (1) RKUHP beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa RKUHP hanya menegaskan bahwa hukum yang hidup di masyarakat adalah hukum adat. Hal ini sejatinya ditegaskan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) RKUHP yang menegaskan bahwa hukum yang hidup di masyarakat diidentifikasi sebagai hukum adat. Jika mengacu pada konsepsi hukum yang hidup di masyarakat dalam arti luas dan sempit, maka dapat dilihat bahwa RKUHP mengartikan hukum yang hidup di masyarakat secara sempit[20].
Pemahaman bahwa RKUHP mengartikan hukum yang hidup di masyarakat secara sempit menurut hemat penulis sejatinya dapat dipahami dalam dua aspek, yaitu: pertama, mengacu pada berbagai fakta dan fenomena hukum di masyarakat, maka lemahnya peran hukum adat dalam sistem hukum di Indonesia menjadi salah satu alasan untuk memberikan jaminan dan eksistensi terhadap keberlakuan hukum adat di masyarakat[21]. Terlebih lagi, hukum adat dapat dikatakan sebagai hukum “khas” Indonesia yang telah tumbuh dan berkembang dari komunitas lokal masyarakat. Pentingnya peran hukum adat ini sejatinya sejalan dengan gagasan pembaruan hukum pidana yang mencoba memfasilitasi hukum adat dalam kerangka hukum pidana nasional[22]. Dalam konteks ini, maka momentum untuk memberdayakan sekaligus menjaga eksistensi hukum adat menjadi hal penting sebagai fokus utama dalam penegesahan RKUHP. Hal ini khususnya berkaitan dengan penegesahan RKUHP sebagai upaya untuk membentuk hukum pidana yang bercita hukum Pancasila melalui penguatan eksistensi hukum adat.
Kedua, upaya untuk memberikan definisi sempit hukum yang hidup di masyarakat dalam RKUHP yang menegaskan bahwa hukum yang hidup adalah hukum adat sejatinya merupakan upaya untuk menjaga eksistensi asas legalitas dalam hukum pidana. Dalam hukum pidana, asas legalitas menempati posisi penting bahkan dapat dianggap sebagai “jantungnya” hukum pidana[23]. Asas legalitas secara umum mengindikasikan supaya peraturan hukum pidana itu tertulis, ditafsirkan secara terbatas, secara bersifat ketat untuk menjamin kepastian dan perlindungan hukum bagi masyarakat terkait dengan potensi pemidanaan[24]. Meski asas legalitas tetap harus dijaga eksistensinya dalam RKUHP, namun asas legalitas dalam RKUHP dikonstruksi tidak hanya sekadar asas legalitas formil yang menekankan sifat tertulis, terbatas, dan ketat sebagaimana KUHP. Asas legalitas dalam RKUHP dikonstruksikan bersifat materil sehingga juga mengadopsi nilai hukum yang hidup, tumbuh, sekaligus berkembang di masyarakat[25].
Mengacu kedua argumentasi di atas, dapat dilihat bahwa perumusan Pasal 2 RKUHP yang menyempitkan makna hukum yang hidup sebatas hukum adat adalah berkaitan dengan eksistensi hukum adat yang masih dijalankan oleh komunitas Masyarakat Hukum Adat di masyarakat Indonesia. Dalam hal ini, seandainya konstruksi Pasal 2 RKUHP mengedepankan arti yang luas terhadap hukum yang hidup di masyarakat, maka dapat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum serta berimplikasi pada eksistensi asas legalitas materil di masyarakat. Hal ini karena, secara luas hukum yang hidup berkaitan dengan semua jenis hukum baik yang tidak tertulis maupun yang tidak tertulis di masyarakat[26]. Dengan demikian, maka rumusan Pasal 2 RKUHP yang menyempitkan makna hukum yang hidup sebatas hukum adat adalah upaya untuk menjaga eksistensi hukum adat yang masih dijaga kelestariannya oleh Masyarakat Hukum Adat serta untuk menjaga asas legalitas khususnya legalitas materil sebagai jantungnya hukum pidana.
Perumusan Pasal 2 RKUHP yang menegaskan hukum yang hidup adalah hukum adat juga dirumuskan secara bersamaan dengan peran daerah dalam menetapkan Peraturan Daerah dengan berbasiskan pada substansi hukum adat setempat. Hal ini sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 RKUHP yang secara substansi menekankan bahwa ketentuan mengenai hukum adat sebagai hukum yang berlaku ditetapkan oleh hukum adat yang secara substantif duatur melalui Peraturan Daerah di masing-masing daerah[27]. Mengenai ketentuan dalam Pasal 2 RKUHP beserta penjelasannya, sejatinya penulis memiliki tiga catatan, yaitu: pertama, rumusan penjelasan Pasal 2 RKUHP yang menjelaskan mengenai pentingnya perumusan Peraturan Daerah dalam upaya memfasilitasi hukum adat sebagai hukum yang hidup sejatinya tidak tepat untuk dirumuskan dalam penjelasan Pasal 2 RKUHP. Dalam perumusan peraturan perundang-undangan, penjelasan sejatinya hanya bersifat “menjelaskan” ketentuan yang belum jelas dalam rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan[28]. Hal ini berarti, penjelasan tidak boleh berisi pengaturan baru atau ketentuan yang seyogyanya diatur dalam ketentuan pasal dalam peraturan perundang-undangan[29]. Jika mengacu pada penjelasan Pasal 2 RKUHP, ketentuan mengenai pengaturan lebih lanjut melalui Peraturan Daerah merupakan pengaturan baru yang seyogyanya diatur dalam rumusan pasal dalam RKUHP.
Kedua, penegasan pengaturan melalui Peraturan Daerah terkait dengan hukum adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat juga sejatinya menimbulkan kekaburan hukum. Hal ini dapat dilihat di penjelasan pengaturan Pasal 2 RKUHP yang tidak secara tegas dan spesifik menjelaskan Peraturan Daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur ketentuan tersebut. Hal ini berpotensi bahwa terdapat disharmonisasi pengaturan sebagai tindak lanjut pengaturan Pasal 2 RKUHP yang mana dapat saja terdapat Peraturan Daerah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang mengatur substansi yang sama terkait hukum adat di komunitas masyarakat tertentu. Ketiga, rumusan Pasal 2 RKUHP mengenai hukum adat berpotensi mereduksi esensi hukum adat yang sejatinya hukum adat berkarakter cepat berubah dan cepat menyesuaikan perkembangan. Dengan memositifkan hukum adat sebagaimana dalam Pasal 2 RKUHP yang nantinya akan ditindaklanjuti dalam Peraturan Daerah, maka sejatinya telah mereduksi hakikat hukum adat yang bersifat tidak tertulis menjadi bersifat tertulis.
Berdasarkan uraian di atas, konstruksi hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP yaitu menegaskan hukum yang hidup adalah hukum adat juga dirumuskan secara bersamaan dengan peran daerah dalam menetapkan Peraturan Daerah dengan berbasiskan pada substansi hukum adat setempat. Upaya untuk melimitasi hukum yang hidup adalah hukum adat dimaksudkan untuk menjaga eksistensi asas legalitas materil. Selain itu, konstruksi Peraturan Daerah untuk mengakomodasi Pasal 2 RKUHP untuk mengatur substansi hukum adat sejatinya menimbulkan permasalahan kekaburan hukum yaitu Peraturan Daerah di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota yang berwenang mengaturnya supaya tidak terjadi adanya disharmonisasi pengaturan hukum adat dalam rumusan Peraturan Daerah sebagai tindak lanjut Pasal 2 RKUHP.
Pengaturan hukum yang hidup di masyarakat atau lazim disebut sebagai living law dalam RKUHP sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana dapat dipandang sebagai upaya progresif negara dalam memberikan jaminan pengaturan dan eksistensi terhadap Masyarakat Hukum Adat melalui hukum adat yang masih hidup dan berlaku di masyarakat[30]. Sebagai langkah progresif, maka upaya menjaga eksistensi hukum adat dalam rumusan RKUHP dapat dianggap sebagai upaya positif mengingat politik hukum mengenai pengesahan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat masih menemui jalan yang berliku dan belum terdapat tanda-tanda akan disahkannya Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat[31]. Dengan demikian, ketentuan dalam Pasal 2 RKUHP yang memberikan substansi pengaturan mengenai hukum adat sejatinya merupakan upaya negara untuk mengakui dan memberdayakan Masyarakat Hukum Adat.
Upaya untuk memberdayakan Masyarakat Hukum Adat serta nilai keadilan di masyarakat sejatinya merupakan amanat konstitusi sebagaimana dalam Pasal 18B ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 yang mana upaya untuk menjamin kepastian hukum sejatinya juga berorientasi untuk menggali sekaligus menerapkan nilai hukum adat yang hidup di masyarakat[32]. Selain itu, upaya untuk menggali nilai hukum adat sejatinya relevan dengan upaya untuk meneguhkan negara hukum Indonesia yang bercita hukum Pancasila. Negara hukum Indonesia khususnya pasca reformasi berorientasi untuk menegaskan kedudukan substantif dalam negara hukum. Negara hukum Indonesia tidak boleh terjebak pada dikotomi antara rechstaat dan rule of law. Negara hukum Indonesia diorientasikan untuk menggali nilai-nilai Pancasila sehingga negara hukum Indonesia adalah negara hukum yang bersifat mixed system atau sistem campuran antara rechstaat, rule of law, serta hukum adat dengan orientasinya berupa penggalian dan penerapan atas nilai-nilai Pancasila[33].
Upaya menggali eksistensi negara hukum Indonesia ini salah satunya adalah penguatan terkait dengan substansi hukum adat. Dalam Pasal 2 RKUHP, penegasan substansi hukum adat yang dirumuskan dalam Peraturan Daerah sejatinya merupakan langkah konkret untuk menegaskan eksistensi norma hukum adat[34]. Meski begitu, menurut hemat penulis, terdapat tiga kendala yang berpotensi menghalangi cita-cita mulia dalam menerapkan Pasal 2 RKUHP. Ketiga kendala tersebut, meliputi: pertama, perumusan substansi hukum adat sebagaimana dalam Pasal 2 RKUHP juga berpotensi menimbulkan permasalahan baru dalam penegakan hukum[35]. Dengan pengaturan melalui Peraturan Daerah masing-masing, Pasal 2 RKUHP seolah-olah menempatkan perlunya kolaborasi antarpenegak hukum baik di lingkup nasional, daerah, hingga penegak hukum lokal yang merupakan bagian dari institusi adat. Hal ini bahkan berpotensi menimbulkan kebingungan hingga ketidakjelasan penegakan hukum yang berpotensi saling tumpang tindih[36]. Hal ini berarti, alih-alih berorientasi pada upaya untuk menegakkan norma hukum adat, ketentuan dalam Pasal 2 RKUHP berpotensi menimbulkan permasalahan baru.
Kedua, kendala selanjutnya adalah terkait dengan karakter dari hukum adat yang sejatinya bersifat tidak tertulis. Sifat hukum adat yang tidak tertulis ini diamini oleh Dominikus Rato yang menegaskan bahwa upaya untuk menuliskan secara konkret hukum adat yang tidak tertulis alih-alih merupakan pembaruan hukum tetapi justru merupakan langkah pendangkalan hukum[37]. Dalam praktiknya, sifat tidak tertulis dari hukum adat ini sejatinya merupakan upaya hukum adat untuk memberi ruang terkait perkembangan zaman dan perkembangan kejahatan. Dalam hal ini, peran tetua adat menjadi penting untuk memberikan kontekstualisasi terhadap ketentuan hukum adat yang tidak tertulis. Dengan rumusan sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 RKUHP, maka upaya menuliskan hukum adat yang tidak tertulis dalam Peraturan Daerah sejatinya berpotensi untuk mereduksi hakikat hukum adat yang tidak tertulis.
Ketiga, kendala terkait perumusan norma hukum adat dapat terjadi ketika terjadi disharmoni antara substansi antara norma hukum pidana nasional dengan hukum pidana adat[38]. Jika dikemudian hari ditemui adanya norma hukum pidana nasional yang bertentangan dengan hukum pidana adat maka bagaimana penyelesaiannya? serta asas hukum apa yang hendak digunakan menyikapi permasalahan tersebut[39]. Mengacu pada pandangan tersebut, sekalipun ketentuan dalam Pasal 2 RKUHP yang memiliki niat dan orientasi yang progresif dalam mengatur hukum adat sebagai hukum yang hidup, namun di satu sisi hal tersebut juga memiliki ekses negatif berupa dimungkinkannya benturan antara substansi norma hukum pidana nasional dengan hukum pidana adat termasuk dalam ranah penegakan hukum pidana.
Mengacu pada ketiga kendala di atas, hal tersebut sejatinya berimplikasi pada tiga aspek yang seharusnya menjadi perhatian pasca disahkannya RKUHP sebagai Undang-Undang. Tiga aspek implikasi terkait pengaturan hukum yang hidup di masyarakat dalam ketentuan Pasal 2 RKUHP meliputi: pertama, ketidakjelasan Pasal 2 RKUHP termasuk diperlukannya pengaturan di tingkat daerah melalui Peraturan Daerah berpotensi menimbulkan pengaturan yang bersifat kriminalisasi berbasis Peraturan Daerah dengan alasan merupakan hukum adat yang hidup di masyarakat[40]. Kriminalisasi tersebut dimungkinkan dapat terjadi karena pada penyusunannya Peraturan Daerah disusun oleh DPRD beserta pemerintah daerah setempat. Hal ini berarti perlu adanya pengaturan khusus mengenai karakteristik pengaturan Peraturan Daerah biasa yang merupakan produk hukum sekaligus produk politik antara DPRD beserta pemerintah daerah setempat dengan Peraturan Daerah sebagai tindak lanjut Pasal 2 RKUHP yang berorientasi pada pengaturan hukum adat. Kriminalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihindari dalam pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RKUHP[41]. Hal ini dikarenakan kriminalisasi merupakan salah satu sifat dan karakter negara otoriter[42]. Padahal, salah satu cita hukum dari pengesahan RKUHP sebagai bagian dari pembaruan hukum pidana adalah untuk mencegah kriminalisasi sekaligus menegaskan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Kedua, implikasi rumusan pengaturan hukum yang hidup dalam Pasal 2 RKUHP juga menuntut adanya sosialisasi serta pelatihan hukum yang bersifat holistik dan komprehensif di lintas sektor, baik aparat penegak hukum, pemerintah daerah, hingga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan[13]. Sosialisasi serta pelatihan hukum ini memerlukan penyampaian dan pendalaman substansi materi karena kegagalan dalam sosialisasi serta pelatihan hukum pasca disahkannya RKUHP merupakan bencana awal dari lahirnya ketidakadilan[43]. Oleh karena itu, sosialisasi serta pelatihan hukum perlu mendapatkan perhatian tersendiri khususnya sebagai upaya untuk menjamin kepastian hukum di masyarakat.
Ketiga, implikasi pengaturan hukum yang hidup sebagaimana dalam Pasal 2 RKUHP juga memerlukan upaya inventarisasi terhadap pengaturan hukum adat, baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini, kajian, penelitian, termasuk kualifikasi terhadap hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat perlu dilakukan untuk memastikan norma hukum adat yang tepat dan relevan untuk dirumuskan dalam Peraturan Daerah. Hal ini penting dilakukan supaya norma hukum adat yang diatur adalah norma hukum adat yang benar-benar masih hidup dan diterapkan di masyarakat[44]. Hal ini untuk menjamin supaya ketentuan pengaturan hukum yang hidup dalam Pasal 2 RKUHP dapat diterapkan secara optimal di masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, implikasi hukum terkait pengaturan hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP yaitu ketidakjelasan Pasal 2 RKUHP termasuk diperlukannya pengaturan di tingkat daerah melalui Peraturan Daerah berpotensi menimbulkan pengaturan yang bersifat kriminalisasi berbasis Peraturan Daerah dengan alasan merupakan hukum adat yang hidup di masyarakat. Padahal, kriminalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihindari dalam pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RKUHP. Selanjutnya, implikasi rumusan pengaturan hukum yang hidup dalam Pasal 2 RKUHP juga menuntut adanya sosialisasi serta pelatihan hukum yang bersifat holistik dan komprehensif di lintas sektor, baik aparat penegak hukum, pemerintah daerah, hingga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan serta diperlukan upaya inventarisasi terhadap pengaturan hukum adat, baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini, kajian, penelitian, termasuk kualifikasi terhadap hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat perlu dilakukan untuk memastikan norma hukum adat yang tepat dan relevan untuk dirumuskan dalam Peraturan Daerah. Hal ini penting dilakukan supaya norma hukum adat yang diatur adalah norma hukum adat yang benar-benar masih hidup dan diterapkan di masyarakat.
Konstruksi hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP yaitu menegaskan hukum yang hidup adalah hukum adat juga dirumuskan secara bersamaan dengan peran daerah dalam menetapkan Peraturan Daerah dengan berbasiskan pada substansi hukum adat setempat. Upaya untuk melimitasi hukum yang hidup adalah hukum adat dimaksudkan untuk menjaga eksistensi asas legalitas materil. Selain itu, konstruksi Peraturan Daerah untuk mengakomodasi Pasal 2 RKUHP untuk mengatur substansi hukum adat sejatinya menimbulkan permasalahan kekaburan hukum yaitu Peraturan Daerah di tingkat Provinsi atau Kabupaten/Kota yang berwenang mengaturnya supaya tidak terjadi adanya disharmonisasi pengaturan hukum adat dalam rumusan Peraturan Daerah sebagai tindak lanjut Pasal 2 RKUHP.
Implikasi hukum terkait pengaturan hukum yang hidup di masyarakat (living law) dalam RKUHP yaitu ketidakjelasan Pasal 2 RKUHP termasuk diperlukannya pengaturan di tingkat daerah melalui Peraturan Daerah berpotensi menimbulkan pengaturan yang bersifat kriminalisasi berbasis Peraturan Daerah dengan alasan merupakan hukum adat yang hidup di masyarakat. Padahal, kriminalisasi merupakan salah satu hal yang harus dihindari dalam pembaruan hukum pidana melalui pengesahan RKUHP. Selanjutnya, implikasi rumusan pengaturan hukum yang hidup dalam Pasal 2 RKUHP juga menuntut adanya sosialisasi serta pelatihan hukum yang bersifat holistik dan komprehensif di lintas sektor, baik aparat penegak hukum, pemerintah daerah, hingga Masyarakat Hukum Adat yang bersangkutan serta diperlukan upaya inventarisasi terhadap pengaturan hukum adat, baik yang masih eksis maupun yang sudah tidak dijalankan oleh masyarakat. Dalam hal ini, kajian, penelitian, termasuk kualifikasi terhadap hukum adat yang berlaku di Masyarakat Hukum Adat perlu dilakukan untuk memastikan norma hukum adat yang tepat dan relevan untuk dirumuskan dalam Peraturan Daerah. Hal ini penting dilakukan supaya norma hukum adat yang diatur adalah norma hukum adat yang benar-benar masih hidup dan diterapkan di masyarakat.