Abortion can actually be carried out with various special provisions based on Law no. 36 of 2009 concerning Health (Health Law) and Government Regulation no. 61 of 2014 concerning Reproductive Health (PP Kespro). This study aims to find out the legal review regarding abortion in relation to the principle of protection for rape victims, as well as to study and formulate an appropriate and appropriate timeframe for carrying out an abortion based on the principle of protection for rape victims. This research is normative legal research by prioritizing conceptual and statutory approaches. The results of the study confirm that the legal ratio for setting the fetal age limit related to abortion for rape victims does not actually explain the reasons or the urgency why the 6 weeks and 40 (forty) days are calculated from the first day of the last menstrual period formulated by the formulators of laws and regulations and only refers to The principle of protecting victims is currently the main orientation of Indonesian criminal law. In the future, the regulation on the principle of protection for victims related to the fetal age limit related to abortion for victims of rape, namely: it is necessary to emphasize the principle of protection for victims in the Health Law. The recommendation of this research is the need for a revision of the Health Law and PP on Produce as based on WHO provisions and with relevant medical considerations.
Hak hidup sejatinya ialah salah satu komponen dari hak asasi manusia sebagaimana yang telah menjadi perlu untuk dihormati, dilaksanakan, sekaligus dijamin oleh otoritas setempat [1]. Selain merupakan hak asasi manusia, hak hidup juga merupakan hak konstitusional sebagaimana dipertegas dalam Pasal 28A UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa hak hidup termasuk juga mempertahankan hidup dan kehidupannya merupakan salah satu hal yang fundamental dalam konstitusi sehingga negara wajib menjamin, melindungi, sekaligus menegakkan hak konstitusional tersebut. Pentingnya hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional maka hak hidup selain wajib dijamin juga harus dilindungi oleh negara dan masyarakat[3].
Meski begitu, eksistensi hak hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia sekaligus hak konstitusional menemui problematika jika dikaitkan dengan adanya upaya aborsi. Aborsi secara umum dipahami sebagai upaya untuk menggugurkan janin yang terdapat di dalam kandungan dengan orientasinya untuk mengakhiri atau mencegah lahirnya bayi yang terdapat dalam kandungan[4]. Jika dikaitkan dengan substansi hak hidup, maka janin yang terdapat dalam kandungan sejatinya juga memiliki hak hidup yang wajib dipenuhi dan dijaga eksistensinya. Meski begitu, berbagai regulasi di Indonesia sejatinya memperkenankan praktik aborsi selama dilaksanakan sesuai prosedur tertentu serta didasarkan pada alasan medis.
Peraturan perundang-undangan yang mengatur megenai aborsi salah satunya terdapat dalam Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (yang selanjutnya disebut UU Kesehatan) yang sejatinya melarang praktik aborsi namun terdapat pengecualian terhadap larangan tersebut khususnya berkaitan dengan adanya alasan medis, kehamilan dini atau usia anak, serta kehamilan yang disebabkan oleh perkosaan. Lebih lanjut, Pasal 76 UU Kesehatan menetapkan batasan waktu yang diperbolehkan untuk melakukan aborsi yaitu maksimal umur kehamilan 6 (enam) minggu yang terhitung hari pertama dari haid terakhir seorang wanita, namun hal ini dikecualikan jika teradapat keadaan medis yang darurat. Lebih lanjut, peraturan pelaksana UU Kesehatan mengenai aborsi diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi (selanjutnya disebut PP Kespro) yang menegaskan bahwa aborsi dapat dilakukan dengan alasan kehamilan akibat perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis dengan batas waktu 40 (empat puluh) hari dihitung sejak pertama haid terakhir.
Jika mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan aborsi di atas, sejatinya aborsi adalah tindakan yang terlarang karena berupaya mereduksi hak hidup manusia (dalam hal ini janin di dalam kandungan). Akan tetapi, terdapat alasan tertentu yang memperbolehkan dilakukannya aborsi dengan penekanannya pada prinsip perlindungan bagi korban yang salah satu alasan diperkenankannya aborsi adalah karena alasan medis serta alasan kehamilan yang dilakukan karena perkosaan[5]. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan hukum terkait aborsi dikaitkan dengan prinsip perlindungan bagi korban perkosaan, serta untuk mengkaji sekaligus memformulasikan jangka waktu yang tepat dan sesuai untuk melakukan aborsi berdasarkan prinsip perlindungan bagi korban perkosaan.
-Penelitian mengenai aspek hukum aborsi sejatinya telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya seperti: penelitian yang dilakukan oleh Ika Yuliana Susilawati (2020) tentang Kajian Yuridis Aborsi Akibat Tindak Pidana Pemerkosaan dalam Perspektif Hukum Positif dan Hukum Pidana Islam yang berfokus pada kajian hukum pidana terkait aborsi yang dilakukan karena adanya pemerkosaan[6]. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rahmi Ayunda dan Revlina Salsabila Roselvia (2021) tentang Kajian Perbandingan tentang Ketetapan Hukum Aborsi di Indonesia dan Chili yang berfokus pada kajian perbandingan hukum pengaturan aborsi di Indonesia dan Chili[7]. Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Dina Mariana Situmeang, Herlina Panggabean, dan Rini T Simangunsong (2022) tentang Legalisasi Aborsi Terhadap Korban Perkosaan Berdasarkan Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 yang berfokus pada kajian mengenai dilegalkannya aborsi dalam kaitannya dengan korban perkosaan[8].
Dari ketiga penelitian terdahulu tersebut, sejatinya belum terdapat kajian khusus mengenai jangka waktu yang tepat dan sesuai untuk melakukan aborsi berdasarkan prinsip perlindungan bagi korban perkosaan. Dengan demikian, penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian yang orisinal. Penelitian ini berupaya menjawab dua rumusan masalah, yaitu: (i) Bagaimana ratio legis pengaturan batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan? serta (ii) Bagaimana pengaturan ke depan prinsip perlindungan bagi korban terkait batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan?.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan fokus pada pengkajian atas batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan terkait[9]. Bahan hukum primer dalam penelitian ini yaitu KUHP, UU Kesehatan dan PP Kespro. Bahan hukum sekunder meliputi hasil kajian dan penelitian mengenai tinjauan hukum terkait aborsi. Bahan non-hukum menggunakan kamus hukum maupun kamus bahasa untuk mempertegas pemahaman terkait suatu istilah yang berkaitan dengan aborsi. Upaya mengoptimalkan penelitian ini dikonstruksikan dengan menggunakan pendekatan konsep dan perundang-undangan.
Secara leksikal, aborsi berasal dari Bahasa Latin yaitu abortus yang kurang lebih berarti gugurnya kandungan atau dapat disebut juga keguguran[10]. Lebih lanjut, aborsi secara terminologi didefinisikan sebagai pengeluaran secara paksa janin dalam kandungan sebelum mampu hidup diluar kandungan yang terkualifikasi sebagai bentuk pembunuhan karena janin tidak diberi kesempatan untuk tumbuh dan hidup di dalam kandungan. Berkaitan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang membahas mengenai aborsi, sejatinya tidak terdapat uraian perbedaan pengertian mengenai pengguran kandungan atau membunuh kandungan, termasuk pula tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai definisi dari kandungan[5]. Hal ini berimplikasi pada potensi adanya tindak pembunuhan jika dikaitkan dengan praktik aborsi yang tidak diperkenankan oleh hukum.
Praktik aborsi di masyarakat sejatinya merupakan dampak dari adanya kondisi tertentu salah satunya adalah berkaitan dengan kehamilan yang tidak diharapkan[11]. Kehamilan yang tidak diharapkan terjadi salah satunya karena hubungan suka sama suka di luar perkawinan maupun adanya tindakan pemerkosaan. Berkaitan dengan kehamilan yang tidak diinginkan pada tahun 2020, jumlah kehamilan yang tidak diinginkan di Indonesia diperkirakan kurang lebih 17,5% sebagaimana berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)[4]. Diketahui pula bahwa 19,6% remaja (usia 14-19) mengalami kehamilan yang tidak diinginkan dan sekitar 20% aborsi di Indonesia dilakukan oleh remaja [12]. Komnas perempuan juga mencatat kasus inses sebanyak 822 kasus yang sejatinya berimplikasi pada masifnya jumlah kehamilan yag tidak diinginkan[13].
Tindak pidana perkosaan adalah suatu perbuatan yang dinilai melanggar norma atau hukum yang berlaku, karena hal tersebut dilakukan dengan cara yang memaksaseseorang (perempuan) untuk bersetubuh diluar perkawinan. Upaya penanggulangan berbagai permasalahan kejahatan termasuk kejahatan seksual, hukum memiliki tujuan untuk menciptakan perlindungan dan kepastian kepada masyarakat khususnya korban tindak pidana perkosaan. Tindak pidana perkosaan cukup menjadi perhatian di kalangan masyarakat karena perempuan dimasukkan kedalam kelompok yang lemah dalam keadaan yang penuh dengan resiko dan rentan terhadap bahaya. Kerentanan ini membuat perempuan sebagai korban kekerasan mengalami fear of crime yang lebih tinggi dari laki-laki[14].
Dampak dari tindakan pemerkosaan adalah adanya luka fisik hingga derita psikis yang dialami oleh korban apalagi ditambah adanya kehamilan dari hasil pemerkosaan merupakan suatu kondisi yang berat yang dialami oleh korban[15]. Kehamilan yang tidak dikehendaki akibat perkosaan jelas melanggar hak-hak reproduksi, serta kehilangan kesehatan reproduksi secara fisik, mental dan social. Fenomena yang menjadi perhatian saat ini yaitu aborsi yang dilakukan oleh korban pemerkosaan. Pada umumnya banyak orang yang melakukan aborsi karena tidak tahan dengan rasa malu, takut, dan beban yang dirasakan. Hal ini membuat seolah-olah aborsi adalah “jalan pintas” dalam menyelesaikan permasalahan. Sebelum ketentuan aborsi diatur dalam UU Kesehatan, KUHP sejatinya sudah menegaskan larangan mengenai aborsi dalam Pasal 299 serta Pasal 346- 389 KUHP. Ketentuan aborsi dalam KUHP ini secara jelas dan tegas dilarang tanpa adanya pengecualian dalam situasi maupun kondisi tertentu.
Hal ini berarti bahwa KUHP mengkualifikasikan aborsi sebagai species dari pembunuhan sehingga dianggap sebagai bagian dari kejahatan[16]. Hadirnya UU Kesehatan yang sejatinya memperbolehkan aborsi dengan alasan tertentu yang dibenarkan oleh hukum sejatinya merupakan ketentuan yang bersifat lex specialis derogate legi generalis. Asas lex specialis dalam ilmu hukum dimaksudkan untuk menegaskan substansi pengaturan yang lebih khusus atau spesifik yang memiliki substansi pengaturan yang berbeda[17][18]. Dalam hal ini, mengacu pada ketentuan dalam KUHP dan UU Kesehatan, aborsi sejatinya tetaplah merupakan hal yang tidak diperkenankan akan tetapi UU Kesehatan memberikan pengecualian terkait pembolehan aborsi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pasal 75 ayat (1) UU Kesehatan sejatinya melarang dilakukannya aborsi tetapi terdapat pengecualian, yang mencakup keadaan kedaruratan medis yang dideteksi sejak kehamilan dini, serta kehamilan akibat perkosaan[19].
Lebih lanjut, Pasal 76 UU Kesehatan menetapkan batasan waktu yang diperbolehkan untuk melakukan aborsi yaitu maksimal umur kehamilan 6 (enam) minggu yang terhitung hari pertama dari haid terakhir seorang wanita. Namun hal ini dikecualikan jika teradapat keadaan medis yang darurat. Selama ini banyak pandangan yang menafsirkan bahwa aborsi terhadap korban perkosaan disamakan dengan indikasi medis, sehingga dapat dilakukan karena gangguan psikis terhadap ibu juga dapat mengancam nyawa sang ibu. Pengaturan lebih lanjut terkait dengan aborsi secara lebih lanjut dipertegas dalam PP Kespro. PP Kespro memberikan penjelasan yang lebih rinci dari penerapan UU Kesehatan yaitu legalnya melakukan aborsi akibat perkosaan yang mengakibatkan trauma psikologis dengan batas waktu 40 (empat puluh) hari dihitung sejak pertama haid terakhir. Korban perkosaaan biasanya akan menderita sebagai efek dari rasa takut yang dialami[8].
Adanya ketentuan pembatasan yang sangat singkat ini tentu akan membuat korban pemerkosaan belum sempat mendeteksi atau mengetahui bahwa dia hamil dan tentu saja belum sempat melakukan aborsi yang merupakan jalan keluar terbaik. -Kehamilan akibat perkosaan kerapkali dipastikan memiliki trauma psikologis bagi korban. UU Kesehatan seolah-olah memberikan keluasan untuk tindakan aborsi, namun faktanya tidak demikian adanya jika dilihat dari batasan waktu yang ditentukan terutama korban perkosaan. Melindungi masa depan korban merupakan salah satu tujuan dan legalisasi aborsi akibat perkosaan, walaupun aturan yang ada memicu kontroversi karena dianggap semakin memudahkan jalan bagi yang ingin melakukan aborsi. Mengacu pada Pasal 34 PP Kespro bahwa mengenai syarat aborsi akibat perkosaan dapat dibuktikan dengan usia kehamilan yang dinyatakan oleh dokter, keterangan penyidik sebagai bukti telah dilakukan perkosaan, dan keterangan psikolog atau ahli lain mengenai adanya dugaan perkosaan.
Untuk membuktikan adanya kekerasan dan persetubuhan yang menjadi unsur perkosaan, penyidik dapat meminta bantuan dokter ahli kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 133 ayat (1) PP Kespro yang menyebutkan bahwa dalam hal penyidikan untuk kepentingan peradilan mengenai seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran atau yang lainnya. Oleh karena itu perlu dikaitkan berdasarkan aspek medicolegal untuk membuktikan adanya kekerasan dan persetubuhan dokter ahli kedokteran kehakiman akan melakukan pemeriksaan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) dan pemeriksaan pada korban perkosaan secara fisik agar mendapatkan data seobyektif mungkin[20].
Dari hasil pemeriksaan tersebut akan dibuktikan apakah benar-benar telah terjadi perkosaan sehingga mengakibatkan kehamilan dan menjadikan kehamilan akibat perkosaan tersebut sebagai alasan untuk melakukan aborsi sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (1) PP Kespro. Lebih lanjut, terkait aborsi yang diakibatkan oleh tindak pidana pemerkosaan, Pasal 31 ayat (2) PP Kespro menyebutkan bahwa tindak aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir. Jika mengacu pada ratio legis dalam perumusan UU Kesehatan, khususnya terkait dengan tema aborsi sejatinya menimbulkan berbagai perdebatan yang ada di dalamnya. Hal ini dikarenakan pembahasan mengenai aborsi tidak hanya menarik dan relevan dikaji dari aspek medis, tetapi juga menarik dikaji dari aspek budaya, etika, hingga agama.
Ghani Rahman (2014) sejatinya mempertegas bahwa secara umum, terdapat perbedaan pandangan mengenai setuju atau tidak berkaitan dengan aborsi[21]. Kelompok yang setuju menilai bahwa ketentuan aborsi dalam UU Kesehatan dan PP Kespro sejatinya tidak bertentangan dengan hak asasi manusia bahkan memiliki orientasi untuk meneguhkan prinsip perlindungan pada korban kasus pemerkosaan[22]. Prinsip perlindungan pada korban sejatinya merupakan bagian dari perkembangan konsepsi dalam hukum pidana yang orientasinya adalah memberikan jaminan perlindungan serta penyembuhan bagi korban tindak pidana. Prinsip perlindungan pada korban dalam perkembangan gagasan hukum pidana juga menjadi prinsip utama penerapan restorative justice yang saat ini menjadi orientasi utama hukum pidana Indonesia, yang salah satunya juga mendapatkan legitimasi dari disahkannya RKUHP[23][24].
Mengacu pada pandangan tersebut, maka kelompok yang setuju terkait dengan aborsi lebih menitikberatkan pada penegasan prinsip perlindungan pada korban serta tidak adanya upaya pelanggaran hak asasi manusia karena didasarkan pada prosedur dan ketentuan tertentu yang juga melibatkan pertimbangan medis. Meski begitu, pihak yang tidak setuju juga beralasan bahwa aborsi dapat dilakukan hanya berdasarkan pertimbangan medis, yang artinya kaitannya dengan korban perkosaan sejatinya bukanlah aspek medis sehingga aborsi karena alasan korban perkosaan sejatinya harus ditolak. Pandangan ini salah satunya dikemukakan oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) serta Wakil Sekjen III Ikatan Dokter Indonesia Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yaitu Zaenal Abidin dan Prasetyo Widhi yang menegaskan bahwa tindakan aborsi untuk indikasi selain alasan medis jelas bertentangan dengan Sumpah Dokter dan Kode etik Kedokteran, terlebih lagi bahwa aborsi bukanlah solusi ideal bagi korban pemerkosaan[22]. Dari uraian pandangan pro maupun kontra terkait ketentuan aborsi dalam UU Kesehatan maupun PP Kespro, penyusun Undang-Undang kemudian tetap mencari jalan tengah yaitu tetap menyetujui tuntutan kelompok yang pro terhadap aborsi namun tetap mengetengahkan pertimbangan medis dalam menjalankan aborsi.
Terkait dengan waktu 6 minggu serta 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir sebagaimana dalam PP Kespro tidak ditemukan alasan mengapa dirumuskan ketentuan waktu tersebut baik dalam naskah akademik maupun risalah rapat pengambilan keputusan terkait pembahasan RUU Kesehatan. Dapat diasumsikan, ketentuan tersebut hanya didasarkan pada klaim umum tentang lazimnya pelaksanaan aborsi bagi korban pemerkosaan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ratio legis pengaturan batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan sejatinya tidak dijelaskan alasan maupun urgensi mengapa waktu 6 minggu serta 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir dirumuskan oleh perumus peraturan peraturan perundang-undangan. Secara umum, mengacu pada gagasan aborsi dari kelompok yang setuju maupun yang menolak dapat dilihat bahwa penyusun peraturan perundang-undangan berkaitan dengan aborsi menekankan pada prinsip perlindungan pada korban yang saat ini menjadi orientasi utama hukum pidana Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa tidak terdapat pelanggaran hak asasi manusia karena didasarkan pada prosedur dan ketentuan tertentu yang juga melibatkan pertimbangan medis.
Prinsip perlindungan bagi korban sejatinya berkaitan dengan upaya untuk memulihkan keadaan korban dari suatu tindak pidana. Dalam perkembangannya, prinsip perlindungan bagi korban diidentikkan dengan pandangan restoratif dari hukum pidana yang tidak hanya sekadar memberikan pemidanaan bagi pelaku, tapi mengedepankan perspektif korban sebagai akibat tindak pidana[25]. Dalam konteks ini, perhatian lebih pada korban menjadi salah satu fokus hukum pidana yang berupaya menegakkan keadilan restoratif[26]. Hal ini dapat dipahami karena korban perkosaan merupakan pihak yang dirugikan, menderita dan mendapat perlindungan. Hak hak korban perkosaan harus di tegakkan berdasarkan prinsip perlindungan hukum bagi korban perkosaan.
Secara medis, beberapa penderitaan yang dialami oleh korban pemerkosaan meliputi[27]:
Dari adanya penderitaan korban akibat pemerkosaan, sejatinya antara pemerkosaan dan aborsi memiliki keterkaitan kausalitas, Sebab tindakan aborsi bisa saja merupakan akibat dari tindak perkosaan. Mengacu pada fakta medis di atas, mengacu pada regulasi yang mengatur mengenai aborsi yakni dalam Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan ditegaskan bahwa aborsi dapat dilakukan pada usia kehamilan sebelum 6 minggu dengan parameter berupa hari pertama haid terakhir. Hal ini berarti secara maksimal Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan menegaskan bahwa aborsi dapat dilakukan diusia kehamilan 0-5 minggu dengan berdasarkan pada hari pertama haid terakhir. Meski begitu, ketentuan Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan juga menegaskan pengecuallian berupa adanya keadaan darurat medis. Konstruksi Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan menegaskan bahwa dalam kondisi keadaan darurat medis, aborsi dapat dilakukan di luar ketentuan yang artinya aborsi dapat dilakukan di luar usia kehamilan 0-5 minggu dengan berdasarkan pada hari pertama haid terakhir. Kriteria pengecualian sebagaimana dalam Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan dimaksudkan sebagai antisipasi futuristik atas atas adanya fenomena atau keadaan medis tertentu yang sifatnya anomaly. Anomali dalam hal ini dimaknai suatu keadaan medis yang berbeda dan sulit diprediksi layaknya keadaan pada umumnya. Dengan demikian, sekalipun Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan menegaskan bahwa aborsi dapat dilakukan pada usia kehamilan sebelum 6 minggu dengan parameter berupa hari pertama haid terakhir, namun dengan adanya keadaan darurat medis hal tersebut dapat dikecualikan.
Lebih lanjut, pada Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan justru memberikan pengecualian pada pelarangan aborsi karena tindak pemerkosaan. Bahkan, seandainya terdapat keadaan darurat medis sekalipun aborsi karena tindak pemerkosaan aborsi tetap tidak dapat diperkenankan. Dengan demikian, ketentuan Pasal 75 ayat (2) UU Kesehatan harus dibaca secara sistematis (sistematische interpretatie) yaitu dalam satu semangat dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 76 ayat (1) UU Kesehatan yang pada prinsipnya menegaskan bahwa aborsi dapat dilakukan di luar usia kehamilan 0-5 minggu dengan berdasarkan pada hari pertama haid terakhir yang dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut hanya berkaitan dengan keadaan darurat medis, kecuali keadaan darurat medis yang merupakan akibat dari tindak pemerkosaan. Hal ini menegaskan, keadaan darurat medis dapat mengecualikan usia kehamilan minimal dalam aborsi asalkan keadaan darurat medis tersebut tidak diakibatkan oleh tindak pemerkosaan.
Aborsi dan ketentuan lainnya selain ttercantum dalam UU Kesehatan juga mengacu pada PP Kespro. Hal ini berarti, membaca ketentuan mengenai aboris tidak cukup hanya membaca UU Kesehatan, tetapi juga wajib mengacu pada PP Kespro. Mengacu pada kedua atura tersebut, diperkenankannya aborsi karena pemerkosaan dengan batas maksimal usia kandungan yaitu 40 hari dengan parameter sejak hari pertama haid terakhir. Jika mengacu pada aspek kepastian hukum, batas maksimal waktu 40 hari dirasa singkat bahkan berpotensi tidak dappat diterapkan. Hal ini mengingat bahwa pemerkosaan sebagai tindak pidana, maka selain berfokus pada dimensi medis yaitu aborsi akibat pemerkosaan juga mengacu pada prosedur hukum dalam sistem peradilan pidana. Hal ini dapat dilihat dari lamanya waktu dari proses pra-penuntutan, penuntutan, hingga persidangan di pengadilan. Hal ini belum terkait dengan pencarian alat bukti yang terkadang terdapat kendala di lapangan. Dengan demikian, waktu 40 hari dirasa singkat untuk membuktikan suatu kehamilan diakibatkan oleh pemerkosaan atau tidak, dan jika seandainya terbukti pemerkosaan, aborsi pun kemungkinan dilakukan lebih dari batas waktu yang ditentukan (lebih dari 40 hari) dan seandainya dilakukan aborsi, maka aborsi yang dilakukan dapat dikatakan illegal karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU Kesehatan dan PP Kespro.
Keterbatasan waktu selama 40 hari sebagaimana ditegaskan dalam regulasi terkait dengan aborsi di atas, maka terdapat juga dampak bagi korban ketika waktu aborsi hanya dibatasi waktu maksimal 40 hari, diantaranya [29]:
Dengan demikian, secara umum, bilamana korban pemerkosaan melakukan aborsi, sejatinya diperbolehkan oleh instrumen hukum yang ada di Indonesia. Hanya saja, batas maksimum untuk melakukan aborsi tersebut hanya 40 hari, usia kehamilan yang cukup sulit diidentifikasi oleh para perempuan ataupun korban dari pemerkosaan tersebut. Namun, bila ditinjau dalam Pasal 78 KUHP atau perspektif daluwarsa dari pelaporan sebagaimana berkaitan dengan pemidanaan pemerkosaan, seorang korban pemerkosaan tidak dapat menuntut pidana terhadap pelaku pemerkosaan bila kasus tersebut telah lebih dari 12 tahun. Sehingga, bila korban melaporkan pelaku pemerkosaan 12 tahun setelah pemerkosaan terjadi maka hal tersebut masih dapat dilakukan adanya penuntutan pidana.
Meskipun demikian, berdasarkan UU Kesehatan, aborsi akan dapat dilakukan bila masih berada dalam usia kehamilan 0 sampai 6 minggu sebagaimana akan dihitung dari hari pertama hari terakhir. Bila aborsi tidak dilaksanakan sebelum usia kandungan 6 minggu, maka korban pemerkosaan tersebut wajib melanjutkan kehamilannya. Tidak ada alasan mengapa batas waktu 6 minggu atau 40 hari dari awal haid pertama sebagai batas waktu yang tepat untuk dilakukan aborsi oleh korban perkosaan. Batasan tersebut terlalu singkat karena korban belum tentu mengetahui bahwa ia hamil. Dalam upaya mengatur penyelenggaraan layanan pun tidak dimungkinkan dengan waktu yang hanya 40 hari, mekanisme rujukan dan syarat-syarat yang harus dilalui jelas membutuhkan waktu lebih dari 40 hari [30].
Terkait dengan idealnya pengaturan batas usia janin terkait aborsi untuk menjamin prinsip perlindungan hukum bagi korban, maka hukum melalui berbagai instrumennya harus melakukan penyesuaian dengan perkembangan yang ada. Sepatutnya, perkembangan hukum wajib mengikuti gejolak sekaligus kebutuhan masyarakat atas jaminan perlindungan sekaligus keadilan dari keberadaan hukum itu sendiri. Apalagi, keadilan tidak akan mendapatkan titiknya bilamana perkembangan tidak dijalankan dengan bersama-sama antara kebutuhan serta keadilan itu sendiri. Fenomena tersebut memberikan paradigma bilamana hukum senantiasa bergerak sebagaimana konsep hukum progresif [31]. Konsep hukum progresif menempatkan bilamana hukum senantiasa berproses dan menjadi proyek jangka panjang -selalu- untuk membentuk suatu law in the making, sebagaimana hukum menyesuaikan dengan segala hal yang terjadi di masyarakat. Hukum tidak semata-mata Terbelenggu dengan kata-kata maupun pasal-pasal yang tercantum di dalam instrumen hukum berupa peraturan, namun hukum membuka hati dan nurani melalui keinginan dan harapan masyarakat untuk mencapai keadilan yang substansial. [32].
Hukum memiliki peran untuk melayani masyarakat agar mendapatkan keadilan sekaligus kebahagiaan yang menjadi simpul dari relevansi antara kebutuhan serta kepatutan yang wajib dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian kepentingan dari masyarakat akan dilegitimasi dengan norma-norma yang relevan dengan keadaan pada saat itu titik ini adalah suatu sebab bahwa sistem sosial bermasyarakat akan senantiasa mengikuti peraturan hukum pula, bila peraturan hukum tersebut mengedepankan aspek kebutuhan dari masyarakat, tanpa mengurangi hak-hak konstitusional masyarakat yang lain. Hal ini salah satunya supaya UU Kesehatan dan PP Kespro juga mampu melihat realitas kebutuhan hukum di masyarakat. Instrumen hukum berupa UU Kesehatan dan PP Kespro sebagaimana memberikan ruang untuk pelaksanaan praktek aborsi sejatinya belum mampu memberikan perlindungan dan komprehensif serta holistik kepada para korban pemerkosaan.
Bahkan, tidak menutup kemungkinan pelaku aborsi akan mendapatkan pemidanaan, meskipun dirinya adalah korban dari pemerkosaan. Di sisi lain, KUHP sebagaimana yang telah baru saja ditetapkan belum merumuskan ketentuan mengenai adanya pembolehan untuk melakukan aborsi bilamana termasuk dalam korban pemerkosaan. Maka dari itu, ketidakpastian hukum mengenai hal tersebut tentu akan merugikan diri dari korban pemerkosaan, baik masa kini maupun masa depan, mengingat mereka tidak memiliki instrumen yang mampu melindungi dan membela dirinya sebagai korban pemerkosaan. Bagaimanapun, hak reproduksi dari seorang perempuan sejatinya telah dilanggar bilamana terjadi kehamilan yang tidak diinginkan, apalagi kehamilan yang bermula dari kasus perkosaan. Rentang waktu batas maksimum untuk melakukan aborsi di dalam kedua instrumen hukum tersebut hanya memberikan batasan maksimal pada 40 hari atau 6 minggu. Jelas, waktu tersebut sangatlah singkat, berbeda dengan rata-rata dinegara eropa, batas maksimum untuk melaksanakan aborsi adalah 26 minggu. [33]. Di samping itulah, pada aspek praktik hukum untuk menggapai keadilan bagi korban misalnya, dalam persidangan, setidak-tidaknya korban akan memiliki "beban tersendiri". [34]
Pertama, korban mengalami penderitaan terhadap fisik maupun psikisnya manakala dirinya berupaya untuk menyampaikan problematika ini kepada pihak yang berwenang. Apalagi, pada saat identifikasi masalah pada korban. Dirinya tentu wajib menguraikan seluruh rentetan peristiwa yang membuat korban menimbulkan trauma tersebut, sebagaimana yang tak lain adalah perkosaan yang dialami oleh dirinya. Di sisi lain, korban memiliki rasa khawatir dan cemas terhadap berbagai kemungkinan ancaman yang berasal dari pelaku, baik verbal maupun nonverbal manakala ia melaporkan peristiwa tersebut kepada pihak yang berwenang. Kedua, korban dari perkosaan wajib hadir ketika pelaksanaan sidang pengadilan, mengingat ia akan menjadi saksi dalam kasus dari dirinya sendiri. Pada saat itu, korban akan diminta untuk menceritakan secara runtut mengenai kasus yang dialami oleh dirinya, bahkan tidak menutup kemungkinan akan dilakukan suatu bentuk rekonstruksi atas cerita dari apa yang telah korban alami. Bagaimanapun, korban juga harus menghadapi segala bentuk pembelaan dari pelaku -melalui pengacaranya-, sehingga tekanan psikis korban untuk memastikan bilamana pelaku adalah merupakan pelaku dengan kesalahan yang murni sangatlah tinggi.
Ketiga, pasca pelaksanaan sidang, secara materiil, korban dari perkosaan tidak akan mendapatkan ganti rugi dari pihak manapun, baik untuk memperbaiki kondisi psikis maupun mentalnya titik bahkan, posibilitas besar yang akan terjadi justru adalah adanya berbagai ancaman dari keluarga secara internal maupun pelaku itu sendiri. Tidak menutup kemungkinan pula korban diasingkan di dalam keluarganya oleh sebab adanya stigma negatif dari korban perkosaan.
Pembolehan aborsi dapat dilakukan bila telah mencapai 3 bulan usia dari kandungan tersebut, sebagaimana berbagai pertimbangan dari korban perkosaan yang sangat rentan terhadap gangguan terhadap psikis maupun mentalnya. Terlebih, bilamana aborsi dilakukan sesuai prosedur serta tindakan medis yang tidak membahayakan korban. Prosedur dan tindakan tersebut dapat mengacu pada berbagai ketentuan dari WHO atau World Health Organization agar mendapatkan praktek sekaligus rekomendasi terbaik dalam pelaksanaan aborsi tersebut. [35]. Bagaimanapun, praktik tersebut dapat menormalisasi keadaan dari korban perkosaan, oleh sebab Berbagai gangguan yang bersifat eksternal maupun internal senantiasa akan melekat pada diri korban. Dalih tersebutlah yang menjadi Prinsip utama alasan beberapa negara khususnya di Eropa yang melegalkan aborsi memiliki batasan usia janin yang diaborsi, hal ini dapat dijadikan pandangan untuk memberikan kepastian hukum serta perlindungan terhadap korban perkosaan yang melakukan aborsi dengan memberinya waktu 12 minggu untuk melakukan persyaratan diberlakukakannya aborsi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, maka pengaturan ke depan prinsip perlindungan bagi korban terkait batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan, yaitu: pertama, perlu adanya penegasan mengenai prinsip perlindungan bagi korban dalam UU Kesehatan sehingga asas ini dapat dijadikan acuan pada berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kesehatan khususnya dalam kaitannya sebagai korban dalam tindak pidana. Kedua, perlu revisi terhadap UU Kesehatan serta PP Kespro terkait dengan waktu 6 minggu serta 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir sebagaimana dalam PP Kespro, dengan menggantinya menjadi waktu 12 minggu untuk melakukan persyaratan diberlakukakannya aborsi yang dalam pelaksanaannya wajib mendasarkan pada ketentuan WHO serta dengan pertimbangan medis yang relevan.
Ratio legis pengaturan batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan sejatinya tidak dijelaskan alasan maupun urgensi mengapa waktu 6 minggu serta 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir dirumuskan oleh perumus peraturan peraturan perundang-undangan. Secara umum, mengacu pada gagasan aborsi dari kelompok yang setuju maupun yang menolak dapat dilihat bahwa penyusun peraturan perundang-undangan berkaitan dengan aborsi menekankan pada prinsip perlindungan pada korban yang saat ini menjadi orientasi utama hukum pidana Indonesia, sekaligus menegaskan bahwa tidak terdapat pelanggaran hak asasi manusia karena didasarkan pada prosedur dan ketentuan tertentu yang juga melibatkan pertimbangan medis. Pengaturan ke depan prinsip perlindungan bagi korban terkait batas usia janin terkait aborsi bagi korban pemerkosaan, yaitu: pertama, perlu adanya penegasan mengenai prinsip perlindungan bagi korban dalam UU Kesehatan sehingga asas ini dapat dijadikan acuan pada berbagai hal yang berkaitan dengan aspek kesehatan khususnya dalam kaitannya sebagai korban dalam tindak pidana. Kedua, perlu revisi terhadap UU Kesehatan serta PP Kespro terkait dengan waktu 6 minggu serta 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir sebagaimana dalam PP Kespro, dengan menggantinya menjadi waktu 12 minggu untuk melakukan persyaratan diberlakukakannya aborsi yang dalam pelaksanaannya wajib mendasarkan pada ketentuan WHO serta dengan pertimbangan medis yang relevan.